3. Hei Dud, I will catch you!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Muka Jatu kenapa? Nggak sempat digosok?” sambut Raven saat Jatu masuk ke ruang kuliah dengan wajah kusut.

Yang ditanya tetap diam membisu. Alih-alih menjawab, Jatu memilih untuk duduk di salah satu kursi. Sedetik kemudian, ia merebahkan kepala di meja putih yang bersambung dengan kursi, menghadap sahabatnya yang duduk di samping kanan.

Raven menatap Jatu cukup lama. Dengan pandangan ‘aku siap mendengar curhat’ khas miliknya. Namun, sang sahabat masih memilih bungkam, hanya menatap dengan pandangan kosong ke depan.

“Pulang dari Serang, bukannya happy, malah kaya zombi.” Komentar Raven saat Jatu tidak juga mengeluarkan kata. Dia kemudian kembali berkutat pada buku kuliah yang tengah dibaca.

Jatu menghembuskan napas berat. Dadanya masih terasa sakit mengingat perdebatan dengan orang tuanya kemarin. Matanya pun masih berat menahan kantuk karena hampir tidak tidur semalaman.

“Kayanya, cita-cita gue ke Korea bakal kandas,” ucap Jatu pelan.

Saat mendengar kata-kata Jatu, Raven pun menutup buku. Tubuhnya berbalik mengarah pada sang sahabat. Kalimat pembuka tadi merupakan sinyal bahwa sebuah cerita akan mengalir dengan lancar.

“Kata bokap, nggak ada lanjut-lanjut kuliah, apalagi ke Korea.”

“Emang kenapa? Uangnya nggak cukup?” tanya Raven masih dengan nada yang lembut, salah satu ciri khasnya.

Jatu duduk tegak lalu memasang wajah cemberut. “Gara-gara perempuan itu! Kenapa juga dia harus muncul?” umpatnya sambil menendang-nendang ubin berwarna putih dengan ujung sepatu. Perempuan itu sangat kesal saat mengingat orang asing yang jadi sumber penjegalan mimpi-mimpinya.

“Perempuan siapa?” tanya Raven penasaran.

“Atasan bokap,” jawab Jatu ketus. “Dia punya gelar doktor dan karir bagus. Tapi, belum nikah padahal umurnya udah 40 something.”

“Terus, apa hubungannya sama Jatu?” tanya Raven heran.

“Bokap takut, pendidikan yang terlalu tinggi dan karir yang terlalu bagus harus ditukar dengan jodoh yang terlalu terlambat.”

Mendengar penuturan itu, Raven tak bisa menahan diri untuk berdecak sambil geleng-geleng. “Jodoh nggak ada hubungannya sama pendidikan dan karir.”

“Tapi, menurut bokap gue, ada!” sambar Jatu sambil meninju meja. “Kalo pendidikan gue kelewat tinggi, nanti laki-laki yang mau deketin gue pada minder. Atau, guenya yang jadi pemilih. Terus, akhirnya gue punya nasib sama seperti atasannya itu.”

Mendengar ucapan Jatu yang berapi-api, Raven hanya bisa menyunggingkan senyum sambil menepuk-nepuk punggung Jatu, isyarat untuk sabar. “Emang Jatu bakal jadi picky kaya gitu?”

“Nggaklah!” sahut Jatu. “Tapi, kan, kata-kata orang tua berbisa. Kalo sampe jadi doa, gimana?”

Raven menarik tubuh sambil memandangi sahabat yang telah tiga tahun lebih dikenalnya itu. Dia tahu betul besarnya keinginan Jatu untuk melanjutkan pendidikan. “Gimana sama ibu?”

“Nyokap, sih, masih bisa diajak nego. Mungkin karena gue nangis kejer.”

Jatu mengingat tingkahnya kemarin. Menjadi anak semata wayang telah membuatnya terbiasa mendapatkan apa pun yang diinginkan. Ketika hal itu tidak terpenuhi, tantrum layaknya balita menjadi senjata pamungkas.

“Jadi, ibu ngebolehin lanjut kuliah?”

Jatu mengangguk pelan. “Kata nyokap, gue boleh kuliah lagi. Mau di Korea, kek, mau di kutub, kek. Di mana aja boleh.” Jatu menghentikan ucapan, lalu menunduk lemas. “Asal gue nikah dulu.”

Raven membelalak sambil menutup mulut dengan salah satu tangan. "Jatu mau nikah abis wisuda?” tanyanya tak percaya.

Jatu mendongak sambil menatap sendu. “Itu jalan satu-satunya.”

“Jatu, Jatu. Kalo lancar, nih, kita bakal wisuda kurang dari setahun lagi. Jatu yakin bisa nemuin laki-laki yang mau nikahin sama Jatu secepet itu? Pacar aja kan Jatu nggak punya!” Raven terkikik mengingat kisah cinta sang sahabat. Namun, kikikannya tiba-tiba terhenti saat satu pikiran terlintas di benak.

“Jatu ngga akan nyari jalan pintas, kan?”

Dahi Jatu mengernyit mendengar pertanyaan yang diajukan dengan nada sendu itu. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan Raven.

“Jatu nggak akan ngajak Langit buat nikah, kan?”

Jatu terbahak mendengar pertanyaan itu. Pantas saja sang sahabat merasa begitu khawatir.

Langit Biru, mahasiswa Teknik Sipil sekaligus Ketua BEM Universitas Negeri Indonesia. Wajah tampan, otak encer, serta harta keluarga yang berlimpah, menjadikan Langit sosok idola sekaligus paket komplit sebagai calon suami idaman.

Bukan hal yang sulit baginya untuk mengencani mahasiswi di kampus secara random. Sayangnya, di hati Langit hanya tertulis satu nama. Satu wajah yang membuatnya terkesima sejak masa orientasi. Dan hingga hari ini, perempuan itu masih bertahta sombong di hatinya.

“Nggaklah! Langit bukan tipe gue,” jawab Jatu gelagapan. Gadis itu lalu duduk tegak sambil memutar otak, mencari alasan agar sang sahabat menyingkirkan pikiran aneh itu. Langit tidak layak untuk mengobrak-abrik persahabatan mereka.

“Langit ituu …, diaa … too perfect. Terlalu seperti pangeran. Cowok model Langit, lebih cocok sama cewek-cewek seperti lo.” Jatu berusaha membesarkan hati Raven.

“Tapi, Jatu sama Langit sering jalan bareng. Sering rapat bareng. Sering demo bareng,” ucap Raven pelan. “Kayanya kalian cocok.”

Jatu berusaha tertawa mendengar ucapan Raven. “Langit sama gue itu bagaikaan… emm… garis sejajar! Meskipun selalu jalan bareng, gue sama dia nggak akan pernah bertemu di satu titik.” Jatu kembali berkilah.

“Lo tenang aja. Gue nggak tertarik sama Langit, kok.” Jatu berusaha membesarkan hati Raven. “Lagipula, gue berencana nyari duda.”

“Duda?” Raven kembali dibuat bingung oleh kata-kata perempuan di hadapan. “Kenapa harus duda? Jatu mau sama bekas orang?”

Mendengar pertanyaan itu, Jatu menyeringai. Ternyata, sahabatnya itu terlalu lugu untuk hal demikian.

“Aelah! Hari gini ngomongin bekas. Yang bujangan aja nggak ada jaminan bekas orang atau bukan,” ucap Jatu.

“Iya, sih. Tapi, kenapa harus duda?”

“Duda itu lebih matang dalam segi finansial. Jadi, kalo bokap nggak mau ngebayarin kuliah gue di Korea, suami gue bisa ngasih dukungan biaya.”

“Emang suami Jatu nanti akan ngasih ijin buat kuliah di Korea?”

“Woiya! Soalnya dia udah punya pengalaman hidup sendirian. Gue tinggal sebentaran doang, nggak masalah, dong? Apalagi kalo dia tajir. Dia bisa bolak-balik Korea-Indonesia buat ngunjungin gue. Gimana? Gue pinter, kan?” terang Jatu.

Raven hanya sanggup menggeleng-geleng mendengar teori Jatu. “Terus, Jatu mau nyari si duda di mana?”

“Di ….” Sambil menopang dagu, Jatu berpikir cukup lama. Ia sama sekali belum memenungkan di mana harus mencari sang duda. Semalaman tadi, ia baru berhasil menentukan langkah untuk mencapai tujuan. Namun, proses dalam langkah-langkah itu belum dipikirkan dengan seksama.

Bersamaan dengan proses berpikir Jatu, geng Farah masuk ke kelas. Cekikikan khas tiga mahasiswi itu terdengar memenuhi ruang seluas 40 meter persegi. Tiba-tiba, Jatu mendapat sebuah ide.

“Far! Sini! Sini, deh!” panggil Jatu pada sang pentolan geng.

Dengan muka penuh tanya dan langkah ogah-ogahan, Farah menghampiri Jatu. Sementara dua rekannya yang lain memilih berpisah dan mengambil tempat duduk di barisan belakang.

“Lo maen Madam Rose, kan?” tanya Jatu yang disambut anggukan Farah. “Gue nanya-nanya, boleh, ya,” bujuk Jatu dengan nada lembut.

Farah mengernyitkan dahi. Tak disangkanya, si tukang demo tertarik dengan aplikasi jodoh itu. “Honestly, gue literally kek confuse lo tertarik sama Madam Rose. Which is lo pernah ngehujat aplikasi itu." Farah  menyilangkan kedua tangan di dada. "And pertanyaan paling important gue, how sama Langit?” tanya Farah sinis.

Mendengar pertanyaan terakhir, rasa cemburu tiba-tiba menghujam jantung Raven. Dia kesal karena hampir seluruh penghuni kampus mengira bahwa Jatu memiliki hubungan spesial dengan Langit. Perempuan itu pun mendelik ke arah Farah. “Jatu mau nyari calon suami,” sambarnya, lalu pura-pura berpaling pada buku bacaan.

Celetukan itu membuahkan lirikan tajam dari sang sahabat, menjadi sinyal bahwa percakapan tadi adalah rahasia di antara mereka.

“Suami?” ulang Farah.

“Calon suami buat tante gue,” kilah Jatu.

Sorry to ask, but, lo masih punya tante yang belum sold out?” selidik Farah.

Jatu berpikir sejenak sambil mendata seluruh tante yang dimiliki baik dari pihak ayah maupun ibu. Sayangnya, semua tante yang ia punya sudah menikah dan hidup bahagia.

“Pu-punya,” ucap Jatu ragu-ragu. ‘Tapi tante jauh. Jauh banget. Bisa dibilang tante angkat, yang baru gue angkat jadi tante beberapa detik lalu. Fix! Gue terpaksa mengadopsi perempuan yang telah menjegal mimpi gue sebagai tante,’ Jatu melengkapi jawabannya di dalam hati.

Meski pandai bersilat lidah, Jatu paling pantang berbohong. Kejujuran adalah sesuatu yang dijunjung tinggi di keluarganya. Walaupun begitu, bagi Jatu, bohong putih merupakan jenis kebohongan yang bisa dimaafkan oleh Tuhan dan manusia. Secara konsep, dalam bohong putih sama sekali tidak tercipta kebohongan. Pengucapnya hanya membuat kalimat multitafsir. Perihal sang pendengar menafsirkan hal yang berbeda dari kenyataan, bagi Jatu itu bukan kesalahan sang pengucap.

Mendengar jawaban Jatu, Farah pun  melunak. Dia menarik kursi terdekat dan mulai duduk di hadapan sang penanya.

So, now lo mau ask apa?”

“Mm, gimana cara nyari calon suami di Madam Rose?” tanya Jatu dengan suara rendah.

It’s so easy, you know. Lo just masukin data, cari yang match, ajak nge-date, then lo todong dia buat ke KUA.”

"Semudah itu?" tanya Jatu tak percaya, yang dijawab dengan anggukan Farah.

Jatu manggut-manggut mendengar tahapan yang cukup sederhana itu. “Bisa pilih kriteria calon suami, nggak?” tanya Jatu lagi.

“Maksudnya? Lo mau choose yang handsome, gitu?”

“Bukan! Maksud gue, bisa tahu status pernikahannya, nggak?”

“Oh. Gue literally understand maksud lo. Tenang aja. All yang main Madam Rose single, kok. Kalo belum married, ya, berarti udah divorce.”

“Nah, maksud gue itu!” ucap Jatu dengan nada penuh semangat. “Gimana caranya buat tahu kalo dia duda?”

“Lo just liat profilnya aja. So many kok yang nyantumin status duda.”

Jatu kembali manggut-manggut. Sepertinya, langkah yang akan ia tempuh cukup mudah. “Kalo mau tahu harta kekayaannya, bisa nggak?”

Mendengar pertanyaan itu, Farah mendelik. “Sorry kalo gue nggak polite. But, tante lo kok look so matre, gitu ya? Maksud gue, di umur yang udah nggak so young, mending dia terima apa adanya aja.”

“Gue kan mau nyari yang terbaik, Far.” Jatu memonyongkan bibir, seolah-olah tersinggung dengan ucapan Farah.  “Lagian, cewek sedikit matre kan nggak apa-apa. Makan cinta kan nggak bikin kenyang.”

Farah manggut-manggut. “Right juga, sih. Yodah, lo see aja pekerjaannya. Search yang kira-kira rich. Like dokter, youtuber, lawyer, pejabat--”

“Jangan pejabat!” potong Jatu. “Kalo dia tahu gue pernah demo di depan kantornya, bisa mampus gue!” 

Farah memicingkan mata. “Gue literally jadi sceptic, you know. Actually, ini buat tante lo or lo, sih? Keknya lo too understand pikiran tante lo, deh.”

“Buat tante gue, kok,” ucap Jatu buru-buru. “Cuma kan, nggak enak aja kalo tahu calon keponakannya pernah nge-demo dia.” Jatu cengar-cengir. “By the way, gitu doang, kan?”

So far, gitu doang, sih,” ucap Farah sambil memainkan bola mata.

“Okey. Thank you, ya, Far. Sorry, udah ganggu.” Jatu menangkupkan kedua tangan.

Never mind. Gue happy, kok, bisa help each other.” Mengetahui urusan itu telah berakhir, Farah pun beranjak dan bergabung kembali dengan gengnya.

Sepeninggal Farah, Jatu segera mengambil ponsel warna merah muda dari dalam tas. Kemudian diinstalnya aplikasi berhias kelopak mawar itu. ‘Hei Dud, I will catch you!’ gumam Jatu dalam hati.

🌹🌹🌹🌹🌹

Selamat night, guys.
Sorry, baru up. Hari ini, saya literally cukup busy. Tapi, alhamdulillah bisa up part ini.

Salam dari Jatu yang lagi nyari Duda. Doain dapat yang mapan dan tampan, yak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro