2. DEAR CIS, ARE YOU THERE?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tumben, telat banget."

Kalimat Yoga menyambut Titan saat memasuki ruang dosen berukuran 6x10 meter. Pria itu pun melirik jam tangan, 20 menit berlalu dari berakhirnya jam kuliah. Memang, terlalu terlambat bagi dirinya yang terkenal tepat waktu.

"Habis ceramah," ucap Titan singkat sambil berjalan menuju meja miliknya, tepat disamping meja Yoga, lalu meletakkan tas ransel berisi beberapa buku di meja. Kemudian, pria itu menghempaskan tubuh di kursi dan memejamkan mata, sembari meregangkan otot-otot yang kaku.

"Bukannya ngajar emang ceramah?" Yoga menyeringai sambil terus mengecek tugas mahasisiwa yang dikirim lewat email. Konsep paper less yang telah diterapkan di kampus sejak dua tahun silam membuat semua tugas dan ujian harus dikumpulkan melalui soft copy.

"Ceramah yang lain," jawab Titan masih dengan mata terpejam.

"Oh. Siapa lagi yang bikin ulah?" tanya Yoga basa-basi.

"Guess who!" Titan menatap ke arah sang sahabat yang belum juga mengalihkan pandangan dari layar komputer.

Yoga mengangkat kedua bahu, isyarat tak tahu. Namun, ketidaktahuan itu lebih karena dia enggan repot-repot menebak. Buat apa? Dia yakin sebentar lagi Titan akan bercerita. Pada siapa lagi sahabatnya itu akan mengeluarkan unek-unek, terutama menyangkut pekerjaan?

Dugaan Yoga benar adanya. Tidak sampai semenit, Titan pun menyebutkan satu nama.

"Jatu. Dia masuk 20 menit sebelum kelas bubar."

Kalimat tersebut disambut tawa dari Yoga. "Cari mati tu anak! Kalo di kelas saya, nggak akan saya bolehin masuk," ucapnya dengan ekspresi yang dibuat serius.

Titan mengangkat satu ujung bibirnya saat mendengar komentar itu. Ia tahu itu hanya kebohongan. Mahasiswa mana yang tidak kenal dengan Yoga? Dosen yang sangat pemurah, baik dalam toleransi keterlambatan maupun pemberian nilai.

"Saya nggak habis pikir. Anak itu kerjaannya kok demo mulu," ucap Titan sambil meraih ponsel dan mulai berselancar di media sosial.

"Jangan kebanyakan dipikirin. Nanti jatuh cinta, loh," ledek Yoga.

"Jatuh cinta? Yang bener aja," ucap Titan sinis.

Yoga berpaling dari layar laptop, lalu menatap ke arah sang sahabat. "Iya, sih. Kalo Jatu dibandingin sama Dinda, udah kaya sumur sama langit. Tapi kalo jodoh, gimana?"

Meskipun hanya gurauan, Titan dengan serius memikirkan perkataan Yoga. Ia pun membayangkan masa depan yang dihadapi jika menikahi mahasiswi itu. Membayangkan hidup yang akhirnya harus didedikasikan untuk mengurus dua bocah perempuan; Amore dan ibu sambungnya.

Tiba-tiba, pria itu bergidik. Perempuan yang ia cari untuk menjadi ibu sambung Amore haruslah sosok yang dewasa, lemah lembut dalam kata, serta keibuan dari sikap maupun penampilan. Tentu saja semua kriteria itu tidak dimiliki oleh Jatu.

"Nggak usah mikirin jodoh saya. Mending mikirin buat kamu aja," cibir Titan.

"Tenang aja. Bentar lagi kamu dapet undangan. Siapin aja isi amplopnya. Tapi, awas kalo goceng!"

Titan tertawa mendengar ancaman itu. Ia teringat pada kenakalan masa kuliah bersama Yoga. Bersama empat teman lainnya, mereka kerap mendatangi hajatan pernikahan di akhir pekan. Dengan bekal amplop berisi selembar lima ribuan, mereka berlagak sebagai gerombolan teman dari salah satu mempelai. Menikmati hidangan yang terasa sangat mewah bagi mahasiswa perantauan yang sering terlambat mendapat kiriman.

Titan tersenyum mengingat kenangan itu, lalu segera tersadar. "Kamu dapat calon dari mana? Dijodohin?"

"Nyari sendiri. Di aplikasi."

"Aplikasi?" Kening Titan mengernyit.

"Makanya, jadi dosen, tuh, gaul dikit!" Yoga lalu merebut ponsel yang ada di genggaman Titan. Dua menit kemudian, benda berwarna hitam itu pun kembali pada pemiliknya.

"Nih! Madam Rose. Aplikasi yang lagi nge-hits."

"Oh. Aplikasi ini." Titan mengamati logo aplikasi yang dihiasi kelopak mawar berhamburan.

"Kamu tahu?" Yoga terkejut.

"Iya. Tadi ada yang bahas di kelas."
Yoga manggut-manggut setelah mengetahui dari mana Titan mengenal Madam Rose. "Kamu nggak mau nyoba?"

"Saya nggak minat sama bocah," jawab Titan acuh tak acuh.

"Kamu pikir cuma mahasiswa doang yang pakai aplikasi ini? Yang bangkotan juga ada. Malah, nih, ada yang ketemu lagi sama mantan istrinya di Madam Rose," ucap Yoga seperti seorang sales yang menawarkan produk dagangan.

Titan tertegun. Kalimat terakhir yang disampaikan Yoga, tiba-tiba membuat dadanya sesak. "Serius?" tanya Titan sambil menatap tajam.

"Soal apa?" Yoga mengerutkan kening.

"Soal mantan istri tadi."

Yoga menelan ludah, tiba-tiba merasa telah salah berbicara. Dirinya tahu betapa Titan masih mencintai sang mantan istri.

"Kalo kamu beruntung," ucap Yoga acuh tak acuh. Biarkan saja Titan menggantungkan harap. Paling tidak, sahabatnya itu mulai membuka diri untuk wanita baru.

"Tapi, Dinda kayanya nggak akan main aplikasi kaya gini," ucap Titan pelan. Terdengar getir di suaranya.

🌹🌹🌹🌹

Menghabiskan malam-malam sepi di ruang baca, telah menjadi kebiasaan Titan setelah mengantar Amore tidur. Ia mencoba membunuh waktu dengan tenggelam dalam buku, yang bahkan telah dibacanya berulang-ulang. Hanya dengan cara itu ia bisa menghilangkan kenangan dan angan terhadap kehadiran Dinda.

Seperti malam itu. Ia kembali membaca sebuah buku untuk ketiga kalinya. Ditemani secangkir kopi dan lantunan intrumen klasik. Sungguh, sebuah kenikmatan bagi dirinya.

Di tengah larutnya dalam untaian kalimat demi kalimat, pintu diketuk pelan. Tak berapa lama, sesosok wajah sepuh hadir di balik pintu. Usia senjanya semakin tampak dari helaian rambut putih yang setiap hari semakin bertambah banyak.

"Taan..., ibu ganggu, nggak?" tanya Sasti yang masih berdiri di ambang pintu.

Titan mendongak. Bagaimana mungkin kehadiran sosok itu dibilang mengganggu? Bahkan jika memang iya, gangguan itu tidak seberapa dibanding dengan gangguan yang ia buat saat masih kecil. "Nggak, kok, Bu. Titan lagi nggak sibuk," jawabnya sambil menutup buku, lalu menyambut sang ibu.

Titan membimbing Sasti menuju kursi putar di balik meja. Setelah sang ibu duduk sempurna, ia pun mengambil tempat dengan bersila di lantai sambil mulai memijat-mijat betis kiri wanita itu.

"Kenapa, Bu?" tanya Titan pelan. Ia tahu, sang ibu tidak akan datang selarut ini hanya sekedar untuk menyapa atau duduk bersantai di ruang kerja anaknya. Pasti ada sesuatu yang mengganjal pikiran.

"Tan, umur Amore sudah sembilan tahun," ucap sang ibu hati-hati sambil mengusap pelan rambut hitam Titan.

Saat mendengar prolog itu, Titan sudah menduga apa yang nanti akan disampaikan oleh wanita yang telah melahirkannya.

"Kamu belum ada niat nikah lagi?"

Pijatan Titan melambat. Sudah ratusan kali ia menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sama. "Titan belum ketemu yang cocok, Bu," jawab Titan penuh rasa bersalah. Bagaimana mungkin bertemu pasangan yang cocok, jika ia tidak pernah mencari dengan serius?

"Tan, kalo kamu nyari yang sempurna, nggak akan pernah ketemu." Sasti mendesah pelan, lalu menghentikan belaian di rambut Titan. "Mantan istrimu yang cantik, pintar, dan kaya saja, masih punya kekurangan. Buktinya, dia ninggalin kamu dan Amore," sambungnya dengan suara parau.

Titan menunduk dalam. Ia tahu betul bagaimana sakit hati yang dirasakan sang ibu. Menantu pertama yang begitu dibanggakan, telah mencampakkan anak dan cucu pertamanya. Bahkan hingga sekarang, Sasti tidak pernah mau sekali pun menyebut lagi nama Dinda.

"Bu, Titan nggak nyari yang sempurna, kok. Titan cuma ingin hati-hati aja."

"Kenapa? Kamu takut ditinggal lagi?" tanya sang ibu tajam.

Titan menghentikan pijatan. Jika boleh jujur, dugaan sang ibu ada benarnya. Ia terlalu takut untuk menjalin hubungan baru. Terlalu takut jika ditinggalkan. Takut akan kembali gagal.

"Siapa yang mau ninggalin kamu, Tan? Karir kamu sukses. Kamu mapan. Kamu tampan. Bahkan, kalo mantan istrimu ketemu kamu lagi, dia pasti akan memohon untuk rujuk."

Titan menelan ludah. Jika boleh jujur, ia memang mengharapkan hal itu. Ratusan kali ia berangan-angan, Dinda akan kembali kepadanya. Memohon untuk kembali bersama. Merajut kembali hubungan yang pernah kandas.

Titan yakin, angannya sangat mungkin menjadi nyata. Yang ia butuhkan hanya pertemuan kembali dengan sang mantan. Tentu saja, ditambah restu ulang dari sang ibunda.

"Titan, sebentar lagi Amore remaja. Dia butuh sosok perempuan untuk teman bercerita, untuk berbagi rahasia."

Titan mendongak. "Kan, ada ibu."

Sasti tersenyum penuh arti. "Ibu terlalu tua untuk ngerti kehidupan anak muda zaman sekarang."

"Bu--"

"Tan. Kalo kamu sayang Amore, kamu harus secepatnya cari istri baru!" ucap Sasti tegas. Wanita sepuh itu lalu berdiri. Dengan langkah pelan, dia beranjak keluar ruangan.

🌹🌹🌹🌹🌹

Setelah sang ibu kembali ke kamar, Titan pun mengambil ponsel hitam. Dicarinya aplikasi yang siang tadi diinstal oleh Yoga. Madam Rose. Apakah ia memang membutuhkannya?

Di tengah kegalauan, tanpa sadar tangan Titan memencet gambar aplikasi tersebut. Ia refleks terkejut. Namun, hanya sedetik. Selama satu jam berikutnya pria itu sudah tenggelam dalam Madam Rose. Membuat profile hingga mengupload data asli. Memilih yang ingin ditampilkan, serta menyimpan yang ingin disembunyikan hingga waktu yang tepat.

"Dear CIS -Calon Ibu Sambung-, are you there?" gumam Titan pelan.

🌹🌹🌹🌹🌹

Hallo semuanya.

Selamat tahun baru dari Titan yang baru belajar main Madam Rose.

Seperti janji saya, A-more datang untuk nemenin libur tahun baru.

Jangan lupa vote dan komen, ya.
Insyaallah cerita ini up 2x seminggu. Sambil nunggu part selanjutnya, teman-teman bisa baca series Madam Rose yang lain.

Terima kasih ❤️❤️❤️





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro