a good purpose||6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Perempuan murahan."

Letta memejamkan mata ketika suara itu muncul di dalam ingatannya, dia menggeleng, menutup telinganya serapat mungkin untuk menulikan pendengarannya. Tapi semakin ia menulikan telingannya, suara itu justru semakin didengarnya.

"Tidak ada perempuan yang mau disentuh oleh pria lain kecuali jika dia memang seorang pelacur."

"Lo bahkan bukan hanya menikmati disentuh sama gue tapi dengannya pun lo juga menikmatinya. Sebutan apa yang pantas buat lo selain pelacur."

Suara itu mengaung saling bersautan di telinga Letta. Membuat hati yang sejak tadi
berpura-pura kuat, saat di depan orang lain dan di depan pria itu kembali mengeluaran sesak yang bermunculan. Secara bersamaan kenangan masa lalu dan luka itu kembali hadir. Mata Letta mengerjap berkali-kali berusaha menghentikan tangisannya, tapi karena luka tidak sanggup ditutupinya lagi, tangisnya justru pecah.

Shopi tertegun melihat Letta tahu-tahu menangis. "Mba." Shopi memelankan laju kendaraanya untuk memindai atensinya pada bosnya. "Mba kenapa? Mba baik-baik saja?" tanyanya khawatir. Shopi bisa merasakan kalau sebenarnya ada yang tidak beres dengan bosnya itu, saat keluar dari hotel Shopi bahkan sudah dapat merasakannya. Tapi dia yang tahu diri, memilih diam saja dan tidak bertanya. Dari pada terkena omelan Shopi memilih mencari aman.

Letta tidak meresponnya, pikiran perempuan itu tidak sedang pada tempatnya? karena saat Shopi kembali melihat air mata lagi-lagi mengalir dari sudut mata Letta, dan saat Shopi bertanya lagi, Letta masih saja melamun sampai Shopi memilih menepuk bahu Letta barulah bosnya itu sadar.

Letta menghapus air matanya. Tidak sadar kalau ia menangis, kemudian menoleh pada Shopi. "Kenapa?" wajah itu kembali tertata dingin.

Shopi sudah terbiasa dengan tatapan itu, sehingga dia tidak merasa tersinggung karena dipandang tidak bersahabat oleh bosnya. Shopi diam memikirkan tentang sikap bosnya. Haruskah dia bertanya? melihat bagaimana wajah dingin itu menatapnya. Shopi masih diam, dia mendadak ragu ingin bertanya. Shopi ingin mengurungkan pertanyaannya. Tapi, rasa pedulinya pada Letta membuat Shopi akhirnya memilih bertanya.

"Mba baik-baik aja, kan?" tanyanya akhirnya, sambil menambah kecepatan stir kemudinya.

Letta menyipitkan matanya, menatap sinis Shopi saat mendapat pertanyaan itu. "Tutup mulut lo dan gue harap lo buang jauh-jauh rasa penasaran lo tentang gue." Letta memperingati, tahu betul kalau dia baru saja melakukan kesalahan dengan membuat kacung di sebelahnya mengetahui titik kelemahannya.

Namun alih-alih menutup mulutnya, Shopi menggeleng. "Mba tahu betul kalau saya peduli sama Mba." Shopi tahu kalau seharusnya dia tidak melanjutkan rasa pedulinya pada Letta saat dia sendiri tahu bagaimana bosnya tidak membutuhkan hal itu. "Aku sudah pernah bilang, kalau Mba tidak sendiri, Mba bisa mempercayakan aku sebagai teman Mba untuk berbagi. Setidaknya Mba bisa membagi keluh kesah Mba sama aku, mungkin saja dengan begitu beban Mba sedikit --- "

Letta mengubah posisinya, menghadap Shopi. "Teman?" tanyanya sinis memotong ucapan Shopi. Bukannya merasa terharu atas kepedulian Shopi, Letta malah memandang jengah. "Mana ada majikan berteman sama babunya sendiri?" sarkasme Letta dengan tawa meremehkannya, hilang sudah Letta yang terlihat lemah beberapa saat lalu, kini sikapnya kembali menyebalkan.

Letta mengambil ikat rambut di dalam tas kecilnya, mengikat asal rambutnya. Dan raut sinis masih ia berikan pada Shopi. "Seharusnya lo tahu diri dong, gue mana mau berteman sama babu." Lalu kembali pada posisi semula, bersandar dengan kaki yang ia lipat. "Tidak ada sejarahnya majikan berteman sama pembantu," tambahnya tanpa mengurangi nada pedas di dalamnya.

Apakah Shopi sakit hati dengan ucapan itu? tentu saja, tapi semakin terbiasa dengan mulut pedas itu Shopi lama-lama kebal juga. Jadi alih-alih tersinggung Shopi memilih membalas kalimat pedas itu dengan senyumannya. "Aku tahu sebenarnya Mba itu orang baik."

Letta mendengus, tapi Shopi tetap sekuat batu karang, tidak mudah terhempas oleh kerasnya air laut atau istilah lainnya oleh keburukan dan ketajaman mulut Letta. "Mba tidak seburuk ucapan Mba, aku merasa kalau Mba sebenarnya tidak bermaksud kasar sama aku," ujarnya tetap sabar menghadapi Letta.

Namun hal itu membuat Letta mengepalkan kedua tangannya, wajahnya semakin menatap sinis. "Omong kosong." Letta tidak suka jika Shopi sudah berbicara melantur seperti ini. "Tahu apa lo tentang gue? lo bahkan cuma kacung yang nggak tahu secuil pun tentang hidup gue." Sinis Letta. Kesoktahuan Shopi membangun rasa tidak sukanya.

"Berhenti sok tahu tentang hidup gue kalau lo masih mau kerja sama gue." Letta memperingati Shopi sambil mengatur posisi duduknya untuk berbaring. "Karena kalau sekali lagi lo masih mencampuri urusan gue dan bersikap sok tahu, gue nggak akan segan-segan buat mecat lo tanpa pesangon." Letta memejamkan matanya setelah mengatakan itu. Ia kembali pada pikirannya, mulai mengabaikan Shopi.

Shopi diam, tidak lagi berkata apa-apa. Jika bosnya sudah mengatakan itu. Bagaimana juga bosnya tidak pernah main-main dengan ucapannya, memecat dirinya. Bisa saja bosnya melakukan itu kapan pun dia mau. Shopi tidak siap kalau dipecat. Nanti bagaimana dia harus menanggung beban hidup keluarganya sementara hanya ini pekerjaan satu-satunya yang ia miliki. Seringkali berpikir begitu tapi Shopi tetap saja akan selalu mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak pernah berhenti bersikap peduli pada Letta meski rasa pedulinya tidak pernah sekalipun dianggap.

****

Tidak ada ringisan sama sekali yang keluar dari mulut Fano saat luka pada tangannya dibersihkan oleh perempuan di depannya. Padahal luka itu begitu parah dan dalam sampai hampir menembus tulang-tulang jari-jemarinya, yang membersihkan lukanya saja sampai ngilu melihatnya. Bayangkan saja ketika tanganmu meninju cermin dan serpihan itu menempel di kepalan tanganmu yang berdarah, seharusnya itu terasa sakit untuk Fano. Wajah itu justru tetap tertata datar dan dingin.

"Semua salahku, maaf. Maaf atas semua yang sudah aku lakukan pada hubungan kalian. Aku menyesal, Fan," ujar perempuan itu, merasa bersalah.

Fano hanya memandangnya datar, tidak sedikit pun mendengar perkataan perempuan yang sedang membalut lukanya itu. Karena diatas rasa sesal perempuan itu, dirinyalah yang jauh lebih menyesal dari segala hal yang pernah disesalinya di dunia ini.

"Andai saja aku dan Nara tidak melakukan itu, mungkin kamu dan dia masih bersama," ucapnya lagi mengeluarkan nada sesal yang tidak lagi berarti apapun. Karena semua sudah terjadi.

Meski begitu memang benar, jika saja dia juga tidak ikut andil dalam mempercayai kebohongan perempuan di depannya dan satu hal lagi, Fano bahkan malas menyebut nama perempuan itu. Ia tidak akan melukai hati wanitanya dengan semua ucapan kasarnya dulu hingga membuat wanitanya berubah total seperti ini. Jangan ditanya seberapa terlukanya Fano melihat Letta menjadi seliar itu. Fano tidak percaya kalau Letta yang polos dan lugu menjadi yang tidak ia kenali. Semua memang karenanya, dan Fano menyesali segalanya.

Perempuan itu membersihkan luka Fano dengan kapas yang sudah ia celupkan betadin. Sementara atensinya masih menatap iba pada Fano, melihat wajah terluka Fano menimbulkan rasa sesalnya semakin dalam. "Aku akan membantumu untuk menjelaskan kepadanya ---"

Fano menggeleng, memotong ucapan perempuan itu. "Tidak perlu, cukup dalam batasanmu dan jangan ikut campur pada urusanku lagi." Fano menjauhkan tangannya yang sedang diperban, lalu beranjak dari sofa, untuk menjauhi perempuan itu. "Aku memaafkanmu bukan berarti kamu boleh mendekati dia, jauhi dia dan jangan coba-coba melakukan apa yang tidak aku inginkan." Tekannya, memberikan peringatan, tanpa menatap lawan bicaranya. Semua sudah berlalu, bantuan perempuan itu juga tidak akan mengubah keadaan yang sudah mereka buat berantakan.

"Tapi aku cuma mau membantumu, please, Fan. Kamu tidak tahu betapa menyesalnya aku karena sudah membuat dia meninggalkanmu." Dia menatap Fano dengan ekspresi kalut.

Fano diam, wajah pria itu sama kalutnya. Fano menatap jendela besar di depannya. Lukanya sudah diperban dan dia berdiri di sana tanpa sepatah kata pun, pria itu sibuk dengan pikirannya untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia menoleh kembali dan menatap datar perempuan itu.

"Kamu tidak ingat pertemuanmu yang terakhir kalinya dengan dia, di mana kamu berujung direndahkan, apa yang kamu dapatkan, Shesil? kamu bahkan tidak bisa berbuat apa-apa." Dengus Fano sinis. "Apa dia mau mendengarkan perkataanmu?" tambahnya, mengingatkan Shesil.

Shesil terdiam, lalu menggeleng putus asa.

Fano mengantongkan satu tangannya di balik saku celananya, dan kembali mengalihkan atensinya pada jendela kamar hotel dan pandangannya tampak menerawang ke depan. "Dia sudah bukan orang yang sama seperti dulu lagi, kamu bahkan tahu apa yang bisa dia lakukan padamu." Fano memperingati.

Fano tahu apa yang akan terjadi jika Shesil sampai menemui wanitanya, dia jelas tahu detail segala hal tentang Letta selama satu tahun belakangan ini dari orang suruhannya. "Jadi jangan mencari masalah apa pun dengannya jika kamu tidak ingin menyesal." Peringatnya yang terakhir.

Shesil mematung, merenungi segala ucapan Fano, dan memang benar apa yang dikatakan Fano Shesil bahkan sudah merasakan kemarahan Letta. Bagaimana perempuan itu membalikan keadaan dalam satu kedipan mata. Dia yang pernah menganggap sampah, saat ini dianggap sampah oleh Letta. Tapi Shesil tidak bisa diam saja, sebagai orang yang memiliki balas budi pada Fano, dia ingin melakukan satu hal untuk Fano. Setidaknya sesuatu yang dapat memperbaiki kesalahannya di masa lalu, dan mengembalikan cinta Fano.

***

Ketika mobil yang dikendarai Shopi tiba di garasi rumah, Letta tidak membuang waktu lebih lama lagi di dalam mobil. Dia memilih keluar cepat dan berjalan masuk ke dalam meninggalkan Shopi yang masih berdiri di dekat mobil. Mencari keberadaan mamanya dan melihat wanita yang disayanginya sedang menonton televisi di ruang tamu. Letta melangkah cepat ke Mamanya. Lalu menubrukan diri memeluk wanita itu. Tangis yang sejak tadi ditahannya runtuh sudah. Letta menangis terisak di dalam pelukan Mona.

Mona terkejut dengan pelukan tiba-tiba Letta, namun tak ayal dia membalasnya. "Nak." Mona hendak melepaskan pelukannya, namun Letta mengencangkan dekapannya, dan terus menumpahkan tangisannya.

Mona mengusap punggung Letta. Rasa khawatir ia rasakan. "Sttt, apa yang terjadi, kenapa kamu menangis, Nak?" Letta diam, tidak mampu menjawab. Sesak dan sakit yang ia rasakan membuatnya kesulitan menjawab pertanyaan mamanya.

Mona mengecup kepala Letta penuh sayang. Mona merasa bahagia saat Tuhan mempertemukannya dengan Letta, membuat dirinya yang tidak pernah merasakan memiliki anak dapat merasakan menjadi seorang ibu untuk gadis rapuh ini. Mona begitu menyayangi Letta dan merasa khawatir saat melihat Letta kembali menangis. Sejak tadi dia memikirkan Letta karena putrinya tak kunjung pulang, apalagi saat Shopi di telpon pun hanya mengatakan kalau Letta sedang bersama temannya, Mona merasa tidak tenang kalau belum melihat Letta pulang. Pikirannya terus memikirkan Letta, selalu mengkhawatirkan Letta. Dan saat melihat Letta menangis, Mona tahu kalau ada yang tidak beres yang terjadi pada Letta.

Letta masih setia dalam tangisannya, tubuhnya bergetar, sesak membuat napasnya memburu. "Aku .. aku bertemu dengannya, Ma. Aku bertemu dengannya," gumamnya, dengan rasa sesak yang bercokol di dalam dadanya.

Mona mulai paham, dia tahu maksud kalimat Letta. Mencoba memberikan ketenangan pada Letta, Mona mengeratkan pelukannya. "Semua akan baik-baik saja. Percaya sama Mama. Mama yakin kamu bisa mengatasi semuanya dengan baik." Mona melepaskan pelukannya, menatap wajah Letta yang penuh kerapuhan di dalamnya.

"Mama tahu kamu sudah bangkit. Mama percaya kamu bisa menjadi apa yang tidak kamu bayangkan dulu, kamu yang sekarang kuat, kamu bukan kamu yang dulu lagi." Mona mengingatkan.

Letta menunduk, air mata masih mengalir karena kerapuhannya. Dia diam-diam membenarkan ucapan Mona. Mencoba menekan titik terkuat di dalam dirinya, Letta mulai memberikan sugesti kalau dia memang bukan dia yang dulu.

"Kamu butuh istirahat. Mama antar ke kamar." Mona beranjak, merangkul Letta dan mengiringnya menuju kamar. Saat di dalam kamar Letta, Mona membantu membaringkan putrinya di tempat tidur. "Sekarang kamu tidur. Mama yakin bangun nanti kamu akan kembali menjadi kamu yang kuat." Letta mengangguk, Mona merasa sedih melihat tatapan kosong penuh luka dari wajah putri angkatnya.

Mona menunduk, mencium kening Letta sebelum akhirnya beranjak keluar kamar, meninggalkan Letta untuk istirahat.

Letta mencoba memejamkan matanya, mamanya benar dia butuh tidur. Tidak lama kemudian matanya tertutup rapat dan kesadaran mulai mengambil alihnya. Menarik dirinya dari kenyataan dan membawa dirinya masuk lebih dalam lagi pada mimpi-mimpinya.

Ketika mimpi buruk itu datang keringat mengalir deras di sepanjang kening dan lehernya, tubunya bergerak gelisah. Matanya yang terpejam, menggumamkan kalimat 'jangan' berulang kali. Kepala dan tubuhnya bergerak ketakutan saat sekelebat mimpi buruk itu mengambil alih bawah sadar Letta.

"Jangan kumohon!"

Letta menjerit di dalam tidurnya, keringat dingin makin kian membanjiri tubuhnya, sementara tangannya terkepal kencang dan kakinya menendang-nendang tak tentu arah.

"MENJAUH. JANGAN SENTUH AKU."

Di dalam alam bawah sadarnya, kedua tangannya dipegang kuat oleh kedua pria di samping kiri dan kanannya sementara satu pria di depannya mulai menyentuh tubuhnya dan gelak tawa dari ketiga pria itu menggelengar di balik ruko bangunan yang sepi.

Letta meronta, berusaha melawan ketiga pria itu meski ia tahu semuanya hanya akan sia-sia saja. Karena tenaga perempuan tak ada bandingannya dengan tenaga laki-laki yang lebih kuat.

"JANGAN SENTUH AKU, JANGAN!" Letta menjerit panik penuh ketakutan, tapi kalimat dan ketakutannya hanya dianggap angin lalu oleh mereka bertiga. Dia menarik pakaian Letta, membuat Letta semakin panik dan ketakutan saat area pribadinya disentuh kasar oleh lelaki di depannya. Laju darah Letta bergerak cepat, ia histeris dan menangis ketakutan.

"Berhenti, Berhenti kumohon! Jangan, jangan sentuh aku!" saat tangan-tangan kotor itu menurunkan penutup bagian bawahnya Letta semakin histeris. Ketakutan tidak dapat dikontrolnya lagi.

"Kumohon menjauh, jangan sentuh aku! TIDAK!!"

Mata terpejamnya terbuka lebar saat mimpi itu membangunkannya, Letta terduduk spontan dan napasnya memburu hebat. Matanya memanas dan dalam sekejap laju air mata kembali mengalir dari netra hazel-nya.

"Semua sudah berlalu, Letta, semua sudah berlalu." Letta meremas rambutnya yang basah oleh keringat, mencoba menenangkan dirinya sendiri, tatapannya berubah kosong. Wajahnya sepucat mayat. Seperti tidak dialiri darah. Letta memeluk kedua lututnya, tubuhnya bergetar hebat.

"Semua hanya mimpi, hanya mimpi." Ia menutup telinganya sambil memberikan keyakinan penuh pada dirinya kalau semua hanya mimpi. Mimpi buruknya. Napasnya masih memburu, setitik air mata masih terus mengalir. Hati dan pikirannya belum merasa baik saat mimpi buruk itu kembali menghantuinya.

"Semua sudah berakhir, sudah berakhir. Mereka sudah mendapatkan balasan yang setimpal." Tangisnya semakin pecah, sesak membuat dadanya kembang kempis. Pikirannya bercabang, mencoba mengalihkannya namun semakin sulit ketika bayangan itu semakin masuk ke dalam ingatannya.

"Ayolah, Sayang kamu hanya perlu menikmatinya saja. Biar kami yang akan bekerja keras memuaskanmu."

Jijik, Letta merasa jijik ketika suara-suara itu mengalun mengerikan di dalam kepalanya. Ia menggelengkan kepalanya berusaha membuang suara-suara menjijikan itu dari dalam telingannya.

"Di sini tidak akan ada yang menolongmu, jadi kamu tidak memiliki pilihan lain selain menikmatinya."

Letta memeluk tubuh bergetarnya erat-erat, matanya terpejam dan kepalanya menggeleng berulang-ulang. "Tidak, tidak, tidak." Bibirnya pucat dan napasnya terengah. "Tidak ada lagi yang bisa mempermainkan aku, tidak ada." Ia bergumam lirih.

"Kamu sudah baik-baik saja, Sayang, tenanglah. Mereka akan merasakan apa yang kamu rasakan saat ini."

Saat tubuh bergetarnya dipeluk oleh Wanita paruh baya, kehangatan dan ketenangan mulai dapat mengendalikan guncangan tubuhnya yang histeris.

"Mereka akan merasakannya. Mama janji, Mama akan membantumu."

Letta mengangkat kepalanya, menatap sepasang mata teduh dari tatapan paruh baya yang telah menyelamatkan hidupnya dari orang-orang itu.

Senyum lembut wanita paruh baya itu terbit untuk Letta. "Kamu hanya perlu memanggilku Mama, Nak!" katanya. "Kamu akan menjadi anak Mama yang kuat. Kuat sampai tidak akan ada lagi yang berani mengusikmu."

Letta menatap kosong, tangisnya masih mengalir. "Mama akan membantumu melalui segalanya." Tapi perlahan ia mengangukkan kepalanya dan menerima pelukan paruh baya itu, Mona.

Letta beranjak, menghapus air matanya kasar, bayangan itu menghilang dari ingatannya. Perlahan kaki Letta beranjak ke arah laci, tangannya bergetar ketika membuka laci itu dan saat tangannya mengambil selembar benda berbentuk foto dengan gambar hitam putih di dalamnya, air matanya lagi-lagi luruh. Tangannya bergetar meraba lembar benda 3 dimensi itu. Air matanya tumpah berkali-kali. Perasaan sakit dan rindu ia rasakan, sesaat setelah bayangan dari mimpi buruknya itu mulai membuat kerapuhannya kembali hadir, kelemahan kembali menjadikan dirinya persis di tiga tahun lalu.

"Maaf, maafkan aku." Dia meraba foto tiga dimensi itu dengan perasaan sesak yang membuncah. Rasa kehilangan itu kembali Letta rasakan. "Maafkan aku karena tidak bisa mempertahankanmu."



🌿🌿🌿

To be continued...
Minggu, 28 april 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro