a good purpose ||5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Follow Ig Me ya guys @storyerickaoktavia @intan_veranika. 

🌿🌿🌿

"Berhenti kamu, jangan macam-macam dengan saya." Letta menggeleng, melangkah mundur dan membalikan tubuhnya. Ia berlari hendak membuka pintu kamar mandi, masuk ke dalam dan berlindung di sana. Tapi tubuhnya tersentak saat pria itu menariknya, membalik cepat tubuhnya dan tiba-tiba menekannya ke dinding, pria itu menghimpitnya dan mencekal kedua tangannya di atas kepalanya.

"Kamu tidak bisa ---" bibirnya kembali dibungkam, pria itu tidak membiarkan Letta berbicara sedikit pun. Letta berontak, tapi pria itu semakin kesetanan. Dia tidak mempedulikan berontakan Letta, terus melumat bibirnya dengan gerakan kasar, menggebu dan menuntut. Letta mencoba melepaskan diri, menggerakan tubuhnya saat tangan pria itu mulai menyingkap dress yang dikenakannya.

Letta kewalahan, perbuatan pria ini mengobrak-abrik seluruh perasaannya. Rasa marah bercampur hasrat menguasai diri Letta. Letta tidak ingin luluh oleh sentuhan pria ini. Dia juga tidak ingin menjadi mainan pria ini lagi, semua sudah berakhir dan dia bukan dia yang dulu lagi.

"Berhenti, kamu tidak bisa ---" Letta terkesiap saat tangan itu menyusup masuk ke dalam lembah hangatnya, mencari titik dirinya yang berdenyut dan mulai membelai intim di sana. Napas Letta naik turun, terengah oleh luapan gairah primitifnya.

Berengsek, selama ini tidak ada laki-laki yang dapat membangunkan sisi terliarnya, seperti yang pria ini lakukan kepadanya. Dan sialnya setelah tiga tahun berlalu pun, sentuhan pria itu masih saja menjadi bagian yang paling diinginkan oleh tubuhnya.

Ciuman pria itu kini telah berpindah ke garis rahanganya. Membelai hangat di sana sini, Letta mendongak, bersandar sepenuhnya pada dinding. Otaknya terlalu tumpul untuk diajak berpikir. Tangan pria itu dengan cekatan menurunkan kain tipis di bawah sana. Menjatuhkannya, membuatnya berakhir di bawah tumit Letta. Jemarinya mulai membelai ganas, menekan titik sensitifnya, membangkitkan sensitivitas Letta. Kedua mata Letta terpejam rapat, saat tangan pria itu bergerak menurunkan penghalang di bawah tubuhnya sendiri, Letta tidak menyadari hal itu. Tapi saat matanya kembali terbuka dan merasakan sesuatu yang keras menekan bagian bawahnya, kewarasan kembali mengambil alih Letta.
Letta menggeleng panik, berusaha mendorong pria ini. Tapi pria itu terus menekan tubuhnya ke dinding, bibirnya masih dikuasai penuh olehnya. Kedua tangannya masih dicengkram kuat dan pria itu berdiri kokoh menekannya.

Tidak, tidak. Ini tidak boleh terjadi, batin Letta berteriak penuh waspada. Sudah cukup pria ini memperlakukan hina dirinya tiga tahun lalu, tidak akan ia biarkan untuk saat ini. Saat dimana dia begitu membenci pria ini dan menginginkan kehancurkan si berengsek ini.

Letta menolehkan wajahnya ke samping, menjauhkan kenyal tipis miliknya dari jangkauan mulut pria itu. Dia menghirup udara sebanyak mungkin saat napasnya terengah oleh kabut gairah yang membakarnya. Pria itu masih tidak mau kalah, dia justru mengambil kesempatan itu untuk mengangkat satu kaki Letta, menarik dan menahannya di pinggangnya.

Letta semakin panik. "Berhenti, sialan. Berhenti!" teriak Letta, tapi sesaat setelahnya matanya terbelalak merasakan benda padat itu memenuhi dirinya. Di bawah sana dengan tekanan keras dan dalam tampak memberi gesekan di titik terjauhnya. Seluruh kewarasan Letta menghilang, tubunya kaku dan menegang.

Berengsek, pria itu tidak bisa melakukan ini kepadanya lagi. Terlebih setelah tiga tahun lamanya Letta tidak pernah melakukannya. Dan pertama kalinya Letta kembali merasakan hal ini. Dan sialnya pria itu bukan hanya menjadi yang pertama saat di tiga tahun lalu, namun menjadi yang pertama di tiga tahun setelahnya. Sial.

Pria itu sudah membenamkan diri sepenuhnya pada titik sensitifnya, seketika sengatan rasa perih itu menguasai diri Letta. Air mata perlahan tanpa dikomando jatuh mengalir mengikuti rasa sakit hatinya yang kembali ia dapatkan dari pria ini. Letta tidak bisa menahan air matanya yang memang sudah siap tumpah sejak pertama kali ia melihat pria ini. Letta lagi-lagi merasa direndahkan. Tidak kuasa menghalangi pria itu untuk tidak kembali merendahkan harga dirinya, sama seperti dulu.

Pria berengsek..

Fano membatu untuk sesaat, tubuh pria itu kaku di depannya. Terasa kebas tanpa aliran darah. Seperti baru sadar dari apa yang dilakukannya, ia menatap Letta dengan wajah menegang.

"Aku ---"

Plakk..

Letta melayangkan tamparan ke wajah Fano dengan keras, hingga wajah Fano terlempar ke samping. Napas Letta terengah saling bersautan, antara menahan sakit, marah dan dendam. Dendam pada perbuatan pria ini, juga dendam pada rasa sakit hatinya yang pernah terjadi di masa lalu mereka.

Perlahan Fano kembali menatap Letta, tatapannya memancarkan rasa bersalah. Kemarahan membuatnya buta, sehingga dia tidak bisa menahan diri untuk tidak lagi memperlakukan wanita yang dicintainya seperti dulu. Ini semua karena dia terlalu marah pada sikap Letta. Fano marah karena Letta secara terang-terangan bercumbu di depan matanya dengan pria lain. Dan dia marah ketika melihat Letta bersama pria lain di dalam kamar hotel. Cemburu, rasa tidak rela membangkitkan kemarahannya. Sudah dibilang dia bukan orang yang sabaran.

Lebih dari itu Fano tidak menyangka kalau gadis yang dulunya polos akan berubah menjadi seliar ini, Fano tidak bisa membayangkan bagaimana Letta bersama pria lain saling membagi sentuhan dan serangan intim satu sama lain. Membayangkan hal buruk kalau Letta berhubungan dengan banyak lelaki membuat Fano marah dan kembali lepas kendali. Sehingga yang ada di kepalanya hanyalah menghapus segala jejak sentuhan pria lain di tubuh wanita yang dicintainya. Termasuk melakukan ini, kembali melecehkan wanitanya. Tapi ketika dia merasakan pusat pribadi Letta begitu sulit dijangkau, seakan tak pernah tersentuh sekian lama. Fano merasa menyesal melakukannya.

Mereka masih menyatu. Fano menatapnya dengan raut bersalah, dia mengangkat tanganya ingin menyentuh wajah Letta yang basah oleh tangisannya.

"Maaf---"

Plak...

Lagi Letta menamparnya, kemudian mendorongnya menjauh sehingga penyatuan itu terlepas. Kini, tatapan Letta berubah tajam. "Kamu sadar kalau perbuatanmu barusan sudah dianggap sebagai pemerkosaan," tatapan Letta tanpa ekspresi, dia kembali menguasai dirinya. Berpura-pura menjadi orang lain yang tidak mengenali Fano.

Fano membetulkan kembali kain bagian bawahnya yang sempat terongok di bawah sana, lalu memandang Letta dalam diam, dia tidak tahu ingin berkata apa? lidahnya terasa kelu, lebih dari itu Fano rasa bersalah menikam jantungnya. Sehingga dia memutuskan untuk bungkam. Tapi netra hitam Fano terlihat memancarkan kerinduan yang nyata untuk sosok di depannya.

Letta muak melihat Fano. "Saya bisa saja melaporkanmu atas tindakanmu barusan." Letta membuang muka dari Fano, memilih membungkukkan badannya untuk membetulkan kain tipis yang diturunkan oleh Fano tadi. "Tapi sayangnya saya masih punya malu untuk tidak melaporkanmu." Cetus Letta dengan nada dingin.

"Letta---"

Letta mengambil tasnya dengan cepat, menarik napasnya dan mengumpulkan sisa-sisa harga dirinya yang dihancurkan oleh pria itu lagi. Ia melangkah dengan langkah goyah menuju pintu keluar, mengabaikan Fano yang ingin berbicara dengannya. Lalu tanpa berniat berbalik lagi, Letta melangkah pasti meninggalkan Fano sendiri di dalam kamar hotel itu.

Daerah pribadinya terasa perih, tapi Letta mengabaikannya. Perbuatan Fano membuktikan seperti apa pandangannya di mata pria itu yang sebenarnya. Pelacur dan perempuan murahan. Bukankah Fano sendiri yang mengatakan itu kepadanya dulu. Kalau dia murahan dan pelacur, seharusnya Letta tidak perlu menangis setelah tiga tahun masa-masa rapuhnya terlewati, terlebih lagi di depan pria itu. Dia sudah bangkit, tumbuh dan berdiri tegak menjadi perempuan yang lebih kuat. Bukankah dia sudah mengubah dirinya menjadi apa yang Fano katakan tentangnya dulu. Letta sendiri sudah bertekat untuk membuat pria itu menilainya seperti itu, tapi tetap saja hati yang sudah rapuh bertahun-tahun itu kini kembali hancur berkeping-keping. Ada sesuatu di dalam hatinya yang masih saja merasa sakit kala pria itu menganggapnya rendah.

****

"Mba ke mana saja, aku nyariin Mba dari tadi?" Shopi bertanya saat Letta berada di lobby hotel menuju pintu keluar. Wajah bosnya itu terlihat tidak baik-baik saja. Ada gurat kerapuhan di dalamnya. Tapi perlahan wajah rapuh itu tergantikan kembali oleh wajah kesal saat matanya menatap Shopi.

"Banyak tanya, ayo balik!" Letta merasa malas kalau harus menjawab pertanyaan Shopi, dia tidak mungkin mengatakan kalau dia baru saja habis dilecehkan oleh pria itu. Bisa syok nanti si cupu ini.

Shopi mengikutinya, berjalan di samping Letta. "Tadi mama, Mba, nelponin aku terus, Mba." Shopi memberitahu saat mereka sudah di parkiran, hendak masuk ke dalam mobil.

Letta membuka pintu mobil bagian penumpang, lalu melirik malas pada Shopi. "Terus lo nggak bilang yang macam-macam ke Mama gue, kan?" tanyanya ketus.

Shopi menggeleng, "Nggak, Mba, aku cuma bilang kalau Mba lagi sama teman Mba," Shopi membuka pintu mobil bagian depan, meski cupu dan culun. Kemampuan menyetir Shopi tidak perlu diragukan lagi.

"Hmm, bagus." Letta menjawab dingin, lalu masuk ke dalam mobil dan duduk dengan tenang. Tenang sebelum si cupu di sebelahnya kembali mengajukan pertanyaan.

"Tapi Mba, sebenarnya tadi Mba dari mana si, Mba?" Shopi menatapnya lekat. Kentara sekali rasa khawatir di wajah asistennya itu.

"Urusan gue mau ke mana, bukan urusan lo. Lo mending diam aja deh jangan banyak tanya, gue gajih lo bukan buat ngurusin hidup gue." Letta menjawab ketus. Pertemuannya dengan pria itu sudah membuat moodnya buruk dan sekarang si cupu ini malah menambah daftar kekesalannya.

Shopi menunduk. "Maaf, Mba, aku cuma khawatir aja sama, Mba. Aku takut Mba kenapa-kenapa tadi," ujar Shopi terdengar peduli.

Letta terkekeh pongah. "Sis, kalau lo lupa, gue lebih kuat dari lo, jadi nggak akan ada keburukan apapun yang berani mendekati gue." Letta membuka dasboard, mengambil aerofon, lalu memasangnya pada telinganya.

Shopi menghela napasnya. "Tapi mama Mba juga pasti khawatir sama Mba."

"Gue bukan anak kecil."

"Tapi Mba---"

"Berisik lo ya, lebih baik lo jalankan mobil ini sebelum lo gue lempar keluar dari mobil gue." Letta mengancam, menatap sinis pada Shopi. "Gue lebih suka lo diam dari pada banyak nanya, ngerti lo."

Shopi akhirnya diam, ia tidak berani bertanya apapun lagi, dari pada dia beneran di lempar keluar dari dalam mobil, bahaya. Akan pulang dengan apa dia nanti? dia tidak meragukan ancaman bosnya, Shopi tahu itu serius, mengetahui bagaimana kejamnya bosnya itu. Jika bukan Shopi mungkin tidak akan ada yang betah kerja dengan gadis kejam ini.
Nyatanya Shopi betah, karena dia menganggap kalau sebenarnya hati bosnya tidak sekejam yang orang-orang lihat. Entah kenapa Shopi merasa kalau bosnya sebenarnya adalah orang yang baik. Hanya saja mungkin dia tidak begitu mengenal bagaimana sosok bosnya.

Shopi melajukan mobilnya meninggalkan pelataran hotel. Letta memutar musik sekencang mungkin, dia sudah bersandar dengan posisi bangku yang ia buat rendah, dan mata Letta sudah terpejam.

Saat mobil sudah melaju keluar dari halaman hotel. Fano baru turun, dia ingin mengejar mobil Letta, tapi kalah cepat karena mobil itu sudah menjauh. Hingga ia hanya dapat menatap mobil yang menjauh itu dalam diam, tidak bergerak di tempatnya dan menatapnya kosong.

Sepanjang di dalam kamar hotel tadi dia banyak merenungkan segala hal tentang wanitanya. Segala hal yang sudah terlewatkan selama tiga tahun ini dan segala hal yang ia sesali dalam hidupnya.

"Jadi saya pikir kamu tidak akan mau tidur dengan perempuan murahan seperti saya. Karena laki-laki berkelas sepertimu tidak mungkin tidur dengan pelacur seperti saya."

Dia tahu itu adalah kalimat sindiran untuk dirinya sendiri. Fano merenungkannya, merasa sesak saat wanitanya mengatakan kalimat tak pantas itu, kalimat yang pernah dia katakan dulu pada wanita yang dicintainya. Dia tidak pernah menyangka kalau apa yang pernah dikatakannya pada Letta melukai hati wanita yang dicintainya begitu dalam. Hingga membuat wanitanya berubah total menjadi monster yang mengerikan. Layaknya perempuan murahan dan pelacur sungguhan.

Fano merasa bersalah, dia rasanya ingin membunuh dirinya sendiri.

Pranggg..

Tapi alih-alih membunuh dirinya, dia malah meninju cermin rias yang berada di depannya. Bahkan tonjokan tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan luka hati wanitanya. Sehingga ia memilih menghukum dirinya dengan melukai jarinya dengan meninju cermin itu, tidak peduli kaca rias itu milik hotel ini. Darah bercucuran disela-sela jarinya. Jangan ditanya seberapa sakit luka dari pecahan kaca itu. Ini sakit, bahkan teramat sakit, tapi Fano tidak merasakan sakit pada jarinya. Justru hatinyalah yang teramat sakit. Dia membenci dirinya. Dia menyesal, andai saja dia bisa menarik ucapannya tiga tahun lalu, mungkin wanitanya tidak akan menjadi seperti sekarang.

"Arghhhhhhh...." Fano berteriak frustasi di dalam kamar hotel saat darah terus mengalir dari sela-sela jemarinya yang terluka, tapi ia tak berniat membersihkannya, membiarkannya saja sambil meremas kuat rambutnya. "Maaf, maafkan aku," kemudian berlari keluar kamar hotel untuk mengejar Letta dan memohon maaf atas segala keburukan yang pernah dia torehkan pada diri wanitanya.

"Fan," bahunya ditepuk dari samping oleh seseorang, tapi dia tidak menoleh, masih menatap kosong ke depan, tempat di mana mobil wanita yang dicintainya menghilang. "Kita akan mencobanya lagi, kita hanya perlu berusaha keras."

Fano tidakmenanggapi, hanya diam dengan perkataan orang di sampingnya. Orang itu menatapluka di tangan Fano, melihat darah yang menetes kian banyak, dia menghelanapasnya. Merasa sedih dan bersalah setelahnya, ini semua salahnya, dia jugaikut andil dalam kerapuhan Fano.



🌿🌿🌿

To be continues ..
Selasa, 11 juni 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro