14. BURJ KHALIFA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Eonni, oppa Langit baik, ya?” tanya Amore pada sesi les mereka di hari Senin.

Sore itu, Jatu masih diberi kesempatan untuk datang ke rumah Titan. Kesalahpahaman di CFD kemarin sudah dibahas tuntas. Apalagi, Amore terus-menerus menyalahkan diri sendiri karena dialah yang menginginkan berjalan-jalan bersama Langit dan meninggalkan Jatu. Sang papa pun tak tega dan kembali memberi maaf.

“Baik nggak, Eonni?” desak Amore.

“Mm….” Jatu berpikir selama beberapa saat. “Baik, sih,” jawabnya kemudian, setelah mengingat kebaikan-kebaikan yang diberikan oleh Langit. Tidak hanya untuknya, tapi juga untuk teman-teman yang lain.

Oppa Langit kaya, ya?” tanya Amore lagi.

Kali ini Jatu memicing. “Amore tahu dari mana?”

“Dia beliin aku banyak merchandise. Nggak pake dilarang-larang atau dihitung-hitung kaya papa. Padahal harga semuanya 915 ribu,” ucap Amore.

Jatu menyeringai. Tentu saja Langit akan melakukan apapun demi tujuan yang ingin dicapai. Apalagi hanya mengeluarkan satu atau dua juta rupiah. Meskipun ternyata dia salah paham.

“Kira-kira, oppa Langit sekaya apa, ya?”

“Mmm….” Jatu kembali berpikir. “Kaya banget, deh. Harga mobilnya aja seharga rumah.”

“Masa, sih?” Amore terbelalak. “Kalo gitu, oppa Langit pasti mau jadi donator.”

Jatu mengangguk-angguk. Bukan rahasia jika Langit senang memberikan donasi. Masalahnya, apakah pria itu masih mau mengeluarkan uang setelah tahu bahwa Amore anak dari Titan. Meskipun uang itu untuk keperluan amal.

“Amore lagi buka donasi buat apa?” tanya Jatu. Ia cukup takjub anak seusia Amore telah terlibat dalam gerakan sosial. Padahal, ketika seusia itu ia masih sibuk mengejar layangan putus.

Eonni mau tahu?” selidik Amore.

“Iya, dong. Siapa tahu eonni bisa ikutan.”

Amore melipat kedua tangan sambil memandangi Jatu dengan seksama. Seolah-olah tak yakin bahwa guru di hadapan memiliki uang. “Emang eonni mau nyumbang berapa?”

“Mungkin sepuluh atau dua puluh ribu,” jawab Jatu sambil cengar-cengir.

Amore melengos kecewa. “Nggak usah, deh, Eonni.”

“Emang Amore maunya berapa?”

“Sejuta atau dua juta-lah,” ucapnya tanpa beban.

Jatu terbelalak. “Banyak amat!”

“Makanya, aku mau minta ke oppa Langit. Aku aja rencananya mau nyumbang 3,5 juta.”

“Emang target donasinya berapa?”

“Katanya sekitar 2 miliar.”

Jatu kembali terbelalak. Jumlah yang cukup fantastis. “Buat apa, sih?”

“Buat Jin-day.”

“Jin-day?” ulang Jatu.

“Iya. Di hari ulang tahunnya Jin, beberapa Army Indonesia pengen bikin ucapan happy birthday di billboard Burj Khalifa,” jelas Amore.

“Burj Khalifa? Gedung tertinggi di dunia itu?” Jatu memastikan.

Amore mengangguk. “Katanya, untuk 3 menit harus bayar 980 juta. Karena kita mau nayangin dua kali, jadi kita butuh 2 M,” ucap gadis itu sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengah.

“Dua em untuk ucapan happy birthday?” Jatu memastikan telinganya tidak salah mendengar.

Amore mengangguk pasti sambil menatap bingung atas reaksi yang diberikan sang guru les.

Sementara itu, Jatu tengah berusaha sekuat tenaga menekan keinginan untuk naik ke kasur dan melakukan orasi tentang kelaparan rakyat, kemiskinan kota, pendidikan yang tak merata, serta anak-anak yang terlantar. Sambil dalam hati melontarkan sumpah serapah karena Titan tidak memberikan materi sepenting itu.

Jatu lalu melirik jam tangan. 3.40. Masih sore. Masih ada waktu hingga petang menjelang. “Kita jalan-jalan, yuk,” usulnya.

“Kemana, Eonni?”

“Ada, deh.” Jatu mengedipkan sebelah mata. “Yuk, buruan! Ambil jaket kamu. Kita naik motor.”

Meski bingung, tapi Amore tetap mengikuti perintah Jatu. Ada rasa senang tiba-tiba bergemuruh, membayangkan sensasi naik kendaraan roda dua yang sudah lama tidak dilakukannya.

Jatu menuruni tangga lebih dulu, yang kemudian disusul Amore. Ia berencana meminta ijin pada Titan sebelum berangkat. Namun, dosen itu tak tampak di ruang makan maupun ruang tamu. Hanya Sasti yang tengah berada di taman belakang.

“Ibu,” panggil Jatu setelah sampai di dekat Sasti.

Sasti terkejut dan segera berpaling.  “Loh? Nak Jatu udahan belajar sama Amorenya?” 

Jatu tersenyum lalu menggeleng. Ada materi lebih penting yang harus ia ajarkan. “Oppa Titan di mana, ya, Bu?” tanya Jatu.

“Titan lagi balik ke kampus. Katanya ada berkas yang ketinggalan,” jawab Sasti. “Baru aja jalan.”

“Owh.” Jatu mengangguk-angguk. Jika menunggu hingga Titan pulang, mereka akan terlambat. Gadis itu pun memutuskan utnuk meminta ijin lewat pesan. Sepertinya, itu sudah cukup.

Jatu lalu mengeluarkan ponsel dan mengetik sebuah pesan singkat.

(Oppa. Saya ajak Amore jalan-jalan sebentar.)

Jatu menghentikan ketikan, kemudian mencari-cari sesuatu di dalam tas. ‘Ah, KTP ketinggalan di tas pinggang kemarin,’ rutuknya.

(Saya nggak bawa KTP. Tapi saya taruh SIM di meja makan buat jaminan.)

Send. Selesai mengirim pesan, Jatu lalu berpaling pada Sasti. “Bu, Jatu sama Amore mau keluar dulu, ya.”

“Mau kemana?” Sasti memandang Amore dan Jatu bergantian.

“Jalan-jalan, Nek,” jawab Amore. “Nenek mau ikut?”

Jatu tersenyum tipis. Mana mungkin wanita sepuh itu disuruh duduk di bangku penumpang. “Ada yang mau Jatu tunjukin ke Amore, Bu. Sebentaa...r aja,” jawabnya.

“Oh.” Sasti segera manggut-manggut. Wanita tua itu sangat percaya pada Jatu, sang calon menantu masa depan. “Ya udah. Hati-hati di jalan. Pulangnya jangan sampai magrib. Anak perawan nggak baik pulang malam-malam,” pesannya.

Jatu tersenyum dan mengiyakan. Ia lalu mengambil tangan wanita itu dan menciumnya, salam takzim. Kemudian mempersilahkan Amore untuk melakukan hal yang serupa. Setelah selesai, keduanya pun melangkah meninggalkan salah satu rumah mewah di Sakura Premier.

🌹🌹🌹🌹🌹

Berbekal helm sepeda, Amore duduk di jok belakang motor Jatu. Meskipun asap polusi menyelimuti tubuh, sepanjang perjalanan dia berdendang riang. Baru kali ini dirasakan sensasi angin yang membelai mesra rambut panjangnya. Seolah-olah ada sensasi kebebasan, tidak terkukung dalam kotak logam.

Jatu melajukan motor ke arah utara. Salah satu lokasi yang pernah dikunjunginya bersama teman-teman kampus. Sebelum tiba di sana, gadis itu tak lupa membeli satu kardus susu UHT dan satu kardus biskuit.

Setelah setengah jam melaju di jalan raya yang ramai, motor matic pink itu mulai memasuki daerah perbatasan Jakarta dan Bekasi. Saat memasuki daerah itu, laju motor Jatu mulai berkurang. Jalanan selebar tiga meter itu masih berbatu, lengkap dengan genangan air di beberapa titik.

Di jok penumpang, Amore menyaksikan pemandangan tersebut dengan penuh ketakjuban. Seolah-olah dia baru saja diajak melewati pintu ajaib dan terdampar di daerah yang amat jauh dari ibukota negara. Semua berbeda dengan apa yang biasa dilihatnya sehari-hari.

“Ini kota apa Eonni?” tanya Amore.

“Masih Jakarta, kok,” jawab Jatu singkat.

“Jakarta?” ulang Amore heran.

Gadis kecil itu melihat rumah-rumah dari papan, kayu, dan terpal yang berjajar di kiri dan kanan. Hampir kesemuanya memiliki kesamaan, yaitu terdapat ratusan botol bekas, plastik, kardus, dan kertas di halaman. Beberapa telah dimasukan dalam karung-karung, sementara lainnya masih berada dalam gunungan. Rumah-rumah ini sangat berbeda dengan kompleks-kompleks yang pernah didatanginya.

“Ini namanya Kampung Pemulung,” ucap Jatu, sedikit berpaling ke belakang agar Amore mendengar suaranya.

“Pemulung?” Amore bergidik “Yang bawa karung buat nangkepin anak-anak kecil?”

“Hush!”

“Kata temen aku gitu!” protes gadis kecil itu.

“Pemulung itu yang mungutin plastik bekas, kardus, atau putung rokok. Terus dijual buat didaur ulang,” jelas Jatu.

Amore kembali melihat ke kiri dan kanan. Sepanjang jalan terdapat beberapa gerobak yang tengah mengangkut botol-botol plastik dan kardus. Ada juga beberapa anak kecil yang tengah berjalan beriringan sambil bercanda. Mereka memanggul karung dan menenteng tongkat besi. Beberapa mengenakan sandal, sedang yang lain memilih bertelanjang kaki.

“Dia dapat uang, dong?” tanya Amore sambil menunjuk anak-anak kecil tersebut.

“Hu-um.”

Amore terpesona mendengar jawaban itu. Dia merasa sedikit iri karena anak-anak kecil itu bisa mendapatkan uang sendiri.

Motor Jatu berhenti di salah satu bangunan berdinding papan. Di bagian depan, Bendera Merah Putih berkibar di tiang yang menjulang, seakan-akan menjadi penanda keberadaan tempat tersebut.
Halamannya tidak luas, tapi cukup untuk memarkir dua buah mobil. Mobil-mobil itu terkadang hadir membawa bantuan dan donasi. Namun, biasanya hanya lima tahun sekali.

Dari halaman itu pulalah, terdengar suara tawa dan celoteh khas anak-anak.

“Ini tempat apa, Eonni?” tanya Amore dengan perasaan khawatir.

“Rumah Belajar Ceria.” Jatu menjawab singkat. Tanpa ragu, gadis itu berjalan menuju bangunan itu sambil membawa dua kardus yang telah disiapkan. Sementara di belakang, Amore mengikuti.

“Hei, Jatu!” Seorang pria berbadan tambun menyambut Jatu dan Amore di ambang pintu. “Udah lama nggak keliatan. Sini, masuk!”

“Halo, Mas Kapong,” balas Jatu sambil tersenyum, lalu menyerahkan kardus-kardus yang dibawa.

Pria tambun itu meraih bingkisan sambil mengisyaratkan agar kedua tamu tersebut ikut masuk. Jatu dan Amore masuk ke bangunan lalu berdiri di dekat pintu masuk. Sementara pria yang dipanggil Kapong pergi untuk meletakan kardus-kardus di salah satu pojok ruangan.

Di dalam ruangan seluas 6 x 10 meter itu terdapat 15 anak yang tengah duduk rapi sambil memandang ke arah papan tulis. Semuanya terlihat serius mendengarkan seorang wanita muda yang tengah berbicara di depan. Sesekali mereka tertawa ketika mendengar gurauan.

Amore menyeksamai anak-anak yang berada cukup jauh dari tempatnya berdiri. Usia mereka hampir setara dengannya. Bahkan ada beberapa yang lebih kecil.

“Mereka lagi bimbel?” tanya Amore sambil berbisik.

“Lagi sekolah,” jawab Jatu, juga dengan berbisik.

Amore memperhatikan para murid yang mengenakan pakaian beragam. Rata-rata kelonggaran, lusuh, bahkan ada yang memiliki lubang dan tambalan. “Kok nggak pake seragam?”

“Harga seragam mahal,” jawab Jatu singkat.  

Amore mengernyit. Dia tidak pernah tahu jika harga seragam sekolah benar-benar tak terjangkau untuk beberapa orang.

“Kenapa sekolahnya sore-sore?” tanyanya lagi, bak wartawan.

“Kalo pagi sampai siang, mereka mulung.”

Meski sedikit heran dengan perbedaan waktu tersebut, tapi Amore tetap manggut-manggut. “Berarti sekolahnya tiap sore, ya?”

“Seminggu cuma dua kali.”

“Kok gitu?” protes Amore sambil membayangkan jika sekolahnya memberlakukan hal yang sama.

“Gurunya cuma bisa seminggu dua kali.”

“Nggak boleh gitu, dong. Kan udah dibayar,” protesnya dengan suara setengah berbisik.

“Gurunya nggak dibayar. Kan sekolahnya gratis.”

Amore membelalak. “Gratis?”

“Anak-anak ini nggak punya uang. Makanya sekolah di sini. Yang gratis.”

“Kan mulung dapat uang!” Amore kembali melayangkan protes.

“Dapat uangnya nggak banyak. Terus, uangnya juga udah dipake buat beli makan.”

Amore masih ingin mengajukan pertanyaan, tapi Kapong sudah berdiri di samping Jatu.

“Jatu mau ngajar?” tanyanya sambil melirik ke arah barisan anak-anak.

“Nggak Mas Kapong. Saya cuma mampir doang,” ucap Jatu sambil mengerling ke arah Amore yang kembali menatap anak-anak di hadapan. “Jadi nggak lama.”

Kapong segera melihat Amore. Ditelisiknya gadis kecil yang penampilannya terlihat berasal dari keluarga berada. Seketika dia mengangguk. Tanpa dijelaskan, dia mengerti maksud kedatangan Jatu.

Jatu dan Amore berada di Rumah Belajar Ceria selama lima belas menit. Setelahnya mereka pamit.

“Kalo lagi hujan deras, sekolah itu tutup,” ucap Jatu membuka percakapan saat keduanya telah kembali berada di motor.

“Kenapa?”

“Atapnya sekolahnya kan bocor. Nanti pada kebasahan.” Jatu memiringkan kepala ke arah belakang.

“Mereka juga belajarnya pake kertas bekas dari hasil mulung. Biar hemat,” ucap Jatu lagi.

“Emang nggak ada yang beliin buku sama atap baru, ya?” tanya Amore.

Jatu menyeringai. “Orang-orang yang punya uang lagi sibuk sama urusan lain. Misalnya, nyewa iklan di Burj Khalifa,” sindir Jatu.

Selama beberapa saat Amore terdiam. Dalam hatinya terjadi pergolakan.

“Aku salah, ya, karena jadi Army?” tanya Amore.

Mendengar suara sendu Amore, Jatu pun meminggirkan motor, lalu turun. Ia kemudian berdiri tepat di hadapan gadis kecil itu.

Eonni nggak bilang Amore salah. Amore boleh tetap jadi Army. Boleh tetap suka BTS,” ucap Jatu sambil membelai pipi Amore. “Tapi, untuk iklan ulang tahun itu, menurut eonni kurang tepat aja.”

“Tapi, kan, aku pengen nunjukin dukunganku ke Jin,” ucap Amore dengan mata berkaca-kaca.

“Amore bisa kok tetap dukung Jin dan BTS. Misalnya, beli DVD asli mereka. Atau subscribe channel mereka. Mereka pasti senang dan semakin semangat bikin lagu.”

“Tapi, aku pengen ngasih sesuatu pas ulang tahun Jin.” Amore masih belum puas.

“Sesuatunya kan bisa yang lain. Misalnya, kegiatan amal untuk memperingati ulang tahun Jin. Nanti Amore bisa share di IG atau FBnya Army.”

“Tapi, kalo nggak ikutan proyek di Burj Khalifa, nanti aku….” Amore menggantung kata-katanya.

Jatu tersenyum. Ia tahu, anak seusia Amore akan takut kehilangan peran dalam group sebaya. “Amore ajak aja teman-teman buat proyek baru ini. Kasih tahu kenapa proyek ini lebih bermanfaat.” 

“Kalo mereka nggak mau? Lagian, waktunya tinggal seminggu lagi.”

“Tenang aja. Amore punya sumber donator yang lain.” Jatu pun membisikkan sesuatu di telinga gadis kecil itu. “Gimana?”

Tanpa banyak berpikir, Amore pun mengangguk setuju. Lalu dipeluknya sang guru.

Gomawo, Eonni,” bisiknya.

🌹🌹🌹🌹🌹

Selamat sore semua.

Oppa Titan belum hadir dulu, ya. Dia masih ambil berkas di kampus. 😜

Btw, kira-kira kaya gini kalo Amore lagi dipeluk Jatu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro