31. ANUGERAH YANG TERSIA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua hari sebelumnya

Saat Jatu menenangkan Amore, Titan membersihkan pecahan piring dan kue yang berserakan. Sesekali ia melirik ke arah putri kecilnya yang masih terisak dalam pelukan Jatu. Ada tanya yang ingin diucapkan, tapi ia tahu waktunya tidak tepat. Dinda tengah menunggunya di lantai bawah.

“Dinda hampir mukul Amore,” bisik Jatu ketika Titan hendak beranjak dari kamar.

Titan bungkam, tapi tak urung mengangguk. Ini bukan hal asing baginya. Dengan isyarat mata, ia pun meminta Jatu untuk kembali menenangkan Amore. Kemudian, ia menyusul Dinda ke lantai satu. Didapatinya wanita itu tengah duduk termenung di ruang tamu.

“Kamu mau ngomong apa?”

Pertanyaan Titan menghentikan lamunan Dinda, membuatnya sedikit terlonjak. Wanita itu pun berpaling dan mendapati mantan suaminya tengah berdiri di dekat meja makan. Sepertinya, pria itu sengaja menjaga jarak.

“Bisa kita bicara di ruang yang lebih tertutup?” pinta Dinda.

Titan berpikir sejenak, tapi tak urung mengangguk, menyetujui permintaan itu. Ia pun menggiring sang mantan istri menuju ruangan yang berada di balik ruang tamu. Ruangan seluas 4 x 5 meter itu berfungsi sebagai ruang kerja sekaligus ruang baca sang pemilik rumah.

Di ketiga sisi ruangan terdapat lemari buku yang seolah-olah menyatu dengan dinding di belakang. Dari balik pintu kaca beningnya, tampak berbagai buku berjejer, dari bahan perkuliahan, buku umum, fiksi, hingga komik. Buku-buku tersebut dideretkan dengan teratur, berdasarkan genre, penulis, hingga urutan serial.

Di bagian sisi yang tidak diisi lemari, terdapat jendela besar yang langsung mengarah ke carpot di mana mobil silver Titan terparkir. Jendela tersebut menjadi lubang sirkulasi udara sekaligus pencahayaan alami saat pagi hingga menjelang sore. Sementara pada malam hari, empat buah lampu kecil dan satu lampu utama menjadi sumber penerangan.

Titan melangkah menuju meja kerja berbahan kayu eboni. Di sana terdapat laptop, beberapa buku dan berkas, serta pigura yang berisi fotonya dan Amore. Pria itu mengambil posisi setengah duduk dan di bagian tepi meja . Rasanya tidak sopan jika duduk di kursi sementara Dinda, berdiri di dekat pintu yang telah tertutup.

“Kamu mau ngomong apa?” Titan mengulang pertanyaan.

Dinda menarik napas panjang. Menata kembali kalimat demi kalimat yang ingin diucapkan. Meski sudah berlatih sekian bulan, tapi dia masih merasa berdebar saat ingin melontarkannya. Namun, jika mundur sekarang, keinginan terbesarnya tak akan pernah terwujud.

“Saat SMA, aku bertemu dengan seorang pria rupawan, pintar, juga ramah. Dia adalah senior aku. Juga cinta pertama aku. Namanya Aa Faries.”

Titan merasakan dejavu saat nama itu disebutkan. Entah sudah keberapa kalinya ia mendengar nama Faries diikuti cerita yang sama dari bibir Dinda. Wanita itu tidak pernah jemu bercerita tentangnya. Sejak kuliah, bahkan hingga setelah menikah.

“Dua tahun setelah kita berpisah, aku akhirnya bisa menjadi pengantin Aa Faries.”

Titan mengepalkan tangan. Harusnya ia tidak terkejut akan berita itu. Bukankah saat masih menikah, ia telah mengetahui hubungan sembunyi-sembunyi itu? Meskipun tidak dapat dikatakan sembunyi-sembunyi karena Dinda bahkan tidak repot-repot menyembunyikan atau menghapus pesan dan foto mesranya dengan Faries.

Akan tetapi, satu hal yang membuat Titan geram karena kedekatan keduanya terjadi saat Dinda telah berstatus sebagai istrinya. Seandainya kedekatan itu tercipta jauh sebelumnya, ia mungkin tidak harus terpaksa menjadi martir.

Tiba-tiba, Titan tersadar. Apakah ia memang terpaksa? Apakah memang ia harus menyesal? Atau mungkin ini justru kesalahan yang berbuah anugerah? Bukankah akhirnya ia bisa menciptakan banyak kenangan bersama Amore?

“Saat kami menikah, aku merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. Setelah semua duka dan air mata, akhirnya aku bisa tersenyum senang.” Dinda melanjutkan kisah.

Titan tersenyum tipis. Tentu saja ia tahu rasa bahagia yang tercipta saat menikah dengan orang yang dicintai. Bukankah ia juga pernah merasakannya?

“Aku ikut bahagia. Seandainya dapat undangan, aku pasti usahain untuk datang,” komentar Titan datar.

“Nggak pa-pa. Acara nikahannya nggak besar, kok. Hanya beberapa kerabat dan teman dekat yang hadir. Orang tua Aa Faries bahkan nggak datang. Waktu itu, mereka masih menentang pernikahan kami. Stigma buruk tentang janda cerai memang luar biasa,” ujar Dinda.

Titan kembali tersenyum tipis, menertawai dirinya sendiri. Saat itu, ketika Dinda telah bahagia dan membuka halaman baru, ia justru sibuk menyesal dan menangis. Sibuk berandai-andai akan sesuatu yang mustahil terjadi.

“Kebahagiaan kami menjadi lengkap ketika lima bulan setelahnya, aku hamil. Kakak pasti tahu, itu adalah bayi yang benar-benar aku nantikan,” lanjut Dinda.

Titan terus diam, berusaha menjadi pendengar yang baik.

“Meski mual, aku tetap berusaha menjaga nutrisi untuk calon bayi itu. Makanan dan minuman bergizi, vitamin, hingga pola hidup sehat. Semua aku jalani demi bayi itu. Setiap malam, aku membacakan cerita tentang ilmuwan dunia serta penemuannya. Itu adalah saat-saat paling mendebarkan sekaligus membahagiakan,” kenang Dinda.

Mendengar hal itu, ada rasa sakit di dada Titan. Perlakuan Dinda pada anak pertama dan keduanya sangat jauh berbeda. Saat mengandung Amore, wanita itu enggan makan jika tidak dipaksa. Bahkan hingga beberapa kali masuk rumah sakit. Bukan karena mual yang dirasa, tapi karena benci pada kehadiran calon bayinya.

Ketika lahir, Dinda pun enggan menyusui bayinya. Titanlah yang harus membujuk berulang kali. Hingga akhirnya wanita itu sepakat untuk memberikan ASI perahan. Titan dan Sasti-lah yang bergantian memberikan ASI dalam dot untuk Amore. Maka sejak lahir, bayi itu tidak pernah menyusu langsung dari ibunya.

“Tapi, kebahagiaan itu cuma bertahan beberapa bulan. Dokter mendiagnosis aku punya plasenta perkreta. Plasenta aku tumbuh menembus dinding rahim," ucap Dinda lagi.

Dengan langkah ragu-ragu, Dinda mendekati Titan. Setelah jarak keduanya hanya terpisah setengah meter, diulurkannya ponsel merah yang sedari tadi digenggam.

Titan menerima benda pipih tersebut. Dipandanginya layar yang menunjukan sebuah foto USG.

“Di bulan ketujuh, bayi itu terpaksa lahir  karena pendarahan hebat. Selain ngeluarin bayi, dokter juga ngangkat rahim aku karena plasenta yang menempel.” Dinda mulai terisak.

Titan terpaku. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu Dinda telah kehilangan sesuatu yang berharga. Sesuatu yang merupakan anugerah bagi setiap perempuan.

"Tapi bayi itu nggak bisa bertahan lama. Dia meninggal saat masih berusia dua hari." Tangis Dinda semakin pecah. Tubuhnya lunglai, dan dia terduduk.

Dengan segera, Titan ikut berjongkok. Dielus-elusnya punggung Dinda. Mencoba meredakan kesedihan wanita itu.

Tiba-tiba Dinda memegang erat celana hitam Titan. “Kak, aku mohon... aku mohon kembalikan Amore. Kembalikan satu-satunya anak yang aku punya.”

Titan mengerjapkan mata. Ada rasa perih yang berulang kali menghujam dada. Wanita yang pernah dicintai sekaligus dibencinya, kini tengah mengiba. Memohon agar ia mengembalikan putri mereka. Tidak. Lebih tepatnya itu putri Dinda.

“Din--”

“Kak…,” potong Dinda. “Ijinkan aku merasakan menjadi orang tua. Ijinkan aku membesarkan Amore. Menebus semua salahku sama dia.”

Titan teringat bisikan Jatu di kamar tadi. “Apa kamu bisa mengalahkan kebencian kamu? Bukankah di dalam darah Amore juga mengalir darah Rico?” tanya Titan tajam.

Masih jelas di ingatan Titan, tahun-tahun pertama Amore. Kala itu, Dinda sulit menahan amarah saat menghadapi tingkah aktif putrinya. Alasannya sangat sederhana, mata bulat Amore mengingatkannya pada pria yang paling dibenci. Pada ayah kandung gadis kecil itu.

Meskipun akhirnya sikap Dinda melunak, tapi rasa sayang sebagai ibu tidak pernah benar-benar utuh. Setiap melihat putrinya, ada rasa benci, cinta, serta trauma yang tercipta. Itu pulalah yang membuat wanita itu enggan merawat Amore. Dia takut kebencian akan mengalahkan nalurinya sebagai ibu, membuatnya kembali menyakiti gadis kecil itu.

“Aku akan berusaha,” ucap Dinda dengan suara pelan.

“Tapi, di kamar tadi--"

“Aku akui aku salah. Tadi aku sangat marah karena Amore tidak mau mengakuiku sebagai ibu. Aku khilaf, Kak.” 

Titan bergeming.

“Aku janji akan merawat Amore dengan sangat baik. Bukankah dia satu-satunya anak yang pernah aku miliki? Anugerah yang aku sia-siakan.”

Titan terus bungkam. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Berpisah dari Amore adalah hal yang paling ditakutkannya. Namun, merebut anak yang bukan miliknya dari ibu kandungnya rasanya juga terlalu kejam.

“Din, ini terlalu mendadak.”

“Tapi nggak buat aku. Aku sudah bersabar terlalu lama, Kak. Aku selalu ragu mengambil Amore karena takut kakak terrluka. Tapi, saat datang beberapa hari lalu, aku tahu ini saat yang tepat.”

“Din--”

“Sebentar lagi kakak menikah. Kakak akan punya kesempatan lain untuk punya anak.”

“Din, ini bukan masalah kesempatan la--”

“Kehadiran istri dan bayi baru pasti bisa mengobati kesepian kakak. Maka, ijinkan Amore kembali pada aku.” Dinda terus mengiba, sambil menatap penuh harap pada Titan.

“Dinda! Ini bukan hanya mendadak buatku, tapi juga buat Amore!”

Dinda terkesiap. Dilepaskannya genggaman pada celana Titan. Dia tahu ini memang mendadak untuk Amore dan Titan. Namun, tidak untuknya.

“Terus, aku harus menunggu sampai kapan? Apa sampai Amore tahu bahwa kakak bukan ayah kandungnya?” ancam Dinda. Dia sudah kehabisan cara untuk membujuk Titan. Mengancamnya adalah jalan terakhir.

Mata Titan berkilat. “Amore tidak boleh tahu tentang itu!”

Dinda menyeringai. Dia tahu kelemahan pria yang di hadapan. Meski tahu dirinya kelewatan, tapi mengambil alih pengasuhan Amore adalah prioritasnya. Dia harus melakukan apapun untuk mendapatkan hal itu.

"Maka, serahkan Amore padaku," ucap Dinda. "Bukankah nanti kakak tetap bisa menengoknya sesekali?" Dia menawarkan negosiasi sambil mencoba bangkit.

Titan masih terus berjongkok. Ia merasa tak lagi memiliki kekuatan. Dinda memiliki banyak alasan untuk berhak mengasuh Amore. Ditambah lagi satu rahasia yang ingin dijaganya.

Tanpa menunggu kata-kata keluar dari mulut Titan, Dinda segera mengambil kembali ponselnya. Wanita itu lalu beranjak menuju pintu. "Dua hari. Kakak punya dua hari untuk berpikir."

🌹🌹🌹🌹🌹

Good Morning lagi dari tersangka kasus hilangnya ikan-ikan koi.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro