27. SEBAIT JANJI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sop Tom Yam, gurame asam manis, cumi goreng tepung, serta jamur cabe garam. Dalam situasi normal, menu-menu itu dengan mudah akan menggugah selera sekaligus menjadi harta karun berharga bagi pengangguran yang masih kost seperti Jatu. Perbaikan gizi. Demikian istilahnya.

Akan tetapi, menu-menu itu tidak lagi menarik perhatian Jatu. Terlebih lagi, suasana makan malam yang biasanya hangat kini berubah kaku. Semua karena kehadiran seorang wanita baru dari masa lalu.

Semua yang duduk di ruang makan enggan melontarkan kata. Sebagai orang asing, yang tak terikat hubungan darah dan belum memiliki hubungan pernikahan, Jatu merasa semakin canggung. Terlebih lagi karena para penghuni rumah memilih untuk bungkam, baik Amore, Sasti, bahkan Titan. Dinda-lah satu-satunya orang yang bersikap tenang. Bahkan saat setiap orang ogah-ogahan menyuap makanan, wanita itu dengan lahap menikmati hidangan. Tak terpengaruh apapun.

“Amore, dimakan, yuk!” Dinda menoleh pada gadis kecil yang duduk di samping. Dia lalu kembali menyuap makanan. “Rasa Tom Yam-nya lumayan. Tapi, lebih enak buatan mama. Kapan-kapan, mama masakin, ya,” ucapnya dengan mulut setengah penuh.

Prang!

Alih-alih mengomentari ucapan sang mama, Amore malah membanting sendok dan garpu ke piring. Dia lalu bangkit dan berlari menuju lantai dua. Semua terkejut. Namun, tidak ada yang sanggup menghentikan tingkah gadis kecil itu.

Menyaksikan tindakan walk out Amore, Jatu pun ikut bangkit. Ia segera menyusul calon anak sambungnya ke lantai dua. Menuju kamar yang terletak di samping kamar utama.

Pasca kepergian Jatu dan Amore, Sasti semakin kehilangan selera makan. Tidak ingin berlama-lama melihat sosok Dinda, wanita tua itu juga berdiri. Sakit hatinya saat melihat sang putra ditinggalkan, belum juga sembuh hingga sekarang.

Di ruang makan, tersisa Dinda dan Titan yang tetap bertahan. Yang satu tetap menyantap hidangan, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, sedangkan yang lain duduk malas sambil memainkan sendok dan garpu di piring. Kesamaan keduanya hanyalah keengganan untuk membuka pembicaraan atau mengungkit kepergian anggota keluarga yang lain.

Suasana tersebut terus berlangsung hingga hampir setengah jam. Bel yang berdenting seakan-akan menjadi penyelamat bagi Titan. Meski pendapat itu hanya bertahan sejenak. Saat pintu dibuka, pria itu tiba-tiba menyesal.

Pria di balik pintu tengah menatapnya dengan seringai sambil menjulurkan leher, melayangkan pandang ke dalam rumah. Mencari-cari gadis yang mengiriminya pesan singkat. Namun, dia justru terkejut karena melihat sosok wanita lain yang tengah berdiri di dekat meja makan. Bersama keterkejutan itu, langkah-langkah dari belakang nyaring terdengar.

“Lo udah nyampe?”

Suara Jatu terdengar tepat di belakang Titan. Pria itu segera menoleh dan menautkan alis. Belum sempat meminta penjelasan, calon istrinya itu telah menyeruak dan berjalan keluar.

“Yuk, Lang!” Jatu menggamit lengan baju pria yang menjemputnya.

Butuh beberapa detik bagi Titan untuk mencerna kejadian tersebut. Saat tersadar, Jatu dan Langit sudah berjalan menuju Hummer putih yang terparkir di pinggir jalan. Segera pria itu berlari dengan bertelanjang kaki.

“Jat!” Titan menarik tangan Jatu. “Kamu mau ke mana?”

Jatu terkejut, tapi tak urung menoleh lalu tersenyum sinis. “Saya pikir, bapak punya percakapan penting dengan mantan istri. Jadi, saya minta Langit buat jemput,” terangnya.

Titan mengerutkan kening. Tidak biasanya Jatu memanggilnya dengan sebutan bapak ketika sedang berada di rumah. “Kamu marah?” selidik Titan.

Jatu terkekeh, mencoba menyembunyikan murka. “Marah? Nggak, kok. Saya cuma canggung aja. Tamu itu bahkan nggak tahu status  saya.”

Titan menghela napas. Akhirnya dia tahu apa alasan di balik tindakan gadis itu. “Jat, ada waktunya," ucap Titan pelan sambil menatap dalam pada gadis di hadapan. 'Saya nggak bi--”

“Terserah bapak!” potong Jatu dingin sambil menepis tangan Titan yang masih mencengkram lengannya. Gadis itu lalu melangkah menuju mobil Langit.

Langit yang tertinggal, berusaha mencerna tiap adegan tersebut. Meski tidak terlalu paham, dia sempat menoleh pada Titan, menatap tajam sambil mengacungkan telunjuk. Tanpa kata. Setelah puas, pria itu lalu menuju mobil di mana Jatu yang telah duduk di bangku penumpang.

Sepeninggal Langit dan Jatu, Titan segera mengeluarkan ponsel dan menelepon taksi. Selama sepuluh menit, pria itu tetap berdiam di teras, menunggu kendaraan yang dipesan. Sementara Dinda masih duduk di meja makan, meski tidak ditemani oleh satu pun penghuni rumah.

Hingga saat sebuah sedan putih tiba, Titan pun beranjak masuk ke rumah. Tanpa menoleh pada Dinda, dia berkata dingin, “Taksi kamu udah nyampe. Tahu pintu keluar, kan?” Usai mengatakan kalimat itu, dia pun beranjak menuju kamar utama di lantai dua.

🌹🌹🌹🌹🌹

Kerlap-kerlip lampu yang menerangi ibukota, mobil-mobil yang memadati jalanan, hingga manusia-manusia yang hilir mudik di trotoar, menjadi cara Jatu untuk mengalihkan perhatian. Meski gagal. Adegan demi adegan yang terjadi masih lekat di ingatan. Sialnya, kalimat penyesalan Dinda juga masih terngiang-ngiang di telinga. Semua membuat Jatu kalut.

“Mau langsung ke kost-an?” tanya Langit memutus lamunan gadis itu.

Alih-alih menjawab, gadis itu malah menunduk. Kost? Tanyanya dalam hati. Berada sendiri di tempat itu akan membuatnya kembali meratapi kejadian hari ini. Ia tidak mau hal itu terjadi. Terlalu cepat baginya untuk meneteskan air mata.

“Mau nonton live music di La Piazza?” tawar Langit ketika Jatu tidak juga menjawab pertanyaan.

Jatu berpaling, lalu tersenyum sambil menggeleng. Live music memang kesukaannya. Namun, ia tak terlalu menyukai tempat yang disebutkan Langit. Tempat yang terlalu identik dengan kehidupan masyarakat menengah ke atas.

“Taman Suropati?” tanya Langit lagi, seolah-olah mengerti apa yang diinginkan Jatu.

Kali ini, tawaran itu dijawab dengan anggukan pelan. Selain karena tak enak terus menolak, gadis itu juga butuh kegiatan untuk menyegarkan pikiran. Misalnya, alunan biola dari para seniman di taman yang terletak di tengah kota.

Setelah percakapan singkat itu, keduanya kembali menikmati hening di dalam mobil. Langit tahu bahwa gadis itu butuh waktu. Sedangkan Jatu masih berupaya menahan gejolak perasaan.

“Lang, pernah nggak lo ngerasa jiper karena level saingan lo lebih tinggi?” tanya Jatu setelah sekian menit mengatup bibir.

Langit menoleh ke arah gadis itu sambil mengulum senyum. “Nggak pernah. Level saingan gue selalu berada di bawah level gue,” jawabnya penuh rasa percaya diri.

Mendengar itu, Jatu geleng-geleng kepala sambil menarik sudut bibir. Dari seluruh manusia yang ia kenal, tak ada seorang pun yang memiliki rasa kepercayaan diri tinggi seperti Langit. “Termasuk Pak Titan?” tanya gadis itu.

“Ya.” Langit mengangguk. “Dia cuma beruntung karena dilahirkan lebih cepat dari gue. Jadi, dia punya sesuatu yang gue nggak punya. Anak!” lanjutnya tanpa mengalihkan pandang dari jalanan.

Jatu tersenyum mendengar jawaban itu. Mungkin, sebenarnya kelebihan Dinda bukan terletak pada wajah cantiknya, merdu tuturnya, atau lemah lembut lakunya. Namun, pada hubungan darahnya dengan Amore.

“Gue baru tau rasanya punya saingan berat,” ucap Jatu, lebih seperti gumaman pada diri sendiri.

Langit kembali melirik gadis itu. “Tumben banget. Kemana larinya rasa percaya diri lo?”

Jatu terkekeh. “Semuanya udah gue donasiin buat lo,” jawabnya yang disambut tawa Langit.

Setelah tawa Langit mereda, Jatu kembali berkata, “Maaf, ya, Lang. Gue udah ngerepotin lo.”

Gadis itu merujuk pada permintaan untuk dijemput. Langit adalah satu-satunya orang yang terlintas di benak. Raven pasti tidak bisa karena tengah sibuk dengan Yoga. Sementara untuk naik angkutan umum atau ojek, rasa-rasanya Jatu tak sanggup. Ia bukan sekedar memerlukan tumpangan, tapi juga butuh teman bicara.

“Lo nggak ngerepotin gue. Lo manfaatin gue,” ucap Langit dengan penekanan pada kata ‘manfaatin’.

Jatu tersentak, lalu berpaling pada pria di belakang kemudi. Mungkin, apa yang dikatakan Langit seutuhnya benar. Ia bukan sekedar membutuhkan tumpangan maupun teman bicara. Ia juga butuh sosok untuk membalas perlakuan Titan.

“Tapi, gue nggak keberatan,” sambung Langit. “Lo boleh manfaatin gue, kapan pun lo mau.”

“Lang…,” lirih Jatu tertahan.

Never mind. Siapa tahu, akhirnya lo sadar siapa yang tulus mencintai lo.”

🌹🌹🌹🌹🌹

Setengah jam sebelum jam malam berakhir, Jatu dan Langit telah tiba di halaman kost. Namun, ada satu hal yang membuat gadis itu terkejut, mobil silver yang terparkir di sana. Ia benar-benar mengenali siapa pemiliknya.

Dengan langkah berat, Jatu turun dari mobil Langit lalu berjalan menuju pintu kost. Bersamaan dengan semakin dekatnya gadis itu dengan bangunan kost, pintu HRV itu terbuka. Satu sosok turun dari sana dengan gerakan pelan.

“Kenapa ke sini?” tanya Jatu ketika dirinya dan sosok itu hanya berjarak tiga meter. Seandainya bisa, ia ingin menghindari pria tersebut. Namun, letak mobil yang searah pintu utama kost membuatnya mau tak mau harus berpapasan dengan Titan.

Titan melirik pada Langit, lalu kembali menatap Jatu. “Saya cuma mau mastiin kamu selamat sampai kost. Sekalian bawa Bakmie ini,” ucapnya dingin sambil mengulurkan plastik merah. Dia tak mampu menyembunyikan ekpresi kesal.

Jatu bergeming. Rasa sakit di dada kini bercampur rasa bersalah.

“Tadi kamu nggak makan malam. Saya khawatir kamu lapar,” ucap Titan lagi, ketika Jatu tidak juga meraih bungkusan yang disodorkan.

Setelah beberapa saat berpikir, Jatu pun meraih plastik tersebut. Ia ingin kecanggungan tersebut segera berakhir.

Setelah bungkusan berpindah tangan, Titan kembali berkata, "Kuahnya udah dingin karena kelamaan nunggu. Kamu angetin lagi aja."

Jatu mengangguk samar. Ia tahu kalimat tersebut sekaligus menjadi sindiran bahwa pria itu telah menanti sejak tadi.

“Istirahat yang cukup. Jangan lupa makan,” ucap Titan lagi sambil meraih gagang pintu mobil.

Lagi-lagi Jatu tidak menjawab. Gadis itu malah memilih untuk beranjak meninggalkan Titan.

“Jat!” panggil Langit yang sedari tadi besandar di samping mobil sambil menyaksikan percakapan yang berlangsung.

Mendengar panggilan itu, Jatu pun menghentikan langkah. Lalu berbalik ke belakang.

“Jangan lupa minum! Makan mulu nggak minum-minum, seret,” ucap Langit yang disambut dengan senyuman Jatu dan delikan tajam Titan.

Langit menyeringai. Kepuasan melingkupi dadanya. Setelah memastikan Jatu memasuki pintu kost, pria itu pun segera masuk ke mobil putih. Malam ini rasanya sudah lebih dari cukup. Meski hanya dimanfaatkan sebagai alat balas dendam, tapi dia bahagia luar kepalang.

🌹🌹🌹🌹🌹

Alih-alih melajukan mobil ke arah timur, Titan malah pergi ke arah utara. Hingga memasuki salah satu destinasi rekreasi yang buka selama 24 jam. Menuju lokasi yang masih satu kompleks dengan tempatnya menyatakan cinta.

Hembusan angin malam, deru ombak yang membentur pantai, serta kelap-kelip lampu di kejauhan, menjadi teman Titan. Pria itu berdiri di beton pembatas, lalu berteriak sekencang-kencangnya. Mengeluarkan segala rasa yang menyesakkan dada. Tidak dipedulikannya para pengunjung lain yang masih hilir mudik.

Setelah lelah berteriak, pria itu pun lunglai.  Dia terduduk lemas dan menyandarkan punggung ke beton pembatas. Lututnya ditekuk, sementara wajahnya ditenggelamkan dalam lutut dan tangan yang bersilang. Air mata yang tertahan rasanya perlu dibiarkan mengalir.

Malam itu, dia berniat untuk berbicara, memberi penjelasan pada Jatu. Namun, tak disangkanya gadis itu malah pergi dengan lelaki lain yang selama ini paling dibencinya. Lelaki yang seolah-olah menjadi duri yang tidak juga mau pergi.

Titan terus menenggelamkan wajah. Haruskah dirinya mananggung ini semua sendiri? Kilasan kenangan, janji, serta peristiwa masa lalu kembali memenuhi benaknya.

🌹🌹🌹🌹🌹

Delapan tahun lalu

“Tante Diah?” tanya Titan, seraya berjalan mondar-mandir dan menepuk-nepuk pelan punggung Amore. Mencoba menghentikan tangis gadis kecil itu.

Dinda mengangguk sambil menutup ristleting koper. Beberapa potong baju telah menyesaki tas hitam tersebut. Sedangkan sisa baju dibiarkan tetap menempati lemari tiga pintu di kamar itu.

“Kamu udah kehilangan akal?” tanya Titan dengan mata memicing.

Wanita itu menggeleng tegas. “Sudah dua puluh tahun tante Diah menantikan bayi yang nggak kunjung datang. Dia pasti akan merawat Amore dengan baik.” Dinda berkata penuh keyakinan, merujuk pada adik bungsu ayahnya. 

“Walaupun tante Diah keluarga kamu, aku nggak akan nyerahin Amore ke dia!” tegas Titan dengan suara bergetar. Dia semakin mengeratkan pelukan pada gadis kecil berusia dua tahun itu. Gadis kecil yang tak kunjung berhenti menangis sejak kedua orang tuanya bertengkar.

Dinda berdiri, lalu menarik koper. Wanita itu berjalan melewati Titan, menuju pintu yang tertutup. Tepat sebelum meraih gagang pintu, dia membalikkan tubuh.

“Aku lebih memilih Amore dibesarkan tante Diah, dari pada oleh perempuan lain,” ujarnya dengan mata yang menatap tajam.

"Perempuan lain?" ulang Titan.

"Ibu tiri," terang Dinda singkat.

Pengalaman tumbuh dalam asuhan ibu sambung, membuat Dinda trauma dengan istilah ‘ibu tiri’. Kata-kata makian, tindakan kasar, hingga perlakuan berbeda, menjadi makanannya sehari-hari. Hal itu pulalah yang membuatnya memilih melanjutkan pendidikan di Jakarta, meski Bandung memiliki universitas-universitas yang tak kalah bagus. Wanita itu hanya ingin pergi jauh dari rumah yang bak neraka.

“Aku akan ngebesarin Amore sendiri. Meski harus menjadi orang tua tunggal seumur hidup,” putus Titan. Dia tahu pasti alasan di balik sikap Dinda. Bukankah dia sangat mengenal wanita itu?

Dinda memalingkan wajah dan menatap pintu berwarna cokelat. “Terserah kakak. Yang pasti, jika kak Titan berubah pikiran, aku nggak segan untuk datang dan ngambil Amore!” ancamnya.

Wanita itu lalu memutar gagang pintu dan menarik koper. Meninggalkan Amore yang menangis kencang dan Titan yang berusaha keras menahan air mata yang hampir tumpah.

“Sst.” Pria itu mendesis di dekat telinga putrinya. “Jangan sedih! Papa akan jadi semuanya. Jadi mama, papa, guru, juga teman buat Amore.”

🌹🌹🌹🌹🌹

Selamat pagi, gaess.

Salam hangat untuk para pejuang garis biru, para orang tua tunggal, mereka yang di-ghosting pas lagi sayang-sayangnya, siapa pun yang lagi kena tikung, juga untuk pembaca dengan segala masalahnya masing-masing.

Semua akan indah pada waktunya.
🤗 ♥️♥️♥️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro