a good purpose|| 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Letta menatap tajam pria yang dengan lancang memeluk dirinya, ia memberontak dan menggerakan pinggulnya untuk melepaskan diri dari Fano. "Lepaskan saya, berengsek!" ujarnya dengan nada marah. Kentara sekali rasa bencinya pada pria ini.

Fano bukannya melepaskan malah semakin mengeratkan dekapannya. Sama sekali enggan melepaskan tangannya yang sudah bertengker nyaman di perut Letta dan lagi pula ia begitu menikmati posisinya saat ini. "Kamu tahu betul jika aku tidak suka diperintah!" ujarnya terdengar menyebalkan di telinga Letta.

Fano memeluknya dan dengan lancang mendekatkan wajahnya di antara ceruk leher Letta, menghirup aroma tubuh Letta dalam-dalam dan berbisik di sana. "Bukankah sejak dulu kamu tahu betul bagaimana aku?!" bisiknya dengan bibir yang nyaris menyentuh rahangnya.

Letta meremang, tubuhnya berdesir hebat ketika Fano mengatakannya dengan jarak sedekat ini. Ia mendorong wajah Fano supaya menjauh akan tetap pelukan Fano yang erat di sepanjang perutnya membuat jarak mereka sulit terhapus.

Letta jengah, ia merasa muak. "Sebenarnya apa maumu? kenapa kamu bisa ada di ruangan ini, ke mana Mr. Aodhagan?" dia menarik tangan Fano, mengusahakan diri agar Fano melepakan dirinya.

Fano yang keras kepala tidak begitu saja melepaskan mangsanya, ia begitu senang saat mengetahui Letta datang atas undangannya yang mengatas namakan Mr. Aodhagan. "Apalagi yang dilakukan seseorang jika bukan bekerja," ujarnya santai, Fano yang iseng mendekatkan wajahnya kembali, kali ini bukan hanya sekedar menghirup aroma tubuh wanitanya namun ia meninggalkan jejak basah di leher Letta.

Letta memejamkan matanya akan jejak lembap itu. "Kamu, apa maksudmu dengan bekerja? perusahaan ini milik Mr. Aodhagan tidak mungkin kamu bisa --- "

"Apapun bisa aku lakukan! Kamu lupa siapa aku, Sayang." Bibirnya menghidu kuat rahang Letta, mencoba membuat tanda hickey di sana.

Letta hilang akal, desiran halus tercipta karena sentuhan bibir Fano, membuat Letta lupa diri. Sehingga ia membiarkan Fano memimpin diri, menyentuh dirinya lebih jauh. Namun gelengan samar ia berikan pada pria itu, masih tidak percaya akan ucapan sombong Fano. Dia ternyata masih sama dan tidak berubah.

"Kali ini apa yang kamu rencanakan untuk menghancurkan hidup saya lagi?" Letta memejamkan mata dan mengigit bibirnya kuat-kuat, mencoba berperang dengan kewarasannya sementara gejolak gairah primitifnya mulai bangkit karena ulah Fano.

"Tidak ada." Fano membalas singkat, sebelah tangannya yang memeluk Letta merambat naik ke atas hingga kebelahan dada Letta. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan dengan bekerja." Dan tangan-tangan itu mengusap lembut area sensitif Letta.

Letta meremas dres pendek yang dikenakannya, sekujur tubuhnya terasa terbakar ketika jari-jari itu mulai menyusup membelainya, menyentuhnya lembut membuat kewarasannya semakin melemah.

"Jadi apa maksudmu? jelaskan kepada saya!" kesadaran Letta kembali datang, ia hendak beranjak dari pangkuan Fano, tapi Fano lebih cepat beraksi. Ia mengusap tungkai Letta, merambat naik dan sengaja memainkan titik-titik terlemah Letta, mencoba menarik sensitivitas wanitanya. Membuat wanita manapun akan tergoda bila disentuh seperti itu, sensasi menakjubkan yang sulit ditolak. Adrenalin Letta terpacu untuk melakukan hal terliar yang sering dilakukannya dulu bersama Fano.

"Kita masih punya banyak waktu untuk berbicara, Sayang." Kekeh Fano bertele-tele. Letta ingin sekali menampar wajah pria yang sedang tekekeh itu, jika saja ia tidak dalam posisi yang sedang dipeluk erat seperti ini.

Letta mengeram, mengepalkan tangannya. Gejolak amarah di dalam dirinya kembali bangkit. Namun rasa marahnya tak sebanding dengan hasrat gilanya yang mulai goyah. Letta merasa dipermainkan oleh sisi liarnya. Semua terasa sulit ditolak apalagi ketika Fano menyapukan sentuhannya pada titik sensitifnya di bawah sana.

Fano menyentuhnya lembut, mengusapnya dengan gerakan intim seirama. "Hen .. tikan apa yang kamu laku.. kan..." Letta menggigit bibir, menahan rasa ingin teriak saat sentuhan ringan namun memabukan itu sudah tahu-tahu menyusup semakin jauh. Masuk ke kain tipis miliknya, memainkan titik-titik sensitif itu secara lembut dan intim. Dan dalam sekejap semua terasa tidak asing, segala sentuhan ini dan semua yang dirasakannya saat ini pernah Letta rasakan tiga tahun lalu. Dan semua itu masih terasa sama, masih terasa pas. Tubuhnya masih sama menginginkannya. Tapi sekuat tenaga Letta menahan diri untuk tidak lagi lengah. Ia tidak boleh lemah oleh sentuhan Fano.

"Ber... henti, sialan." Namun tubuh dan mulutnya tidak sejalan dengan logikanya.

Fano tersenyum mengejek. "Mulutmu menyuruhku berhenti tapi tidak dengan tubuhmu, Sayang." Fano semakin gencar, menyentuhnya di sepanjang hangat pusat diri Letta.

Letta mengeram, mengigit bibirnya kuat-kuat, logikanya mulai tumpul semakin berkarat karena gelenyar aneh akibat perlakuan nakal Fano, membuat tubuhnya tidak konsisten.

"Kamu bahkan merindukan sentuhanku, kan?!" Fano berbisik, "bukankah apa yang kukatakan itu benar?!" tambahnya dengan nada serak.

Letta menggeleng, Fano meregangkan tungkainya. Agar terbuka lebih lebar untuknya. Napas Letta naik turun, matanya terpejam dan terbuka secara bersamaan. Tatapannya mulai kosong, ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menyuruh Fano berhenti, tubuhnya perlahan bergetar dan segala ingatannya tentang pelecehan itu berputar kembali di kepalanya.

"Tidak berhe .. nti menyentuh saya." Suaranya terdengar tidak jelas, Fano tidak menyadari perubah pada diri Letta, meski mendengar larangan itu tapi ia tetap menyentuh wanitanya. Perlahan tapi pasti pria itu mencoba mengingatkan Letta pada sentuhannya.

"BERHENTI, DON'T TOUCE ME!" entah mendapat kekuatan dari mana Letta berteriak, ia melepaskan diri dari Fano.

Fano membatu, terkejut dengan reaksi Letta. Tatapannya menatap Letta dalam-dalam, tahu hal ini akan terjadi, maka itulah yang sedang Fano lakukan. Mencoba membuang rasa trauma Letta dengan cara menggantikan ingatan wanitanya akan sentuhannya. Tapi semua tidak semudah yang ia pikir. Wanitanya masih tampak ketakutan. Sentuhannya tidak berarti apapun, ketakutan itu terasa pekat hingga sulit dihilangkan.

Letta mengatur napasnya yang terengah, merapihkan pakaiannya yang berantakan karena ulah Fano. Kemudian ekspresinya kembali berubah dingin, ia bersedekap menatap tajam Fano. "Saya tidak tahu apa yang kali ini kamu rencanakan." Ia berdecak, menatap muak Fano.

"Apapun itu yang sedang kamu rencanakan, kuharap kamu berhenti bermain-main dengan saya." Seru Letta penuh penekanan.

Fano menatapnya dalam diam. Menatap Letta dengan tatapan yang memancar kerinduan yang begitu kental. Sampai Letta dapat merasakannya, tapi Letta cukup baik mengatur kendali dirinya untuk tidak lagi terperdaya oleh tatapan itu. Ia begitu membenci Fano, segala hal buruk yang dilaluinya dulu bersumber dari pria itu. Kebencian membutakannya, sehingga tidak ada sedikitpun keinginan untuk kembali. Tapi apa kamu yakin Letta?

Suasana keduanya berubah hening, untuk beberapa saat mereka saling diam. Letta menanti Fano berbicara lebih dulu, apa saja--demi merespon kalimat sarkasnya. Dan ketika Letta mengalihkan tatapannya karena tidak sanggup menatap Fano ebih lama lagi. Pria itu baru membuka suaranya.

"80 persen perusahaan ini sudah menjadi milikku!" ucapnya dengan nada lembut sambil menyandarkan punggungnya pada kursi putar, sementara tatapannya tak lepas dari menatap Letta. "Ommu itu sudah tidak memiliki kuasa apapun lagi di sini. Jadi, aku yang berkuasa mulai sekarang." Fano menjelaskan dengan nada santai namun terdengar mengejek.

"Jadi mulai saat ini kamu bekerja denganku!" tambah Fano penuh penekanan.

Letta menatapnya sinis. Tidak heran kenapa pria itu bisa melakukan itu. "Kamu pikir saya mau bekerja sama dengan orang seperti kamu?!" ia melipat tanganya, mengangkat dagunya, angkuh. "Jangan mimpi, boy!"

Fano diam, masih menatap Letta. Letta mendekati meja Fano, membungkuk dan menyeringi. "Mulai detik ini saya mengundurkan diri dari managementmu, silahkan lakukan apapun yang ingin kamu lakukan karena saya sudah tidak memiliki kepentingan apapun lagi di sini." Lalu berbalik, ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini sebelum pertahanan dirinya kembali runtuh.

"Kamu tentu saja tidak bisa begitu saja mengatakan ingin mengundurkan diri. Apa kamu lupa tentang kontrak kerja sama yang sudah kamu tanda tangani?!" Fano beranjak dari kursi putarnya, mendekat pada Letta yang sudah di ambang pintu.

Langkah Fano yang tenang mengusik kedamaian Letta. Letta mengepalkan tangannya ketika Fano mulai mengingatkan dirinya tentang kontrak kerjasama yang sempat ia tanda tangani ketika pertama kali dirinta menerima kerja sama dengan AF models management. Siall, kenapa Letta melupakan hal itu?

"Perlu aku ingatkan tentang isi kontrak itu, Sayang." Tubuhnya menjulang di depan Letta, tampak menatap Letta lembut. Letta mengepalkan tangannya, semakin membencinya.

"Berengsek." Letta menatap kesal, keinginan untuk menampar wajah yang sedang tersenyum penuh kemenangan itu begitu tak terkendali. Tangannya mengepal, dan terangkat. Lalu --

Plak..

Letta menamparnya. Benar-benar menamparnya. "Saya muak sama kamu!"

Fano tidak bereaksi apapun atas tamparan itu. Dia justru menikmatinya. Menganggap kalau seharusnya memang ini yang dilakukan wanitanya terhadap dirinya tiga tahun lalu. Menampar dirinya, atau memukulnya. Karena dia pantas mendapatkan itu.

Letta menatapnya sinis. Fano tampak diam, namun perlahan senyum pria itu mengembang. "Suka atau tidak kamu akan selalu berurusan denganku, Sayang. Bukankah itu menyenangkan!" Fano tersenyum miring, tangannya terulurkan merapihkan rambut Letta. Yang langsung ditepis oleh Letta. Tapi Fano tidak tersinggung, ia malah terkekeh senang.

"Barangkali saja kita bisa mengulang kegiatan yang pernah kita lakukan dulu." Nada penuh godaan terselip di dalamnya. Sikap Fano begitu santai, seolah tamparan Letta tadi tidak berarti apapun padanya.

Letta dongkol, ia tidak menanggapi omong kosong itu, tapi diamnya Letta membuat Fano semakin gencar menggodanya. "Jika dulu kita melakukannya di depan sekolahmu dan di dalam mobilku, bagaimana jika sekarang kita melakukannya di atas meja itu!" Fano menunjuk meja kerjanya. "Pasti menyenangkan?!"

Mendengar itu kekesalan Letta semakin bertambah. "Dasar sinting." Seru Letta, mendengus jijik dan berlalu dari ruangan Fano, meninggalkan Fano yang tertawa senang.

***

Letta keluar dari ruangan yang terasa panas dan menyesakan itu. Di dalam sana ada pria itu dan berlama-lama melihat Fano membuat kemarahannya memuncak. Bagaimana juga semua masih terasa di dalam ingatannya, bagaimana dulu Fano menyakitinya. Letta belum mau berhenti, dan belum merasa puas sebelum Fano merasakan sakit yang sama, merasakan luka yang sama yang pernah dirasakannya dulu. Akan selalu ada balasan disetiap luka yang pria itu torehkan untuknya. Dan ia berjanji akan melakukan itu. Membalas Fano.

"Mba udah ditunggu di ruangan wardrobe, Mba harus make up dan berganti pakaian karena pemotretan akan dimulai sebentar lagi." Letta mengangguk, wajahnya yang tanpa ekspresi membuat Shopi tidak dapat menebak apa yang sedang dipikirkan oleh bosnya itu.

Letta berlalu begitu Shopi menyuruhnya ke ruangan wardrobe. Suasana di dalam ruangan itu tak kalah ramai. Ada beberapa model yang juga sedang di make up dan akan melakukan pemotretan seperti Letta. Letta merasa risih berada diantara mereka, apalagi saat dia tahu jika saat ini dia sudah bukan lagi bekerja di bawah naungan Mr. Aodhagan akan tetap di bawah tekanan Fano.

"Mba make up dulu ya!" seorang pria dengan gaya melambai mendekati Letta. Letta hanya mengangguk lalu mengikuti pria setengah wanita itu untuk duduk di depan cermin yang penuh dengan make up di depannya.

"Mba kenal dengan pemilik management yang baru?" Letta mengerutkan alis mendengar pertanyaan pria yang lebih pantas disebut wanita dari pada pria itu. "Tadi banyak yang ngomongin Mba, katanya Mba baru saja keluar dari ruangan si bos." Sesi ghibah ala bences di buka, Letta tahu beginilah kehidupan orang-orang bermulut tajam, mereka pasti akan selalu memiliki topik utama untuk dijadikan bahan gosip.

Letta memilih diam, mendengarkan pria kemayu ini berbicara. "Mereka membicarkan Mba, katanya Mba memiliki hubungan dengan si bos." Pria itu memulai sentuhan tangannya pada wajah Letta, memolesnya dengan make up yang diperlukannya untuk mempercantik wajah Letta.

"Mba kan cantik dan si bos juga tampan jadi menurutku wajar jika Mba memiliki hubungan dengan si bos." Puji pria setangah wanita itu.

"Menurut lo apa gue keliatan punya hubungan sama pria itu?" Letta bertanya sinis, dia menatap dingin pria kemayu itu melalui cermin.

Si pria kemayu meneguk salivahnya atas nada sinis Letta, dia merasakan ucapannya membuat model yang sedang di make upnya ini tidak senang.

"Perlu lo ketahui gue nggak kenal sama pria itu dan nggak mungkin berhubungan sama dia," ujarnya sinis. Pria itu diam dan merasa tidak enak. Letta berhasil membungkam mulut pria ini. Merasa senang juga kesal secara bersamaan. Tapi kekesalannya semakin bertambah saat setelah ucapannya selesai suara pria yang baru saja dibicarakan oleh mereka membuat gaduh.

"Sudah selesai, Sayang?" di belakangnya Fano berjalan mendekati Letta.

Letta melongo, menatapnya tajam. Sial, mau apa lagi sialan pria ini?

Fano berdiri di sampingnya, mengusap bahunya. Menunduk dan mengecup pelipisnya. "Aku ke sini mau menjemputmu untuk ke ruang pemotretan bersama-sama," ujarnya membuat Letta geram. Letta sempat melirik sekilah pada si pria kemayu yang sedang menatap interaksi antara dirinya dan Fano. Tatapan pria kemayu itu menyiratkan dengusan dan seringaian yang menunjukan kalau si pria ngondek itu sedang mencemooh dirinya. Dan melalui tatapannya itu dia seolah mengatakan.

"Katanya tidak punya hubungan tapi apa yang kulihat."


🌿🌿🌿

To be continued..
Senin, 30 september 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro