a good purpose||7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Katakan pada Mr. Aodhagan aku akan menarik seluruh sahamku jika dia tidak segera memutuskan hubungan dengannya," ucap Fano dengan mata tajamnya yang terlihat dingin, menatap pemandangan lalu lintas di kejauhan lewat jendela besar lantai tiga puluh dua kantornya. Tangannya yang berada di balik saku celananya tampak mengepal, rahangnya ikutan mengetat dan giginya bergemelatuk. Membayangkan wanitanya dekat-dekat dengan suami orang membuat kemarahan itu mencekik sel-sel sarafnya. Ini bukan lagi tentang kerja sama antara dia dan Mr. Aodhagan, tapi ini soal miliknya. Fano tidak suka saat miliknya ada yang mengusik.

"Baik, Pak!" pria di belakangnya mengiyakan perintah Fano.

"Dan satu hal lagi, Kris, kosongkan jadwalku siang ini. Aku ingin menemui dia!" perintah Fano.

Kris, sekertaris Fano kembali mengiyakan. Lalu Fano berbalik, menoleh pada Kris dan pria itu melirik arlojinya. "Bagaimana kunjungan dengan MR. Alex?" tanyanya, mengingat janji temu dengan klienya.

"Nanti malam, Pak, Mr. Alex sekalian mengajak anda makan malam bersama," jelas Kris, memberitahu.

Fano mengangguk, langsung meninggalkan ruangan, membiarkan Kris merapihkan map-map yang berserakan di atas meja kerjanya. Melangkah angkuh keluar dari ruangannya, wajah tanpa ekspresi yang selalu terlihat datar dengan aura dingin itu membuat para karyawannya hanya menunduk dan tak berani sekedar melempari sapaan pada Fano, sudah tidak heran lagi melihat tampang Fano. Fano memang tidak ramah, irit bicara dan jarang tersenyum pada semua karyawannya. Ada yang masih menyapanya, tapi Fano seringkali menanggapinya hanya dengan anggukan singkat tanpa basa-basi, lalu berjalan lurus ke elevator, masuk ke dalam dan langsung menekan tombol lantai basement. Tempat ia memarkirkan mobilnya.

Beberapa saat kemudian mobil mercedes banz yang Fano kendarai sudah melesat ke daerah Jakarta Barat, tempat yang akan ditujunya. Fano tidak tahu keputusannya menuruti keinginan Pak Prayoga dan Ibu Catty untuk datang membesuk putrinya apakah keputusan yang tepat atau tidak. Secara, dia merasa malas jika harus kembali menatap wajah perempuan itu.

Karena itu akan mengingatkan dirinya pada kejadian tiga tahun lalu. Kejadian di mana semua rasa bersalah dan penyesalannya bersumber pada perempuan itu. Tapi jika ia tidak menemuinya, Fano yakin Pak Prayoga dan Ibu Catty akan selalu mengganggu hidupnya dan Fano tidak suka itu.

Setengah jam berlalu saat mobil yang dikendarai Fano berhenti di RSJ. Dr. Soeharto Heerdjan dia mencari spac kosong untuk memarkirkan mobilnya. Lalu ketika mobilnya sudah terparkir Fano segera keluar dari dalam mobilnya. Mengantongi kunci mobilnya ke dalam saku celannya, wajah Fano menatap ke sekeliling tempat ini. Banyak suster dan perawat lainnya yang sedang bekerja.

Menghela napasnya sekali lagi Fano memilih melangkah masuk ke dalam agar urusannya cepat selesai. Jujur saja datang ke sini adalah bagian yang tidak ingin Fano lakukan. Berjalan ke bagian informasi, Fano bertanya pada seorang pria yang sedang berjaga. Menyebut nama seseorang singkat dan setelahnya pria penjaga itu mengerti, mulai mengatakan tujuan kedatangannya pada seorang suster yang melewati tempat itu. Fano akhirnya diantar oleh si suster.

Mereka berjalan di lorong rumah sakit jiwa, melewati orang-orang dengan jiwa dan mental yang rusak. Ada yang tertawa saat melihat Fano, seolah wajah Fano lucu. Ada juga yang berjoget dengan hebohnya seakan ia gila karena kecanduan dangdut, atau lebih parahnya lagi ada yang sedang main masak-masakan, padahal usianya sudah bukan waktunya bermain masak-masakan. Mungkin dia gila karena tidak bisa menjadi Chef, yang terakhir ada yang bermain boneka-bonekan sambil menyebut 'anakku' Fano memejamkan matanya sepintas di tengah langkah kakinya, tidak bisa membayangkan kalau tempat ini menjadi akhir dari tempat tinggal perempuan itu.

"Biasanya dia suka menyendiri di sini, Pak." Suster itu memberitahu. Fano mengangguk singkat. "Nah itu dia, Pak." Si suster menunjuk seorang perempuan yang sedang diberi makan oleh suster lain. Fano memperhatikannya dari sini. Perempuan itu sedang menatap kosong, tampak menggigit buku-buku jarinya, menggerakan tubuhnya ke sana-kemari dan mulutnya berkomat kamit. Fano tidak tahu haruskah ia merasa iba atau justru senang melihatnya. Melihat dia kemarahan masih bercokol di dalam dirinya.

Jujur saja Fano belum bisa melupakan segalanya. Melihat dia justru ingatannya di tiga tahun lalu kembali bersarang di ingatan Fano. Dan itu membuat Fano kembali menyesali segalanya. Menyesal karena dia pernah mengenal orang itu. Tapi marah pun tidak ada gunanya saat ini, karena semua sudah terjadi. Yang dapat Fano lakukan hanyalah menebus segalanya, memperbaiki segala hal yang sudah dirusaknya di tiga tahu lalu.

Fano menarik napas sedalam-dalamnya, menghembuskannya secara perlahan. Dia mencoba membuang segala gejolak batin di dalam dirinya, perasaan marah dan emosi yang sempat singgah. Ketika pikirannya sudah kembali tenang Fano melarikan atensinya pada suster yang sudah mengantarnya tadi. "Terima kasih, Sus. Saya akan menemuinya sebentar."

Si suster mengangguk. "Kalau begitu saya tinggal dulu ya, Pak. Jika ada apa-apa ada suster lain yang mengawasinya." Suster itu menunjuk pada temannya yang sedang memberi makan pasiennya, lalu berlalu setelah Fano memberikan anggukannya.

Fano menatap perempuan itu, lalu menghela napas sekali lagi dan dia mulai melangkah mendekati perempuan itu. Tubuh perempuan itu semakin hari semakin mengurus, matanya menghitam seperti mata panda, bibirnya kering dan terlihat pucat. Miris sekali melihat penampilannya. Fano berdiri di depannya, mensejajarkan diri untuk menatap wajahnya lebih dekat. Lalu tanganya terangkat, mengusap kepala perempuan itu.

"Nara, Aku datang untuk bertemu denganmu."

***

"Lo bawa dia ke belakang. Gue tunggu kalian di sana." Letta membuang puntung rokoknya, menginjaknya di lantai kantin, kemudian beranjak dari kursi yang dudukinya dan memakai kaca matanya dengan gaya angkuh.

Kedua temannya mengangguk. "Kali ini lo mau ngapain dia lagi emangnya, Tta?" mereka ikutan beranjak, Letta tidak memberikan jawaban atas pertanyaan temannya itu, dia hanya melempari senyuman sinisnya pada perempuan yang sedang duduk tidak jauh dari dirinya duduk.

"Gue rasa apapun itu, Letta tidak akan membiarkan musuhnya dapat bernapas bebas kali ini." Si rambut sebahu mengungkapkan isi kepalanya tentang Letta.

Temannya yang satu mengagguk. "Yupzz, lo tahu sendiri gimana si Letta." Dia membenarkan, menunjuk Letta yang sudah mengambil tas cannel miliknya yang tergeletak di atas meja. Letta hanya mengedikan bahunya tampak apatis.

"Gue tunggu. Jangan lama." Lalu melenggang cantik, meninggalkan kedua temannya yang juga beranjak ke tempat orang yang tadi ditunjuk Letta, menyeret orang itu langsung untuk keduanya bawa kehadapan Letta yang sudah gatal ingin kembali bermain-main.

Orang itu memberontak. "Lepaskan, kalian mau ngapain?" tanyannya takut-takut. Yang tidak dipedulikan oleh kedua teman Letta.

Letta sudah berjalan di koridor kampus. Langkah kakinya yang anggun selaras dengan penampilannya yang sederhana dengan semi dres simple berwarna biru muda tampak melekat di tubuh rampingnya. Letta cantik, dia begitu mengagumkan, nyaris tidak ada kecacatan yang terlihat di dalam diri perempuan itu. Uang benar-benar dapat merubah penampilan seseorang. Dia yang tadinya bukan apa-apa kini menjadi pusat perhatian. Baik yang laki-laki maupun perempuan menatap Letta dengan wajah berseri. Aura Letta begitu menakjubkan. Rambut panjang kecoklatannya yang jatuh sempurna dengan belahan poni yang jatuh menutupi dahinya, membuat Letta terlihat imut. Perfeck. Dia cantik dan sexy.

"Hai, Beb, kencan yuk nanti malam." Pria yang berpapasan dengan Letta menyapa genit.

Letta menanggapinya, dia tersenyum, mendekat pada telinga pria yang sekampus dengannya namun berbeda jurusan. "Boleh, Boy, lo atur aja waktu dan tempatnya," ujarnya dengan suara halusnya sambil mengigit cuping si pria, sengaja membangkitkan sensitivitasnya.

Saat melihat helaan napas berat si pria, Letta dapat merasakan kalau pria itu sudah tergoda olehnya. "Bye, Boy, sampai bertemu nanti malam." Letta melenggang begitu saja tanpa rasa bersalah, meninggalkan pria yang sudah menatap dirinya dengan tatapan penuh minat. Dasar lelaki baru digituin saja pikirannya sudah ke mana-mana. Sampah. Mereka seperti sampah buat Letta. Dan jangan pikir dia mau keluar dengan orang itu, tentu saja tidak.

Ada kepuasan tersendiri di dalam diri Letta karena berhasil menarik perhatian lawan jenisnya untuk tertuju padanya. Mendekat padanya, memuja dirinya dan tergila-gila padanya. Dunia telah menunjukan bagaimana ia adalah Arletta Sihasale. Dia adalah dia yang sekarang dan bukan dia yang dulu. Segala pemikiran itu harusnya sudah cukup menjadi bukti kekuatannya. Dia sudah bukan si yang lugu dan tertindas. Polos dan mudah dipermainkan. Letta yang sekarang adalah dia yang menindas dan yang mempermainkan.

Letta berbelok arah, melewati lapangan. Seni tari dan ruang seni musik. Banyak yang menyapanya, tak sedikit perempuan yang ingin berteman dengannya, berlomba-lomba mencari muka dengannya. Juga laki-laki yang mengangguminya, tapi Letta hanya membalasnya dengan senyum tipis, menyerupai senyuman sinis.

"Nanti siang hangout yuk, Tta. Ada brand baru nih, lo pasti suka deh. Banyak tas, sepatu sampai baju-baju import keluaran terbaru semua." Kali ini perempuan dengan penampilan semodis dirinya. Rambut di curly, dres yang Letta ketahui dibeli dengan harga tidak sedikit, cukup buat makan dirinya sebulan penuh. Itu saat dia masih semiskin dulu.

Letta menanggapinya dengan muka datar, melirik pada perempuan itu seolah berpikir. "Nanti siang ya?" ia bertanya, perempuan yang mencegat langkanya mengangguk.

"Sorry, Sis, siang nanti gue sudah ada janji," katanya, tersenyum tipis. Lalu kembali melenggang apatis tanpa menunggu jawaban teman sefakultasnya. Selalu seperti itu, Letta selalu bersikap angkuh seakan-akan dia yang sangat dibutuhkan sementara dia tidak membutuhkan teman.

Cukup mereka yang mengemis perteman kepadanya, tidak dirinya. Letta tahu bagaimana mereka dengan segala kenaifannya. Tahu apa yang mereka pikirkan, culas. Letta jamin jika bukan karena nama belakangnya saat ini mereka tentu tidak akan pernah sudi mengenal dirinya. Letta yakin itu, dia sudah mempelajari sikap dan psikologi manusia selama tiga tahun belakangan ini. Intinya bagi Letta di dunia ini tidak pernah ada manusia yang benar-benar tulus jika mereka tidak menginginkan sesuatu. Dalam hidup siapa yang dapat memberikan keuntungan itulah yang akan dijadikan teman. Itulah dirinya yang sekarang, Letta tidak membutuhkan teman kecuali mereka dapat memberikan keuntungan untuknya.

Drttt...

Drtttt...

Saat kaki jenjangnya berbelok ke arah gedung belakang yang sepi, kosong dan tak terpakai ponsel Letta bergetar. Letta mengambil ponselnya sambil berjalan, melirik pada layar ponsel miliknya, nama Shopi tertera di sana. Helaan napas jengah mulai berhembus dari mulut dan hidungnya. Dia lagi, jengah Letta.

"Hemm." Lerta menyahut singkat saat dengan terpaksa ia harus mengangkat panggilan Shopi.

"Mba." Shopi di sebrang sana memanggilnya, lalu terdiam seolah sedang berpikir dan itu membuat Letta semakin jengah.

"Kalau tidak ada hal yang penting yang mau lo bicarakan, mending lo matiin telponnya." Tekan Letta. "Lo buang-buang waktu gue, Tai." Sungutnya, kesal.

"Maaf, Mba. Aku ... aku cuma mau izin sama, Mba, kalau hari ini aku nggak bisa masuk."

Letta tahu bagaimana gadis di sebrang sana merasa takut dengannya, mau izin saja segala susah ngomong. Dan kalau sudah begitu Letta benci dengan tingkah Shopi, asistennya itu terlalu lemah.

Letta mengeram. "Lo cuma mau bilang itu, Shopi?" dia menekan kalimatnya kembali.

Shopi di sebrang sana merasa gugup. "Iy.. iya Mba, Adikku sakitnya kambuh lagi dan harus segera di bawa ke rumah sakit, Mba." Tapi dia memberitahukan alasannya juga setelah menahan ketakutannya.

Letta menghela napas. "Terserah lo, mobil gue bawa aja jangan dianter ke rumah."

"Tapi, Mba --- "

Tutt....

Letta segera mengakhiri sambungan telponnya. Tak ingin mendengar bantahan Shopi. Dia tahu bagaimana Shopi akan menolak membawa mobilnya, merasa gerah jika Shopi sudah begitu. Memang perempuan itu tidak berpikir kalau dia juga sedang butuh mobilnya untuk membawa adiknya ke rumah sakit.

Letta memasukan ponselnya kembali ke dalam tasnya. Lalu berdiri angkuh di dekat ruangan kosong dan berdebu itu, bekas ruangan olahraga yang sudah tidak terpakai. Dia menunggu kedua temannya, rasanya sudah gerah dan tangannya sudah gatal ingin bermain-main.

"Lepaskan aku, kalian mau ngapain bawa aku ke sini?" teriak suara yang Letta dengar.

Letta menyeringai, suara permohonan itu membuat tawa senang meluncur dari bibirnya. Bukankah ini persis seperti dirinya dulu?

Kedua teman Letta, menyeret orang itu mendekat pada Letta, mendorong perempuan itu dan Letta mulai melipat kedua tangannya. "Lo takut." Sinis Letta pada orang itu, orang itu menundukan kepalanya, Letta mengangkat dagunya, menyuruhnya menatapnya. "Nggak usah takut, Sista, gue cuma mau main-main sebentar sama lo." Letta menyeringai.

Kedua temannya ikutan menyeringai, seringaian sinis yang mengerikan. Melihat ketakutan perempuan itu menjadikan kesenangan tersendiri bagi mereka.

Letta mencengkraman dagu orang itu. Lalu tersenyum. "Lo mau, kan, main sama gue, sista?" lalu melepaskan cengkramannya dengan kasar.

Orang itu menggeleng, "Maafkan aku.. maaf, tapi kamu mau apa, Tta?" ujarnya, ketakutan saat melihat tatapan mengerikan Letta.

Letta dapat dengan jelas melihat ketakutannya, melirik pada kedua temannya, Letta melihat satu dari dua temannya membawa minuman. Lalu dia kembali menatap orang yang sedang ketakutan itu. "Main siram-siram yuk, Sis, lo mau, kan?" tanyanya dengan senyum evil di bibirnya.

Orang itu menggeleng takut. "Ampun, Tta, aku minta maaf karena udah --"

"Udah apa si, hem? biasa aja si, gue kan cuma mau ngajak lo main siram-siraman." Perlahan senyum Letta lenyap, memudar, tergantikan dengan raut dingin dan tatapan mengerikan.

Dia mendorong kasar orang itu, orang itu jatuh terjerembab, hendak bangkit namun Letta menginjak tangannya dengan sepatu high hills yang digunakannya.

Krekkk...

"Arghhhhhh..." dia menjerit, Letta tertawa. Rasa perih dan sakit dirasakan orang itu pada tangannya yang diinjak Letta. "Lepas .. lepaskan aku, kumohon maafkan aku, Tta." Dia meringis, menangis dan memohon pada Letta.

Letta menggeleng angkuh. "Lepas lo bilang, heh?" dia tekekeh. "Lo minta gue melepaskan lo semudah itu, jangan mimpi." Kemudian Letta menekan sepatunya lebih kencang lagi. Membuat orang itu menjerit dan semakin menangis.

Tidak merasa iba, tawa Letta semakin menyembur, bersama kedua temannya. Mereka terbahak-bahak. "Inget nggak lo pernah ngelakuin ini sama gue dulu?!" Letta mengingatkan, orang itu sesenggukan dengan wajah menunduk. "Ingat nggak lo bangsat. Lo pernah nginjek tangan gue di toilet sekolah." Teriak Letta, beruntung mereka berada di gedung kosong sehingga tidak akan ada yang melihat kejadian ini. Meskipun tahu Letta juga tidak takut ketahuan.

Perempuan itu mengangkat wajah, menatap Letta. "Maaf Tta, maafkan aku."

Permintaan maafnya justru membuat Letta berdecih sinis. "Cih," Letta meludah kesembarang tempat. "Gue bahkan belum melakukan ini." Letta bergerak cepat, mengambil minuman milik temannya dan mengguyurnya kekepala orang itu. Membuat rambut orang itu basah.

"Inget juga kan lo pernah nyiram gue pakai teh manis waktu di kantin, Clara." Letta menunduk, menarik rambut Clara sadis. Clara merasakan sakit di kepalanya. "Ingat kan lo, Bangsat." Clara menangis, tidak berdaya oleh perlakuan semena-mena Letta, mengingatkan Clara pada sikapnya dulu yang pernah bersikap buruk pada Letta. Dulu dia begitu sombong, dan Clara menyesal, sekarang karma membalasnya.

Letta menegakan tubuhnya, lalu menatap Clara yang menangis dengan pandangan merendahkan. "Setelah sekian lama, akhirnya gue bersyukur karena Tuhan mempertemukan kita kembali. Lo tahu kenapa, Clara?" Letta melipat kedua tangannya. "Karena Tuhan memberikan gue kesempatan untuk membalas segala hal yang udah lo lakukan ke gue." Clara diam saja, ia tidak mampu berbicara, hanya bisa menangisi ketidakberdayaannya.

Kedua teman Letta ikutan menatap rendah Clara, Letta merasa senang melihat tangisan Clara. "Ini belum ada apa-apanya, selama lo masih berada di kampus ini, gue nggak akan biarin lo hidup tenang," ujarnya sinis, lalu melirik kedua temannya. "Cabut, guys." Letta beranjak diikuti kedua temannya, membiarkan Clara yang menangisi kelemahannya.

Letta merasa puas. Masih tidak percaya saat sebulan yang lalu Tuhan kembali mempertemukan dirinya dengan Clara, salah satu sumber mimpi buruknya dulu ketika di sekolah. Clara masuk kampus ini sebagai mahasiswa baru yang kehidupannya justru membuat Letta tercengang saat mengetahui kalau perempuan itu tidak semodis dulu.
Pakaian seadanya, kehidupan yang berubah total. Letta tidak tahu banyak soal hidup Clara. Sebelumnya ia hanya tahu jika orang tua Clara bangkrut entah sejak kapan kebangkrutan itu dialami oleh orang tuanya, terakhir kali bertemu dengan Clara hanya dulu saat gadis itu membawa dirinya ke toilet, di mana dirinya berakhir disiram dan diinjak tangannya oleh Clara, setelahnya Letta memang tidak lagi melihat Clara di lingkungan sekolah. Letta hanya pernah mendengar jika Clara pindah sekolah secara mendadak. Letta tidak ingin tahu, maka ia tidak terlalu memikirkan perempuan itu. Dan sekarang Letta justru merasa bersyukur, dia mendapatkan mainan di kampusnya. Hidupnya tidak akan membosankan lagi tentunya.

🌿🌿🌿

To be continued..
Kemis, 13 juni 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro