7. KOREAN TICKET

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Itu cara kamu nyari duit buat ke Korea?" tanya Titan saat SUV-nya telah melaju di jalan raya.

Selama sedetik, kening Jatu mengernyit, bingung. Namun, dia segera teringat pada kata-kata Titan di parkiran. Sang dosen masih menyangka mereka sedang membuat konten media sosial.

"Yang tadi bukan buat konten, Pak. Tapi beneran," jelas Jatu.

Mendengar jawaban itu, Titan segera meminggirkan mobil di bahu jalan. "Turun di sini!"

"Loh, kok?" tanya Jatu bingung.

"Saya nggak mau terlibat dalam pertengkaran kekasih," tegas Titan.

"Jangan, dong, Pak." Jatu menangkupkan tangan, memohon. Ekspresi wajahnya dibuat sesedih mungkin demi mengundang rasa iba. "Langit bukan pacar saya, kok, Pak."

"Bukan pacar, tapi TTD kan?" tanya Titan sinis.

"TTD?" Jatu mengernyitkan kening, berpikir keras. Apa hubungan dirinya dan Langit dengan akronim dari kata itu?

Titan menyeringai sinis. "Kebanyakan demo, emang bikin nggak gaul. TTD, teman tapi dekat," ucap Titan penuh kebanggaan karena merasa lebih gaul dari sang mahasiswi.

Mendengar kalimat itu, Jatu tak tercengang. "Bapak pake kamus gaul edisi keberapa, sih? Dari tahun jebot, istilah teman tapi dekat yang disingkat TTD itu nggak ada. Adanya TTM, teman tapi mesra!" Emosi Jatu tersulut.

"Itu maksud saya." Titan tak ingin mengakui kesalahan. "Jadi, bisa kamu turun sekarang? Saya nggak nyaman dikuntit kaya gini," sambungnya sambil menoleh ke arah kaca spion.

Lima belas meter di belakang, satu unit Honda Beat sedang berhenti. Sejak tadi, Langit memang telah mengikuti mobil Titan. Dia ingin memastikan satu hal: Jatu tidak menyampaikan kebohongan. Hatinya masih belum menerima kenyataan bahwa perempuan itu lebih memilih pria yang telah beranak satu.

Jatu menggigit bibirnya, ragu-ragu untuk menyampaikan permintaan. Namun, dia juga tak bisa turun dari mobil sekarang. "Saya ikut bapak kemana aja, deh," putusnya.

"Ka-"

"Bapak nggak kasihan, saya dikuntit sama predator?" Jatu mencoba mengetuk pintu hati sang dosen.

"Kamu nggak kasihan saya dipepetin terus sama kamu?"

"Emang kenapa?" tantang Jatu.

"Kalo kamu ngapa-ngapain saya, gimana?"

"Yaelah, emang bapak selemah itu sampe nggak bisa ngelawan?" tanya Jatu sinis.

"Astaga!" Titan meremas telapak tangan, menyalurkan emosi yang hampir meledak. "Turun sekarang!"

Mendengar kalimat itu, Jatu buru-buru menangkupkan kedua tangan, kembali memohon. "Pak, plis. Plis banget. Saya janji nggak macem-macem, deh. Saya janji nggak berisik. Bahkan, kalo memungkinkan, saya janji nggak bernapas. Tapi, tolong jangan suruh saya turun. Nyawa saya taruhannya," ucapnya sambil mengusap mata, seolah-olah menahan tetesan air mata.

Titan mengatur napas, menarik dan mengembus dengan teratur, mencoba mengendalikan kekesalan yang semakin menjadi. "Tempat kost kamu di mana?" tanyanya sambil kembali melajukan mobil. Jika searah, mungkin ia bisa sekalian mengantar gadis itu.

"Utan kayu, Pak," jawab Jatu singkat.

Titan berpikir sejenak. Alamat itu berlawanan dengan arah yang ia tuju. Namun, dirinya juga tidak sanggup menolak permintaan tolong sang mahasiswi. "Saya mau jemput anak saya, terus pulang. Kamu boleh ikut. Di depan kompleks saya, banyak metromini ke arah Utan Kayu," sarannya.

"Em...." Jatu menggigit bibir bawah, ragu melanjutkan kalimat. "Sa... saya takut naik metromini, Pak."

"Takut? T-a-k-u-t?" Titan memastikan jawaban Jatu.

"Ada pengalaman buruk, Pak." Jatu menjelaskan dengan singkat.

"Ya udah. Naik ojek online atau ojek tradisional aja. Depan kompleks saya banyak."

Jatu menelan ludah, tapi tak urung mengangguk, membuat Titan bernapas lega. Meski sebentar. "Tapi, nanti pinjam uang gocap, ya, Pak," ucap Jatu sambil tersenyum lebar.

"Biar saya inget kamu terus?" tembak Titan tanpa mengalihkan pandangan ke jalanan yang ramai.

"Bukan, Pak," jawab Jatu pelan. "Uang di kantong saya tinggal 10 ribu. Nggak bakal cukup buat naik ojek."

Napas lega Titan tiba-tiba berubah menjadi berat. Sungguh mahasiswi yang merepotkan. Sudah menumpang, pinjam uang pula. Ia yakin, uang itu pun akan bernasib sama seperti 500 ribu di Rainbow Café kemarin. Bagaimana mungkin dia menagih-nagih utang 50.000 pada seorang mahasiswa? Akan ditaruh di mana harga dirinya?

"Kalo bapak nggak mau pinjemin, dikasih juga saya ikhlas, kok."

Titan melirik dengan ekor mata, menangkap senyum Jatu yang semakin lebar. Senyum yang membuat pria itu semakin kesal. Mahasiswanya kini mulai melunjak. Jika terus dibiarkan, dia khawatir esok lusa akan terulang kejadian yang sama.

"Liat nanti aja," ucapnya ketus.
Titan terus melajukan mobilnya hingga berhenti di satu jalan ramai.

Jam keluar sekolah menjadi waktu-waktu macet di seputaran Rawamangun. Jalanan yang sempit harus menampung ratusan mobil penjemput dari tiga yayasan sekolah yang berbeda di lokasi berdekatan. Belum lagi angkutan umum yang menjadikan jalan itu sebagai lokasi trayek.

"Kenapa kamu nggak nikah sama Ketua BEM itu aja?" tanya Titan di sela-sela antrian mobil jemputan.

"Kenapa saya harus nikah sama Langit?"

"Biar dapat buku Garuda dan biaya kuliah. Orang tuanya kaya, kan?" ucap Titan ringan.

"Mm...." Jatu berpikir sejenak. "Gimana kalo seandainya pria yang saya nikahi itu, bapak aja?"

Titan mendengkus. "Jangan berandai-andai!"

"Kenapa?"

"Walaupun pahit, hiduplah dalam kenyataan. Bukan khayalan," nasihat Titan.

"Menikah sama bapak itu impian. Bukan khayalan. Beda!" Jatu menggerutu. "Emang bapak nggak pernah berandai-andai? Ih, nggak seru banget hidupnya. Pantesan aja."

Entah kenapa, ada rasa menusuk di dada Titan saat mendengar kalimat itu. Tidak pernah berandai-andai? Tidak mungkin! Sepanjang siang dan malamnya bahkan diisi oleh andai-andai. Seperti saat ini. Andai saja orang yang ada di samping adalah ibu kandung Amore. Ah, kenapa hati ini tidak juga mau bangun dari mimpi panjang?

Brak!
Pintu belakang mobil ditutup kasar, mengagetkan Jatu juga Titan. Seorang gadis dengan rambut dicepol satu telah duduk manis di kursi belakang. Mukanya ditekuk dengan tangan bersidekap.

"Siapa, Pa? Guru les baru?" tanyanya ketus. Dia sungguh jengkel posisi duduknya diambil oleh orang asing.

Mendengar pertanyaan sang putri, sebersit ide tiba-tiba hadir di benak Titan. "Right!" seru Titan sambil mengacungkan jempol. "Kenalin ini Kak Jatu, guru les kamu yang baru."

Jatu terbelalak mendengar kalimat tersebut. Sejak kapan dirinya melamar menjadi guru les anak SD. Terlebih lagi, itu adalah Hikari Amore, bocah yang namanya pernah dia salah gunakan.

"Loh, Pak--"
"Fee les hari ini bisa buat ongkos ojek," potong Titan dengan suara setengah berbisik dan senyum lebar. Akhirnya ia menemukan jalan untuk tidak memberi uang cuma-cuma pada gadis itu. Ada jasa, ada fee.

Meski tak siap, Jatu terpaksa setuju. Demi ongkos untuk pulang. Dia memang tak memiliki pengalaman mengajar anak SD. Namun, bukankah pelajaran di level sekolah dasar masih sangat mudah dan pernah dia lewati. Jika tidak, bagaimana mungkin dia mendapat gelar maha-nya siswa?

Jatu pun berbalik ke kursi belakang. Dengan senyum yang dibuat semanis mungkin dia menyapa sang calon murid. "Hai Hikari Amore. Saya Jatu. Guru les baru."

Alih-alih menjawab salam Jatu, Amore malah membuang muka ke arah jendela. Dia tidak sedang dalam mood untuk beramah-tamah. "Buruan pulang, Pa. Amore mau rebahan," ucapnya ketus.

Kali itu Jatu sadar, pekerjaan barunya tidak semudah yang dikira. Namun, demi ongkos ojek, dia harus mampu bertahan.

🌹🌹🌹🌹🌹

Mobil silver Titan memasuki kompleks Sakura Premier. Ini kali pertama Jatu memasuki kompleks bergaya Jepang tersebut. Sepanjang menyusuri jalan seluas 6 meter, tidak henti-hentinya perempuan itu berdecak kagum.

Seluruh rumah di kompleks itu dibuat dengan fasad depan yang sama dengan dominasi cat warna cokelat, abu-abu, dan putih. Aksen garis vertikal dipadu jendela-jendela lebar dan batu-batu kali, menjadi ciri khas bangunan. Kesan Negeri Samurai semakin terasa kental dengan kehadiran taman kecil di depan rumah yang berisi rumput gajah dan beberapa bonsai.

SUV Titan berhenti di salah satu rumah bernomor G/07. Amore menjadi orang pertama yang keluar dari mobil. Tanpa sepatah kata, gadis itu segera berlari masuk rumah. Tak berselang lama, Titan pun membuka pintu mobil yang diikuti oleh Jatu.

"Ayo, masuk!" perintah Titan. "Tapi, jangan anggap kaya rumah sendiri."

Jatu menarik garis bibir di satu sisi saat mendengar kalimat aneh itu. 'Sungguh tak beretika. Di mana-mana, tamu itu kan raja', rutuknya dalam hati. Namun, dia harus bersabar menghadapi anak beranak ini.

Setelah memerintahkan Jatu menunggu di ruang tamu, Titan pun beranjak ke lantai dua.

Jatu duduk di sofa warna putih, sambil mengamati ruang tamu bergaya minimalis itu. Langit-langit yang berjarak 4,5 meter dari lantai, membuat ruang tamu itu terasa lega. Jendela mati di dinding bagian atas, menjadi pencahayaan alami yang membuat ruangan itu terang benderang. Ornamen kayu warna cokelat di dinding dan jendela, membuat rasa Jepang semakin kental di ruang seluas 4x5 meter itu.

Di samping ruang tamu tersebut terdapat ruang makan. Undakan setinggi 7 centimeter menjadi pemisah antar kedua ruangan. Terdapat kitchen set bertema putih serta satu meja dan empat kursi kayu yang menghadap langsung ke taman belakang. Partisi berupa pintu kaca yang bisa dilipat ke samping menjadi pembatas area ruang makan dan taman.

Dari tempat duduknya, Jatu bisa menikmati pemandangan di taman itu. Suara air terjun mini di taman menjadi lantunan merdu yang membuat suasana semakin syahdu. Ditambah warna hijau yang berasal dari rumput dan pohon-pohon bonsai yang ditata sangat apik. Segala penat dan lelahnya tiba-tiba terbang entah kemana.

Kenikmatan Jatu terhenti ketika seorang wanita paruh baya menghampiri. Dengan senyum terkembang, wanita dengan gaun terusan warna hijau mint itu pun menyapa. "Saya Sasti, ibunya Titan," ucapnya sembari mengulurkan tangan.

Jatu segera berdiri dan meraih uluran tangan tersebut. Garis-garis keriput menandakan jelas bahwa sang perempuan telah melalui masa lebih dari setengah abad. Seperti kebiasaan berjabat tangan dengan sosok sepuh lainnya, gadis itu pun mencium punggung tangan dengan takzim. "Saya Jatu, Bu. Ma--"

"Ibu nggak nyangka calon istri Titan masih muda banget. Cantik lagi," potongnya segera.

Jatu terbelalak. Selama beberapa detik dia mencerna ucapan tersebut. Dalam hati, gadis itu memang berharap demikian. Sayangnya, seperti kata Titan, itu hanya khayalan. "Mm..., bukan, Bu. Saya guru lesnya Amore."

"Bener, bener. Untuk sekarang, kamu harus pura-pura jadi guru les aja dulu. Jangan langsung bilang calon mama baru. Nanti Amore kaget." Tanpa rasa bersalah, sosok sepuh itu melanjutkan kesalahpahamannya.

Jatu terpana, tak sanggup berkata. Sementara hatinya tersentuh. Ternyata di antara penghuni rumah yang sinis, masih ada yang memiliki sifat humanis. Abaikan isi pembicaraan! Yang terpenting, wanita itu mampu berbicara dengan ramah.

Wanita sepuh itu lalu mengambil tempat di sofa yang berada di samping Jatu, sambil mempersilahkan sang tamu duduk kembali. "Titan udah lama jadi duda. Walaupun cuek, sebenarya dia baik. Nak Jatu harus sabar-sabar." Sasti kembali bercerita.

Mendengar curahan hati wanita paruh baya itu, Jatu semakin kikuk. Dia ingin sekali menyampaikan bahwa prasangka sang ibu salah. Meskipun dia dan Titan pernah terlibat dalam janji temu, tapi secara teknis itu bukan kencan. Mereka hanya bertemu secara beberapa menit. Lagi pula, sang dosen bahkan tidak mau membayar minuman dan makanannya, jika tidak terpaksa.

"Amore juga gitu. Dia udah lama nggak punya mama. Jadi, susah dekat sama orang baru. Padahal, dia anak baik," sambung Sasti dengan pandangan nanar. Setiap mengingat nasib cucunya, selalu saja ada nestapa yang terasa.

"Belajarnya di ruang tamu aja, ya, Sayang."

Ucapan Titan menghentikan niat Sasti untuk berbincang panjang lebar. Perempuan tua itu terkejut. Tanpa memalingkan wajah, dia bertanya-tanya dalam hati. 'Sayang? Apakah hubungan mereka berdua sudah seserius ini? Apa artinya acara pernikahan akan segera terjadi?'

Sementara di sofa yang lain, Jatu pun tak kalah terkejut. 'Sayang? Apakah dengan satu cara, kepala sang dosen sempat terbentur hingga kosa kata itu tiba-tiba mucul dalam otaknya?' Tanya gadis itu dalam hati.

"Terserah Papa," timpal suara cempreng, disusul dengan sosok mungil yang muncul dari balik punggung Titan. Amore berjalan menuju ruang tamu, lalu menghempaskan tiga buah buku paket serta dua buah buku tulis di meja. Kehadirannya pun menjawab tanya Jatu dan Sasti.

Sebenarnya, Sasti masih ingin bercerita dan berbincang dengan Jatu, tapi kehadiran Titan dan Amore menjadi sinyal bahwa waktu perkenalan mereka telah habis. Sebelum beranjak pergi, tangan keriput perempuan itu mengelus pipi Jatu, sambil mengedipkan sebelah mata. Sinyal agar sang calon mantu dapat melakukan usaha terbaik.

Entah kenapa, kedipan mata itu justru membuat Jatu bergidik. Segala sikap ramah yang tadi disuguhkan, tiba-tiba menguap. Tak terbayangkan jika dirinya memiliki mertua seperti Sasti. Mungkin kedipan mata itu akan menjadi pemandangan lumrah setiap hari.

Kepergian Sasti juga diikuti oleh Titan. Bedanya, sang ibu menuju taman belakang sedangkan Titan duduk di meja makan sambil membuka laptop. Tugas-tugas kampus harus segera ia selesaikan agar malam ini bisa memiliki banyak waktu luang bersama Amore. Selain itu, ia juga ingin menyaksikan bagaimana sang guru les baru mengajar.

Menyaksikan Amore duduk manis dan terlihat siap menerima pelajaran, Jatu pun berniat memulai pertemuan les hari itu. 'Ice breaking' gumam Jatu dalam hati. Sesuai teori, hal itulah yang pertama kali harus dilakukan untuk mencairkan suasana.

Jatu mengamati penampilan Amore. Memuji bahwa gadis kecil itu cantik, sepertinya sudah terlalu umum. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada pena yang digenggam sang murid. Miniatur domba warna putih di bagian ujung, cukup untuk mengabarkan kesukaan gadis kecil itu.

"Hewan favorit kamu, domba, ya?" tebak Jatu dengan penuh percaya diri sambil melirik ujung pena Amore.

Mendengar hal itu, wajah Amore berubah merah. Alih-alih senang dengan tebakan Jatu, gadis itu justru kesal. Dengan pandangan tajam dan muka ditekuk, dia berkata dengan suara tertahan, "Ini alpaka!"

"Oh, kirain domba," gumam Jatu pelan sambil menunduk dalam.

Masih dengan kekesalan, Amore membukan lembaran buku paket dengan kasar. "Berapa KPK dan FPB dari 24 dan 36?" tanyanya tanpa perlu berlama-lama menunggu kalimat lain terlontar dari bibir Jatu.

Jatu mendongak, lalu menyeringai. "KPK dan FPB, ya," ucapnya sambil tersenyum semringah. Dibanding integral dan diferensial apalagi analisis kompleks, materi yang ditanyakan Amore terlalu mudah untuknya. Bahkan, dia yakin bisa mengerjakannya soal-soal itu dengan mata tertutup.

"Pertama, kita harus bikin pohon faktor," ucap Jatu sambil menulis dua angka yang disebutkan dan menggambar garis-garis di bawahnya. Kemudian, dengan penjelasan satu arah, dia menulis faktorisasi prima masing-masing, lalu menghitung KPK dan FPB yang dicari. Setelah hasilnya didapatkan, Jatu pun memamerkannya pada Amore dengan senyum terkembang lebar.

"Miss Jeje nggak pake cara ini," respon Amore dingin.

Dalam hati, Jatu merutuk. Kenapa kalimat itu tidak terlontar sebelum dia dengan susah payah membuat pohon faktor dan menghitung angka-angka? Tenaga, suara, hingga tujuh menitnya yang berharga, terbuang sia-sia.

"Pake cara apapun nggak masalah. Yang penting hasilnya sama. Memang miss yang di sekolah pake cara apa?" Jatu berusaha bernegosiasi.

"Tabel."

Jatu ber'oh'-ria sambil merogoh ponsel dari saku celana. Segera dicarinya metode mencari FPB dan KPK seperti yang disebutkan sang murid. Dengan bantuan Google, akhirnya dia dapat memahami penjelasan tentang metode itu.

"Oke. Soal selanjutnya apa?" tanya Jatu penuh percaya diri.

"Berapa KPK dan FPB dari 45 dan 75?" Amore membacakan soal.

Berbekal pengetahuan yang baru saja diterima, Jatu pun membuat tabel-tabel untuk mendapatkan faktorisasi prima masing-masing angka. Dengan sabar, dia pun menjelaskan cara untuk memperoleh KPK dan FPB kedua angka tersebut.

Hingga saat jawaban pertanyaan itu diperoleh, Jatu pun tersenyum bangga, bersiap menerima tatapan kekaguman dari sang murid. Mungkin, disertai dengan ucapan bahwa dirinya hebat. Sayangnya, dia tidak mendapatkan satu hal pun.

"Ada cara lain?" tanya Amore acuh tak acuh.

"Cara lain?"

"Kalo cuma pake pohon faktor dan tabel, aku juga bisa. Aku mau cara lain biar ilmuku nambah."

Jatu terkejut dengan penuturan itu. "Emang ada acara lain?"

"Ada! Kamu nggak tau?" selidik Amore dengan nada meremehkan.

Jatu menggeleng pelan. Bagaimana mungkin dia bisa mengetahui berbagai cara alternatif untuk menyelesaikan soal KPK dan FPB? Bukankah dirinya didaulat menjadi guru les kurang dari satu jam yang lalu. Tentu saja dia tidak menyiapkan bahan apapun.

Melihat gelengan Jatu, Amore segera membereskan buku-bukunya. Tidak ada gunanya menambah jam belajar kalo hanya mendapatkan hal yang sama. "Nggak kompeten!" umpatnya sambil beranjak dari ruang tamu. Meninggalkan Jatu dengan segala keterkejutan.

Mendengar kata-kata itu, Jatu hanya dapat tertawa sinis, sambil mengulang-ulang dalam hati 'Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.' Ternyata pepatah itu terbukti.

Setelah lima menit hanyut dalam perenungan, Jatu pun bangkit dan mendapati Titan tengah mengamatinya dari kursi makan. Entah sejak kapan hal itu berlangsung. Dengan enggan, perempuan itu pun mendekat.

"Pak, ini hari pertama dan terakhir saya. Lain kali, jangan nawarin kerjaan ini lagi," ucap Jatu ketus. "Tapi, bapak tetap harus bayar 20 menit saya yang berharga." Gadis itu mengulurkan telapak tangan.

"Saya udah yakin kamu nggak akan bertahan. Amore ganti guru les lebih sering dari pergantian tematik di sekolah." Titan mengulurkan amplop putih.

"Nggak heran," respon Jatu sambil meraih amplop tersebut dan mengintip isinya. "50 ribu?" Gadis itu bertanya sinis.

"Cukup banyak untuk 20 menit dari guru yang tidak kompeten," ejek Titan yang disambut delikan Jatu.

"Saya bisa kasih hal yang lebih, kalo kamu mau." Titan mencoba memberi penawaran. Ia tiba-tiba menemukan ide untuk mendapatkan guru les yang mau bertahan lama.

"Apa?" tanya Jatu dengan perasaan curiga.

"Jadi guru les Amore sampai kamu wisuda. Bayarannya, surat rekomendasi ke Seoul National University atau universitas lain di Korea."

Jatu terbelalak mendengar tawaran itu. Tanpa perlu berpikir, gadis itu langsung meraih tangan Titan, menggenggamnya dengan erat. "Deal, Pak!"

🌹🌹🌹🌹🌹

Halo, selamat malam.
Maaf, update kemalaman. Niat nulis cuma berapa kata, tapi ujung2nya kebablasan. 🤣

Gimana, gimana? Sudahkah Amore mirip papanya? 😌

Ini (ceritanya) foto Amore waktu kelas 1 SD. Sekarang sih udah kelas 4. 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro