17. DINNER

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Tan, kamu serius ikut foto-foto gini?” tanya Yoga.

Titan yang tengah membenarkan posisi dasi, melirik sekilas. “Emang saya pernah main-main?”

“Tapi….” Yoga tidak melanjutkan kalimat.

“Kamu nggak setuju?”

“Ya iyalah,” ucap Yoga sengit, lalu duduk di kursi yang telah dipersiapkan untuk sang sahabat, yang terletak di sisi kanan café. “Kamu jadi kaya badut di taman hiburan. Di foto, terus dapat uang. Harga diri, Tan. Harga diri!”

“Bisa dipake buat donasi nggak?” tanya Titan ringan.

Yoga mengernyit. “Maksudnya?”

“Harga diri. Bisa dipake buat donasi nggak?”

“Nggak, sih.” Yoga menggaruk-garuk kepala, salah tingkah. “Tapi, Tan….”

“Apalagi?” respon Titan enggan. Kali ini, ia sedang sibuk merapikan setelan warna hitam yang membalut tubuh.

Yoga berdehem, menyusun kata-kata yang hendak dilontarkan. “Kalo kamu capek, saya bersedia gantiin, kok.” Pria itu mengulum senyum. Kapan lagi dia dapat kesempatan emas berfoto dengan para mahasiswi. “Jangan salah sangka, ya. Ini karena saya pengen ikut kontribusi,” tambahnya buru-buru.

Titan menyeringai. Jika Yoga menggantikannya, bisa dipastikan ia akan kalah dalam pertarungan. Seandainya bukan karena donasi dan kompetisi itu, ia akan dengan senang hati memberikan kesempatan pada sang sahabat.

“Gimana, Tan? Kapan kira-kira kamu capek? Biar saya bisa siap-siap,” desak Yoga sambil membayangkan kesempatan tersebut.

Titan menarik Yoga dari kursi yang disediakan untuknya, lalu duduk di sana. “Tenang aja. Saya dalam kondisi paling fit,” jawabnya dengan senyum lebar.

Waktu penggalangan dana yang singkat membuat ide photo booth menjadi pilihan Jatu. Untuk menjalankan rencana tersebut, dia menyewa coffee campus. Gadis itu juga meminta kerjasama Raven dan teman-teman dari klub mahasiswa pecinta fotografi. Dengan harga yang dibayarkan, setiap donatur akan mendapatkan satu lembar foto cetak ukuran 4 x 6.

Kegiatan tersebut akan berlangsung selama tiga hari, dari Rabu hingga Jumat, pada pukul 3.30 sampai 5.30 sore. Di waktu-waktu tersebut, Titan dan Langit akan merelakan diri mereka sebagai artis utama yang akan berfoto bersama para donator.

Setiap orang yang ingin berfoto, hanya perlu membayar karcis sebesar dua puluh ribu rupiah per orang per satu sesi foto. Setelah dipotong biaya fotografer, cetak, dan sewa café, mereka masih mendapat keuntungan lima belas ribu rupiah per karcis, yang dialokasikan untuk donasi.

“Lang, kenapa lo nggak langsung ngasih donasi uang aja, sih?” protes salah satu teman dekat Langit.

Langit membisu. Sebelum mendapat saran itu, dia telah melakukannya lebih dulu. Namun, ditolak mentah-mentah oleh Jatu.

“Dari SMA lo kan paling anti difoto bareng cewek. Apalagi foto berdua. Lo nggak khawatir citra lo tercoreng?” Lagi-lagi sang sahabat mencoba menghentikan Langit.

“Apa artinya citra dibanding cinta,” ucap Langit santai. Sore hari itu, dia telah siap di kursi dengan kemeja santai yang dua kancing atasnya terbuka.

“Gimana kalo cewek-cewek itu nyebarin foto-foto lo dan bikin hoax?” tanya sang sahabat lagi. Dia masih bersikukuh agar Langit mundur dari acara yang menurutnya lebih memiliki banyak kerugian.

“Mereka nggak akan berani,” jawab Langit sambil terus memikirkan beragam strategi untuk mengalahkan Titan.

Pria yang berdiri di dekat Langit itu berdecak putus asa. “Tapi, Lang--”

“Lo udah pastiin semua member di fans club gue beli karcis, kan?” potong Langit.

“Udah.” Sang sahabat mengangguk.

“Jangan lupa juga pastiin anak-anak BEM univ, fakultas, jurusan, sampai prodi buat ikut. Lo harus bisa ngeyakinin mereka bahwa kesempatan ini nggak datang dua kali,” ucap Langit dengan wajah serius.

“Iya. Infonya udah gue sebar di WAG.”

“Pastiin mereka datang! Jangan cuma share info.” Langit mendelik. Sedetik kemudian, dia melirik sang saingan di sisi seberang. “Gue harus pastiin kalo gue menang!”

🌹🌹🌹🌹🌹

Seperti perkiraan Jatu, antusiasme para donator sangat tinggi. Setiap sore, antrian di luar coffee campus mengular hingga ke jalanan. Umumnya didominasi oleh kaum hawa, meskipun ada juga segelintir kaum adam yang ikut berbaris.

Beberapa donatur bahkan membeli karcis berkali-kali agar bisa mendapatkan lebih dari satu foto. Banyak juga yang berdandan sangat cantik untuk kesempatan langka itu. Namun, ada satu peratuan ketat yang harus dipatuhi setiap orang. Tidak boleh ada kontak fisik dengan dua artis utama.

Tak terasa, photo booth untuk penggalangan donasi berakhir. Meskipun banyak pihak menyayangkan waktunya yang teramat singkat, sambil berharap kegiatan serupa akan kembali digelar dalam waktu dekat.

🌹🌹🌹🌹🌹

Dengan laptop di hadapan, Jatu tengah menghitung perolehan donasi yang diperoleh selama tiga hari tersebut. Raut wajahnya bahagia karena hasil yang didapat jauh melampaui target. Dia telah membayang-bayangkan apa yang bisa dilakukan untuk Rumah Belajar Ceria.

Sementara di kursi, Langit dan Titan masih duduk sambil saling berpandangan penuh makna. Mereka memiliki satu pertanyaan yang sama. Namun, masing-masing ragu untuk melontarkannya. Hingga akhirnya Langit tak lagi bisa menahan sabar.

“Jat, jadi, siapa yang menang? Gue, kan?” tanya Langit dengan perasaan penuh percaya diri.

Dari dekat meja kasir, Jatu mendongak. Lalu kembali dilihatnya layar monitor. Sejenak dia ragu dan bimbang. Gadis itu lupa memprediksikan kehadiran variabel lain yang mengacaukan tatanan aturan yang telah ditetapkan. Tentu saja juga mempengaruhi hasil yang didapatkan.

Jatu memandang Langit dan Titan bergantian. “Kita dapat donasi yang jauh melampaui target. Semua berkat usaha lo dan Pak Titan. Jadi gue rasa, masalah pemenang udah nggak penting lagi,” ucapnya sambil tersenyum, memperlihatkan gigi ginsul.

Langit melirik Titan. “Buat gue, masalah pemenang tetap penting. Lo sendiri yang udah ngasih janji,” ucap Langit. Dia tidak mau kehilangan kesempatan menikmati makan malam dengan Jatu. Berdasarkan pengamatan, harusnya dia yang jadi pemenang.

“Buat saya juga penting.” Titan juga angkat suara. Ia juga sangat yakin, dirinya berhasil menang. “Tapi jangan salah sangka! Saya nanya ini karena Amore pengen tahu hasilnya,” tambahnya buru-buru.

Jatu memandang kedua pria itu bergantian. Jika dihitung dari banyaknya karcis yang terjual, Langitlah pemenangnya. Tentu saja! Pria itu mengarahkan banyak massa untuk kegiatan amal tersebut.

Akan tetapi, jika dihitung dari banyaknya perolehan donasi, Titanlah pemenangnya. Bagaimana tidak? Beberapa rekan dosen hingga pejabat kampus turut serta dalam kegiatan tersebut. Mereka membayar tiket dengan harga yang berpuluh-puluh kali lipat lebih tinggi dari harga asli.

“Mm… Kalo dari jumlah donatur, Langit yang menang,” ucap Jatu sambil melirik Langit yang tengah tersenyum jumawa. “Tapi kalo dari jumlah donasi, Pak Titan yang menang.”

Titan dan Langit saling berpandangan. Mereka tidak terima pada hasil yang ambigu seperti itu. Kali ini, masalah menang dan kalah sudah menjadi urusan gengsi.

“Berarti, saya yang menang, dong,” ucap Titan. “Pemenangnya yang paling banyak mengumpulkan donasi, kan?”

Mendengar itu, mata Langit berkilat. “Kalo semua donatur beli tiket dengan harga sama, harusnya saya pemenangnya!” ucapnya sengit.

“Salah sendiri donatur kamu beli tiket sesuai harga,” respon Titan yang membuat Langit semakin jengkel.

Langit lalu berpaling pada Jatu. “Jat, kalo pemenangnya diputuskan berdasarkan jumlah akhir donasi, gue bisa nambahin berkali-kali lipat, kok.”

Langit dan Titan kembali berpandangan. Kali ini dengan tatapan berkali-kali lebih sengit.
 
Jatu menghela napas panjang, lalu bangkit. “Oke. Saya punya ide.” Gadis itu berjalan pelan ke tengah-tengah kedua pria tersebut. “Buat dapetin pemenangnya, gimana kalo kita bikin photo booth part dua?” tanyanya yang disambut dengan tatapan tak terima dari kedua pria di hadapan.

“Nggak”

No!”

Titan dan Langit menjawab hampir bersamaan. Sudah cukup tiga hari ini mereka menggadaikan harga diri dan citra.

🌹🌹🌹🌹🌹

Acara photo booth berhasil mengumpulkan donasi dengan total 86 juta rupiah. Ditambah dengan donasi dari teman-teman Amore, maka terkumpul dana dengan total 97,7 juta rupiah yang oleh Titan digenapkan menjadi 98 juta rupiah. Seluruh uang tersebut akan diserahkan pada pengurus Rumah Belajar Ceria agar dikelola dan dipakai untuk mengganti atap, memberi perlengkapan alat tulis, serta membangun perpustakaan mini.

Pada Sabtu sore, dua mobil dan satu motor melaju di sepanjang kampung pemulung. Titan dan Amore berada di HRV, Langit dan Yoga di dalam Hummer, sementara Jatu dan Raven bermotor-ria. Mereka beriringan menuju Rumah Belajar Ceria. Saat tiba di bangunan tersebut, keenamnya langsung disambut oleh Kapong dan beberapa murid yang meluangkan waktu untuk bertemu dengan para donatur.

Mereka membuat lingkaran besar, saling menyapa, dan berkenalan. Sesekali diisi dengan nyanyian dan gurauan. Sesuai rencana, Raven mengambil beberapa dokumentasi dan video untuk disebar oleh Amore di media sosial Army, sebagai bentuk pertanggungjawaban serta memberi inspirasi untuk kegiatan para fandom di masa yang akan datang.

Saat orang-orang sibuk dalam lingkaran tersebut, Jatu memilih menepi di teras. Dia tak mampu menahan haru karena dua tujuannya berhasil tercapai.

“Kamu nggak ngasih sepatah dua patah kata?” tanya Titan yang menyusul sang gadis ke teras depan. Di tengah canda tawa di ruangan, ia merasa kehilangan satu sosok yang telah menggagas ide brilian tersebut.

Jatu buru-buru menghapus sudut mata yang basah, lalu menggeleng. “Saya belum minat nyalon jadi anggota dewan,” jawab gadis itu sekenanya.

Titan tersenyum lalu mengambil tempat di samping Jatu. Dia sungguh bahagia kembali terlibat dalam kegiatan sosial. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir ia melakukannya. Terlebih lagi, mahasiswa itu mengajak putrinya untuk ikut serta.

“Makasih,” ucap Titan singkat, setengah berbisik. Suaranya sangat pelan hingga seolah-olah tenggelam dalam hembusan angin.

“Hah?” Jatu memalingkan wajah. Dia khawatir rasa haru yang terlalu membuatnya salah dengar. Sejak kapan sang dosen mengucapkan terima kasih tanpa diminta? Selama menjadi guru les Amore, pria itu nyaris tidak pernah mengucapkan kata-kata manis tersebut.

Mendapat respon tersebut, Titan menjadi keki. Segera dipalingkannya wajah, memandang ke arah jalanan. “Kamu sudah melakukan hal yang bagus. Punya permintaan?” tanyanya acuh tak acuh.

Satu senyum segera tersungging di bibir Jatu. Tentu saja dia punya permintaan. Satu permohonan yang  sekaligus akan menyelesaikan beberapa hal.

🌹🌹🌹🌹🌹

Malam itu, rumah Titan mendadak ramai dengan kehadiran Yoga, Raven, Langit, juga Jatu. Mereka menjadi tamu dadakan yang akan makan malam di sana. Yang membuat lebih kesal, Jatu memintanya menjadi koki untuk makan malam kali itu.

Kata Amore, bapak bisa bikin nasi goreng paling lezat di dunia. Saya mau ajak teman-teman buat nyicipin.”

Ucapan Jatu di teras Rumah Belajar Ceria kembali terngiang. Andai saja ia tidak menawarkan untuk mengabulkan permintaan gadis itu, mungkin malam ini akan berlangsung damai seperti malam-malam lain. Titan masih merutuk dalam hati.

Makan malam bersama itu juga menjadi cara Jatu untuk menunaikan janji pada Langit. Dia tak bisa memungkiri, pria itu berperan sangat besar dalam penggalangan dana kali ini. Ucapan terima kasih dan apresiasi sungguh layak untuk dilayangkan padanya.

“Gue pikir exclusive dinner,” protes Langit saat Jatu mengangsurkan minuman soda.

Malam itu, Langit memilih duduk di teras. Amore dan Raven tengah mengobrol di ruang tamu, Sasti menata meja makan, sementara Titan sedang memasak nasi goreng ditemani Yoga. Sedangkan Jatu terus mondar-mandir antara dapur, ruang tamu, ruang makan, dan teras.

“Ini juga exclusive, loh. Jarang-jarang kita makan masakan dosen paling killer di jurusan gue. Gue aja baru kali ini dapat kesempatan.” Jatu berusaha menghibur Langit.

Exclusive maksud gue, dinner cuma berdua sama lo. Berdua. Bukan rame-rame kaya gini.” Langit masih menekuk wajah, tak terima.

Jatu tertawa sambil mesam-mesem. “Gue kan nggak bilang dinner berdua. Yang penting, konteksnya lo dinner bareng gue, kan? Di resto juga kita nggak bakal berdua, kok. Kan ada pengunjung yang lain,” kilah Jatu.

“Gue bisa kok nge-book resto cuma buat kita berdua,” tantang Langit sambil menatap tajam.

Tatapan itu membuat Jatu ketar-ketir. Gadis itu lupa jika pria di hadapan memiliki uang tak berseri. Mengosongkan sebuah resto tentu bukan hal yang sulit baginya.

Dinner bareng-bareng pasti lebih seru,” ucap Jatu, lalu buru-buru pergi menuju ruang tamu. Sepertinya, girls talk lebih menyenangkan untuk dilakukan.

Sementara di depan kitchen set.

“Tan, kamu kenapa nggak bilang?” tanya Yoga setengah berbisik.

“Bilang apaan?” Dengan ringan, Titan bertanya balik.

“Bilang kalo kamu adalah duda yang lagi saingan sama Langit,” jawab Yoga sambil melirik ke arah depan, memastikan tidak ada orang yang mendengar pembicaraan mereka.

Titan memilih diam, tidak menanggapi pernyataan sang sahabat.

Yoga menghela napas panjang. “Kalo tahu itu kamu, saya nggak bakal berbagi tips sama bocah itu,” ucapnya penuh penyesalan, seakan-akan telah melakukan dosa besar.

“Tips apa?” tanya Titan basa-basi sambil terus memotong-motong sayuran.

“Tips dan trik untuk membuat wanita jatuh cinta,” jawab Yoga, penuh percaya diri. Seolah-olah dia adalah seorang ahli dalam bidang tersebut.

Titan berpaling pada Yoga, menatapnya dengan rasa iba. Lalu merangkul bahu sang sahabat. “Kalo kamu punya waktu untuk berbagi tips, mending pake tips itu untuk diri sendiri,” nasehatnya dengan nada bijak.

Yoga seketika menepis rangkulan Titan, lalu menatap tajam, “Udah, kok!” ucapnya dengan nada meninggi. Tidak terima pada belas kasihan yang diberi.

“Jadi, sudah terbukti berhasil?” tanya Titan dengan satu alis terangkat.

“Ng… itu…. On process!” Yoga menjawab terbata-bata sambil memamerkan senyum paling lebar. “Ngomong-ngomong, memasak juga jadi salah satu tips untuk bikin wanita makin jatuh cinta,” sambungnya dengan suara setengah berbisik.

Titan terkesiap saat mendengar kata-kata Yoga. Mungkinkah bagi Jatu, ini akan jadi makanan terlezat dan tak terlupakan? Mungkinkah nasi gorengnya bisa membuat rasa cinta gadis itu makin bertambah-tambah?

Tiba-tiba terasa gemuruh di dada. Semangatnya tak terbendung untuk menyajikan makanan terlezat. Namun, seketika ia menggeleng. Semangat itu, pasti karena ia ingin agar Amore tidak kecewa. Pasti itu alasannya.

🌹🌹🌹🌹🌹

Selamat malam Eonni dan Oppa...

Mau nyicipin nasi goreng cinta buatan papaku nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro