4. Hikari Amore

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara tawa memecah ruang dosen saat dua orang pria memasukinya di siang yang tidak terlalu ramai itu. Ditingkahi kalimat-kalimat gurauan, keduanya terus bercengkerama bagai dua sahabat yang telah terpisah sekian abad. Namun, senda gurau itu terhenti demi melihat pemandangan suram di salah satu meja kerja.

“Masih belum mutusin mau ngapain?” Yoga menghampiri Titan yang masih saja memandangi ponsel hitam. Tingkah sang sahabat beberapa hari terakhir membuatnya khawatir. Tiba-tiba, rasa penyesalan hadir karena telah meng-instal aplikasi Madam Rose di ponsel milik sahabatnya itu.

Sudah beberapa hari ini, Titan memang merasa galau. Chat dari seorang perempuan membuat dunianya seolah-olah jungkir balik. Ia merasa gundah gulana. Makan tak nafsu, minum tak enak, hingga mengajar pun tak semangat.

Kini, ia bahkan punya hobi baru. Mendengarkan deretan lagu galau dari satu dasawarsa silam. Sebut saja lagu-lagu milik Maroon 5, Coldplay, Muse, hingga Hijau Daun. Semua lagu nostalgia itu seakan-akan menjadi kapsul waktu yang membawanya kembali ke masa kuliah. Masa ketika sepasang mata bulat menjadi oase di tumpukan tugas. Masa ketika seulas senyum menjadi penyejuk di penatnya penyusunan skripsi. Masa ketika dirinya memperoleh tatapan iri dari jejeran kaum adam di universitas.

“Pak Titan kenapa, Pak?” tanya Nugie, orang yang sejak tadi terus menempel pada Yoga. Pria yang kini bekerja di salah satu universitas ternama di Bandung itu pernah menjadi asisten Titan.

“ADG. Abang Duda Galau,” jawab Yoga sekenanya. “Emang kamu yakin itu Dinda?” Pria berkepala plontos itu sudah duduk di kursi miliknya, sementara Nugie bertahan di depan meja Titan.

“Cuma dia yang bakal pake nama itu,” jawab Titan tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

Yoga memukul meja kerjanya, lalu berkata penuh geram, “Come on, Tan! Dari 5 juta lebih perempuan di Jakarta, nggak mungkin cuma satu orang yang kepikiran nama itu.”

“Dari 5 juta perempuan itu kamu pikir masuk akal jika ada yang iseng menggabungkan nama Jepang dan Italia? Dengan format dan kata yang sama?” tanya Titan tak kalah sengit, kali ini sambil menatap tajam pada Yoga.

Melihat dua orang hendak berseteru, Nugie jadi penasaran. “Emang siapa sih, Pak?” desaknya. Dia tidak ingin menyaksikan perdebatan tanpa tahu akar permasalahan. Setidaknya, dia bisa memutuskan harus berpihak pada kubu yang mana.

“Perempuan yang nge-chat Titan di Madam Rose. Namanya sama kaya nama anak Titan. Plek ketiplek. Titan yakin itu bekas istrinya,” terang Yoga.

“Oh.” Nugie manggut-manggut. Akhirnya, ia mengerti duduk persoalan yang terjadi. “Ya udah, Pak Titan bales, aja. Daripada penasaran. Siapa tahu dia memang cinta sejati Bapak. Pak Titan nggak masalah kan rujuk lagi sama mantan?”

“Mantan?” sela Yoga. “Mahluk dari planet mana itu?” Pria itu mencibir. Dalam kamusnya, tidak pernah ada kata mantan tercantum.

Nugie manggut-manggut sambil menarik garis bibir di salah satu ujung. “Bapak nggak kenal mantan? Kalo alumni, tahu kan? Itu loh, orang yang bisa kita ajak 'reuni',” ucap Nugie sambil membuat tanda kutip dengan telunjuk saat menyebut kata reuni.

“Reuni apaan?” Yoga seketika protes mendengar candaan Nugie yang tak lucu.  “No! Pokoknya, saya nggak setuju dia rujuk sama bekas istrinya!” sambungnya sambil mengarahkan telunjuk pada Titan.

“Nggak boleh gitu, Pak Yoga. Mungkin mantan istri Pak Titan emang nggak bisa dilupakan. Kan ada istilah mantan terindah.” Nugie masih belum menyerah.

“Mantan terindah itu bullshit! Yang terindah nggak akan pernah jadi mantan!” ucap Yoga berapi-api.

“Tapi, saya punya mantan terindah,” sanggah Nugie. “Yang sekarang jadi kakak ipar.”

Ucapan itu mengundang seringai dari Yoga juga Titan. Sejujurnya, mereka cukup iba pada nasib Nugie.

“Ditikung sama kakak sendiri, memang sudah takdir kamu. Sabar, ya. Lagian, bentar lagi kamu punya yang kedua.”  Tiba-tiba nada suara Yoga turun beberapa oktaf.

What?” Titan tersentak mendengar ucapan Yoga. “Kamu mau nikah lagi, Gie? Sama siapa?”

Nugie gelagapan mendengar pertanyaan itu, lalu melotot ke arah Yoga. Tak disangkanya, pria itu tidak bisa menyimpan rahasia.

“Nugie ketemu perempuan cantik di Madam Rose.” Yoga semakin memanas-manasi suasana.

Titan menatap tajam pada Nugie. Meski bukan lagi menjabat sebagai asistennya, pria muda itu telah dianggap sebagai adik. Ia merasa bertanggung jawab untuk menasehati agar Nugie tidak kehilangan sesuatu yang berharga. “Istri kamu mau dikemanain?”

“Nggak dikemana-manain, lah, Tan. Lagian, selama ini Nugie udah cukup sabar sama the posesif beauty,” bela Yoga.

The posesif beauty adalah gelar yang mereka berikan kepada istri Nugie. Wanita cantik yang terlalu mencintai suaminya hingga menganggap semua wanita di sekitar Nugie adalah ancaman. Wanita yang karena terlalu takut sang kekasih diambil orang hingga telah menjadi kewajiban untuk menelepon Nugie per 15 menit sekali.

“Langkah kamu sudah tepat, kok, Gie. Pria sukses memang harus memiliki tiga hal. Pertama, rumah. Kedua, pekerjaan. Dan tiga istri,” sambung Yoga

Baik Titan maupun Nugie saling berpandangan heran. “Nugie kan udah punya semua.” Dengan tatapan sinis, Titan menyela Yoga.

“Dengerin baik-baik dong. Satu sama dua memang udah. Tapi yang tiga, belum,” respon Yoga. “Dan ti-ga is-tri.” Pria itu mengeja setiap suku kata.

“Tiga istri?” ulang Nugie. Kali ini, dia yang terkejut.

Yoga mengangguk. “Yoi. Banyak istri banyak rejeki,” ucapnya sambil tersenyum lebar. “Tenang aja, Gie. Saya dukung langkah kamu. Untuk urusan poligami, kamu bisa berguru sama saya.”

“Pak Yoga punya pengalaman poligami?” tanya Nugie datar, tapi penuh sindiran.

Mendengar pertanyaan itu, giliran Yoga yang menyeringai sinis. “Wah, nggak sopan sama senior, nih. Denger, ya. Meskipun belum punya pengalaman poligami, saya sudah menguasai banyak teori. Liat aja nanti. Sekarang saya lagi ngumpulin tiga calon istri, biar langsung saya nikahin.”

“Tiga istri dalam sekali nikah?” Nugie terbelalak tak percaya.

“Iya, dong. Adil harus dimulai sejak awal. Semua istri harus dapat gedung, make-up, catering, sampai undangan yang sama,” ucap Yoga sambil tersenyum jumawa, seolah-olah telah melontarkan teori yang sangat mempesona.

“Adil itu bukan awalnya doang, Pak. Seterusnya juga.” Nugie geleng-geleng mendengar teori Yoga.

“Yang penting awalnya,” ucap Yoga, tetap kukuh pada teori yang telah dibuat. “Dan satu lagi. Sebagai pria kalian berdua harus punya harga diri. Pria kok nggak bisa move on dari satu wanita.”

“Itu bukti kesetiaan, Pak Yoga.” Nugie membela dirinya, juga Titan. “Cinta sejati memang nggak gampang dilupakan. Akan terus dikenang.”

“Halah, dikenang,” cibir Yoga. “Mantan itu bukan pahlawan. Nggak perlu dikenang-kenang.”

“Menurutku…,” sela Titan. Sebelum melanjutkan kalimat, pria itu lalu menelan ludah. Ada rasa tercekat di tenggorokan saat akan menyebutkan satu nama. “Menurutku, Dinda itu pahlawan. Bagaimana pun, dia sudah berjuang untuk hamil dan melahirkan Amore.”

Yoga menghela napas berat. Dia tahu, di hati Titan masih dan hanya terukir satu nama. Meskipun nama itu mengandung cinta sekaligus kecewa, rindu sekaligus amarah.

“Ya udah. Kamu bales aja chat itu. Lagian, saya nggak yakin itu Dinda.” Yoga akhirnya menyerah. Dia paham betapa keras kepalanya Titan.

“Pak Yoga sok tahu, nih!” ucap Nugie.

Yes, I am. Kita bertiga kan pernah jadi teman kuliah,” ucap Yoga ringan sambil bersedekap. Meski beda fakultas dan angkatan, dia memang mengenal sosok perempuan yang pernah dan masih menawan hati Titan.

Nugie pun berpaling pada Titan. “Emang Dinda itu cantik banget, ya, Pak? Sampe nggak bisa dilupain.”

Titan mendongak, lalu mengangguk pelan. Dengan gerak cepat, dibukanya galeri ponsel. “Ini. Cantik, kan?” tanyanya sambil menyerahkan ponsel yang di layarnya terpampang foto terakhir Dinda.

Nugie terbelalak melihat foto itu. “Loh? Dinda yang ini?” tanyanya.

“Kamu kenal? Pernah ketemu?” Titan tiba-tiba bersemangat mendengar respon sang mantan asisten.

Nugie mengangguk. “I-ini, ini kan istrinya Dokter Faries. Dosen FK di Unpad,” jawab Nugie ragu-ragu.

Demi mendengar kalimat itu, Titan segera berdiri lalu mencengkram leher kemeja Nugie. “Yakin kamu? Lihat lagi yang bener!” perintah Titan dengan mata pemburu yang seolah-olah ingin memangsa sang lawan bicara.

Nugie menelan ludah. Seumur-umur, belum pernah dilihatnya Titan semurka ini. Dengan patuh, diperbesarnya gambar di layar ponsel, lalu kembali dicermatinya foto itu. “Bener kok, Pak. Ini Bu Dinda Deswita, ” ucap Nugie, lalu berpaling pada Yoga yang segera menutup kedua mata dengan sebelah tangan. “Pak Yoga juga tahu, kok. Kan pernah ketemu waktu ada seminar di Bandung.”

Titan melepaskan cengkraman. Kali ini, ia berpaling pada Yoga, lalu menatap tajam, menuntut penjelasan.

Yoga segera mengangkat kedua tangan, tanda menyerah. “Demi kedamaian dunia, saya pikir sebaiknya kamu nggak tahu,” ucapnya tanpa menunggu tanya.

Napas Titan masih memburu. Apa yang diucapkan dua sahabatnya terasa bagai godam yang menghantam tubuhnya berulang-ulang. Harapan bertemu Dinda yang sempat mekar, tiba-tiba hancur bagai dipangkas secara barbar.

“Makanya, saya yakin orang di Madam Rose itu bukan Dinda,” sambung Yoga.

“Mungkin. Makanya harus dibuktikan!” ucap Titan sambil merebut ponsel dari tangan Nugie. Semua ini harus diperjelas. Ia tak ingin lagi menggantungkan harap terlampau tinggi, yang akan membawa sakit hati. Dibukanya aplikasi Madam rose, lalu segera membalas chat yang diterima tiga hari lalu.

(3 days ago)
Hikari Amore: Hi. Salken.

(Today)
Ryuuma: let’s meet! Today. 5 PM @ rainbow café.

Setelah mengirim pesan itu, Titan segera mengambil ransel, memasukkan laptop serta seluruh buku.

“Loh, mau ke mana, Tan? Kan ngobrolnya belum selesai.” Yoga menatap heran.

“Lanjut aja. Saya khawatir terkontaminasi di sini. Yang satu ngajarin poligami, tapi satu istri aja belum punya. Yang satu ngajarin kesetiaan dan cinta sejati, tapi main gila di aplikasi,” ucap Titan sambil terus bersiap.

Sebelum beranjak pergi, Titan mendekati Yoga, hampir tak berjarak. “Dan salah satunya punya dosa maha besar. Menyembunyikan kenyataan,” ucapnya tajam.

🌹🌹🌹🌹🌹

One message received.

Ryuuma: let’s meet! Today. 5 PM @ rainbow café.

Ebuset! Mampus gue!” seru Jatu tertahan. Wajahnya pucat, sepucat wajah orang yang darahnya baru saja dihisap habis oleh vampir.

“Kenapa, Jat? Ada ujian dadakan?” Demi mendengar seruan panik sang sahabat, Raven pun ikut-ikutan panik.

Jatu menggeleng pelan. “Nggak pake babibu, si duda ngajak ketemu. Sore ini.”

🌹🌹🌹🌹🌹

Dear all.
Selama hari Minggu.
Semoga nggak jemu menunggu cerita Titan dan Jatu.

Btw, tim manakah kamu pagi ini?

✔️ Tim olahraga kek Jatu


Atau
✔️ Tim goler-goleran ala Titan


Do'akan next bisa up on time, ya.
Lab yu. ❤️❤️❤️

Oh ya, Nugie punya cerita tersendiri, ya. Kalo penasaran sama trik Nugie berkilat dari istri posesifnya, bisa baca di POSESIF by InkaAruna

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro