Chapter 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yuna pov

Saat ditunggu, terasa beģitu lama. Saat diabaikan, terasa begitu cepat. Itulah waktu. Tak terasa, sudah lewat satu semester sejak Seira dan Regis pindah ke Korea.

Kak Rael juga masih di Seoul. Dia bilang, akan kembali ke Lukedonia jika urusannya sudah selesai.

Selama satu semester ini, aku dan yang lain merasakan hal yang sama. Yaitu bahagia. Tapi sayangnya, ada beberapa hal yang menyedihkan.

"Apa?! Rai mau pindah?!" Shinwoo memukul meja pelan.

"Tapi, kenapa? Kau tak suka di sini?"

"Hm, bukan begitu."

"Lalu apa?" Kami hanya termangun melihat Rai yang menampiĺkan ekspresi agak sedih.

"Sebenarnya, àyah ku meninggal. Jadi aku harus kembali ke Lukedonia dan melanjutkan pekerjaan ayah ku."

"Memangnya tak bisa orang lain? Kakak mu misalnya?"

"Kakak ku meninggal 4 tahun yang lalu."

"Eh? Jadi kau benar benar punya kakak?"

"Begitulah."

"Tapi bagaimana kakak dan ayah mu bisa meninggal? Apa sebabnya?"

"Ayah ku meninggal karena sakit. Dan kakak ku meninggal dalam tragedi berdarah di Lukedonia.

"Kami turut berduka Rai." Sui buka mulut. Kami menunduk sejenak. Hening. Sampai Shinwoo mengawali percakapan.

"Kalau begitu, hati-hati di jalan dan semoga kau sukses. Jangan lupakan ķami ya." Lengan Shinwoo menyentuh bahu Rai. Rai dan yang lain tersenyum.

"Terima kasih." Jawab Rai dengan singkat.

Kami tak bisa mengantar Rai sampai bandara. Selain karena kami harus sekolah, Rai juga buru-buru.

"Sayang sekali ya. Padahal aku ingin sekali mengantar Rai ke bandara." Aku dan Sui menatap meja dekat jendela. Dulu, meja itu selalu diduduki oleh Rai. Tapi sekarang, meja itu kosong. Dan selalu kosong.

"Iya. Aku juga."

"Kasihan Rai. Belum juga lulus SMA. Dia sudah diberi tanggung jawab yang besar."

"Iya. Dia memegang salah satu perusahaan terbesar di tempatnya."

"Benarkah?"

"Iya. Kak Rael yang memberi tahu ku."

"Oh,. Hei Ikhan. Search google, Cadis Etrama Di Raizel. Dia pasti sudah masuk google kan?" Ide gila diluncurkan lagi oleh Sui.

"Hm, baiklah." Ikhan benar benar melakukannya.

Kali ini, Shinwoo tidak tidur. Dia menatap tajam ke àrah papan tulis. Aku yakin. Shinwoo juga sedih akan kepergian Rai. Ku akui, aku juga merasa begitu.

Rai teman kami yang baik. Tapi dia harus pergi meninggalakan kami. Meski kami tetap bisa berkomunikasi jarak jauh, tapi kebersamaan itu tetap kami rindukan.

"Baiklah! Siapa yang mau iķut ke warnet hari ini?!" Shinwoo berteriak lagi.

"Shinwoo, besok ada ulangan. Sebaiknya kau belajar." Jelas ku.

"Benar. PR juga numpuk kan?" Sambung Ikhan.

"Huuh, kalian ini. Sebentar saja."

"OK, satu jam saja." Ikhan lebih bersemangat.

"Tidak! Kalian selalu saja! Malam ini, aku dan Yuna akan mengawasi dan memastikan kalau kalian benar benar belajar." Putus Sui. Tàpi, kenapa bawa bawa aku

"Eh? Sui,"

"Kita akan beĺajar bersama di rumah Ikhan. Ayo!!" Sudah memotong pembicaraan, mengambil keputusan tanpa persetujuan lagi.

Akhirnya, kami belajar bersama di rumah Ikhan. Shinwoo dan Ikhan benat benar belajar. Seira dan Regis juga. Kak Rael akan menjemput mereka dan aku saat pulang nanti.

"Yang ini bagaimana?" Tanya Shinwoo pada Ikhañ.

"Entahlah. Yang itu aku juga tidak tahu." Jawab Ikhan dengan lemas.

"Hei, semangat dong!" Sui sedikit membentak.

"I-iya!" Shinwoo dan Ikhan segera dalam posisi siaga. Tubuh mereka dudu dengan tegap. Matanya bolak balik mencari jawaban pada buku.

"Mari ku bantu." Tawar ku.

"A-ah, iya." Shinwoo menyambut tawaran ku.

Aku mengajari yang lain apa yang ku bisa, dàn apa yang mereka tak bisa. Seprrtinya, Seira dan Regis tak menemukan masaĺah serius dalam pelajaran. Dan yang paling blank, ya Shinwoo.

~~

Shinwoo pov

Senang rasanya. Meski aku tak bisa ke warnet, tapi belajar kali ini menyenangkan. Aku menemukan banyaķ kesulitan. Tapi Yuna selalu ada.

Aku suka saat dia mengajari ku. Dia baik. Setelah belajar, kami menghubungi Rai. Dia sudah sampai di kampung halamannya.
Saat video call, tampak Rai sedang duduk di kursi sebuah ruangan dengan pakaian yang mengkilap. Aura kepemimpinannya benar-benar terasa. Walau jauh kami tetap merasa bersama.

"Kau keren sekali Rai." Puji ku.

"Iya benar. Padahal bàru beberapa jam kami tak melihat mu. Kau sudah banyak berubah." Ikhan melanjutkan.

"Tidak juga. Bagaimana keadaan kalian?" Tanya Rai.

"Kami baik. Tapi,"

"Tapi apa?"

"Besok ada ulangan. Dan kami dipaksa belajar oleh Sui. Dia berubah jadi singa betina loh." Ledek ku sambil setengah berbisik.

"Apa kau bilang!" Sui mendengarnya.

"Haha, tadi cicak terbang di kantor Rai. Ya kan Rai?" Elak ku.

Rai dan yang lain hanya tertawa kecil. Sui masih marah pada ku. Meski pun begitu, kami tetap teman. Aku minta maaf duluan. Ya memang karena aku yang salah.

Yuna dan yang lain pulang sebelum tengàh malam. Kecuali aku ďan Ikhan. Aku menginap di rumah Ikhan lagi. Apartemen ku masih belum aman.

Beberapa hari ini ada pencuri yang bolak balik ke apartemen. Saran dari pak kepala sekolah, aku menginap di rumah Ikhan dulu

Malam itu, Sui ikut Yuna, Seira dan Regis pulanģ dengan kakak yang waktu itu. Ku akui dia tampan. Tapi aku tak rela jika dia jadi kekasih Yuna.

"Shinwoo, kau tak tidur?" Ikhan sudah siap dengan piamanya. Meski kami satu kamar,ranjang kami tetap terpisah.

"Hm, nanti saja." Pandangan ku masih kosong ke arah luar jendela.

"Kau masih memikirkannya?" Tanya Ikhan membuat tak mengerti.

"Apa maksud mu?" Aku membalikkan badan menghadap Ikhan yang berdiri di belakang ku.

"Kau masih memikirkan Yuna bukan?"

"E-eh?" Wajah ķu terasa panas. Entah kenapa Ikhan bisa menebaknya dengàn tepat.

"Dengar ya Shinwoo. Relakan saja Yuna dengan kakak itu. Suatu hari nanti kau akan mendapatkan yang lebih baik dari Yuna."

"Apaan sih kau ini." Aku kembali menatap ke luar jendela.

"Kita masih SMA Shinwoo. Cinta kita bisa berubah dengan mudah."

"Heh*seringai. Tentu saja. Seperti kau yang menyukai gadis boneka itu kan?" Ku coba balik menerka perasaan Ikhan.

"Eh? Gadis boneka? Maksud mu Seira?"

"Jadi namanya Seira ya? Aķu hampir melupakan nama calon gagal kekasih sahabat ku rupanya." Seringai meledek ku sampaikan. Ku sandarkan punggung ku pada jendela.

"Hahahaha" Tawa Ikhan menyeramkan.

"Hei kenapa kau tertawa?!"

"Sudahlah Shinwoo. Jangan bercanda. Nanti perut ku sakit. Hahaha."

"Tapi kau kan memang menyukai Seira. Saat pertama kali Seira masuk sekolah, mata mu berbinar menatapnya."

"Berbinar? Oh, itu. Bukankah saat itu di samping Seira ada Regis?"

"Lalu?"

"Hahahahahahahaha." Ikhan semakin kencàng tertawanya.

"Shinwoo, kau lucu sekali! Hahaha!!!!"

"Ikhan berhentilah tertawa! Aku tak mengerti!" Pinta ku pada Ikhan.

"Sudah. Tidur saja." Ikhan menuju ranjañgnya. Dia berbaring sambil terus tertawa.

"Ikhan jelaskan dulu pada ku. Kenapa kau tertawa?" Aku melompat ke ranjang Ikhan. Sedikit menindihnya dan memaksanya untuk buka mulut.

"Shinwoo dengar ya. Tinggi badan ku dengan tinggi badan Regis itu hampir sama. Jadi aku hanya senang saja saat melihat teman sependeritaan. Setidaknya, penderitaan itu bisa ku bagi dua kan?"

"Oh, jadi itu alasannya. Aku kira kau menyukai Seira."

"Haha, tidak Shinwoo. Sudah, tidurlah." Aku beranjak menuju ranjang ku. Ikhan membuat ku gila. Dia membuat ku berbuah seribu tanya.

Tapi tetap saja. Pikiran ku tetap menuju pada Yuna. Kalau Yuna memang tak menyukai ku, dan lebih memilih kakak itu. Maka aku, mungkin memang seharusnya aku mengalah.

~~

Seira pov

Sudah cukup lama aku di Korea. Sekolah baru, dan teman baru. Di sini tak begitu nyaman. Selain karena jauh dari keluarga, aku bukan termasuk orang yang mudah beradaptasi.

Lewat satu semester di sekolah ku. Saat pertama kali ke sini, aku bertemu dengan Yuna. Menurut ku, dia gadis yang baik. Tak ku sangka kak Rael punya teman wanita seperti dia. Ya, mengingat di Lukedonia dia sedikit ganjen.

Apartemen yang sepi. Selama ini aku hanya sendirian. Meski beberapa kali kak Rael, Regis dan Yuna ke sini, pada akhirnya tetaplah sama. Aku sendiri.

Tok, tok, tok. Aku berjalan ke arah pintu depan. Melihat siapa yang datang, dan membuka pintu.

"Pagi Seira." Sapa seorang pemuda dengan manik merahnya.

"Pagi. Kenapa kau ada di sini?"

"Hari ini kan kau libur, jadi aku ingin mengajak mu jalan-jalan." Jawab pemuda itu dengan percaya dirinya.

"Di sini?"

"Yah, aku juga akan mengajak Yuna."

"Regis bagaimana?"

"Kau tahu kan bagaimana dia. Tak diajak pun akan ikut."

"Hm, baiklah. Tunggu sebentar." Aku menutup pintu tersebut. Membiarkan kak Rael menunggu ku di depan dengan pintu yang tertutup.

Beberapa menit kemudian, aku keluar dengan penampilan sedikit berbeda. Tak perlu repot-repot memakai pakaian. Riasan wajah pun tak perlu banyak.

"Kau sudah siap?" Tanya kak Rael saat aku keluar.

"Iya."

"Baguslah. Ayo." Aku dan kak Rael berjalan beriringan. Melewati beberapa koridor. Hingga sampai tepat di depan mobil kak Rael yang mengkilap.

"Regis di mana?"

"Oh, dia sedang menjemput Yuna."

"Bagaimana menjemputnya? Regis naik apa?" Aku jadi sedikit khawatir pada Regis.

"Hm, sebentar. Ku pikirkan." Kak Rael membuat ku semakin cemas. Aku tak ingin terjadi sesuatu pada Regis. Kakek Regis adalah teman baik kakek ku. Begitu juga ayah kami.

"Mungkin naik bus " Lanjut kak Rael.

"Bus? Dia tahu arahnya?" Nafas ku setengah terengah.

"Iyah, mungkin." Kak Rael mengedarkan pandangannya ke arah lain menghindari tatapan ku.

"Kak Rael, jujurlah."

"Hm, baiklah. Dia sedang siap-siap di apartemen."

"Dan kau meninggalkannya?"

"A-aku, tidak." Terlihat seperti tersudut, kak Rael jadi agak gugup.

"Lalu?"

"Aku kan tak mengajak mu untuk langsung pergi bukan? Jadi, maksud ku kita menunggu Regis di sini." Kak Rael mencoba mengelak.

"Tak perlu. Aku sudah siap!" Suara Regia yerdengar dari balik punggung kak Rael. Kami menoleh ke arah itu, dan menemukan Regis yang rapi berjalan santai ke arah kami.

"Dengar ya Rael, aku tak akan membiarkan mu berlaku sesuka hati mu."

"Apa maksud mu?! Kau pikir aku akan melakukan apa!" Suasana jadi tegang. Jika mereka berdua bertemu, kegaduhan tak bisa dihindari.

"Hm, jadi, bagaimana dengan Yuna?" Ku tengahi pertengkaran mereka.

"Oh, benar. Ayo kita berangkat sekarang. Yuna pasti sudah menunggu lama." Di buka pintu mobil oleh kak Rael. Dia mempersilakan ku untuk masuk ke mobil. Pintu yang di buka adalah kursi dekat pengemudi.

"Dasar pelupa! Pada janji mu sendiri saja lupa!" Cela Regis

"Ini kan gara-gara kau! Kalau kau tak membuat masalah, aku tak akan lupa!"

"Benarkah? Aku meragukannya."

"Diam kau! Seira, ayo masuk. Jangan dengarkan Regis." Ku lirik kursi itu sekejap. Dan menolak.

"Maaf, kak Rael. Aku tak suka duduk di situ."

"Eh? Apa maksud mu tak suka?"

"Maksud Seira, kau lebih cocok jadi supir mobilnya Seira ketimbang sepupunya." Regis jadi kompor lagi.

"Hah? Regis diamlah! Apa itu benar Seira?" Aku menggeleng pelan dan menjawab.

"Tidak. Sama sekali bukan itu maksud ku. Aku hanya ingin duduk dengan Yuna di kursi belakang." Jelas ku menengahi kesalah pahaman ini.

"Jadi maksud mu aku harus duduk dengan si penderita PD Syndrome ini?" Mata Regis terbelalak seakan tak percaya. Aku menjawabnya dengan anggukkan kecil.

"Tapi Seira, aku juga tak mau duduk di samping bocah seperti dia." Kak Rael menunjuk Regia dengan kasar. Mereka bertengkar lagi

"Kalau kalian tak mau, maka aku juga tak mau." Ku coba melerai mereka lagi.

"Apa maksud mu tak mau Seira?" Tanya kak Rael.

"Aku tak mau ikut jika aku yak duduk dengan Yuna di kursi belakang." Aku tak suka duduk di samping seorang pria. Jujur saja,bahkan pada ayah atau kakak ku sendiri, aku masih sedikit kaku.

"Oh, baiklah." Pintu kursi depan kembali di tutup dan pintu belakang di buka. Kak Rael mempersilakan ku untuk masuk lagi.

"Silakan masuk Seira. Nanti Yuna akan duduk bersama mu di kursi ini." Aku melangkah masuk. Pintunya di tutup dengan lembut oleh kak Rael.

"Regis cepatlah masuk." Titah kak Rael sambil segera masuk ke dalam mobil.

Kami melesat menuju rumah Yuna. Tak terlalu jauh, tapi akan lebih cepat memang kalau pakai kendaraan. Di jalanan sedikit macet. Wajar saja, ibu kota negara mana pun akan lebih padat dari darah lainnya.Begitu juga dengan Seoul.

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro