AMD 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

They can say it all sounds crazy
They can say I've lost my mind
I don't care so call me crazy
We can live in a world that we design

"Kau masih sering bicara dengan pemuda itu?"

Aku mengangguk singkat tidak terlalu tertarik pada apa yang tengah mereka bincangkan. Mulutku mengunyah dengan cepat makan malam yang tinggal seperempat di piringku. Berharap cepat habis lalu pergi secepatnya dari kafetaria ini.

Seseorang di antara mereka yang bernama Jeon Jungkook terkekeh sinis sambil menatapku dari ujung meja. "Kau sangat menyukai pekerjaan ini, ya? Berbakti sekali kau ini," katanya disela tawa yang terdengar mengejek di telingaku.

"Aku bekerja di sini itu dibayar. Jadi kurasa sudah seharusnya aku bekerja dengan sungguh-sungguh."

"Tidak ada yang benar-benar mau bekerja di tempat seperti ini, Jimin-ssi."

"Ya bagimu. Tidak bagiku, Jungkook-ssi." Aku berlalu pergi dengan hentakan kaki yang menggema di hening malam. Meninggalkan tiga orang yang aku yakini saat ini tengah memberikan tatapan tajam pada punggungku yang berjalan menjauh.

Menggenggam segelas cokelat panas aku duduk bersandar pada pilar. Koridor tampak senyap saat jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Seluruh penghuni rumah sudah jatuh tertidur sejak satu jam yang lalu. Aku bukannya tidak mau jatuh tertidur, tetapi kedua mataku enggan tertutup rapat. Bahkan gelas kedua dari cokelat panas tidak kunjung membuatku mengantuk. Sekali pun udara terasa begitu menusuk di penghujung musim semi. Langit lebih cerah dari kemarin, meski udara masih saja dingin. Aku merapatkan cardigan yang tebalnya tidak seberapa, sesekali menyesap cokelat di tangan sebelum mulai mendingin.

Sekelebat percakapan dan perkataan bersama beberapa orang terasa mengusik pikiran. Berputar dan bergelung dalam ingatan. Mengikis kesadaran dan perlahan membawaku dalam lamunan, tentang diriku yang pertama kali menginjakan kaki di tempat ini dua tahun lalu.

Waktu begitu cepat berlalu. Aku masih ingat saat pertama datang ke tempat ini setelah melewati seleksi beberapa kali. Entah bisikan dari mana hingga aku mau saja memasukan lamaran kerja ke rumah rehebalitasi sebagai seorang perawat. Ah, mungkin karena Tuhan memang ingin aku bertemu dengannya. Dengan pemuda yang mereka bilang sudah tinggal di sini lebih lama dari pada yang lain.

Namanya Kim Taehyung. Saat pertama bertemu ia tengah asik menatap senja yang didominasi oleh mendung. Saat pertama mengajaknya bicara ia hanya menatapku sekilas sebelum membuang muka dan lebih memilih memperhatikan awan yang berarak. Kim Taehyung betah berdiam diri di ayunan yang berada di halaman rumah. Dia akan menghabiskan waktu di sana, dari pagi sampai malam tiba. Aku tidak pernah tahu apa yang dipikirkannya, tidak sebelum dia menceritakan segalanya.

Percakapan kami dimulai saat malam telah beranjak. Saat itu musim panas tengah berada dipuncaknya. Suara jangkrik yang mengkerit, angin malam yang sejuk dan langit malam dengan taburan gemintang jadi penghiasnya. Saat kata pertama ia ucapkan setelah nyaris enam bulan aku berusaha mengajaknya bicara. Nyaris menyerah tetapi siapa sangka Taehyung akhirnya mau membuka suara.

Katanya hari itu, "Aku lebih suka fajar daripada senja." Aku sempat terperangah sejenak. Saat suara bariton dan agak seraknya menyergap pendengaranku. Membuat perasaan bahagia membuncah. Entah. Aku hanya merasa begitu senang hanya karena sebait kalimat yang diucapkannya.

Semenjak itu aku dan Taehyung menjadi tidak terpisahkan. Di mana ada Taehyung di situ ada aku. Di mana Taehyung bercerita ada aku yang mendengarkan. Saat ia menangis sedih tampa alasan selalu ada aku yang menenangkan. Selalu seperti itu.

Hingga orang-orang mulai mengkhawatirkan aku. Sampai orang-orang mulai memperhatikan interaksiku dengan Taehyung. Lalu mereka mulai menerka-nerka, mulai membicarakan hal tak masuk akal. Orang-orang jadi lebih menyebalkan dari sebelumnya. Mereka mencoba membatasi aku dengan Taehyung. Berkata jika aku bisa ikut gila jika terus bersamanya. Bahkan mereka meminta agar aku berhenti merawat Taehyung. Karena menurut mereka aku sudah sama tidak warasnya dengan Taehyung.

Tidak. Mereka salah. Mereka saja yang tidak mengerti. Orang-orang itu saja yang tidak paham apa yang aku rasakan saat bersama dengan Taehyung. Hanya mereka yang tidak mencoba mau mengerti posisiku. Mereka hanya mau mengkomentari ini itu tampa mau tahu kebenaran dibaliknya.

Cause every night I lie in bed
The brightest colors fill my head
A million dreams are keeping me awake
I think of what the world could be
A vision of the one I see
A million dreams is all it's gonna take
A million dreams for the world we're gonna make

Hingga suatu hari pada penghujung musim gugur. Saat langit mengguyur bumi dengan hujan deras, kilat beberapa kali menunjukan diri membuatku mau tak mau bergelung dibalik selimut. Hingga pintu kamarku diketuk pelan, disusul suara lirih yang memanggil namaku. Oh jelas, aku sempat ketakutan. Membayangkan jika itu mungkin sesosok monster yang pernah diceritakan oleh kakek saat aku masih kanak-kanak. Tapi ketakutan itu hilang saat orang dibalik pintu menyebut namanya dengan masih berbisik.

"Park Jimin buka pintunya. Ini aku Kim Taehyung."

Dan malam menjadi tidak sedingin biasanya. Saat Taehyung dengan brengseknya kabur dari kamarnya. Sampai saat ini aku masih belum tahu bagaimana cara ia keluar dari kamar yang selalu dikunci saat malam tiba. Tapi biarlah itu menjadi rahasia kecilnya. Dan semenjak itu juga Taehyung sering diam-diam menyelinap keluar untuk menemuiku, tidak sering memang hanya jika ia ingin saja.

Malam itu saat hujan turun aku tidur bersebelahan dengan Taehyung. Dengan tubuh yang sama-sama dibalut selimut tebal, berdesakan di ranjang yang sebenarnya tidak muat untuk dua orang dewasa. Beruntung tubuhku lebih kecil darinya.

Keadaan begitu gelap saat lampu mendadak mati ditambah hujan turun begitu lebat. Tapi anehnya aku malah merasa ledakan miliaran warna tengah tercipta, berhamburan di atas sana, bahkan kantuk seolah enggan menyapa saat aku dan Taehyung memilih berbincang mengenai dunia. Mengenai apa yang bisa dunia berikan pada kami, atau apa yang dunia lihat tentang kami berdua. Tentang aku dan dia. Tentang sejuta mimpi yang aku susun secara perlahan dan pasti bersama pemuda yang kali ini berani mengaitkan jari jemarinya. Yang secara tampa sadar menyeretku untuk lebih dekat dengannya.

Taehyung menatapku lamat dalam remang malam. Spektrum warna yang menghiasi kepalaku semakin meledak-ledak saat ia berkata, "Kita bisa hidup di dunia yang telah kita ciptakan, Jimin." Sebelum akhirnya bibir hangatnya menyapa permukaan bibirku. Memberikan afeksi yang begitu besar. Lebih besar dari sebelumnya. Dan berasamaan dengan bibirnya bergerak halus aku mengeratkan rematan pada dada bidangnya, menyalurakan perasaan yang tidak bisa aku tanggung sendiri.

GhibahWriters

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro