Chapter 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yuna pov

Sekarang, aku, tidak. Kami sudah kelas tiga. Sebentar lagi kami lepas dari beban pelajaran materi dasar. Hari-hari yang kami lalui adalah hal yang berharga. Sayang jika kami saling melupakannya. Tapi, bagaimana kalau ternyata kami dipaksa untuk melupakannya?

Di dalam kelas, hanya tinggal aku seorang. Bel pulang sudah berdering dari tadi. Hari juga sudah semakin gelap. Entah kenapa aku masih ingin di dalam kelas ini.

Dari meja ku, yang bisa ku lihat tajam ke depan hanyalah papan tulis yang sekarang tengah kosong. Sama seperti pikiran ku yang bahkan aku sendiri tak tahu apa isinya. Lama kemudian, aku mendengar suara langkah sepatu. Semakin dekat dan tepat berada di ambang pintu kelas ini.

"Yuna, kau belum pulang?" Ternyata Sui. Aku memandangnya dengan wajah datar. Dia sudah ganti baju.

"Kenapa kau tak pulang Yuna?" Kaki Sui melenggang masuk mendekati ku. Kemudia kami duduk sejajar.

"Yuna, kau tak menjawab ku." Dengus Sui.

"Hm, maaf. Aku hanya sedang..." Ku rendahkan pandangan.

"Memikirkan sesuatu? Ujian masih lama Yuna." Sela Sui.

"Aku tak memikirkan tentang ujian." Jawab ku.

"Lalu, kau memikirkan apa?" Dengan tangan terlipat di atas meja, Sui menyandarkan kepalanya di sana.

"Aku," Kata-kata ku sedikit menggantung. Lidah ku terasa kelu. Serasa tenggelam dalam kesedihan yang amat dalam. Tapi aku tak tahu.

"Aku juga tidak tahu. Seperti ada yang mengganggu pikiran ku. Tapi, aku juga tidak tahu." Jelas ku pada Sui. Dia terlihat sedikit kebingungan. Mengangguk-anggukkan kepala, Sui mencoba menebak isi kepala ku.

"Mungkin kau terlalu berlebihan memikirkan tentang ujian." Selama apa pun Sui berfikir, pikirannya akan buntu pada satu objek yang benar-benar dia percayai.

"Sui, aku tak apa. Aku hanya ingin di sini lebih lama."

"Matahari hampir tenggelam. Kau mau apa di sini? Pintu gerbang sekolah juga akan segera di tutup. Pulanglah dengan ku." Ajak Sui.

Ku edarkan pandangan ke arah luar jendela. Sekarang, dari sini aku bisa melihat matahari yang hampir kehilangan cahayanya. Senja memangsangat memanjakan mata. Dan senja, selalu mengingatkan ku akan kejadian waktu itu.

Kira-kira, waktu aku kelas satu. Saat pulang dari ekstrakurikuler tak ada kendaraan yang bisa ku naiki sampai rumah. Matahari juga hampir tenggelam. Aku pulang dengan jalan kaki, dan sendirian.

Di salah satu gang yang ada, aku di hadang oleh sekelompok preman. Kalau tidak salah mereka masih SMA. Tapi tetap saja menyeramkan.

Aku tak terluka. Secara, karena Shinwoo dan Ikhan datang. Shinwoo berkelahi melawan gerombolan preman SMA itu sendirian. Satu lawan empat. Dan hasilnya, Shinwoo yang menang.

Itu satu kali. Kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Shinwoo selalu ada saat aku membutuhkannya. Itulah yang membuat ku jatuh hati padanya. Aku selalu menyembunyikan perasaan ini. Karena aku takut, kalau-kalau Shinwoo ternyata tak menyukai ku, dan lebih memilih orang lain.

"Yuna? Kau kenapa melamun menatap jendela?"

"Sui," Panggil ku lirih.

"Hm? Ada apa?"

"Apa kau pernah jatuh cinta?" Mata ku tak hentinya menatap ke arah sang surya. Masa-masa indah itu menjajah pikiran ku tanpa ampun.

"Eh-heh? Jatuh cinta? Hm, entah ya. Ku rasa tak pernah. Memangnya kenapa? Kau sedang jatuh cinta ya?" Ku rendahkan pandangan ku sekilas. Ku beri senyum tipis pada Sui.

"Ayo pulang. Kalau terlalu malam, tak baik kan?" Aku bangkit dari duduk ku. Berjalan ke luar ruangan. Sui mengikuti ku dari belakang.

Dalam perjalanan pulang, kami membicarakan banyak hal. Hanya sekedar gosip mungkin. Tapi ini renyah sekali.

^^

Hari berikutnya, aku tak bisa mematung di kelas. Pak kepala sekolah mempercayai ku untuk mengurus beberapa berkas mengenai kegiatan di sekolah. Alhasil, aku pulang larut lagi.

Sore itu, setelah selesai dengan tugas yang diberikan pak kepala sekolah, ku putuskan untuk segera pulang. Sui pulang lebih cepat karena ada pemotretan.

Yang lain, aku tak tahu kegiatan mereka. Karena bahkan mendapat tugas dari kepala sekolah pun kejadian yang tak disengaja.

Aku pikir, malam ini aku akan bisa fokus dengan pelajaran. Karena saat dua jam pelajaran terakhir aku tak mengisi kelas. Jadi aku akan lebih giat belajar. Tapi nyatanya, aku tak bisa fokus sama sekali.

Bagaimana tidak. Saat aku akan pulang, ku lewati lapangan SMA Ye Ran. Ada beberapa buah bangku di sana. Salah satunya, tepat menghadap tempat matahari tenggelam.

Di sana, ada Shinwoo dan Ikhan. Dan juga, Seira. Siapa sangka, kalau Seira akan membawakan tas Shinwoo yang tertinggal di kelas. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi aku,... . Aku ingin berlari dan membatalkan kejadian itu.

Ingin rasanya berteriak. Menangis, dan menghilang dari muka bumi ini. Seira dan Shinwoo terlihat akrab. Sebelumnya, Seira sangat jarang tersenyum. Tapi sekarang, dia tersenyum pada Shinwoo tanpa sungkan. Itu membuat ku sakit.

"Ini tas mu. Kau meninggalkannya di kelas." Ucap Seira seraya menyerahkan tas milik Shinwoo.

"Oh, haha. Aku lupa tak membawanya keluar kelas tadi." Shinwoo menerima tas itu, dan tersenyum lepas pada Seira. Hati ku semakin terasa tertusuk. Tubuh ku lemas. Ingin sekali jatuh.

"Shinwoo memang pelupa. Dia sering melakukan itu sejak kelas satu." Sela Ikhan.

"Yah, biasanya kau selalu membawakannya untuk ku. Tapi sekarang, kau lupa juga ya. Hahaha." Mereka bertiga tertawa bersama.

Entah pemandangan apa yang ku lihat ini. Setiap sedetik terasa seribu tahun. Setiap kata mereka seperti pisau-pisau tajam menusuk ku. Tawa mereka terus menghantui ku.

Aku memang sakit. Tapi yang bisa ku lakukan hanyalah menahannya, dan mematung menatap sebab rasa sakit ini.

'Apa Shinwoo menyukai Seira? Tapi kenapa? Kenapa bukan aku?!' Aku terus berteriak dalam hati. Kenapa harus Seira.

Beberapa menit kemudian, Shinwoo menyadari keberadaan ku. Dia memanggil ku untuk mendekat.

"Eh? Yuna! Sedang apa kau di sana? Kemarilah. Ayo kita pulang bareng." Sekarang Shinwoo memang tersenyum pada ku. Tapi senyuman yang ia berikan pada Seira, bagi ku itu lebih tulus.

Aku mendekat ke tempat mereka. Canggung memang. Tapi candaan Shinwoo membuat ku sedikit relaks. Maski tak seperti biasanya. Aku mencari alasan agar aku bisa segera pergi dari situasi seperti ini.

"Eum, maaf. Tapi aku ada urusan di rumah. Jadi aku harus pulang sekarang." Ucap ku di sela-sela tawa mereka.

"Eh? Baiklah. Ayo kita pulang bareng." Ajak Shinwoo sambil memimpin perjalanan.

"Tidak!" Seru ku membuat Shinwoo menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan menanyakan maksud ku.

"Apa maksud mu? Kau bilang kau harus segera pulang?" Shinwoo terlihat heran.

"I-iya. Tapi, aku akan pulang sendiri." Aku berjalan secepat mungkin. Melewati Seira, Ikhan, dan Shinwoo.

Hanya terus berjalan cepat. Aku tak berani menoleh ke belakang. Paling-paling mereka hanya mematung di tempat. Lagi pula, apa peduli ku.

Sampai di rumah ku jatuhkan semua barang bawaan ku,termasuk buku yang ku bawa dengan tangan. Ku tutup pintu kamar rapat-rapat. Bersandar padanya, semakin lama tubuh ku semakin merosot.

Entah tulang ku atau hati ku tak mampu lagi menahan rasa lelah ini. Shinwoo ternyata, menyukai Seira. Aku menangis dalam diam. Dalam kebisuan juga ku terisak sejadi-jadinya.

Tak ada yang tahu. Karena aku memang tak menginginkannya.

~~

Shinwoo pov

Hari ini aku sangat lelah. PR terlalu banyak, tugas menumpuk, begitu juga hukuman dari guru karena tak mengerjakan tugas. Semua menjadi beban bagi ku.

Biasanya, kalau melihat Yuna tersenyum, semua beban pikiran ku akan hilang dalan sekejap. Tapi dari dua jam pelajaran terakhir aku tak melihat Yuna. Selain karena aku tertidur, Ikhan bilang, Yuna diberi tugas khusus oleh kepala sekolah.

Entah aku harus bangga atau sedih. Tapi yang pasti, aku ingin menunggu Yuna di sini. Ya, di tepi lapangan SMA Ye Ran.

"Shinwoo, malam ini mau ke warnet?" Tanya Ikhan yang sedari tadi duduk di samping ku.

"Hm, entahlah. Aku juga tidak tahu." Jawab ku cuek.

"Kau masih memikirkan Yuna ya?" Ikhan ini bagaikan peramal. Dan sialnya, tebakannya selalu benar.

"Heh*seringai, kau ini. Bisakah sekali-kali kau beri tebakan yang salah?" Ku pandang Ikhan dengan tatapan setengah dongkol.

"Hhah*hela_nafas, Shinwoo, dengar ya. Yuna akan baik-baik saja. Dia sudah besar. Dia tak kan tersesat." Jelas Ikhan.

"Hahaha, sebenarnya, bukan tersesat atau tidaknya Yuna yang ku pikirkan."

"Lalu? Kau takut preman-preman menghadangnya lagi?"

"Ya, itu juga. Tapi, aku juga punya ego tau." Ku tatap langit senja yang kemerah-merahan. Wajah Yuna saat tersenyum yang terlukis di sana menggetarkan jiwa dan raga ku. Itulah sebab mengapa aku tersenyum sendiri bagaikan orang gila.

"Ego? Maksdu mu apa sih Shinwoo?"

"Aku butuh Yuna untuk memenuhi ego ku." Masih dalam posisi terbayang wajah cantik Yuna, aku semakin tenggelam dalam momen ini.

"Ego? Kyaa--- Jangan-jangan! Maksdu mu!! Shinwoo sadarlah! Yuna itu gadis baik-baik, jangan kau lakukan apa pun padanya!" Ikhan sedang gila. Dia terlihat seperti setengah memohon dan setengah marah.

"Apa sih?" -_-

"Aku tahu kau suka Yuna. Tapi jangan berlebihan Shinwoo. Lagi pula, kita masih SMA!!" Hm, dia kehabisan obat.

"Hahahaha, kau ada-ada saja. Dasar otak mesum!" Ku pukul pelan dahinya. Ikhan sedikit terpental.

"Apa maksud mu?! Seharusnya aku yang mengatakan itu tau!!" Ikhan jadi semakin menggila.

"Hahahaha, Ikhan kau ini benar-benar konyol ya. Maksud ku ego bukan yang seperti itu." Terang ku.

"Lalu yang seperti apa?" Ikhan mulai tenang. Ku tatap lagi langit senja. Awan-awan putih memudar menggantung di atas kepala ku. Lagi-lagi, wajah Yuna yang terlihat.

"Seperti," Ku gantung kata-kata ku.

"Seperti Yuna yang bagaikan ...."

"Shinwoo!" Tak terlalu keras, tapi panggilan itu terdengar jelas. Aku dan Ikhan menoleh ke sumber suara. Seira. Dia mendekat.

"Ada apa Seira?" Aku dan Ikhan berdiri. Sekarang, kami bertiga berdiri dalam posisi sejajar.

"Ini tas mu. Kau meninggalkannya di kelas." Ucap Seira seraya menyerahkan tas yang kelihatannya memang milik ku.

"Oh, haha. Aku lupa tak membawanya keluar kelas tadi." Aku menerima tas ku dari Seira. Ku lihat, Seira tersenyum pada ku. Jadi akan tabu jika aku tak membalasnya.

"Shinwoo memang pelupa. Dia sering melakukan itu sejak kelas satu." Sela Ikhan.

"Yah, biasanya kau selalu membawakannya untuk ku. Tapi sekarang, kau lupa juga ya. Hahaha." Kami tertawa bersama. Tapi rasanya kaku jika harus menertawai ku diri sendiri.

Kami berbincang sebentar. Memebicarakan hal yang pada kenyataannya memang tak penting. Sesekali diselingi tawa. Sepertinya, aku memang ada bakat untuk menjadi seorang pelawak.

Setelah beberapa menit kami berbincang, aku menyadari ada seseorang. Tak terlihat memang, tapi hawa keberadaannya tak bisa ditutupi. Aku segera menoleh ke arah yang diduga terdapat seseorang itu. Dan ternyata, Yuna.

"Eh? Yuna! Sedang apa kau di sana? Kemarilah. Ayo kita pulang bareng." Ku lemparkan senyum pada Yuna. Aku bahagia sekali. Akhirnya setelah sekian jam aku bisa bertemu dengannya. Rasanya ingin meneteskan air mata haru.

Yuna mendekat perlahan. Ada yang aneh. Yuna terlihat canggung. Dari caranya berjalan, membawa tas dan buku. Pandangannya juga terus ke bawah. Tapi segera, ku usir semua pandangan buruk terhadap Yuna.

Setelah Yuna mendekat, tanpa ku sadari aku malah membuat topik pembicaraan baru. Jadi, kami terlarut dalam obrolan. Ku lihat, Yuna tertawa dengan kaku. Dan itu mengganggu ku. Hingga, dia akhirnya mengatakan sesuatu.

"Eum, maaf. Tapi aku ada urusan di rumah. Jadi aku harus pulang sekarang." Ucap Yuna di sela-sela tawa kami karena candaan ku.

"Eh? Baiklah. Ayo kita pulang bareng." Jadi ini alasannya. Dengan peka, ku ambil alih kepemimpinan. Berjalan di depan dengan harapan yang lain mengikuti ku dari belakang.

"Tidak!" Yuna berteriak cukup keras. Dan itu membuat ku menghentikan langkah ku. Aku berbalik dan mencoba menanyakan apa yang terjadi.

"Apa maksud mu? Kau bilang kau harus segera pulang?"

"I-iya. Tapi, aku akan pulang sendiri." Sambil mengatakannya, Yuna berjalan cepat. Dia melewati kami bertiga begitu saja.

Ada yang aneh. Yuna tak biasanya begitu. Aku yakin seseuatu terjadi tanpa sepengetahuan ku. Kami bertiga hanya mematung menatap kepergian Yuna.

Ingin sekali ku kejar dia. Tapi aku tak mungkin meninggalkan Ikhan dan Seira sendirian. Sebenarnya, aku ini pandai mengelak.

Jika mereka berdua tertangkap tanpa aku, mereka tak kan bisa membuat alasan logis dengan cepat. Tapi aku tak ingin Yuna begitu. Sebenarnya, apa yang terjadi.

"Shinwoo, ayo kita pulang." Suara Ikhan menyadarkan ku dari lamunan. Meski sosok Yuna sudah tak terlihat lagi, kepala ku penuh tanda tanya.

"Hm, ayo." Sepanjang jalan pulang, aku menjadi orang lain. Tak seperti aki yang biasa, aku yang sekarang lebih banyak diam.

Tentu saja karena aku terus memikirkan Yuna. Aku rasa, Yuna sedang ada masalah. Mungkin saat dia mengerjakan tugas khusus yang diberikan pak kepala sekolah dia menemukan kesulitan. Dan itu membebani pikirannya.

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro