26. PULANG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Kenapa mama datang?” tanya Amore dengan tajam.

Respon Amore mengejutkan semua orang. Namun, tidak bagi Dinda. Meskipun terasa perih, dia sudah cukup siap menerima penolakan itu.

“Mama bawa boneka kesukaan kamu.” Alih-alih menjawab pertanyaan Amore, wanita yang dipanggil mama itu malah menyerahkan boneka setinggi 80 cm yang sedari tadi dipeluk.

Amore memandangi boneka tersebut, lalu kembali menatap Dinda. Begitu keras usaha sang mama untuk meraih hatinya. Wanita itu bahkan berdandan seperti Elsa. Hanya warna rambut mereka saja yang berbeda.

Dengan enggan, Amore menerima boneka itu. Sedetik kemudian, dicampakkannya hadiah itu ke arah samping kanan. “Aku nggak suka Elsa,” ucapnya tajam.

Adegan demi adegan tersebut bak tayangan sinetron di televisi. Setiap telinga tak ingin melewatkan bahkan satu kata. Setiap mata tak mau berkedip menatap. Setiap bibir tak hendak mengeluarkan suara. Semua hadirin terpana.

Tidak ingin drama keluarga itu menjadi tontonan, Titan segera berpaling pada pembawa acara yang merupakan staf club house Sakura Premier. Sambil menyerahkan mikrofon, ia membisikkan beberapa kalimat instruksi. Pria itu lalu memberi isyarat pada Jatu untuk membawa Amore pergi.

Pembawa acara segera mengumumkan pada para tamu undangan untuk melanjutkan acara bebas di lantai satu. Bisik-bisik mulai berdengung pasca pemberitahuan tersebut. Namun, semua tak urung untuk turun.

Kegaduhan perlahan memudar ketika satu persatu tamu menuruni tangga. Menyisakan mantan pasangan suami istri yang berdiri dengan jarak terpisah sejauh lima meter. Dinda yang masih menopang tubuh di kursi utama, sementara Titan tetap berdiri di bagian kiri panggung.

Demi menjaga kewarasan pikiran, Titan lalu berjalan menuju jendela di bagian kiri aula. Mengintip wajah-wajah bahagia yang mulai memasuki kolam di bawah sana. Bersiap untuk bermain dan berenang. Teriakan dan tawa riang mereka, seolah-olah bergema hingga ke angkasa. Jauh berbeda dengan keadaan di aula lantai dua.

Aura dingin menyelimuti kedua mantan pasangan itu. Tak ada satu pun yang mau mematahkan keheningan terlebih dahulu. Titan terlalu murka, sedang Dinda terlalu merasa malu. Hingga setelah hampir setengah jam berlalu, benteng kesabaran sang pria pun runtuh.

“Kenapa ke sini?” tanya Titan tanpa mengalihkan pandang.

“Alasan apalagi?” tanya Dinda dengan retorik. “Sudah pasti untuk menghadiri ulang tahun Amore.”

Titan mendengkus. “Kamu nggak diundang!” ucapnya sinis.

“Bukankah tahun-tahun sebelumnya Kak Titan dan Amore berharap aku datang?”

Mata Titan berkilat. Ia menatap tajam pada Dinda. Bagaimana perempuan itu tahu?

Seolah-olah mengerti pertanyaan Titan, Dinda pun melanjutkan, “Setiap tahunnya, di H minus satu, kakak akan memposting rencana ulang tahun yang selalu saja diadakan di club house ini. Tidak lupa dengan satu kalimat harapan, semoga esok kebahagiaan itu sempurna dengan kehadiranmu. Bukankah itu ditujukan untuk aku?”

Titan tak membantah. Memang itulah yang terjadi setiap tahun. Namun, ia akhirnya menyadari satu hal yang menyakitkan. Meski membaca harapan itu, kenapa Dinda tak pernah datang?

“Tahun ini, kamu nggak diundang!” tegasnya. Tahun ini, ia memang tidak memposting harapan tersebut. “Jadi, kenapa repot-repot datang?” Pria itu lalu kembali memalingkan wajah.

Mendengar tanya yang terlontar, Dinda pun melangkah mendekati mantan suaminya yang masih bersandar di jendela. Memangkas jarak di antara mereka. Namun, dua meter dari posisi Titan, wanita itu berhenti.

Alih-alih menjawab pertanyaan Titan, Dinda malah mengajukan pertanyaan dengan suara tercekat, “Apa aku nggak boleh pulang?”

Wanita itu terus menatap tajam pada Titan, meski pria itu enggan berpaling dari pemandangan di luar jendela. Dari mata perempuan itu, berbulir-bulir air mulai mengalir. Isak mulai terdengar.

Mendengar suara tangis yang mulai pecah, Titan menoleh sejenak, tapi kembali membuang muka. Hatinya bergetar. Pertahanannya hampir goyah. Air mata Dinda adalah salah satu kelemahannya. Ia selalu saja tidak sanggup melihatnya.

“Pulang?” Titan mengulang kata yang dilontarkan wanita itu. “Rumah kita dulu bukan di sini!” ucapnya dingin sambil mengingat rumah sederhana yang berada di perkampungan warga. Rumah yang menjadi saksi segala cerita sedih dan bahagia.

Dinda semakin menatap lekat pada Titan. “Hikari Amore. Gadis itu selalu menjadi tempat pulang untuk aku. Di mana pun dia berada,” terangnya masih dengan suara bergetar.

Titan mendengkus, lalu menunduk dan menggenggam erat tepian jendela. Sedetik kemudian ia mendongak. “Kamu masih ingat jalan pulang? Masih ingat Amore?”

“Kak Titan... plis.” Dinda semakin mendekat. Mencoba membuat pria itu menatapnya. Mencoba mendapatkan sebuah pengampunan. “Jangan ngomong gitu, Kak. Aku bener-bener nyesal.”

Titan melepaskan genggaman pada jendela, lalu melangkah ke depan. Kembali membuat jarak lebar di antara dirinya dan Dinda. Sungguh, ia berharap ini hanya mimpi buruk. Dan segera terbangun agar bisa kembali pada kehidupan nyata.

“Akhir-akhir ini, aku sering mimpiin Amore, Kak. Dia… dia sering datang dengan wajah sedih,” ucap Dinda, lalu kembali terisak.

Tangan Titan mengepal erat, rahangnya kembali menegang. “Jadi, kalo nggak mimpiin Amore, kamu nggak akan datang?” tanyanya sinis, lagi-lagi tanpa melihat sang lawan bicara. “Aku nggak peduli sama mimpi kamu. For your information, mimpi itu salah. Amore baik-baik saja. Dia happy tanpa kamu. Kami bisa bahagia tanpa kamu.”

Dinda menyeringai. Dia berpaling dan menatap Titan yang berdiri membelakangi. “Bukannya kakak pernah bilang, kakak dan Amore nggak akan bisa hidup tanpa aku,” ucapnya dengan nada ejekan. Perempuan ini masih mengingat jelas kata-kata yang diucapkan Titan saat dirinya memutuskan pergi.

Titan membalikkan tubuh. Matanya berkilat. “Lalu, kamu berharap saat ini aku dan Amore dalam proses menuju mati? Sehingga kamu bebas datang dan berlagak seperti pahlawan?” tanyanya dengan telunjuk teracung dan nada meninggi. “Ya, aku memang mati! Hatiku memang mati gara-gara kamu. Tapi, aku terus berjuang hidup untuk anak itu!”

Dinda terkejut mendengar kata-kata itu. Tak pernah disangka, sang mantan suami yang dulu lemah lembut, kini mengangkat suara padanya. Pria yang dulu penuh kasih, kini sanggup membentaknya. “Kakak udah berubah,” responnya pelan dengan senyum yang mulai memudar.

“Kamu yang bikin aku berubah!” balas Titan masih dengan nada ketus.

Dinda mengangguk-angguk. “Ternyata begitu. Ternyata kakak bisa kehilangan diri kakak karena aku,” komentarnya penuh kemenangan. Wanita itu lalu menyeka kedua pipi. Sepertinya, air mata bukanlah cara yang tepat untuk berbicara dengan Titan yang sekarang.

“Malam ini, aku mau dinner bareng kalian,” putus wanita itu secara sepihak.

Rahang Titan mengeras. “Kamu pikir, aku bakal ngijinin?”

“Harus! Sepuluh tahun lalu, aku yang ngelahirin Amore. Apa nggak boleh aku mengenang hari itu?” tantang Dinda. Dia mengenang saat-saat ketika berada di rumah sakit. Baru disadarinya, itu adalah momen terindah dalam hidup.

“Kenangan?” Kening Titan berkerut. “Apa termasuk kenangan ketika kamu mengabaikan Amore yang meraung-raung karena kamu pergi? Atau kenangan saat aku memohon agar ka--”

“Ada apa?” potong Dinda sambil menjulurkan leher.

Titan berpaling belakang, mengikuti arah pandang Dinda. Didapatinya Jatu tengah berdiri di ujung ruangan. Sebenarnya, ia kesal karena pembicaraan serius itu terpotong. Namun, di sisi lain, ia merasa tertolong. Pria itu tak sanggup membayangkan apa yang mungkin terjadi jika terus berduaan dengan Dinda. Mungkinkah mereka akan lebih saling menyakiti.

Dengan langkah ragu-ragu, Jatu bergegas mendekat. Sebetulnya, gadis itu tidak nyaman mengganggu pembicaraan Titan dan Dinda. Namun, permintaan para tamu juga tak bisa diabaikan. Maka dengan terpaksa, dia menyusul ayah sang pemilik acara.

Jatu baru hendak angkat bicara, tapi kalah cepat dengan Dinda.

“Hai, saya Dinda,” ucap sosok itu sambil mengulurkan tangan. “Mamanya Amore.”

Jatu terkejut, tapi tak urung menyambut uluran tangan itu dengan senyum tersungging, penuh percaya diri. “Saya Jatu. Calon ma--”

“Ini mantan mahasiswi saya.” Titan memotong kalimat gadis itu.

Jatu menoleh, penuh tanya. Yang diucapkan Titan memang benar, tapi tidak sesuai harapnya. Dia baru saja ingin membalas kata-kata Dinda dengan perkenalan sebagai calon mama baru Amore. Namun, sepertinya pria di samping tidak sepakat.

“Kenapa ke sini?” Titan melirik Jatu.

Jatu menyunggingkan senyum tipis. Tak sanggup menyembunyikan rasa kecewa. “Tamu-tamu nyariin bapak. Mau pada pamit pulang,” jawabnya dengan suara pelan.

Mendengar jawaban Jatu, Titan segera mengangguk. Lalu melangkah meninggalkan kedua perempuan itu. Tanpa pamit, tanpa ucapan selamat tinggal.

Dinda mengantar kepergian Titan dengan tatapan penuh penyesalan bercampur kerinduan pada masa lalu. Pria itu, pria sama yang pernah menjadi teman kuliahnya. Pria yang seangkatan dengannya, tapi berkeras ingin dipanggil dengan sebutan kakak hanya karena lahir tiga bulan lebih cepat.

Pria yang tulus menjaganya di ibukota, saat kedua orang tua berada jauh di Tanah Priangan. Pria yang berkali-kali mengucapkan kata ‘I love you’ meski berulang kali pula mendapat penolakan.

Lamunan Dinda segera terhenti saat teringat bahwa mantan mahasiswa Titan masih berada di dekatnya. Dia pun berpaling, lalu memasang senyum paling manis. “Kayanya Jatu cukup dekat sama Amore, ya,” ucapnya dengan tenang. Dia mengingat perlakuan gadis itu pada anaknya tadi.

Jatu mengangguk pelan. “Sudah setahun saya jadi guru les Amore,” terangnya, datar. Dia tak mungkin mengungkapkan statusnya sebagai calon istri Titan, sementara pria itu sendiri tidak ingin melakukannya.

Mendengar penjelasan itu, Dinda pun mengangguk. “Tapi, sedekat apapun, tidak akan bisa menggantikan kedekatan anak dengan ibu kandung,” responnya, masih dengan suara yang tenang.

Jatu menatap perempuan itu. Didapatinya senyum terkembang dari bibir Dinda. Senyum yang penuh keyakinan. Penuh rasa kepercayaan diri. Penuh rasa kemenangan. Entah atas alasan apa.

“Ibu yang dekat dengan anaknya pasti tahu apa yang disukai dan dibenci oleh anaknya,” balas Jatu dengan nada tenang. Sama tenangnya seperti yang dilakukan lawan bicara.

Selama sedetik, ekpresi wajah Dinda berubah. Namun, perempuan itu buru-buru kembali tersenyum. “Maksud kamu?” tanyanya.

“Apa mbak Dinda tahu kalo Amore paling benci dengan tokoh Elsa?” tanya Jatu dingin.

Dinda menyeringai, sambil geleng-geleng. “Karena Amore ngebuang boneka tadi, bukan berarti dia benci. Elsa adalah tokoh favoritnya!” tegas perempuan itu, lalu kembali menyunggingkan senyum.

“Kapan itu terjadi?” tantang Jatu, sambil sedikit mengangkat dagu.

“Kapan?” ulang Dinda, tak mengerti.

“Mungkin Elsa memang pernah menjadi favorit Amore. Tapi itu dulu. Sekarang dia membencinya. Sangat membencinya,” tutur Jatu dingin. “Bukankah setiap orang bisa berubah?”

Senyum memudar dari bibir Dinda. Dia lalu menunduk, memandang dress biru yang tengah dikenakan. Dress spesial yang menyerupai busana Elsa. Menyerupai tokoh kartun favorit anaknya. Dulu sekali.

Dinda mematung. Selama beberapa saat dia larut dalam perenungan. Satu hal yang dia lupakan. Setiap orang bisa berubah. Termasuk Amore dan boneka favoritnya. Termasuk Titan dan perasaannya.

“Jatu!” panggil Dinda saat Jatu mulai melangkah. 

Panggilan itu mengejutkan Jatu. Dia segera berhenti. Demi sopan santun, gadis itu pun membalikkan badan.

“Apa seorang ibu yang bersalah tidak berhak mendapat pengampunan dari anaknya?” tanya Dinda dengan tatapan tajam.

Mendengar pertanyaan itu, Jatu terkesiap. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan retorik itu? Pertanyaan yang sama sekali tidak memerlukan jawaban. Secara norma, semua orang berhak mendapat pengampunan. Apalagi jika itu seorang ibu.

Jatu berusaha memutar otak. Mencari jawaban yang tepat. Namun, tidak sempat. Dinda kembali melontarkan tanya, tanpa menunggu respon sang lawan bicara.

“Apa ibu itu masih berhak menagih rindu dari buah hati yang pernah dilahirkannya?” tanyanya dengan tenggorokan tercekat. Bulir-bulir bening kembali turun di pipinya. Kali ini lebih deras.

🌹🌹🌹🌹🌹

Selamat malam semua.

Pertama, saya suka banget lagu pengantar part ini. Ini lagu jadul, tapi kayaknya relevan sama part ini.

Kedua, ng... anu... saya dititipin foto ini sama Dinda. Dia minta dipajang.

(Jangan tanya saya dibayar berapa sama Dinda buat ngelakuin ini) 🤣

Gimana? Akankah Tim Titan-Dinda mulai terbentuk? 🙈

🌹
🌹
Semoga foto ini tidak merusak malam Minggu kalian yang indah.

Kalopun kelewat rusak, saya mau kasih jawaban yang -semoga- bisa memperbaiki suasana.

Setelah melalui semedi panjang, saya putuskan cerita Amore akan saya tamatkan di Wattpad. Mungkin sekitar 8 part lagi. Bisa kurang bisa lebih. Bagaimana endingnya? Kita lihat nanti. 😁

Sekian dari saya.
Selamat bermalam Minggu.
Mon maap. Mo kabur dulu.

♥️♥️♥️♥️♥️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro