30. DIA DI ANTARA KITA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menghabiskan empat jam di pantai utara Jakarta adalah cara yang digunakan Titan untuk menenangkan diri. Meskipun hal tersebut sia-sia. Rasa sakit di dada masih terus terasa sejak kembali naik ke mobil. Suara tawa Amore, rengekan manja, hingga kata-kata pedas yang kadang dilayangkan seakan-akan bergema di dalam kendaraan roda empat tersebut. Membuat pria itu frustasi.

Dengan perasaan yang tak menentu, ia melajukan mobil ke Sakura Premier. Pekerjaannya belum selesai. Ada Sasti yang pasti akan menuntut penjelasan. Semakin cepat urusan itu berakhir, semakin baik.

Titan sudah menyiapkan hati untuk berbicara pada Sasti. Namun, tidak untuk Jatu. Maka, pria itu hampir-hampir mundur ketika melihat sepatu sang calon istri di teras rumah. Ada rasa bersalah. Namun, amarah lebih mendominasi.

Dengan gerakan kasar, dibukanya pintu, lalu dibantingnya hingga berdebam, tertutup.

“Hallo, Oppa. Saya masakin steak, nih. Cobain, deh,” ucap Jatu, sambil mengayunkan tangan dan tanpa mengalihkan wajah. Malam itu, dia duduk di kursi yang menghadap ke taman. Membelakangi arah pintu depan.

Titan tidak menjawab. Pria itu malah melangkah tergesa menuju dapur, membuka pintu kulkas dengan kasar, dan mengambil sebotol air mineral dingin. Hanya satu harapnya, dinginnya air mampu meredakan kemurkaan.

Di meja makan, Sasti terheran melihat tingkah Titan. Terutama karena tidak mendengar suara Amore. Biasanya saat masuk rumah dan melihat Jatu, gadis kecil itu akan berlarian sambil bersorak riang.

Sasti menjulurkan leher, mencoba mencari cucu tercintanya. Namun, sosok itu tak tampak. “Tan, Amore mana?” tanya wanita tua itu.

Alih-alih menjawab pertayaan ibunya, Titan malah menutup kulkas dengan keras dan berbalik menhadap Jatu. “Kamu dari mana?” tanyanya tajam.

“Ng--” Jatu terbata. “Da-dari rumah sakit. Nganterin Langit.”

Buuk!

Botol plastik melayang dan membentur lantai di dekat kaki Jatu, membuat gadis itu terperanjat. Air yang tersisa, tumpah. Membuat area di sekitarnya basah.

“Langit, Langit, Langit! Selalu saja Langit! Apa nggak bisa laki-laki itu hilang dari pikiran kamu?” bentak Titan.

Melihat kemarahan itu, Jatu menggulung tubuh. Ini kali pertama Titan membentaknya. Dia sangat takut.

“Tan, Amore mana?” tanya Sasti lagi, setelah membuka pintu dan melongok ke halaman depan. Kekhawatiran akan kondisi Amore membuatnya tak peduli pada pertengkaran anak dan calon menantunya.

“Kenapa nggak jawab telepon saya? Kenapa nggak hubungi saya?” Titan masih meninggikan suara. Ia butuh sesuatu untuk melampiaskan segala kekesalan dan kemarahan.

Jatu semakin menunduk. Dia memang salah. Kepanikan membuatnya mengabaikan ponsel yang berkali-kali berdering. Juga membuatnya lupa menghubungi pria itu. “Sa-sa….”

“Tan! Amore mana?” Setelah berkali-kali diabaikan, kini Sasti memegang kedua pipi Titan, memaksa sang putra untuk menatapnya.

Titan ingin bungkam. Namun, tatapan tajam Sasti terlalu menusuk hatinya. Ia tak tega membiarkan wanita tua itu terus digelayuti kekhawatiran. “Amore akan tinggal sama Dinda,” jawabnya sambil membuang wajah.

“Tinggal? Tinggal gimana maksudnya? Kok nggak bilang-bilang ke ibu? Berapa lama? Sehari? Dua hari? Atau seminggu?” berondong Sasti.

Yang ditanya malah melengos, lalu melangkah pergi, hendak menuju kamarnya di lantai dua. “Selamanya,” jawab Titan pelan.

“Selamanya?” Sasti dan Jatu mengulang kata itu hampir bersamaan.

Sedetik kemudian, terdengar bunyi berdebam. Sasti ambruk di dekat meja makan. Sontak, Jatu dan Titan menghampiri wanita tua yang pingsan itu. Dengan sisa-sisa tenaga, Titan pun membopong Sasti ke kamar. Sementara Jatu segera menelepon dokter dari klinik terdekat.

Syok ringan. Demikian kata dokter. Tidak ada kondisi yang serius. Sasti hanya perlu istirahat yang cukup serta menjaga asupan gizi.

“Kenapa kamu selalu memutuskan semua hal sendiri?” tanya Sasti pelan yang lebih mirip gumaman.

Saat itu, Jatu sedang mengantar kepergian dokter. Sementara Titan menemani sang ibunda di kamar. Sekedar ingin menenangkan hati perempuan tua itu.

“Ibu istirahat aja. Jangan pikirin yang lain dulu.” Titan yang tengah duduk di sisi ranjang, mengelus-elus punggung tangan ibunya.

“Kenapa kamu egois?” tanya Sasti lagi.

Titan menatap ibunya dengan mata sendu. “Bu, ingat kata-kata dokter. Ibu nggak boleh banyak pikiran.”

“Kenapa kamu seperti nggak punya dan nggak butuh orang lain untuk tukar pikiran?” kejar Sasti.

“Bu….”

“Waktu nikahin perempuan yang sudah hamil, waktu ngebatalin beasiswa kamu ke Jepang, waktu ambil hak asuh Amore, bahkan waktu balikin Amore ke ibunya. Kenapa kamu nggak pernah ajak ibu untuk bicara? Apa ibu yang nggak punya sekolah ini memang nggak pantes diajak ngomong sama kamu?”

Titan lunglai. Kini ia bersimpuh di samping ranjang. Ia tidak pernah berpikiran seperti itu. Ia hanya ingin menjaga pikiran ibunya. Menjauhkannya dari rasa terbebani atas segala macam masalah. Hanya itu.

“Bu….” Titan mulai terisak sambil mencium telapak tangan yang sudah keriput itu. Ia merasa gagal. Sebagai anak. Sebagai ayah.

“Ibu mau istirahat,” putus Sasti sambil menarik tangan kirinya. Perempuan itu membalikkan tubuh ke arah dinding, membelakangi sang putra yang telah membuatnya kecewa.

🌹🌹🌹🌹🌹

Titan menuruni anak-anak tangga dengan lemas. Ia sudah lelah, baik jiwa maupun raga. Namun, urusannya belum selesai. Ia tahu ada satu orang yang masih menanti penjelasan.

Seperti dugaannya, Jatu masih berada di lantai bawah. Perempuan itu sedang mencuci piring, tapi sesekali lengan atasnya menyeka bagian pipi. Meski dalam posisi membelakangi tangga, Titan tahu calon istrinya tengah menangis.

Titan menarik kursi makan. Duduk sambil menatap lampu-lampu taman kecil di hadapan. Kenangan akan Amore kembali datang.

Di satu hari, ada agenda Perkemahan Sabtu Minggu dari sekolah. Amore tidak diijinkan ikut karena tengah terserang cacar air. Selama berhari-hari anak perempuan itu terus menangis. Hingga akhirnya Titan membangun tenda di taman belakang lengkap dengan api unggun. Mereka pun menikmati acara camping keluarga, bertiga dengan sang nenek.

Di hari lain, Titan pernah dibuat bingung karena jumlah ikan koinya berkurang. Setelah menyelidiki, akhirnya ia tahu. Setiap hari Amore menangkapi ikan-ikan itu lalu memberikannya pada beberapa anak kucing liar yang ada di ujung kompleks.

Oppa, apa Amore nggak bisa tetap tinggal sama kita?”

Pertanyaan Jatu mengejutkan Titan. Membawanya dari alam khayal kembali ke alam nyata. Pria itu melirik sang calon istri yang entah sejak kapan telah duduk di samping.

“Sebagai ibunya, Dinda lebih berhak,” jawab Titan pelan.

“Tapi Amore juga berhak menentukan pilihan,” kilah Jatu.

“Untuk apa menentukan pilihan sendiri jika tidak membawa kebahagiaan.”

“Amore akan lebih bahagia tinggal sama kita.”

Titan berdiri sambil menggebrak meja, dan menatap tajam pada Jatu. “Kenapa kamu yakin bahwa Amore hanya bisa bahagia di sini? Kenapa kamu yakin ibu kandungnya tidak mampu memberi hal yang sama?” bentaknya.

Bentakan itu tidak hanya mengagetkan Jatu, tapi juga Titan. Namun, pria itu tak sanggup menahan emosi yang memuncak. Saat ini, ia lebih butuh kalimat menenangkan bukan yang menyalahkan.

Jatu menunduk. Dia salah. Seharusnya dia tak mengatakan hal tersebut. Bagaimana pun yang berhak menentukan bahagia atau tidak adalah Amore sendiri. Bukan mamanya, papanya, neneknya, bahkan calon ibu sambungnya. 

Oppa,” Jatu memanggil pelan, “apa oppa sudah minta persetujuan Amore?”

Titan bungkam.

“Jika itu memang untuk kebahagiaan Amore, pernahkah oppa meminta pendapatnya? Atau oppa memutuskannya sendiri?”

Titan kembali duduk, lalu menyeka sudut mata. “Jika Amore pergi, dia tidak perlu mengetahui kenyataan pahit yang selama ini disembunyikan.”

Meski suatu saat nanti Amore akan tahu, tapi Titan tak berharap secepat ini. Ia ingin gadis itu tetap menganggapnya sebagai ayah kandung. Rasanya sakit jika Amore menatapnya dengan pandangan berbeda, seperti tatapan kepada orang asing.

Jatu mencermati wajah pria di samping. Mencoba membaca apa yang membuat pria itu sangat tertekan. “Kenyataan apa, Oppa?” tanya gadis itu.

“Kenyataan yang seharusnya nggak diketahui anak kecil seumuran dia.” Pria itu menunduk dalam.

Sebenarnya, Titan tak ingin membahas hal pahit tersebut. Ia takut atas reaksi yang mungkin diberikan Jatu. Mungkin, gadis itu akan membencinya karena tidak pernah jujur. Atau mungkin, rasa sayang Jatu pada Amore akan mulai terkikis.

Melihat ekspresi Titan, sontak Jatu tersenyum tipis. Dia bisa menduga apa yang Titan khawatrikan. “Maksud oppa, kenyataan bahwa Amore bukan anak kandung dari seorang Titan Bhaskara?” tembaknya.

Titan terkejut, lalu mendongak, menatap Jatu penuh tanya. “Dari mana ka--”

“Amore, bahkan saya sudah tahu tentang kenyataan itu. Sudah lama. Itu yang bikin Amore ketakutan saat Dinda datang di hari ulang tahunnya. Yang bikin Amore terus mengurung diri di kamar setiap kali Dinda datang. Amore yakin, ibunya akan mengambil dia. Tapi dia tidak pernah menyangka kalo ayahnya, haruskah saya bilang, orang yang selama ini terus dianggapnya sebagai ayah, akan menyerahkan dia pada ibunya,” terang Jatu datar.

Titan terkesiap. Ia tak menyangka selama ini Amore menahan seluruh beban sendiri. Gadis kecil itu bahkan tidak memperlihatkan perubahan sikap. Tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mengetahui satu rahasia besar. Bagaimana mungkin?

Jatu berlutut di dekat Titan, lalu meraih tangan pria itu. “Jadi, bisakah oppa menemui Amore lagi? Tanyakan apa pilihannya. Apakah ingin tetap tinggal bersama ibu kandungnya atau kembali ke rumah tempat dia dibesarkan,” pintanya penuh harap.

Titan tidak menjawab. Air matanya malah mengalir semakin deras.

“Saat ini Amore pasti sedang bingung. Bertanya-tanya apa kesalahannya. Dan oppa pun menderita. Ibu juga. Bisakah kita membujuk Dinda agar Amore boleh tinggal di sini lagi?”

Titan menelan ludah. “Dinda lebih berhak dan lebih butuh kehadiran Amore.”

“Kenapa?” Jatu mengerutkan kening.

“Amore adalah satu-satunya anak yang bisa dimiliki Dinda! Dia tidak akan bisa punya anak lagi!”

Jatu terpaku mendengar jawaban itu. Dia pun melepas genggaman pada tangan Titan.

“Jadi, selama ini alasannya memang Dinda. Bukan Amore. Semua untuk kebahagian Dinda. Bukan kebahagian Amore. Semua demi Dinda, bukan Amore. Selalu saja Dinda!”

Dengan gerakan cepat, gadis itu beranjak, lalu meraih tas di sofa tamu. Bersama bunyi berdebam kasar, punggung gadis itu pun menghilang di balik pintu. Jatu berlari menuju gerbang Sakura Premier sambil sesekali menyeka air mata.

Titan tidak mencegah kepergian Jatu. Ia tahu gadis itu marah. Namun, energinya sudah terkuras habis. Ia hanya ingin tidur, lalu terbangun, dan menyadari bahwa semua ini mimpi. Meskipun hal itu mustahil.

🌹🌹🌹🌹🌹

Selamat pagi dari Titan yang habis mewek.

🌹🌹🌹🌹🌹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro