18. LUNCH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pasca acara penggalangan dana, Titan mulai memberi beberapa kelonggaran. Sekali dalam seminggu, dia memperbolehkan sang guru les mengajar Amore menari. Alhasil, hal tersebut menambah jam pertemuan yang membuat Jatu senang karena selain berpengaruh pada jumlah fee yang diterima, juga bisa semakin mengeratkan hubungan dengan calon anak sambung.

Amore pun selalu tidak sabar menunggu jadwal les tiba. Ketika hari itu datang, dia menjadi sangat sibuk mencari materi yang ingin dipelajari, dance yang ingin dipraktekan, hingga camilan yang akan dihidangkan. Di hari-hari tersebut, senyumnya akan terkembang dari pagi bahkan hingga Jatu pulang. Kecuali di satu Senin.

"Kamu kenapa?" sapa Jatu sambil mendekati Amore yang tengah duduk lemas.

Ada yang aneh dengan Amore di sore itu. Biasanya, gadis kecil itu menyambut kedatangan Jatu sambil berlompatan riang. Namun, kali ini dia hanya duduk sambil membaringkan kepala di meja belajar. Wajahnya ditekuk, cemberut, kusut. Seolah-olah masalah berat sedang tergantung di pundaknya.

"Wae?" tanya Jatu lagi, ketika tak juga hadir jawaban yang diharapkan.

"Nih!" Dengan enggan, gadis kecil itu mengulurkan dua lembar kertas yang tadi dijadikan alas untuk membaringkan kepala.

Jatu menerima kertas itu lalu membaca dengan seksama. Sebuah pemberitahuan tentang kegiatan Hari Ibu di sekolah. Di lembar berikutnya terdapat lampiran berupa susunan acara.

"Dari aku kelas satu, nenek mulu yang datang. Terus, aku cuma bisa ikut lomba menghias cupcake," keluh Amore dengan bibir dimajukan.

Mendengar itu, Jatu membekap mulut, berusaha keras untuk tidak terbahak. "Ya iyalah! Masa nenek disuruh estafet balap karung atau lomba gendong anak? Pulang-pulang bukannya bawa piala, tapi bawa tukang urut."

"Nah itu!" Amore menegakkan tubuh. "Aku kan pengen ikutan lomba yang lain. Pengen dapat piala juga," ucapnya kesal sambil menghentak-hentakkan kaki di lantai.

Jatu kembali menelisik isi surat tersebut. Ada sepuluh lomba yang harus diikuti pasangan ibu dan anak. Ada lomba bakiak berpasangan, lomba engrang tempurung kelapa, hingga lomba menangkap belut.

Setiap pemenang lomba akan mendapatkan sejumlah poin. Pemilik poin terbanyak akan menjadi juara dalam kompetisi tersebut. Setiap jenjang kelas akan memiliki pemenang masing-masing.

"Emang, nggak boleh digantiin sama papa kamu?" Jatu melirik Amore.

Amore menggeleng pelan. "Kata miss, kekuatan laki-laki dan perempuan itu beda. Kalo papa ikut, namanya curang. Lagian, ini kan buat memperingati Hari Ibu. Bukan Hari Ayah," gerutu gadis itu.

Meski tak diucapkan secara tersurat, Jatu tahu betul apa yang diharapkan Amore. Sejujurnya, ia pun bersedia mengabulkan permintaan itu. Namun, taruhannya cukup besar.

Jatu kembali membuka lembaran pertama yang menunjukan waktu pelaksanaan lomba. Sejenak, ia merasa bimbang. Waktunya pekan depan. Namun, kenapa harus di tanggal keramat itu? rutuk Jatu.

Perempuan itu menghela napas panjang. Diliriknya Amore yang masih menatap penuh harap, dengan bola mata yang berkaca-kaca. Sungguh dilema.

🌹🌹🌹🌹◀️

Titan melirik jam di pergelangan tangan. Tiga puluh menit lagi ujian berakhir. Namun, Jatu belum juga menampakan wajah di kelas. Apakah gadis itu ikut demo lagi? Tapi, kenapa harus mengorbankan ujian akhir semester? Titan bertanya-tanya dalam hati.

Pria itu lalu berjalan menuju pintu, membuka, lalu melirik ke sepanjang selasar. Ini sudah kali keempat ia melakukannya demi melihat tanda-tanda kehadiran si mahasiswi tomboi. Namun, lagi-lagi nihil. Selasar masih saja sepi.

Titan menutup pintu dengan kecewa. Padahal ia berharap Jatu telah berubah, lebih serius memperjuangkan Korean Ticket-nya. Ternyata, mungkin angannya terlalu muluk.

Dengan langkah ragu-ragu, pria itu berjalan menuju salah satu mahasiswi yang tengah sibuk mengetik jawaban di laptop. Sepertinya, dia harus mengesampingkan ego.

Titan berdehem demi mendapat perhatian mahasiswi yang tengah serius itu. Namun, tidak berhasil. Pria itu kembali berdehem, kali ini lebih keras. Usahanya tak sia-sia, mahasiswi itu terlonjak dan mendongak.

"Hari ini ada demo apa?" tanya Titan sangat pelan, hampir berbisik. Dia tak ingin telinga lain mendengar pertanyaan itu.

Raven terkesiap. Tidak menyangka sang dosen melontarkan pertanyaan itu. Namun, dia tak mau gegabah. Mungkin dia salah dengar karena terlampau serius mengerjakan ujian.

"Hah?" respon gadis itu, berharap pria di hadapan bersedia mengulang pertanyaan.

"Teman kamu ke mana?" Titan mengganti pertanyaan, masih dengan suara super pelan.

Raven menengok ke kiri dan kanan. "Teman yang mana, Pak?" tanyanya balik, tapi dengan volume suara normal.

Pertanyaan itu sontak membuat mahasiswa lain berpaling pada Raven dan Titan. Pertama, kesal karena konsentrasi mereka terganggu. Kedua, ingin tahu pembicaraan penting apa yang dilakukan saat ujian sedang berlangsung.

Titan berdehem dengan sangat keras. "Dua puluh menit lagi," ucapnya lantang, isyarat agar seluruh mata kembali ke laptop.

Titan tidak ingin membiarkan para mahasiswa tahu bahwa dirinya -secara khusus- tengah menanyakan kabar Jatu. Sepanjang berkarir sebagai dosen, dia terkenal sebagai pengajar yang dingin. Tidak terlalu peduli pada alasan ketidakhadiran seorang mahasiswa. Tidak hadir artinya alpa. Sesederhana itu.

Setelah memastikan seluruh mahasiswa kembali fokus pada ujian, Titan menarik napas dalam-dalam. Pria itu lalu kembali ke meja sambil terus bertanya-tanya tentang ketidakhadiran Jatu.

Hingga ujian berakhir, batang hidung Jatu tidak juga tampak. Titan pun memanggil Raven, memintanya untuk tetap tinggal. Setelah memastikan kelas sepi, dia pun mulai bertanya, "Jatu ke mana?"

"Jatu?" Gadis itu menepuk kening. Bagaimana mungkin dia tidak menyadari bahwa sang sahabat tidak hadir? Pasti karena dirinya terlalu sibuk menghafal rumus-rumus yang akan diujikan hari ini.

"Lagi sakit, nggak?" selidik Titan.

Meskipun sering bolos untuk demo, Jatu tidak pernah melewatkan ujian akhir semester di mata kuliah Titan. Semua mahasiswa tahu persis akibat yang ditimbulkan. Secara otomatis mereka akan mendapat nilai D.
Sang dosen tidak pernah mau memberikan remedial ataupun ujian susulan. Satu-satunya pilihan hanya mengulang di dua semester ke depan. Sakit adalah alasan paling masuk akal untuk menjelaskan ketidakhadiran gadis tomboi itu.

Raven berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Nggak kok, Pak. Tadi Jatu berangkat pagi-pagi. Saya kirain karena mau minjem catetan."

Titan mengernyitkan kening, memikirkan kemungkinan penyebab lain yang membuat sang mahasiswi tidak hadir.

"Tapi, kok Jatu nggak datang ya, Pak? Nggak biasanya." Kali ini Raven yang dipenuhi rasa penasaran. "Apa dia kecelakaan? Ato diculik orang?"

Mendengar pertanyaan Raven, tiba-tiba terbesit rasa khawatir di dada Titan. Bagaimana jika dugaan itu benar? Bagaimana jika ada hal buruk yang menimpa si gadis tomboi?

Akan tetapi, pria itu segera menggeleng-geleng. Berharap dugaan akan hal-hal buruk tidak terjadi. Semoga mahasiswi itu hanya tertidur di perpustakaan atau menghadiri demo dadakan. Meskipun kemungkinan itu kecil sekali.

"Kabari saya kalo ada apa-apa," ucap Titan mengakhiri pembicaraan. Dia masih memiliki agenda lain yang juga tidak kalah penting.

🌹🌹🌹🌹🌹

Di ruang dosen, Titan masih termenung. Terbesit di pikiran untuk menelepon mahasiswi itu. Namun, segera diurungkan. Dia tidak ingin gadis itu menjadi besar kepala. Namun, ucapan Raven kembali terngiang-ngiang. Dengan kesal, diambilnya ponsel hitam lalu mengetik sebaris pesan.

(Lagi di mana?)

Sebelum terkirim, Titan menghapus pesan itu. Dia merasa pertanyaan itu seperti pertanyaan umum yang dikirim seorang kekasih.

(Kenapa nggak datang UAS?)

Titan mengganti pesan sebelumnya. Namun, lagi-lagi dihapusnya. Bagaimana jika Jatu sedang dalam situasi buruk? Sepertinya pesan itu kurang pantas.

(Kamu nggak apa-apa?)

Titan membaca ulang pesan yang telah diketik sambil berpikir apakah pertanyaan itu pantas atau tidak.

"Woi! Lagi ngapain?"

Ucapan Yoga mengagetkan Titan hingga tanpa sadar memencet tombol kirim. Sambil menggeram tertahan, pria itu mengepalkan tangan. Mencoba menyalurkan kekesalan yang membuncah.

"Kenapa?" tanya Titan sambil melirik pesan yang sudah terlanjur terkirim dan juga terbaca.

"Kamu yang kenapa? Dari tadi kaya orang bingung. Nulis pesan aja udah kaya nulis tesis." Yoga mengulum senyum. "Ngirim pesan ke siapa?"

Titan mendelik. "Rahasia," jawabnya singkat.

"Cie...cie... yang udah mulai main lahacia-lahaciaan. Emang saya nggak bisa nebak?" ledek Yoga.

"Ssst!" Titan menempelkan telunjuk ke bibir, sambil mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Dia tak akan membiarkan rekan kerja yang lain termakan rumor yang disebarkan Yoga.

"Kenapa sat sit sat sit?" Yoga kembali meledek.

"Argh!" Titan kembali menggeram, lalu meraih ranselnya. "Saya duluan," ucapnya buru-buru, sambil melirik jam tangan. Selain khawatir Yoga semakin menjadi, dia juga harus bergegas agar tidak terlambat.

"Kemana?" tanya Yoga, seolah-olah tidak rela objek bully-annya pergi begitu saja.

"Sekolah Amore. Ada acara," jawab Titan sambil berlalu membuka pintu.

🌹🌹🌹🌹🌹

Titan tiba di sekolah Amore tepat sebelum pengumuman pemenang dan penyerahan piala. Pria itu segera menuju tenda yang ada di lapangan. Di sana, terdapat panggung megah dan barisan kursi berjumlah ratusan. Seperti biasa, dia mengambil tempat di deretan paling belakang. Selain tak ingin mengundang perhatian, pria itu juga ingin menghindari tatapan sedih sang putri.

Titan menyimak satu persatu pengumuman pemenang. Namun, dia terkejut saat panitia mengumumkan juara di kelas empat. Nama Amore dipanggil naik ke panggung. Yang lebih mengejutkan lagi adalah kehadiran sosok di belakang sang putri.

Hari itu, pendamping gadis kecilnya adalah sang mahasiswi yang sempat dikhawatirkan. Akhirnya, tanyanya terjawab sudah. Namun, dia tidak menyangka bahwa Jatu memilih mendapatkan nilai D demi menemani Amore. Sungguh heroik.

Rangkaian pengumuman terus berlangsung. Namun, Titan tidak lagi memperhatikan apa yang terjadi di panggung. Pikirannya kali ini sudah penuh akan bayang-bayang Jatu.

Hingga acara berakhir.

Amore segera berjalan ke deretan kursi belakang. Sejak naik ke panggung, gadis kecil itu telah menyadari ke hadiran sang papa. Tidak sulit. Karena tiap tahun Titan akan melakukan hal yang sama.

"Papa! Finally, I got the trophy," ucap Amore riang sambil memamerkan piala yang didapat.

Titan tersentak dari lamunan, lalu melayangkan senyuman. "Good job!" ucap Titan sambil memeluk erat Amore.

Setelah beberapa detik, Titan melepaskan pelukan, lalu memandang kedua bola mata Amore dengan haru. "Amore happy?"

Amore mengangguk tegas, tidak mampu menyembunyikan rasa bahagia. "Papa harus berterima kasih sama oenni," ucapnya sambil melirik ke arah Jatu yang sudah berdiri di dekat mereka.

Titan mendongak, mendapati sang mahasiswi tengah menggigit bibir. Tergambar jelas tengah khawatir.

"Terima kasih," ucap pria itu singkat.

Mendengar ucapan itu, Jatu membelalak, tapi tak urung mengembangkan senyum dan mennghembuskan napas lega. Ia tidak menyangka akan mendengar kalimat itu. Padahal, dirinya sudah siap menerima omelan tentang ujian yang ditinggalkan.

Dengan ragu-ragu, Jatu hendak meminta maaf dan memberi penjelasan. "Ng--"

"Pak Titan!" Sebuah suara memotong kata-kata Jatu yang belum sempat terlontar. Dua orang wanita berjalan mendekat dengan paper bag di masing-masing tangan.

"Akhirnya bisa ketemu lagi sama Pak Titan," ucap seorang wanita dengan turban hitam.

Jatu melirik wanita yang mengenakan blouse putih dan celana kulot hitam itu. Meskipun mengenakan hijab boyish, tapi penampilannya tetap modis. Seingatnya, wanita itu merupakan salah satu orang tua murid yang tidak sungguh-sungguh saat kompetisi. Baru dua meter lompat karung, dia sudah berhenti sambil mesam-mesem, meyakinkan pada penonton bahwa aktivitas itu tidak cocok dan terlalu berat untuknya.

"Iya, nih. Mau ketemu Pak Titan udah kaya mau ketemu pejabat. Ada jadwal khususnya." Wanita yang satu menimpali.

Jatu melirik wanita yang satu lagi. Wanita itu juga mengenakan pakaian warna senada. Sepertinya, mereka telah janjian untuk tampil kompak. Bedanya, wanita kedua tidak mengenakan hijab. Rambut red burgundy-nya dibiarkan tergerai jatuh di pundak.

"Ngomong-ngomong, ini bukan calon mama barunya Amore, kan?" tanya wanita berturban itu. Dia mengamati Jatu dari ujung kepala sampai kaki, dengan tatapan bergidik.

Titan bangkit dari posisi duduk sambil melirik sekilas ke arah Jatu. "Ini mahasiswa saya. Guru lesnya Amore," terangnya.

"Oh." Kedua wanita itu merespon singkat. "Syukurlah." Terlihat ada kelegaan di wajah mereka.

Jatu mendelik mendengar kata terakhir. Apa maksudnya syukur-syukur itu? geramnya dalam hati. Seketika emosinya tersulut. Kata itu seolah-olah menantangnya untuk beradu mulut.

"Emang kenapa?" tanya Titan ringan.

"Jangan, dong, Pak. Jauh banget," ucap wanita yang berambut merah. "Masa Pak Titan yang keren dapetin--"

"Oh iya, Pak Titan," potong wanita satunya. "Ini ada brownies. Kue kesukaan Amore. Tadi nggak sempet mau ngasih." Wanita berturban menyerahkan paper bag jumbo bergambar hati.

Jatu mendengkus mendengar kalimat itu. "Nggak sempat apanya? Pas istirahat kan duduknya sebelah-sebelahan," gerutunya sambil memainkan kedua bola mata, mengundang pandangan jengkel dari sang pemberi hadiah dan tawa tertahan dari Titan.

"Ehm." Wanita satunya berdehem, mencoba mengambil alih suasana. "Kalo ini kare daging." Kali ini, wanita berambut merah menyerahkan paper bag bergambar sakura. "Katanya, Pak Titan suka masakan Jepang. Kare ini pakai bumbu asli Jepang, loh. Tapi, sampai rumah harus diangetin dulu, ya," ucapnya dengan nada penuh jumawa yang ditujukan pada rekan di samping.

"Oh, saya baru tahu kalo Pak Titan suka makanan Jepang. Padahal saya sering masak makanan Jepang. Rasanya nggak kalah enak sama masakan restoran," timpal wanita berturban dengan sinis.

"Oh ya? Kok saya baru tahu." Wanita berambut merah mulai meninggikan suara.

"Ya iyalah. Emang saya harus ngasih pengumuman?"

Jatu hampir terbahak melihat tontonan di hadapan. Tadi kedua wanita itu kompak meremehkan dirinya. Sekarang, mereka justru sibuk beradu mulut.

"Ibu-ibu, makasih, ya." Titan memotong adu mulut yang baru dimulai sambil mengangkat dua paper bag yang tadi diterima. "Saya duluan. Nanti, silahkan dilanjutkan lagi," sambungnya lalu menggenggam tangan Amore dan berjalan pergi. Menghindarkan sang putri dari tontonan yang tidak layak.

Sementara di belakang, Jatu berlari kecil hendak menjajari langkah-langkah Titan. Masih terdengar di telinganya seruan dua wanita di belakang yang membuatnya ingin terbahak.

"Hati-hati, Pak. Lain kali panggil mom aja, jangan ibu."

"Kalo saya, panggil bunda aja, Pak."

Titan mengabaikan teriakan itu, sambil terus melangkah maju.

"Pa, Amore laper," ucap Amore manja, saat mereka hampir tiba di parkiran.

Titan menghentikan langkah, lalu berpaling pada Amore dan mengernyit. "Emang tadi nggak makan siang?"

"Makan, sih. Tadi cuma dikit," jawab gadis kecil itu.

"Hem...." Titan menggut-manggut. "Untuk merayakan kemenangan kamu, kita akan lunch part dua. Mau restoran Jepang a--"

"Retoran Korea!" potong Amore dengan semangat.

"Oke." Titan mengedipkan mata, lalu berpaling ke arah mahasiswi yang sedari tadi menjajari langkah-langkahnya. "Kamu naik apa ke sini?"

Jatu terkejut mendapatkan pertanyaan itu. Haruskah ia berbohong bahwa tidak membawa motor? Namun, ke restoran dengan kendaraan terpisah pun rasanya tak mengapa. Yang terpenting, bisa makan siang bertiga.

"Naik motor, Pak," jawab Jatu pelan. 'Tapi, kita bisa kok ketemuan di resto.' tambah Jatu dalam hati.

Titan mengangguk-angguk. "Nih, bawa pulang! Kalo kebanyakan bagi-bagi sama teman kost kamu." ucapnya sambil mengangsurkan dua paper bag. "Saya nggak makan ini, soalnya mau lunch berdua sama Amore."

Jatu terbelalak. Kata 'lunch berdua' terus bergema di telinga. Namun, gadis itu tak urung menerima kedua paper bag.

Usai serah terima, Titan pun beranjak pergi. Jatu hanya mampu menatap punggung yang semakin menjauh menuju HRV hitam, seperti sebuah tayangan dalam gerakan lambat.

Khayalan lunch bertiga, melayang sudah. Ah, nasib!

🌹🌹🌹🌹🌹

Sebelum lunch, jangan lupa poto-poto. 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro