11. BUKAN SIAPA-SIAPA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ribuan bunga warna-warni mekar, segar, dan harum mewangi. Dari mawar, anggrek, sedap malam, hingga melati. Kecuali Raflesia Arnoldi. Semuanya seakan-akan berdesakan memenuhi hati, setiap kali Jatu mengingat kejadian sore kemarin. Meskipun akhirnya Titan menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi, tapi Amore sudah terlanjur memberikan dukungan.

Terlalu larut dalam kebahagiaan membuat Jatu tak sadar bahwa selama mata kuliah tadi, ia sama sekali tidak berbicang dengan Raven. Bahkan saat kelas berakhir, sang sahabat buru-buru beranjak pergi. Tanpa pamit atau sekedar melirik.

Jatu baru menyadari kejanggalan sikap Raven ketika salah satu teman sekelas bertanya, “Jat, lo sama Raven, baek-baek aja, kan?”

Gadis itu mengerjap, berusaha memahami pertanyaan yang dilontarkan.

“Tumben, lo berdua nggak ngobrol. Duduknya juga jauh-jauhan, udah kaya pasutri lagi pisah ranjang,” sambungnya.

Di hari-hari lain, Jatu dan Raven memang seperti tak terpisahkan. Mereka kerap duduk bersebelahan dan berbincang asyik baik sebelum maupun sesudah kelas berlangsung. Namun, hari ini keduanya terpisah bagai Benua Artik dan Antartika.

Selama beberapa detik, Jatu merenung. Dia kemudian teringat kalau semalam dan tadi pagi pun mereka tidak saling bercakap-cakap. Padahal, biasanya anak pemilik kost itu selalu mengunjunginya di malam hari atau menyapa saat akan berangkat ke kampus.

Dengan kebingungan, Jatu segera membereskan buku-buku dan alat tulis, lalu mengejar sang sahabat yang sudah hilang dari pandangan. Dia berlarian di koridor, menanyai beberapa teman, mencari di perpustakaan fakultas, hingga mengecek di toilet-toilet. Namun, Raven tak juga ditemukan.

Masih dengan langkah penuh semangat, Jatu meninggalkan gedung fakultas. Kali ini tujuannya adalah perpustakaan besar, pusat koleksi buku dan jurnal dari seluruh fakultas serta jurusan. Letaknya 100 meter di sebelah barat gedung fakultas.
Perpustakaan besar adalah tempat terakhir yang Jatu pikirkan. Ia berusaha tetap beranggapan positif. Raven mungkin saja memerlukan referensi lebih banyak untuk mengerjakan proposal skripsi.

Di tengah perjalanan menuju gedung perpustakaan besar, Jatu menemukan sosok sang sahabat. Meski dari jauh, ia dapat mengenali blouse putih serta rambut panjangnya yang tergerai. Raven tengah duduk sendiri di saung diskusi, tak jauh dari tempatnya berdiri.

Saung diskusi adalah tempat yang disiapkan untuk memfasilitasi seluruh penghuni kampus. Jumlahnya puluhan dan tersebar di sekitar taman dan di bawah pohon rindang. Ada saung yang berupa gazebo lesehan, ada pula yang terdiri dari satu meja dan dua kursi panjang. Kesemuanya memiliki satu kesamaan, dilindungi oleh atap kayu dan empat tiang peyangga.

Setiap saung dapat menampung empat hingga delapan mahasiswa. Bahkan lima belas, jika dipaksakan. Di saung itulah para mahasiswa, juga terkadang dosen, berdiskusi, berteduh, atau sekedar nongkrong sambil menikmati kopi dan keripik. Bahkan ada yang iseng menjadikannya tempat untuk tidur siang.

Di salah satu kursi saung itu, Raven duduk sambil menatap kosong. Dengan langkah-langkah gegas, Jatu pun menghampiri.

“Gue cari kemana-mana, ternyata lo di sini,” ucap Jatu saat jarak di antara mereka tinggal tiga meter.

Raven tersentak mendengar suara yang amat dikenali. Dia pun segera berpaling sambil tersenyum kikuk.

“Lagi ada masalah?”

Raven menggeleng sambil terus mengunci mulut.

“Mau cerita ke gue?” desak Jatu.

Gadis di hadapan hanya melirik, lalu membuang muka. Menyembunyikan amarah, kesal, sesal, dan juga kesedihan.

Jatu merasa terganggu dengan sikap dingin Raven. Ia sangat yakin, tidak ada hal lain yang akan mengganggu hubungannya dengan sang sahabat, kecuali satu. Gadis itu pun menarik napas dalam. Sungguh, tema ini adalah yang paling ingin ia hindari. Sebisa mungkin.

“Jadi…, lo udah tau?” tanya Jatu to the point.

Raven melirik. Bagai telah mengerti isi kepala Jatu, dia pun mengangguk pelan.

Jatu segera mengambil tempat duduk di seberang Raven. Ditelisiknya wajah sang sahabat dan mendapati mata sembab di sana. Sangat kentara ia habis menangis. Mungkin beberapa saat yang lalu. Atau sejak semalam.

“Siapa yang ngasih tau lo?” tanya Jatu. Dia bersumpah akan melabrak siapapun yang bermulut embar itu.

“Videonya udah nyebar.”

Jatu mengernyit. Pertama, ia sama sekali tidak tahu akan hal itu. Kedua, siapa yang berani-beraninya merekam dan menyebarkan kelakuan norak Langit?

“Kok, gue nggak tau? Siapa yang selancang itu, sih? Kalopun nggak takut sama gue, ya, paling nggak dia takut sama ….” Jatu tidak melanjutkan kalimat.

“Langit?” sambung Raven. “Yang rekam teman Langit. Atas permintaan Langit. Yang nyuruh nyebarin juga Langit. Dan pesannya, nggak boleh sampai ke HP Jatu.”

Jatu terbelalak tak percaya. Ternyata pria itu sampai berbuat sejauh ini. “Kenapa gue nggak boleh tahu?”

Raven mengangkat bahu. “Mungkin, Langit nggak mau Jatu marah.”

Jatu menggebrak meja di antara mereka. Rasanya marah sekaligus kesal. Makin lama pria itu makin menyebalkan saja.

“Jat, kayanya Langit emang cinta banget sama Jatu,” ucap Raven pelan.

“Tapi, kan gue nggak.” Jatu memberi penekanan pada kalimatnya.

Raven menatap lekat mata sang sahabat. Ada rasa sakit di dada karena orang yang dia cintai, mencintai sahabatnya sendiri. Namun yang lebih sakit, selama ini hanya Jatu yang mengalah demi persahabatan mereka. Sementara dia?

“Gara-gara Raven, ya?” tanyanya. Sebenarnya, dia tahu pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban. Semuanya sudah jelas. Jatu berulang kali menolak Langit karena alasan persahabatan.

Gue nggak mau persahabatan kita hancur gara-gara satu pria.’ Kalimat Jatu kembali terngiang di telinga Raven.

“Nggak kok! Sama sekali nggak.” Jatu buru-buru berkilah. ‘Saat ini alasannya sudah bukan itu lagi,’ sambungnya dalam hati.

Jatu balik menatap Raven, tak kalah lekat. Dia yakin itu cara Raven untuk mencari tahu apakah kebohongan ataukah kejujuran yang tadi terucap. Maka, dengan penuh kesungguhan, dia balas menatap. Tanpa kedip. Tanpa berpaling.

“Tapi, Jatu nggak perlu sampai bohong kalo lagi naksir duda.”

“Gue nggak bohong, kok,” sambar Jatu.

“Duda yang mana? Yang di Madam Rose?” tanya Raven penuh penekanan. “Bukannya Jatu udah nggak chat-an sama dia lagi?”
Jatu tersenyum lebar. “Nggak perlu chat-an, kok.”

“Kenapa?” tanya Raven sambil mengernyit.

“Orangnya kan ada di kampus kita.”
Raven masih mengernyit seraya menduga-duga siapa sosok duda yang ada di kampus mereka.

“Nanti lo tau. Tunggu bentar, ya.” Gadis itu melirik jam tangan. “Biasanya jam segini dia di sana,” sambungnya lalu memutar badan ke utara, ke arah coffee campus. Menanti seseorang.

Selain kantin-kantin yang berjajar di beberapa tempat, UNI juga memiliki beberapa kafetaria dan coffee shop. Salah satunya, coffee campus. Harga yang lumayan tinggi membuat pelanggan mereka umumnya adalah mahasiswa dengan tingkat ekonomi tinggi, alumni, atau dosen, termasuk Titan.

Meski tidak termasuk di antara ketiga golongan tersebut, tapi Jatu sering mengunjungi coffee campus  untuk mensuplai biji kopi yang dibawanya langsung dari kampung halaman.

Coffee shop itu memang menyediakan beragam jenis kopi Nusantara, seperti Kopi Gayo, Kopi Toraja, Kopi Mandailing, Kopi Kintamani, Kopi Wamena, hingga Kopi Banten dari tanah kelahiran Jaktu.
Ketika menyuplai biji kopi, saat itulah ia sering berpapasan dengan Titan. Akhirnya, ia pun mengetahui kebiasaan sang dosen duda. Meski saat itu, belum ada rasa yang hadir untuknya.

Jatu terus menatap ke arah coffee campus . Hingga sekitar lima menit kemudian, satu sosok yang amat dikenalinya keluar dari sana.

“Lihat tuh!” Jatu membentuk persegi panjang dengan dua telunjuk dan jempol. Dengan persegi panjang yang vertikal itu, dia membingkai Titan yang tengah berjalan sendiri, dengan segelas kopi di tangan.

Pria itu memang menggandrungi kopi di coffee shop tersebut. Setiap jam istirahat dia pasti ke sana untuk memesan dua gelas kopi, satu dinikmati di coffee campus dan yang satu dibawa untuk menemani di ruang dosen.

“Lihat apa?” tanya Raven sambil melihat ke arah pandang Jatu. Di sana, salah satu dosen mereka tengah bediri di jalan setapak sambil berbincang dengan tiga mahasiswa.

“Pak Titan,” jawab Jatu, lalu menurunkan persegi panjangnya dan berpaling ke arah Raven. “Ven, duda anak satu yang lo denger bukan tokoh fiksi. Selama ini, gue ngerahasiain atas permintaan Pak Titan. Tapi, demi persahabatan kita, gue terpaksa harus jujur.”

Raven mengernyit tak percaya. Ia yakin, Jatu hanya mengada-ngada.

“Duda yang gue temui di Rainbow Café adalah Pak Titan Bhaskara. Dosen di jurusan kita. Gue juga pernah naik mobilnya. Bahkan, gue udah dua kali ke rumahnya. Ketemu sama calon anak dan calon mertua gue.” Jatu berusaha meyakinkan.

“Hubungan kalian udah sedekat itu?” Raven terperanjat.  “Kok di kampus biasa-biasa aja?”

Jatu menggaruk-garuk kepala. “Well. Sebenarnya belum deket-deket banget, sih. Gue masih harus naklukin hati Pak Titan. Dan itu susah banget.” Gadis itu tertunduk lemas.

“Naklukin hati Pak Titan? Katanya Jatu udah pernah ke rumahnya!” protes Raven.

Sang objek protes tersenyum lebar hingga gigi-gigi depannya tampak. “Gue jadi guru les anaknya.”

“Jadi, Jatu sebenarnya guru les a--”

“Guru les yang akan jadi calon ibu sambung anaknya Pak Titan.” Jatu melengkapi pernyataan Raven.  “Emang sih, sekarang Pak Titan masih nganggep gue bukan siapa-siapa. Tapi, gue pastiin satu hari nanti dia akan nganggep gue segalanya.”

“Ta-tapi, kan….” Raven tidak melanjutkan kalimat.

“Tapi apa?”

“Tapi kan, itu Pak Titan. Dosen paling killer di jurusan. Jatu serius naksir Pak Titan?”

“Seriuslah. Lo nggak tahu aja. Pak Titan itu di kampus aja yang sok galak. Tapi di rumah, dia tuh family man. Gue aja kalo di rumah, manggil dia oppa.” Jatu kembali meyakinkan Raven. ‘Rencananya, sih,’ sambungnya dalam hati.

Raven masih menatap dengan ekspresi belum yakin. Mana mungkin Jatu tertarik pada dosen yang selalu mengkritiknya di depan kelas. Jika iya, kenapa itu baru terjadi sekarang? Kemana gadis itu 6 semester yang lalu?

“Lo nggak percaya?” Jatu melotot saat menyadari pandangan ragu Raven. “Tunggu sebentar.” Gadis itu lalu berdiri dan kembali menghadap ke arah Titan yang sudah kembali berjalan sendiri. Tiga mahasiswa yang sempat menyambanginya telah pergi ke arah yang lain.

“Pak!” panggil Jatu. Dia sengaja tidak mengucapkan nama Titan agar tidak menarik perhatian.

Mengenali suara Jatu, Titan segera mengedarkan pandang ke sekeliling. Hingga didapatinya Jatu tengah berdiri di salah satu saung diskusi, 20 meter dari tempatnya berdiri. Masih dengan perasaan heran dilihatnya sang mahasiswi melakukan gerakan aneh.

Kedua tangan Jatu di angkat ke atas dengan ujung-ujung jemari menempel di pucuk kepala. Sebuah bentuk hati pun tercipta. Heart pose dengan senyum yang tersungging lebar dan disusul satu mata yang berkedip manja.

Wajah Titan memerah seketika. Dia tahu betul arti gaya itu karena Amore berulangkali memperagakannya. Pria itu segera berpaling, berpura-pura tidak melihat apa yang dilakukan Jatu, lalu mengambil langkah-langkah besar menuju gedung fakultas.

Jatu berpaling ke arah Raven sambil cengar-cengir. “Lo lihat nggak ekpresinya?”

Raven mengangguk. Kepergian sang dosen dengan tergesa-gesa sudah cukup untuk menjadi bukti. Jika memang tidak ada yang terjadi antara mereka, Titan pasti akan menghampiri dan mulai menceramahi. 

Sepanjang perjalanan menuju ruang dosen, Titan terus menggemeletakan gigi. Apa mahasiswi itu sudah hilang kesadaran, hingga melakukan hal memalukan di ruang publik? Bagaimana kalo ada yang melihat dan menyadari? Dia terus bersungut-sungut kesal dalam hati.

Dan yang membuat pria itu lebih kesal adalah jantung yang tiba-tiba berdetak lebih kencang. Terasa sakit sekaligus menyenangkan. Terasa aneh sekaligus familiar. Perasaan ini, sepertinya sudah bertahun-tahun tidak pernah hadir. Namun, kenapa sekarang datang lagi? Yang lebih aneh, itu bukan disebabkan oleh orang yang selalu datang dalam mimpi-mimpi.

Titan mempercepat langkah menuju ruang dosen. Sepertinya, dia kurang menyibukkan diri dalam pekerjaan hingga dirasuki pikiran yang abnormal. Atau mungkin hatinya sudah terlalu gersang hingga sangat mudah luluh dengan sikap norak seorang mahasiswi. Ah, padahal Jatu bukan siapa-siapa.

🌹🌹🌹🌹🌹

Selamat pagi, Gaesss

Jangan lupa ngopi. Biar jangan oleng kaya Titan. ☕☕☕


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro