6. RIVAL

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Jat, lu nggak ikut rapat?”

Sebuah motor bebek menjajari langkah Jatu menuju gerbang kampus. Sang pengemudi setengah berjalan dan setengah memacu motor putih. Helm yang seharusnya berada di kepala, bergantung manja di lengannya.

“Motor gue lagi di bengkel,” jawab Jatu singkat. Gadis itu mengenang kondisi motor kesayangan yang terkapar setelah menempuh akumulasi perjalanan lebih dari 25 kilometer kemarin.

“Apa hubungannya motor lu sama rapat pemilihan ketua BEM?” kejar pria itu.

Jatu berdecak, tanpa menghentikan langkah. “Jangan pura-pura nggak tau. Biasanya rapat kan kelar malam. Gue nggak berani pulang malam-malam kalo nggak naik motor.”

“Yaelah. Kan ada gue, Jat. Ntar gue anterin.” Langit terus mengintili gadis berkemeja longgar itu.

Jatu melirik kesal sambil menekuk wajah. Antar? Justru kata keramat itu yang paling ia hindari.

“Gue belum nyelesain bab 1 proposal. Dua minggu lagi dikumpulin.” Jatu melempar alasan baru.

“Ntar gue bantuin,” bujuk Langit.

No, thanks.” Jatu buru-buru menolak. Ia tak sanggup membayangkan jika ada yang tahu bahwa Langit membantu pembuatan proposal skripsinya. Bisa-bisa ia dicap memanfaatkan otak encer pria itu. “Mending lu balik ke BEM, deh. Ntar anak-anak pada nyariin. Takutnya, mereka mikir lu nggak mau didemisionerin,” ketusnya.

Langit menghembuskan napas dengan keras. Begitu sulitnya menggapai gadis tomboi itu. Padahal, mereka sudah berteman dekat selama dua tahun terakhir. “Iya. Ntar gue balik lagi. Habis nganter lu pulang ke kostan. Naik!” perintahnya.

Jatu menghentikan langkah. Setengah kesal, setengah tersanjung dengan perhatian itu. Ia lalu menatap sang pria berambut gondrong. “Gue bisa pulang sendiri, Lang,” ucapnya penuh ketegasan.

“Naik metromini?” ejek Langit.

Jatu menelan ludah. Sepertinya, tidak ada yang hal yang tidak diketahui sang Ketua BEM tentang dirinya. Bahkan tentang hal kecil seperti insiden metromini.

Sejak tahun pertama di kampus, Jatu memang tidak mau lagi menginjakkan kaki di tranportasi umum itu. Ponsel dan dompetnya pernah ludes digarap pencopet. Kala itu, ia memang masih naif, masih beradaptasi dengan alam metropolitan.

Peristiwa itu menorehkan luka besar. Orang menyebutnya trauma, tapi bagi Jatu itu hanya sekedar perasaan murka. Ia masih kesal karena saat itu kalah, tidak mampu menjaga diri. Dan hingga kini, gadis itu menolak naik metromini.

Setelah insiden itu, Jatu memilih jalan kaki untuk menempuh perjalanan dari tempat kost ke kampus. Jarak dua kilometer cukup untuk membuatnya olahraga setiap hari sekaligus membuat betis semakin mekar. Hingga di awal tahun kedua, sang ayah pun membelikan sepeda motor sebagai kendaraan yang menemaninya menjelajah Jakarta. Ke kampus, ke pasar buku bekas, ke mall, hingga ke lokasi demonstrasi.

“Gue udah biasa jalan kaki, kok.” Jatu kembali menolak.

“Kuat dengan bawaan sebanyak itu?” Langit menunjuk tas kanvas yang dijinjing Jatu.

Selain ransel, gadis itu juga membawa tas tambahan berisi buku-buku yang baru dipinjam dari perpustakaan. Bekal untuk membuat proposal skripsi.

Jatu kembali menghentikan langkah. Kali ini, ia menatap tajam pada mahasiswa teknik itu. “Lang, makasih banget, ya. Makasih lu udah nawarin tumpangan. Tapi, gue mau pulang sendiri. Oke?” ucap Jatu sembari menyunggingkan senyum paling manis. Jika tak mengindahkan penolakan kasar, setidaknya Langit luluh dengan cara yang lebih halus.

“Kenapa lu nggak pernah mau gue bonceng, sih, Jat? Padahal sama anak-anak lain, lu biasa diboncengin.” Langit mulai mengungkapkan rasa tak terima.

“Gue takut dibully sama fans-fans lu,” jawab Jatu sambil kembali melangkah.

“Gue nggak percaya! Jatu Kartika bukan perempuan sepenakut itu. Rektor aja lu ajak debat, apalagi cuma sederet anggota fans club.”

Jatu tertawa dingin. “Terserah lu kalo nggak percaya.” Gadis itu melanjutkan langkah sambil menatap sepatu denim ketsnya yang sudah dua bulan belum tersentuh sabun.

Sementara di samping kanan, Langit terus membuntuti, tak ingin menyerah. “Oh, gue tahu. Lu nggak mau kalo Raven ngeliat kita, kan? Kata anak-anak, lu ngak enak sama dia. Bener?” tembaknya.

Ekspresi wajah Jatu berubah mendengar pertanyaan itu. Semua yang dikatakan Langit memang benar. Satu-satunya hati yang ingin ia jaga adalah Ravenska. Sahabat sekaligus putri pemilik tempat kostnya.

Raven telah banyak menolongnya sejak hari pertama kuliah. Gadis itu menolongnya dengan segala kerepotan di masa orientasi, seperti saat para senior dengan iseng meminta dibawakan minuman keras halal a.k.a bir pletok. Gadis itulah yang menemani Jatu mencari minuman khas Betawi itu.

Raven pula yang menawarkan tempat milik orang tuanya ketika Jatu sedang mencari yang lebih murah. Selama tiga tahun lebih tinggal di sana, Raven dan orang tuanya telah memperlakukan Jatu dengan baik. Mereka tidak pernah protes saat ia telat membayar sewa. Bahkan turut merawatnya saat sedang jatuh sakit.

“Jangan-jangan, lu nggak pernah nerima gue, juga gara-gara Raven?” selidik Langit.

Jatu berhenti melangkah, lalu menatap tajam ke arah Langit. “Lang, kenapa sih, lu harus terobsesi sama gue? Di kampus ini ada ribuan mahasiswi yang seandainya lu tunjuk secara random aja, mereka pasti mau lu pacarain,” ucapnya, lalu disambut telunjuk Langit yang mengarah tepat ke wajahnya.

As you said. Gue lagi nunjuk secara random.”

“Kecuali gue!”

“Karena Raven?” sambar Langit.

“Ng…nggak!” Jatu menjawab gelagapan, lalu menunduk. Ia tak ingin pria itu menangkap aroma ketidakjujuran. ‘Nggak salah lagi’, tambahnya dalam hati.

“Terus, apa yang bikin lu nolak gue?” kejar Langit. “Sepuluh kali!”

Jatu menggigit bibir mengingat angka itu. Jumlahnya lebih banyak dari jumlah semester yang sudah ia lalui. Meski selalu mendapat penolakan, Langit tak pernah jemu memintanya menjadi kekasih. Dari pernyataan lewat surat, pembicaraan dua mata, lewat siaran radio kampus, hingga saat melakukan demonstrasi di Istana Negara. Namun, tak satu pernyataan pun disambut.

Usaha gigih Langit memang hampir membuat Jatu luluh. Ditambah lagi perasaan tak tega melihat pria itu diejek teman-temannya. Namun, wajah Raven terus membayang.

Bagai kaset rekaman yang diputar berulang-ulang, Raven terus bercerita tentang perasaannya pada Langit. Rasa yang telah hadir sejak mereka berada di bangku SMA itu terus dipupuk dan dipelihara hingga hari ini. Gadis itu bahkan belajar mati-matian agar bisa diterima di kampus tujuan Langit. Meskipun jika di kampus nanti hanya dapat mengagumi sosok itu dari jauh.

“Lu bukan tipe gue,” ucap Jatu asal sambil kembali melangkah. ‘Cowok yang dicintai sahabat gue, bukanlah tipe gue’, tambahnya, lagi-lagi dalam hati.

“Kalo gitu, sebutin hal apa yang membuat gue nggak termasuk tipe lu,” tantang Langit. Pria itu yakin Jatu hanya mengarang-ngarang jawaban. Adu argumen adalah satu-satunya cara untuk memastikan.

Jatu lagi-lagi berhenti berjalan, membalik tubuh, lalu memindai Langit dengan cermat. Pria di hadapannya adalah wujud kesempurnaan secara kasat mata. Perpaduan gen Eropa dan Asia, membuatnya tampil nyaris sempurna. Kulit putih bersih yang membuatnya tampil paling glowing dalam setiap kerumunan aksi. Hidung mancung paripurna yang membuat lalat-lalat jatuh terpeleset. Juga tubuh menjulang yang jauh di atas rata-rata orang Indonesia. Satu-satunya jejak Nusantara hanya tersisa di rambut hitam sebahu yang kerap dikuncir satu.

Selain kondisi fisik, kecerdasan Langit juga membuat mahasiswa lain cemburu. Meski aktif di berbagai kegiatan ekstra kurikuler, hampir setiap semester dia mengantongi indeks prestasi di atas 3,8. IPK tinggi dan kiprahnya di organisasi seolah-olah berbanding lurus. Sangat bertolak belakang dengan mitos yang selama ini berkembang: mahasiswa yang aktif di organisasi pasti memiliki nilai pas-pasan.

Kekayaan orang tua menjadi pelengkap semua kelebihan Langit. Lahir dalam keluarga pengusaha, membuat pria itu hidup bergelimang harta. Meskipun demikian, pria itu bukan tipe yang suka pamer kekayaan.

“Lu nggak bisa jawab, kan?” Langit menyeringai, penuh kemenangan.

Merasa tak tahu harus menjawab apa, Jatu pun membuang muka. Berusaha mencari alasan untuk menghentikan usaha pria itu. Tiba-tiba, ia melihat satu sosok yang tengah berjalan di kejauhan. Dengan tas ransel yang tergantung di satu pundak, pria itu melangkah ringan menuju parkiran khusus para dosen.

Seketika, Jatu memperoleh ide. Dengan berlari kecil, ia segera menghampiri sosok itu. Dalam hati, tak lupa dirapalkannya do’a-do’a, semoga sang dosen mau bekerja sama.

Bingung dengan gerakan tiba-tiba Jatu, Langit pun memacu motor. Dia tidak ingin membiarkan gadis itu lolos. Hari ini, dirinya harus mendapat kesempatan mengantar gadis itu pulang ke tempat kost. Alasan ingin istirahat, ingin segelas air, atau bahkan ingin buang air, bisa menjadi dasar logis untuk mampir dan berlama-lama di sana.

Motor bebek putih itu berhenti tepat di bagian belakang mobil SUV warna silver. Sosok pria yang begitu populer di kalangan para mahasiswi tengah membuka pintu mobil dan meletakkan tas punggung di bangku belakang, tanpa menyadari kehadiran dua orang mahasiswa di dekatnya.

“Tipe laki-laki yang gue suka, seperti Pak Titan!” Jatu merentangkan tangan kanan ke arah si Sniper.

Kalimat pendek Jatu membuat dua sosok laki-laki terkejut setengah mati. Yang satu tidak menyangka bahwa rivalnya adalah sang dosen primadona. Sedangkan yang lain bingung pada adegan drama yang tengah berlangsung.

Langit memindai Titan dari ujung kaki hingga kepala. “Kalo cuma tampang dan otak, gue juga punya. Lu bisa survei buat tau siapa yang lebih tampan. Atau lu mau adu tingkat kecerdasan gue dan dia?” tanyanya ketus.

“Atau gara-gara mobil ini?” Langit memukul bagian belakang HR-V milik Titan. “Padahal gue ganti motor sport ke bebek kan karena lu!” ucapnya sambil mengenang BMW S1000RR yang telah berganti dengan Honda Beat. Semua hanya karena satu kalimat sederhana dari Jatu, ‘Pengendara motor seharga rumah, nggak layak ngomongin kemiskinan rakyat.’

Jatu menggigit bibir, berusaha memutar otak. Kalau kriteria umum seperti yang disebutkan tadi, Langit memang tidak kalah. Bahkan, mungkin lebih unggul.

“Tapi, lu nggak punya satu hal yang Pak Titan punya,” ucap Jatu sengit.

“Apa?” tantang Langit dengan kepala menengadah, seolah-olah yakin bahwa Titan tidak lebih baik darinya.

“Status duda! Gue suka sama duda. Apalagi kalo duda itu udah punya anak.”

Untuk kedua kalinya, kedua orang pria itu terkejut. Mereka saling bertatapan dan tercengang. Yang satu tak menyangka dikalahkan karena status pernikahan. Yang satu tak menduga kesepakatan di rainbow Café kemarin sore telah dilanggar.

“Tunggu, tunggu!” interupsi Titan sambil mengacungkan telapak tangan.

Pria yang sedari tadi mematung itu kini melangkah mendekati Langit dan Jatu. Dia yakin sang mahasiswi punya alasan tersendiri untuk melanggar janji. Maka, Titan pun mengedarkan pandangan ke kanan, kiri, depan, belakang, hingga ke kolong-kolong mobil.

“Bapak cari apa?” tanya Jatu bingung. Betapa anehnya saat suasana serius yang tercipta disela dengan adegan tak berarti.

“Kamera!” ketus Titan, lalu menatap Langit dan Jatu bergantian. “Konten apa ini?” sambungnya dengan ekspresi serius.

Titan memang sudah terbiasa dilibatkan Amore untuk konten di kanal YouTube. Namun, dijadikan objek untuk konten YouTube mahasiswanya, adalah hal berbeda. Terlebih lagi tanpa persetujuan.

Jatu hampir saja terbahak dengan pertanyaan itu. Namun, ia segera menutup mulut. Suasana serius yang telah tercipta tidak boleh ambyar begitu saja. Jika memang sang dosen menganggap peristiwa itu bagian dari sandiwara, lanjutkan saja. Demikian pikir Jatu.

“Makasih udah nungguin saya, ya, Pak. Yuk, kita pulang!” ucapnya sambil melangkah ke bagian depan. Ia beruntung, pintu penumpang tidak terkunci. Jatu pun masuk dan segera duduk santai, seolah-olah telah sering menumpang di mobil itu.

Dengan mata melotot dan mulut ternganga, Titan mengamati seluruh gerakan Jatu. Pria itu kemudian berpaling pada Langit, hendak menuntut penjelasan. Namun, pria muda itu justru tengah menatap garang. Kenapa akting pria ini terlalu bagus? Titan bertanya-tanya dalam hati.

Tak ingin membuang waktu lebih lama, Titan memilih beranjak masuk ke mobil, setelah sebelumnya sempat menyunggingkan seulas senyum sinis. Senyum yang bermakna ‘Apa ini kerjaan baru Ketua BEM yang udah mau lengser?’

Oleh Langit, senyum itu diterjemahkan menjadi kalimat ‘I am the winner’, dan otomatis membuatnya berang. Masih dengan kemurkaan, dia menyaksikan Titan memacu mobil, didampingi Jatu yang duduk manis di samping.

Let’s see who is the winner!” geramnya.

🌹🌹🌹🌹🌹

Yuhu...
Kenalan sama Langit Biru, yuk. Ketua BEM yang bentar lagi lengser.

Jadi, apakah keberpihakanmu pada Pak Dosen mulai terkikis perlahan?

🤣🤣🤣 (Ketawa kejam)

Titan: masih gue pantau!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro