10. OPPA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pasca kedatangan Titan ke kamar, Amore dan Jatu terduduk lemas sambil bersandar di sisi ranjang. Selain karena kelelahan menari, kehadiran pria itu juga seakan-akan mengubah keceriaan yang sempat ada menjadi nestapa. Meskipun kedua perempuan itu menjadi semakin dekat, tapi ada rasa khawatir yang tiba-tiba muncul.

“Jadi, Eonni ngelesin aku biar bisa kuliah di Korea?” tanya Amore dengan tatapan iba. Dari tukar cerita yang terjadi, gadis kecil itu akhirnya mengetahui niat Jatu.

Jatu mengangguk pelan. Seandainya tahu bahwa Titan adalah seorang anti K-Pop, mungkin ia tak akan bertindak gegabah. Gara-gara dance absurd tadi,  sang dosen pasti akan memecatnya.

Saat bayangan itu datang, untuk kesekian kalinya Jatu menggeleng, menyingkirkan segala pemikiran buruk yang singgah sekaligus memompa semangat positif yang grafiknya terus menurun. Nasi memang sudah menjadi bubur. Maka tugasnya sekarang adalah meracik bubur yang lezat, menjadi bubur ayam, bubur Manado, bubur ase, atau bubur lemu.

“Nanti aku bilang papa, kalo aku pengen diajarin sama Eonni. Jadi, Eonni jangan sedih lagi, ya.” Amore kembali menghibur. Kali ini dia memeluk sambil mengelus-elus punggung Jatu, seperti orang dewasa membujuk anak kecil yang kehilangan mainan.

Jatu tersenyum mendapatkan perhatian dari gadis kecil itu. Penilaian awalnya salah. Ternyata Amore adalah anak yang baik hati. Sangat berbeda dengan papanya.

Setelah beberapa saat, Amore melepaskan pelukan, lalu melihat senyum kecil yang tergambar di bibir Jatu. “Eonni udah nggak sedih lagi, kan?” tanyannya yang dijawab dengan anggukan Jatu. “Kalo gitu … sekarang kita dance lagu yang kedua!”

Mendengar suara ceria itu, Jatu pun tersedak. Ia tak lagi bisa membedakan, apakah itu ujian, jebakan, atau salam perpisahan? Yang ia tahu, sendi-sendinya lemas seketika.

🌹🌹🌹🌹🌹

“Hallo, papa yang paling ganteng di seluruh dunia!” Amore berteriak ceria sambil berlarian menuruni anak-anak tangga, sementara Jatu mengekor di belakang. Keduanya langsung menuju ruang tamu, tempat di mana Titan telah menunggu.

“PR kamu udah selesai?” tanya Titan datar, tanpa berpaling dari layar laptop. Pria itu tengah duduk di kursi tunggal dengan posisi membelakangi tangga.

Di ruang tamu, terdapat satu sofa putih dengan tiga bantalan dan dua kursi tunggal warna senada dengan bantalan empuk. Satu kursi tunggal terletak di dekat pintu masuk, sedangkan yang lain membelakangi arah ruang makan. Sementara sofa panjang berada di antaranya.

“Udah, dong, Pa. Udah semua!” jawab Amore sambil memaksa duduk di kursi yang harusnya berkapasitas satu orang. Gadis kecil itu lalu bergelayut manja pada sang papa, membuat hati Titan lumer seketika. Tidak sering-sering putri kecilnya bersikap kolokan seperti itu.

Mau tak mau, Titan memutar seluruh tubuh menghadap Amore, lalu menatapnya dengan lembut. “Kamu ke atas dulu, ya. Papa mau bicara sama Kak Jatu,” pintanya sambil menjawil hidung Amore.

Jatu yang sudah duduk di kursi seberang, nyaris tidak percaya pada   fragmen yang dilihat. Ternyata di depan putrinya, pria yang terkenal bengis akan berubah manis. Andai saja ia merekam adegan ini, para penghuni kampus pasti yakin bahwa itu adalah salah satu scene dalam sinetron.

“Tapi, aku mau ngomong sesuatu dulu sama papa.” Dengan suara manja, Amore mulai mengeluarkan rayuan.

“Apa?” tanya Titan lembut, yang lagi-lagi membuat Jatu hampir melepaskan tawa.

“Aku suka sama Eonni. Dia pintar.”

Eonni?” ulang Titan dengan heran.

Amore pun mengerling ke arah Jatu, memberi tanda siapa yang dimaksud. Sementara yang dibicarakan tengah menatap penuh takjub, tanpa berkedip dan mulut sedikit terbuka. Saat sepasang mata milik Titan berpaling padanya, gadis itu pun tersadar dan buru-buru memperbaiki posisi, juga ekpresi.

“Oh, pintar, ya?” tanya Titan dengan nada sinis yang dijawab dengan anggukan Amore.

“Kalo gitu, papa mau ngobrol sama guru ‘pintar’ itu.” Titan memberi penekanan pada kata pintar. “Kamu ke atas dulu, ya.”

Amore kembali mengangguk ringan. “Tapi ada syaratnya.”

“Hem, apa? Donat? Brownies?” tanya Titan, seolah-olah tahu apa yang diinginkan sang putri.

Amore menggeleng tegas. “Papa nggak boleh pecat Eonni, ya. Janji kelingking!” ucap gadis itu sambil mengulurkan jari terkecil.

Selama beberapa detik, Titan hanya mampu memandang kelingking itu. Namun, binar mata Amore telah menghancurkan benteng pertahanannya. Dengan enggan, dia pun menyambut kelingking kanan itu sembari terpaksa senyum manis. Dia tak mungkin ingkar janji.

Janji kelingking adalah cara kedua anak beranak itu mengikat ikrar. Dan sepanjang hidup gadis kecil itu, Titan selalu menepati janji kelingking. Kecuali satu. Dia tak bisa menghadirkan sang mama pada hari ulang tahun Amore yang kelima. Hari bahagia sekaligus duka, karena Amore telah mengumumkan pada teman-teman di TK bahwa sang mama akan datang.

Setelah puas karena mendapatkan janji papanya, Amore pun beranjak menuju lantai atas. Seperti biasa, dia akan mengganggu neneknya yang tengah menghabiskan waktu sore dengan menyulam atau mengaji.

Seusai memastikan Amore hilang dari pandangan, Jatu pun memberanikan diri untuk memulai pembicaraan. Sebenarnya, keberanian itu telah ia kumpulkan sejak satu jam yang lalu.

“Pak…,” panggil Jatu tertahan. Ada jarak 2,5 meter antara mereka, yang diisi dengan meja kayu warna putih.

Titan melirik sang mahasiswa dengan tatapan tajam sambil memilah peluru mana yang paling cocok untuk ditembakan. “Tarian kamu bagus. Kamu berbakat jadi guru seni tari. Ada rencana pindah jurusan?”

Jatu memicing dengan bibir yang mulai dimanyunkan. Di awal perkuliahan, memang tidak sedikit mahasiswa yang merasa salah pilih jurusan. Tidak sesuai ekspektasi, mata kuliah terlalu berat, dosen-dosen kelewat killer, hingga segudang alasan lain. Banyak di antaranya yang nekad untuk pindah jurusan, fakultas, hingga universitas. Namun, orang kurang kerjaan mana yang akan pindah setelah ada di semester tujuh?

“Tadi saya nggak ngajarin tari kok,” kilah Jatu. ‘Saya cuma unjuk bakat.’ Ia menyambung kalimat itu dalam hati.

“Terus, tadi itu apa?”

“Itu ….” Jatu segera memutar otak, mencari jawaban yang tepat. “Saya lagi nunjukin tentang sistem gerak manusia,” ucapnya.

Titan mengerutkan kening.
Melihat ekpresi itu, Jatu menghela napas berat, seolah-olah kesal karena harus menjelaskan sesuatu yang sudah lumrah. Ia lalu berdiri. “Ini,” ucapnya sambil melakukan gerakan menendang. “Untuk melakukan gerakan ini, kita perlu peran serta sendi peluru yang ada di pangkal paha.”

Jatu lalu mempraktekan gerakan menoleh ke kiri dan kanan dengan siku tangan sedikit menekuk ke samping, lalu mendongak dengan tangan teracung ke atas. “Untuk gerakan ini, kita perlu peran serta sendi putar di leher, sendi engsel di siku, dan sendi peluru di pangkal lengan. Terus--”

“Stop!” potong Titan. Meskipun menarik, dia tak ingin Jatu meneruskan gerakan-gerakan itu dan menuduhnya sebagai penikmat. “Jadi, setiap ngajarin materi tentang tubuh manusia, kamu akan nari kaya tadi?”

“Em….” Jatu berpikir sejenak. “Nggak terbatas pada materi tubuh manusia, sih. Misalnya, gerakan konsisten seperti ini,” Ia kembali mengayunkan tangan, “kita bisa menghitung berapa kali tangan bergoyang dalam tiap menit sehingga dapat dicari kalori yang akan dikeluarkan. Itu bisa jadi latihan untuk mengerjakan soal-soal permasalahan kontekstual.” Jatu merujuk pada Matematika yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

Titan berdecak saat mendengar penjelasan itu. “Kamu pikir ada yang akan bikin soal iseng kaya itu?”

“Loh? Memang bapak pikir selama ini soal-soal Matematika bukan soal iseng yang harus dipecahkan?” tanya Jatu sambil melipat kedua tangan. Ia lalu kembali duduk di kursi, bersiap memberi penjelasan panjang.

“Misalnya, materi Phytagoras, menghitung jarak pandang antara mata manusia dan titik puncak Monas. Apa pentingnya kita melakukan perhitungan itu? Lihat Monas, ya lihat aja. Nggak usah pake ngitungin jarak pandang.

“Atau soal tentang waktu yang dibutuhkan untuk mengisi bak mandi dengan volume tertentu. Kan ada faktor-faktor penentu yang lain. Misal, pas ngisi bak ada yang mau pipis. Airnya pasti kepake dong. Atau krannya tiba-tiba jebol. Atau air PDAM mati. Nah, karena hasilnya pun nggak pasti, kenapa harus buang-buang waktu buat ngitung? Kalo mau isi bak, ya isi aja. Tungguin sampe penuh. Atau sambil Drakoran biar nggak kerasa.” Jatu mengakhiri penjelasannya dengan senyum kemenangan karena berhasil mematahkan pertanyaan Titan.

Titan tercengang mendengar penjelasan Jatu yang seolah-olah tidak berujung. “Kamu mau pindah ke jurusan filsafat? Biar saya tulis surat permohonan ke ketua jurusan,” ancamnya.

Mendengar ancaman itu, Jatu segera berpindah duduk ke sofa panjang dan memangkas jarak sependek mungkin. Ia lalu menangkupkan kedua telapak tangan, isyarat permohonan. “Jangan, dong, pak. Plis. Saya janji nggak nari-nari lagi, deh. Mau tari K-Pop, tari India, atau tari tradisional. Pokoknya, saya nggak akan nari lagi,” pintanya dengan mata penuh pengharapan.

“Kamu yakin?” tanya Titan dengan nada sarkas.

“Kalo bapak tega, sih.” Nada suara Jatu setengah merajuk. “For your information, K-Pop Dance adalah jenis aerobik terbaru di kalangan generasi milenial. Lumayan buat ngilangin lemak dan melenturkan tubuh,” ucapnya lagi. “Kalo mau, bapak juga bisa coba. Mau saya ajarin?”

“Ja-tu!”

“Iya, Pak. Sorry. Lagian bapak sih, mancing-mancing.” Jatu menimpakan kesalahan pada Titan.

Titan mengusap wajah, menahan amarah yang sempat meledak. Beberapa kali dia menghela napas demi mengatur emosi. “Saya sebenarnya pengen mecat kamu sekarang juga. Tapi, saya nggak pernah ingkar janji sama Amore. Jadi, kali ini kamu saya maafin,” ucapnya masih dengan sisa-sisa kekesalan.

“Kalo lain kali, Pak?”

Titan melotot pada sang mahasiswa. “Kamu masih mau dapetin surat rekomendasi ke Korea?”

Jatu menelan ludah. Tentu saja jawabannya, iya. Namun, dance K-Pop adalah caranya untuk mengambil hati Amore. Bagaimana jika di lain hari, gadis itu kembali minta diajari?

“Gara-gara main sama kakak-kakak temannya, di kepala Amore sekarang muncul K-Pop-K-Pop itu. Dan sekarang, kamu malah nambah-nambahin,” terang Titan.

“Nggak masalah, sih, Pak. Siapa tahu itu bisa jadi motivasi. Misalnya, buat lanjut sekolah ke Korea.”

“Oh, jadi kamu mau ke Korea biar bisa ketemu artis-artis itu?” selidik Titan.

Jatu mendelik sambil memanyunkan bibir. “Emang ketemu artis Korea bisa semudah nyari kacang goreng?” gumamnya.

Meski hanya gumaman, Titan bisa mendengar apa yang dikatakan Jatu. “Terus, apa alasan kamu mau ke sana?”

Jatu memejamkan sembari menghela napas, seakan-akan Titan menanyakan hal yang sudah jelas terpampang. “Apalagi? Universitas di Korea berada di urutan atas se-Asia. Itu bukti bahwa kualitas pendidikan mereka bagus.”

“Kenapa nggak nyari universitas yang ada di urutan atas se-dunia?” kejar Titan dengan tatapan tajam.

Jatu menggigit bibir. Memang, kualitas pendidikan bukanlah satu-satunya alasan ia ingin melanjutkan pendidikan di Korea. Ada deretan alasan pendukung lainnya.

Ia ingin menikmati setiap musim di bawah jajaran pohon di Nami Island. Ingin merasakan sensasi menjadi permaisuri era Joeson di Istana Gyeongbokgung. Ingin di bertualang di desa kuno Bukchon Village. Ingin berlarian di Pulau Jeju. Ingin menikmati pemandangan malam Seoul dari Namsan Tower. Dan segudang ingin yang lain. Namun, tidak mungkin ia menyebutkan alasan-alasan itu.

“Saya suka Korea Selatan, Pak. Negara maju yang bisa mempertahankan budaya mereka,” ucapnya. Jawaban andalan kedua yang selalu ia berikan jika ada yang bertanya. Ia tidak bohong. Itu adalah salah satu alasan.

Jantung Titan seakan-akan berhenti. Negara maju yang mempertahankan budaya. Alasan itu pula yang membuatnya ingin melanjutkan pendidikan ke Jepang, satu dasawarsa silam. Sayangnya, keinginan itu belum sempat terwujud hingga sekarang.

Titan menunduk, teringat pada dirinya yang dulu. Rasa-rasanya, dia tak tega memupuskan keinginan besar sang mahasiswi. “Datang lagi hari Kamis. Tapi jangan ajari Amore nari-nari,” ucapnya.

“Siap laksanakan, Pak!” ucap Jatu sambil memperagakan sikap hormat. “Kalo gitu, saya pamit, ya, Pak.”  Gadis itu buru-buru menyudahi pembicaraan, khawatir sang dosen berubah pikiran.

Titan mengangguk tanpa memandang sang mahasiswi.

Baru saja Jatu hendak melangkah, tiba-tiba Titan berucap, “Saya liat adegan di parkiran tadi pagi.”

Kalimat itu menghentikan langkah Jatu dan membuatnya kembali duduk. Ia menatap Titan yang sedang serius memandang layar laptop. “Bapak cemburu?”

Titan yang saat itu tengah membuka e-mail dari mahasiswa, langsung mendongak. Tak disangkanya respon itu yang muncul. “Cemburu?” ulangnya yang disambut dengan anggukan Jatu.

“Tenang aja, Pak,” ucap Jatu sambil mengedipkan sebelah mata.

Titan membelalak. Baru sedetik yang lalu hatinya luluh. Sekarang, perempuan di hadapan sudah mulai mencari perkara lagi. “Saya bukan laki-laki gampangan!”

“Dan saya perempuan yang suka tantangan,” balasnya sambil cengar-cengir.

“Argh!” Lama-lama Titan jengkel dengan percakapan yang terjadi. Menyinggung adegan di parkiran  adalah kesalahan terbesarnya sore ini. “Kamu pikir nikah sama duda anak satu itu enak?” tanyanya dengan suara tertahan.

“Saya nggak tahu kalo belum coba,” jawab Jatu cuek. “Lagipula, saya yakin hubungan kita bertiga nantinya akan kokoh.”

“Kita bertiga?” Titan mengerutkan kening.

“Saya, bapak, dan Amore. Kita bisa membentuk segitiga, bangun paling kokoh di antara seluruh bangun datar yang ada.”

Titan mencerna seluruh kalimat Jatu. Kenapa mahasiswa di hadapan mampu menghubungkan teori bangun datar dalam masalah kali ini? Apakah memang pemahamannya sebaik itu? Lalu, kenapa indeks prestasinya selalu mengenaskan?

Titan mendengkus. Kali ini dia tertantang untuk menguji sejauh mana sang mahasiswi mampu bersilat lidah. “Kalo kita punya anak, gimana nasib segitiga itu?”

Mendengar pertanyaan itu, mata Jatu pun berbinar. Dengan tubuh condong ke depan dan tatapan menembus bola mata Titan, ia pun bertanya, “Bapak pengen kita punya berapa anak?”

Alih-alih menjawab pertanyaan sang dosen, Jatu malah mengajukan pertanyaan lain di luar dugaan. Namun, masih berhubungan.

“Saya sih, pengennya punya tiga anak. Yang pertama laki-laki, kedua perempuan, dan terakhir laki-laki lagi. Kalo di tambah Amore, kita jadi punya dua pasang anak laki-laki dan perempuan.” Tanpa rasa bersalah, Jatu terus mengoceh sambil menghitung jari jemari.

Sekali lagi, ocehan itu sukses membuat darah Titan mendidih. Dia baru hendak melontarkan amarah ketika terdengar suara cempreng dari arah belakang.

“Papa mau nikah sama Eonni?” tanya Amore.

Entah sejak kapan gadis kecil itu ada di dekat ruang tamu. Asyik beradu argumen, membuat Titan dan Jatu tidak menyadari kehadirannya.

Kehadiran Amore membuat Titan merasa di atas angin. Dia sangat yakin, jika gadis itu berpikir bahwa Jatu adalah calon mama barunya, Amore pasti akan mencabut janji kelingking yang tadi dibuat dan tidak akan membiarkan guru les itu datang lagi.

Sementara bagi Jatu, pertanyaan Amore seakan-akan sebuah petir yang menyambar di cuaca cerah. Wajahnya tiba-tiba berubah pucat pasi. Satu setengah jam yang ia habiskan untuk membina hubungan baik dengan gadis itu, sekarang sia-sia. Korean tiketnya lagi-lagi akan terbang melayang. Yang lebih parah, mungkin ia juga akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hati Titan.

Selama beberapa detik, suasana di ruang tamu berubah hening. Semua nyaris mematung, kecuali Amore yang bergerak mendekati meja kayu dan duduk di sana, tepat di dekat laptop Titan. Gadis kecil itu lalu menatap bergantian pada sang guru les yang terlihat cemas dan sang papa yang menyunggingkan senyum kemenangan.

“Kalo gitu, mulai sekarang Eonni harus panggil papaku, oppa,” ucapnya kemudian.

Ucapan Amore seolah-olah mengubah keadaan berbalik menjadi 180 derajat. Senyum Titan yang sempat tersungging kini musnah. Sementara wajah pucat Jatu perlahan kembali memerah.

Dalam hati, Jatu bersorak girang. Ah, semesta kembali memberi dukungan.

🌹🌹🌹🌹🌹

Hallo semuanya.

Makasih banyak untuk antusiasme mengikuti cerita ini. Sebenarnya, saya pengen lebih sering update. Tapi takut ceritanya jadi cepat tamat. 🤣🤣🤣

Bukan kok. 😁 Saya sedang mengusahakan untuk meluangkan waktu lebih banyak. Tapi, ternyata belum bisa-bisa. Do'akan jadi bisa ya.
(Kalimat berbelit macam apa ini)

Sebagai penutup, saya kasih foto Amore di ulang tahunnya yang kelima. Jangan salfok, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro