16. I DARE YOU!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Delapan puluh menit di hari itu terasa bagai delapan jam bagi Titan. Bagaimana tidak? Sepanjang menyampaikan materi, sepasang mata terus berbinar menatapnya. Bukan tatapan karena serius menerima pelajaran. Namun, tatapan kagum penuh rasa cinta. Rasa-rasanya, ia ingin segera menyudahi kelas lalu keluar karena tak sanggup menahan canggung.

Terlebih lagi sang pemilik sepasang mata itu mengabadikan tidak-tanduk dirinya dalam kamera yang secara terang-terangan diarahkan ke depan. Titan ingin sekali menegur perilaku sang mahasiswi, tapi ia takut malah akan mendapat rangkaian kalimat lain yang akan membuat tak berkutik.

Sementara bagi Jatu, kuliah dua SKS hari itu terasa begitu mendebarkan. Dia seolah-olah tidak sedang  mendengar materi, tapi rangkaian kata-kata rayuan. Setiap gerak-gerik sang dosen, seakan-akan menjadi isyarat yang mengajaknya untuk berdansa. Rasa-rasanya, dia ingin segera menghampiri dan memenuhi ajakan itu.

Bagaimana tidak? Pagi tadi dia mendapatkan satu pesan yang hampir membuat jiwanya melayang dan lupa pulang. Sang duda meminta waktu untuk bertemu. Yang oleh Jatu diartikan sebagai kencan untuk kali kedua.

Hingga saat jam berakhir, Titan pun segera bergegas pergi. Setelah sebelumnya melirik pada gadis yang masih saja menatapnya dengan mata berkelip-kelip. Ah, sepertinya ia telah salah mengambil keputusan, rutuknya dalam hati.

Pukul tiga kurang sepuluh, Titan berjalan menuju coffee campus. Tempat yang biasa ia datangi untuk meneguk dua cangkir kopi. Namun, kali ini ia ke sana bukan sekedar untuk menikmati kopi, tapi juga untuk sebuah janji. Titan segera mengambil duduk di pojok ruangan, ditemani secangkir Kopi Gayo yang asapnya mengepul-ngepul.

Lima menit menanti, yang ditunggu akhirnya hadir. Tentu saja. Mana mungkin gadis itu melewatkan kesempatan untuk menikmati kopi sore dengan sang pujaan.

Melihat Titan yang duduk bersandar di kursi dan berpura-pura menikmati pemandangan dari jendela, Jatu pun menghampiri. Tanpa kalimat sapaan, gadis itu menarik kursi di hadapan, lalu duduk sempurna. Dia yakin, sang dosen duda sudah mengetahui kehadirannya sejak pintu café terbuka.

“Kenapa kamu tadi rekam-rekam saya? Mau masukin di channel youtube kamu?” tanya Titan tanpa mengalihkan pandang dari jendela. Alih-alih menanyakan kabar, ia malah melayangkan pertanyaan tersebut.

“Jangan asal-asal nuduh.” Jatu memonyongkan bibir sejenak, lalu mengembalikan bibir itu ke tempat semula. “Saya nggak bisa konsentrasi. Makanya, materi tadi saya rekam. Biar bisa saya dengerin ulang di kost-an.”

“Kenapa nggak konsentrasi? Gara-gara SIM kamu?” tanya Titan. Namun, sedetik kemudian ia menyesali pertanyaan itu. Kenapa juga dirinya harus peduli pada gadis itu? Mau konsentrasi kek, nggak kek, terserah dia! rutuk Titan dalam hati.

“Gimana bisa konsentrasi kalo calon imam lagi orasi di depan kelas.” Jatu menunduk, pura-pura malu, yang membuat Titan menjadi kikuk.

“Kamu...,” geram Titan. “Kamu bisa nggak sih melupakan keinginan itu?”

Jatu mendongak perlahan, lalu mengerjap-ngerjapkan mata seolah-olah bingung. “Keinginan apa?”

“Keinginan….” Titan menelan ludah, “keinginan buat nikah sama saya,” ucapnya buru-buru, lalu membuang muka.

Jatu menghembuskan napas panjang, seakan-akan ada beban berat yang sedang ditanggung. “Kalo bapak minta itu, berarti saya harus ke kelurahan dulu.”

Titan memalingkan wajah, menatap bingung pada gadis di hadapan. “Ngapain ke sana?”

“Mau bikin surat keterangan tidak mampu,” ucap Jatu sambil mengulum senyum.

Mulut Titan terbuka lebar, ingin membalikan kata-kata Jatu. Namun, otaknya seakan-akan mendadak kosong. Ia dengan segera melupakan keinginan untuk adu argumen dan mengambil sesuatu dari kantong kemeja.

“Ini SIM kamu!” Dengan kasar, Titan meletakan selembar kartu di meja. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

Masih dengan mata berbinar yang dilengkapi senyuman, Jatu meraih kartu kecil tersebut. Menelisiknya bagai baru mendapatkan benda baru.

“Ada yang mau kamu jelasin?” tanya Titan dingin.

Jatu menggeleng, masih dengan senyum terkembang. “Saya yakin, jubir saya sudah menjelaskan semua,” ucap Jatu merujuk pada Amore.

“Kamu nggak khawatir ‘jubir’ kamu itu menambah atau mengurangi cerita?” tanya Titan. Ia sengaja memberi penekanan pada kata jubir.

“Kalopun dia melakukan itu, pasti demi kebaikan saya. I believe her,” jawab Jatu sambil mengangguk-angguk bijak.

Titan mendengkus. Sungguh, sepertinya ikatan antara kedua perempuan itu sudah terlalu erat. Ia bahkan hampir-hampir saja cemburu. Tentu saja kecemburuan sebagai seorang ayah. Bukan yang lain!

“Mengenai masalah kemarin,” Titan menenggak seteguk kopi, “saya mau minta bantuan kamu.”

“Hemm….” Jatu bergumam sambil menopang dagu. Seakan-akan permintaan Titan sangat sulit untuk diwujudkan. Meskipun dia belum tahu apa yang diinginkan.

“Bisa, sih. Tapi, saya juga punya permintaan.”

Titan mengangguk, seolah-olah tahu apa yang akan diminta gadis itu. “Kamu masih bisa lanjut jadi guru les Amore.”

Jatu menggeleng tegas. “Bukan itu.”

Oke, oke. Korean ticket kamu tetap aman. Saya akan kasih.”

Lagi-lagi Jatu menggeleng, kali ini dengan bibir dimanyunkan. “Bukan itu juga.”

“Terus apa?” tanya Titan dengan ekpresi putus asa.

“Saya boleh manggil oppa lagi, kan?” tanyanya dengan senyum terkembang sempurna.

Napas Titan tertahan, tak menyangka gadis itu malah mengajukan permintaan absurd. Saat itu, rasanya ia ingin tertawa dan marah sekaligus. “Boleh!” ucap Titan ketus. “Tapi di rumah aja.”

Jatu segera mengangguk. Hal itu sudah lebih dari cukup.

“Jadi, kamu bisa bantu saya?” tanya Titan lagi, menagih janji.

Jatu memutar kedua bola mata, seakan-akan berpikir. “Bisa, sih. Tapi, saya boleh pesen makanan dulu nggak?”

Titan mengangguk.

“Bapak yang bayarin, kan?” tanyanya takut-takut, tak ingin kejadian di Rainbow Cafe terulang.

Titan menghela napas panjang, tapi tak urung mengangguk.

Lima menit kemudian, segelas capucinno dingin yang tetesan embunnya menempel di dinding gelas, sepiring spaghetti yang menguarkan aroma keju, dan semangkuk macaron dengan warna-warni cantik, telah tersaji. Jatu segera melahap hidangan itu dengan semangat berapi-api. Perutnya memang kosong karena belum terisi sejak pagi tadi.

Titan mengamati tingkah laku selama beberapa menit. 'Mana mungkin gadis seperti ini menjadi ibu pengganti untuk Amore?' pikirnya dalam hati. Namun, ia lagi-lagi merutuki diri karena membiarkan pikiran tersebut melintas di benak.

Setelah melihat piring spaghetti bersih tak bersisa, Titan pun berdehem. “Jadi, kita sudah bisa mulai diskusi?”

Jatu menengguk minuman, lalu mengambil sebuah macaron warna putih. Dengan mulut penuh berisi kue kering bulat itu, dia mengangguk-angguk.

“Sejujurnya, saya senang karena kamu bisa mengarahkan kesukaan Amore ke hal-hal yang positif,” ucap Titan.

Jatu segera membusungkan dada. Tak lupa tersenyum jumawa. “Bilang apa, dong?”

“Terima kasih,” ucap Titan dengan senyum dipaksakan. Sedikit merasa kesal karena ditagih. “Terus, kamu udah punya rencana untuk donasi itu?”

Jatu segera mengangguk. “Tunggu sebentar!” pintanya sambil mengacungkan telunjuk. Gadis itu mengeluarkan ponsel, lalu mulai mengambil ancang-ancang untuk menelepon seseorang.

Titan menekan rasa kesal. Gadis di hadapan makin semena-mena. Di tengah perbincangan dengan dosennya, dia justru menelepon orang lain. Bahkan menginfokan lokasi keberadaannya. Sambil menanti Jatu menyelesaikan urusan, Titan kembali meneguk kopi yang sudah mulai dingin. Sepertinya, hari ini ia butuh lebih dari empat cangkir.

“Jadi, apa rencana kamu?” tanya Titan lagi setelah Jatu menutup telepon.

“Bapak mau tau rencana saya?” selidik Jatu.

Titan mengangguk pasti.

“Rencana saya sih, kita nikah di gedung yang ada di Serang. Untuk makeup--”

“Jatu!” Gigi-gigi Titan bergemelatak menahan jengkel. “Rencana donasi. Do-na-si.”

“Owh. Bilang, dong. Saya kira rencana yang lain. Tunggu bentar, Pak. Bantuan sedang menuju ke sini,” terang Jatu sambil kembali menyeruput capucinno dan menggigit macaron.

Tak berselang lama, pintu coffee campus terbuka. Seorang pria gondrong masuk dengan senyum terkembang. Namun, senyum itu musnah ketika melihat Jatu tengah duduk dengan sosok yang dibencinya sampai ke ubun-ubun.

“Langit! Sini, sini!” panggil Jatu sambil melambaikan tangan.

Panggilan yang membuat kopi yang tengah ditenggak Titan, menyembur, keluar dari mulut. Kenapa juga gadis itu memanggil si mantan Ketua BEM?

Dengan wajah ditekuk, Langit duduk di samping Titan. Ingin rasanya dia kabur. Namun, jika begitu, artinya Jatu akan berduaan saja dengan sang dosen. Tentu saja dia tak bisa membiarkan hal itu terjadi.

“Kenapa, Jat? Lo digangguin lagi sama duda ini?” tanya Langit sambil melirik ke arah Titan. Dia yakin, Jatu dipaksa datang ke coffee campus oleh duda itu. Mengingat harga-harga menu yang tinggi, tidak mungkin gadis itu datang ke coffee campus dengan kesadaran sendiri.

Jatu melambaikan tangan. “Nggak, kok. Gue mau minta bantuan lo,” ucap Jatu sambil melipat kedua tangan di meja. “By the way, lo mau pesen kopi apa? Tenang aja, Pak Titan yang bayarin.”

Mendengar hal tersebut, kedua pria itu saling mendelik. Titan tentu saja tak ingin mengeluarkan sepersen pun uang untuk pria yang telah mencoreng harga dirinya sebagai duda. Terlebih lagi, pria itu sempat menculik Amore.

Dan bagi Langit, kehormatannya akan terasa diinjak-injak jika sampai menerima traktiran sang rival. Harga secangkir atau seratus cangkir kopi di coffee campus sangat murah baginya. Kalau perlu, dia bisa membeli café itu sekarang juga.

“Ya udah, kalo lo nggak mau minum kopi. Kita mulai aja diskusinya,” putus Jatu setelah melihat kedua pria di hadapan saling menatap tajam tak berkesudahan.

“Lo inget Rumah Belajar Ceria yang didiriin Mas Kapong sama teman-temannya?” tanya Jatu pada Langit.

Yang ditanya segera mengangguk, sambil menangkap ekspresi ingin tahu di wajah Titan. “Ingetlah. Gue sama lo kan beberapa kali jadi guru relawan di sana,” ucap Langit, memberi penekanan pada kata ‘gue’ dan ‘lo’. 

Jatu manggut-manggut. “Jadi, gue sama Amore, anaknya Pak Titan, punya proyek donasi buat Rumah Belajar Ceria. Renca--”

“Lo perlu berapa? Gue kasih sekarang!” potong Langit sambil melirik Titan. Dia ingin unjuk diri.

No, no! Gue pengen ini jadi donasi komunal. Bukan donasi tunggal,” tolak Jatu. “Lagipula, awalnya ini proyek Amore. Gue cuma bantuin.”

Langit terdiam selama beberapa saat. Ternyata, penggagas proyek itu adalah anak sang rival. Bagaimana mungkin dia membiarkan hal tersebut berhasil?

“Kalo dia nggak mau ikut, nggak usah dipaksa,” ucap Titan dingin, kembali menyeruput kopi hingga habis. Setelahnya, ia memanggil pelayan dan minta tambahan segelas kopi lagi.

Langit mendelik. Dalam dadanya terjadi perseteruan. Jika terlibat artinya dia menolong kesuksesan anak si duda. Namun, jika berlepas tangan, artinya dia membiarkan Jatu terlibat khusus dengan anak beranak tersebut. Tentu saja dia tak rela. Setidaknya, kehadiran dirinya bisa menjadi penengah. Mencegah hubungan mereka kian bertambah akrab.

“Karena lo yang minta, mau nggak mau, gue ikut,” putus Langit, seolah-olah terpaksa. “Jadi, gue bisa bantu apa?”

‘Sip.” Jatu mengacungkan jempol lalu memandang kedua pria yang duduk di seberang itu secara bergantian. Dia yakin, idenya akan mendapat sambutan luar biasa dari para donatur. Sepuluh bahkan dua puluh juta rupiah pasti bisa dihasilkan dengan mudah.

“Jadi, rencana gue begini.” Jatu membasahi bibir sebelum menjelaskan. Gadis itu lalu menjabarkan ide yang dimiliki.

“Kamu serius mau pake ide itu?” respon Titan, masih dengan ekpresi tak percaya.

Jatu mengangguk tegas. “Ini satu-satunya ide yang bisa menghasilkan banyak donasi dalam waktu singkat.”

“Nggak ada ide lain, Jat? Masa gue harus ngancurin citra gue demi anak duda ini!” Langit melirik ke arah Titan.

Jatu menggeleng mantap. “Tenang aja, gue akan menghargai setiap tetes keringat lo.”

“Bukannya gue pamrih. Tapi, apa keuntungan gue? Karena ide ini bener-bener masalah serius buat gue,” tantang Langit.

Jatu mengetuk-ngetuk telunjuk ke dahi, seakan-akan berpikir keras. “Oke, kita buat ini jadi kompetisi. Siapapun yang mendapatkan donasi terbanyak, bisa makan malam sama gue. Gimana?” tawarnya.

“Makan malam sama kamu?” tanya Titan tak percaya. “Oke, karena saya baik hati, saya akan mengalah dari awal.”

Pria itu menyeringai. Jika ikut dalam kompetisi tersebut, bisa-bisa ia mendapat tuduhan ingin menikmati makan malam bersama sang mahasiswi tomboi.

“Bapak yakin?” tanya Jatu yang disambut anggukan Titan.

Tubuh gadis itu melunglai, dengan ekpresi sedih yang menghiasi wajah. Dia memencet hidung, seolah-olah menahan isak yang terlanjur turun. “Saya nggak bisa membayangkan perasaan Amore kalo tahu bahwa papanya nggak kompeten.”

Titan menganga. Tak bisa dipercaya bahwa sang mahasiswi mampu mengusik harga dirinya. Bagaimana mungkin ia sanggup menahan kekecewaan Amore? Sementara sepanjang hidup sang anak, ia sudah berusaha keras untuk selalu menjadi ayah yang sempurna.

“Oke, saya ikut! Saya pastikan bahwa saya akan memberikan yang terbaik untuk Amore.” Titan mendeklarasikan pertarungan.

Langit menggebrak meja. “Bilang aja bapak mau hadiah makan malam itu!” ucapnya lantang. “Tenang aja, Jat! Gue pastiin, gue bakal ngalahin predator ini!”

Kedua pria itu saling menatap sengit.

Melihat itu, Jatu tersenyum puas. Apapun motif keduanya, dia hanya ingin memastikan dua hal terwujud. Pertama, rasa empati Amore semakin terasah. Kedua, anak-anak di Rumah Belajar Ceria mendapat bantuan untuk mewujudkan ruang kelas yang layak.

🌹🌹🌹🌹🌹

Happy long holiday...

Dari Langit yang lagi ngatur strategi.


Dan dari Titan yang lagi ngitung peluang kemenangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro