AMD 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

There's a house we can build
Every room inside is filled
With things from far away
Special things I compile
Each one there to make you smile
On a rainy day

Malam semakin beranjak. Deru angin yang bergesekan dengan daun semakin nyaring. Cokelat panasku sudah habis sejak sepuluh menit yang lalu, tapi kantuk tidak kunjung datang juga. Langit masih tampak cerah,  masih lengkap dengan gemintang sebagai penghiasnya. Indah, pantas jika Taehyung selalu lebih suka fajar ketimbang senja.

"Sedang apa di sini?" Aku nyaris melompat karena terkejut. Mendongak aku menemukan wajah datar milik seorang pemuda berkulit pucat. Ia menatapku tampa minat, tangan kanannya membawa segelas kopi yang masih mengepul panas.

"Yoongi hyung?"

Alisnya terangkat, mata sipitnya menatapku datar. Tampa memberi jawaban ia menempatkan diri di sampingku, sesekali menyesap kopi di tangannya. Ia memilih hening ketimbang membuka obrolan. Memilih membiarkan aku menyelami ingatan selama dua tahun terakhir berada di sini.

"Sedang memikirkan apa?"

"Huh?" Aku menatapnya bingung, dan dia hanya mengangkat sudut bibirnya jengah. "Ti-tidak ada, Hyung."

"Bohong," terkanya langsung. "Kau berbohong."

"Hyung ...."

"Kau memikirkan Kim Taehyung 'kan?" Ia berhasil menebak tepat sasaran. "Sudah melangkah terlalu jauh kenapa tidak sekalian berlari saja?" Yoongi hyung menatapku serius. Wajahnya yang sudah seram jadi semakin seram saja.

Aku terdiam memikirkan perkataanya barusan, berlari ya? Tapi rasanya tidak semudah itu untuk berlari dari segala halang rintang yang berjajar. Membatasi ruang gerak yang ada, untuk melangkah saja aku harus tertatih. Jadi, bagaimana cara aku berlari?

"Memikirkannya terus menerus tidak akan membawa perubahan apapun, Jimin. Setidaknya kau harus melakukan satu tindakan."

"Tapi Hyung ...."

"Sulit? Itu resikonya. Sejak awal kau sudah tahu, tapi kau tetap memilih melangkah maju. Jadi, kenapa sekarang kau malah bimbang?"

Benar, kenapa sekarang malah jadi aku yang bimbang? Seharusnya semua akan baik-baik saja. Sudah melangkah sejauh ini, kenapa malah harus mendadak ragu?

"Masuk kamar sana. Udara semakin dingin," usirnya halus disertai usakan lembut di suraiku. Tidak mau membantah aku cepat-cepat berdiri, menepuk bajuku asal lalu berpamitan padanya.

"Selamat malam, Hyung."

Meninggalkan Yoongi hyung aku cepat-cepat masuk kamar. Hingga presensi seorang pemuda nyaris membuatku menjerit terkejut. Kim Taehyung sudah duduk dengan tenang di atas ranjang. Kakinya dilipat dan netranya menatap tajam.

"T-tae ..., sedang apa di sini?"

"Dari mana?" Bahkan ia tidak mau repot untuk sekedar basa-basi. "Kenapa diam? Aku bertanya, Park Jimin."

Aku menelan ludah gusar, uh Kim Taehyung sedang dalam mood yang tidak bagus. "Habis mencari angin." Dustaku, "Kenapa kau menyelinap keluar lagi?"

"Di udara sedingin ini?" tanyanya penuh selidik. Matanya menyipit. Aku mengangguk pelan sebagai jawaban. Dan Taehyung hanya menggerakan jarinya memintaku mendekat. Takut-takut aku berjalan mendekat ke arahnya juga.

Baru beberapa langkah Taehyung sudah lebih dulu menarik tanganku. Merengkuh tubuhku begitu posesif. Lalu berbisik kelewat pelan di antara ceruk leherku, "Aku tidak suka saat datang kemari dan tidak menemukanmu, Jimin."

"Ma-maaf."

"Jangan ulangi lagi."

"Ba-baiklah, tidak akan aku ulangi lagi."

Lalu senyap. Taehyung masih betah pada posisinya--memelukku erat dan menempatkan kepalanya di dadaku--sementara aku mengelusnya pelan. Menenangkannya walau tidak seberapa.

"Tae," aku memanggil. "Kau suka rumah yang seperti apa?"

"Rumah?" ia mengulang. "Kau adalah rumahku, Jimin."

"Maksudku rumah sungguhan, Tae. Kau ingin yang seperti apa?"

Taehyung mendongak dengan dahi berkerut. Berpikir keras mengenai pertanyaan sederhana yang aku lemparkan. Bibirnya digigit kecil, manis sekali.

"Yang sederhana," ujarnya. "Di tepi danau. Di dalamnya tidak terlalu banyak barang. Ada dua kursi dekat jendela, untuk membaca buku sambil meminum segelas cokelat panas saat hujan, bisa juga saat udara sedang dingin."

"Saat musim semi kita akan piknik di tepi danau. Saat musim panas kita bisa berenang dan berkemah di tepi danau. Dan yang paling penting ada kau di sana. Bersamaku."

Oke. Jadi, siapa yang sudah mengiris bawang tepat di hadapanku? Mataku sampai memanas menahan lelehan air mata.

"Tae ...."

Taehyung hanya tersenyum tipis, lalu beberapa kali mecuri kecupan di pipiku. "Jangan pernah pergi, Jimin. Hanya kau yang aku miliki."

However big, however small
Let me be part of it all
Share your dreams with me

You may be right, you may be wrong
But say that you'll bring me along
To the world you see
To the world I close my eyes to see
I close my eyes to see

"Taehyung, kau mau wujudkan impian itu?"

Dia mengangguk pelan. "Asal denganmu aku mau."

"Kalau begitu, ikutlah denganku. Kita bangun rumah yang kau impikan. Bagaimana?"

Kedua mata Taehyung berbinar mendengar tawaranku. "Se-serius?" Aku mengangguk dua kali, tanganku menangkup sebelah pipinya. "Kita wujudkan sejuta mimpi yang pernah kita bicarakan. Kita mulai hidup baru di sana."

"Aku mau. Bawa aku ke mana pun kau pergi, Jim. Asal denganmu di mana pun itu, aku ikut."

"Ya. Aku pasti membawamu pergi dari sini. Bersabarlah sebentar saja."

Dan malam yang dingin menyalurkan perasaan yang lebih hangat dari biasanya. Semalaman suntuk kami berbincang mengenai dunia yang sebentar lagi akan kami tuju. Dunia yang dulu hanya dapat kami lihat dengan menutup mata. Sebentar lagi dunia itu akan menjadi nyata. Akan sangat dekat. Dunia sederhana yang aku ciptakan bersama Taehyung.

Sekecil apapun itu, Taehyung selalu menyebut namaku dalam setiap impiannya. Mengirim desir hangat yang membuat pipi merona. Sebesar apapun harapan yang tidak memungkinkan terjadi, kami selalu berbagi. Saling melengkapi. Setidaknya ada Taehyung di sisiku.

Benar atau salah itu urusan nanti. Yang harus aku lakukan sekarang hanya membawa Taehyung keluar dari sini. Memulai hidup baru yang hanya diisi oleh aku dan Taehyung. Mewujudkan satu persatu mimpi yang selalu menjadi bahan bincangan kami.

Tapi jalannya tidak semudah itu. Banyak halang rintang. Tapi aku akan selalu berusaha mewujudkan semua yang sudah aku janjikan.

Kim Namjoon selaku Kepala Yayasan Our Hope menatap nyalang padaku. Katanya aku sudah tidak waras karena ingin membawa pasien gangguan jiwa keluar dari tempatnya.
Katanya aku sudah kehilangan akal karena jatuh cinta pada orang yang bahkan tak mampu menggunakan otaknya dengan benar.

Tapi bagiku, tidak ada yang salah sama sekali dari semua tindakanku. Ini adalah hal terbenar yang pernah aku lakukan seumur hidup.

"Kim Taehyung sudah tidak memiliki siapapun. Sodara jauhnya sudah memindahkan hak wali kepadaku. Jadi, secara hukum aku berhak membawa Kim Taehyung. Lagi pula Anda kira mereka mau menerima keadaan Taehyung yang spesial?"

Pria paruh baya itu mematung. Terkejut dengan fakta yang baru saja aku beberkan. "Park Jimin--"

"Tolong tanda tangan berkasnya. Hari ini juga aku akan membawa Taehyung pergi. Menghalangiku pun tidak akan berguna, aku punya hak atas Kim Taehyung."

Aku menyimpan berkas di hadapan Kim Namjoon. Ia mendesah kasar mendapati surat-surat yang kelewat lengkap. Menatapku tajam ia membubuhkan tanda tangannya di atas materai. Aku tersenyum puas, jika tidak ingat tempat mungkin aku sudah berteriak heboh.

Mengambil berkas-berkas di tangannya aku mengucapkan banyak terima kasih. Ia hanya menatap jengah padaku.

"Kau akan menyesali ini, Jimin."

"Menyesal sekali seumur hidup tidak ada salahnya, Tuan."

Taehyung, sebentar lagi sejuta impian kita akan terwujud.

For the world we're gonna make

Aku berjalan cepat menuju kamar Taehyung berada. Berkas di tangan tanda persetujuan. Sebentar lagi aku bisa mewujudkan segala impian yang selalu kami susun. Menempati dunia yang selama ini kami ciptakan.

Tampa permisi aku langsung membuka pintu bercat putih itu, masih dengan senyum lebar dan jantung berdegup kencang.

"Taehyung! Kita bisa pergi--" Tapi kamar itu kosong melompong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kasurnya rapih, hanya ada satu meja kosong di sana. Biasanya kamar Taehyung selalu berantakan.

"A-apa yang terjadi? Apa aku salah masuk kamar?"

Aku buru-buru keluar kamar. Memastikan kamar yang aku masuki tidak salah. 1230 ini adalah kamar Taehyung. Aku tidak salah. Lalu ke mana dia pergi?

"A-ayunan. Ya! Dia pasti sedang di ayunan."

Dengan jantung yang berdetak gusar. Langkah yang terasa berat aku berlari menuju halaman utama. Tempat aku dan Taehyung menghabiskan waktu di sana. Tapi urung aku temukan. Tempat itu pun sama heningnya seperti kamar tadi.

"Tae kau ada di mana ...."

Tidak mau menunggu aku kembali mencari Taehyung. Kamarku, atap rumah, dan segala tempat sudah aku tuju. Tapi ia tidak ada. Kim Taehyung tidak ada di mana pun. Air mata sudah berjatuhan sejak tadi. Dadaku mendadak sakit sekali.

Taehyung pergi ke mana?

"Jimin? Apa yang kau lakukan di sini?"

Mendongak aku menemukan wajah yang sangat familiar. Jung Hoseok, kawanku yang memiliki profesi yang sama.

"Hyung, apa kau melihat Taehyung? Aku mencarinya ke mana-mana tapi ia tidak ada. Hyung bantu aku mencarinya, aku sudah berjanji akan membawa ia pergi dari sini, tapi ia tidak ada di mana pun."

Aku meracau putus asa. Rasanya tubuhku sangat letih setelah mencari Taehyung. Mataku perih karena terus menerus menangis. Hoseok hyung membawaku dalam pelukannya, tubuhnya terasa tegang. Ada apa ini?

"Jimin, kau lupa, ya?"

"Lu-lupa? Aku tidak melupakan apapun Hyung. Hari ini bahkan aku sudah berjanji akan membawa Taehyung pergi."

Hoseok hyung melepaskan pelukannya. Ia menangkup ke dua pipiku, menghapus bulir air mata yang jatuh.

"Jimin dengarkan aku. Kim Taehyung sudah pulang, ia sudah menemukan dunia yang diimpikannya. Ia sudah berada di dunia yang diinginkannya."

"A-apa maksudmu, Hyung? Aku baru mau membawanya pergi! Mana mungkin dia sudah pergi."

Hoseok hyung menghela napas dalam. Sebelum ia berbisik kelewat pelan, sebuah bisikan yang berhasil membangunkan ingatan lama yang menyakitkan. Sederet kalimat yang membawa kesadaranku kembali datang.

Katanya, "Dua tahun lalu Kim Taehyung mati bunuh diri. Pengobatannya gagal. Kim Taehyung tidak mampu bertahan. Dia sudah berada di dunianya sendiri, Park Jimin. Jadi tolong sadarlah, Park Jimin. Ia sudah lama mati."

End

GhibahWriters

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro