8. PRASYARAT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Jatu!” Suara di ambang pintu kelas mengagetkan Jatu yang tengah kemasyuk mengerjakan soal FPB dan KPK. Tadi pagi, ia baru saja mendapatkan rumus baru dari grup komunitas pengajar privat. Rumus yang akan diperlihatkannya sore ini saat mengajar Amore. Ia harus membuktikan pada gadis kecil itu bahwa dirinya kompeten.

Dengan enggan, Jatu mendongak dan mendapati Farah tengah berjalan dengan langkah tergesa dan muka pucat pasi. Seakan-akan keberlangsungan umat manusia tergantung pada apa yang hendak dikatakannya.

Oh God!” ucapnya tepat ketika telah berdiri sempurna di samping Jatu. “Honestly, gue don’t care sama lo. But, ini tuh udah annoying and irritating banget. Nggak ethical aja diliatnya.”

Jatu menatap heran. Selain karena mixed language yang digunakan, sedari tadi Farah belum menyebutkan isi penting dari omelannya. Ataukah otaknya terlalu panas mengerjakan soal Matematika dasar hingga tidak menangkap apa yang dikatakan?

“Gue tau literally he loves you so much. But, ya, ini too much. Nggak worth it bangetlah. He did it cuma buat dapat perhatian lo, you know!”

Meski Farah menyampaikannya dengan berapi-api, Jatu masih tidak juga mengerti.

Melihat tak ada respon yang diberikan, Farah pun mulai merasa kesal. Segera ditariknya Jatu menuju ruang kelas yang ada di seberang. Beruntung, kuliah di kelas tersebut sudah berakhir, hingga mereka bisa masuk seenaknya.

Saat itu, jam menunjukan pukul 9.30. Baru sepuluh menit berlalu sejak jam kedua berakhir. Kebanyakan mahasiswa sedang menghabiskan waktu istirahat, kecuali kelas-kelas dengan mata kuliah 3 SKS sekaligus.

Akan tetapi, kondisi ruangan yang baru dimasuki membuat Jatu tertegun. Bukannya istirahat dan bertebaran di luar kelas, para mahasiswa justru tengah berjajar di dekat jendela. Ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Mereka berbincang sambil menunjuk ke arah luar jendela.

Farah terus menyeret Jatu, menyeruak di antara jejeran mahasiswa. Tak mempedulikan  protes dari mereka yang digusur. Gadis itu lalu memposisikan Jatu tepat di depan jendela, sambil menunjuk ke arah parkiran dosen yang terletak di bawah.

Meski berada di lantai empat, Jatu bisa melihat dengan jelas pemandangan yang hendak ditunjukan Farah. Di antara barisan mobil-mobil dosen, ada satu mobil yang paling menarik perhatian. Ditambah tingkah sang pemilik yang duduk santai di kapnya.

Actually, Langit emang cool. But, apa yang dia did too annoying, you know! First, dia bikin Pak Yoga nggak bisa parkir. Two, dia lagi-lagi bikin banyak mahasiswi especially Jeonha Fans Club member, broken heart gara-gara ini,” ucap Farah dengan geram.

Jeonha atau Yang Mulia adalah nama  panggilan yang disematkan para penggemar pada Langit. Bagi mereka, pria itu layaknya raja-raja Dinasti Joseon yang digambarkan sangat tampan oleh drama-drama. Para penggemar itu juga mengandaikan diri mereka sebagai selir-selir. Tak masalah jika sang raja nantinya memiliki permaisuri.

Jatu melirik ke arah Farah. Tidak sengaja, ia juga mendengar gumaman sinis beberapa mahasiswi. Tanpa perlu melihat, gadis itu yakin dirinya tengah menerima tatapan tajam dari belasan pasang mata yang ada di ruangan.

Dengan tergesa, Jatu keluar dari kelas, lalu berlari sepanjang koridor. Ia bahkan rela menggunakan tangga  karena ketiga lift yang tersedia masih berada jauh dari lantai tempatnya berada. Ia harus segera menghentikan tingkah Langit, sebelum Raven yang sedang berada di perpustakaan fakultas, ikut menyaksikan kegemparan yang tengah terjadi.

🌹🌹🌹🌹🌹

“Ada apa, Ga? Mobil kamu kenapa?” tanya Titan heran.

Pria itu baru saja selesai mengajar di salah satu kelas dan hendak menuju cafe penyedia kopi. Dalam perjalanan, rasa penasarannya tergelitik melihat kerumuman di parkiran. Terlebih lagi melihat aura kesedihan melingkupi puluhan mahasiswi yang berada di sekitar lokasi. Ada yang berdiri, ada yang duduk, bahkan ada yang setengah berbaring.

Untung saja, dia mendapati Yoga di antara kerumunan itu. Sang sahabat tengah berdiri di samping Pajero Sport hitamnya, yang seharusnya terpakir tepat di samping mobil milik Titan.

“Tempat parkir saya diambil bocah itu,” ucap Yoga sambil menunjuk ke satu titik dengan dagunya.

Titan segera berpaling ke arah yang dimaksud. Tepat di samping mobilnya, terparkir sebuah Hummer H3 warna putih. Mobil yang diproduksi oleh produsen mobil militer Amerika itu seolah-olah mengintimidasi kendaraan lain di sekitar, termasuk HR-V Silver miliknya.

Akan tetapi, pemandangan lain membuat Titan lebih terkejut. Di kap mobil, sang Ketua BEM -yang akan lengser- sedang duduk manis sambil menatap ponsel. Dia seolah-olah tak peduli dengan orang-orang yang tengah memandangi.

“Nggak panggil satpam?” tanya Titan, sedikit kesal dengan ulah Langit yang menurutnya keterlaluan. Baik karena penyalahgunaan jabatan maupun kekayaan.

“Udah. Katanya, nggak mau pindah parkir sebelum ketemu seseorang,” jawab Yoga sambil bersandar di sisi mobil. Lelah karena telah menanti lebih dari satu jam.

“Siapa?” tanya Titan was-was.

“Tuh, baca aja.” Yoga mengerlingkan mata ke arah kertas karton hitam yang ditempel di bagian belakang mobil.

JATU, I NEED TO TALK TO YOU’

“Jatu? Jatu yang tukang demo itu?”

Yoga mengangguk. “Saya juga heran. Dari sekian ribu mahasiswi, kenapa dia harus milih Jatu?” gumamnya. “Emang, sih, dia lumayan cantik.”

Titan mengernyit saat mendengar kalimat Yoga. “Cantik?”

“Nggak selevel sama Dinda, sih. Tapi, dia punya pesona tersendiri. Cuek sekaligus perhatian. Mandiri sekaligus membuat orang lain ingin melindungi. Ceria sekaligus prinsipil.”

Titan mendengkus. “Kata siapa?”

“Hasil investigasi ke temen-temen Langit.” Yoga menunjuk tiga orang mahasiswa yang duduk di dinding pembatas taman, tak jauh dari lokasi mobil Langit. “Perempuan lain mungkin udah sujud syukur kalo dideketin sama Langit. Tapi, Jatu nggak. Tahu nggak kenapa?”

Titan menggeleng. Dia tidak terlalu tahu banyak tentang sang mahasiswi selain bahwa gadis itu adalah tukang demo. Lagipula, apa urusannya?

“Ssst, ini rahasia.” Yoga itu meletakkan telunjuk di bibir sambil menengok kiri dan kanan, khawatir ada telinga lain yang mendengar. “Katanya, Jatu naksir cowok lain. Duda,” bisiknya. “Du-da.” Pria itu mengulang kata terakhir.

Mendengar kalimat itu, Titan terkesiap. Berbagai tanya mulai berkelebat. Apakah orang yang dimaksud adalah dirinya? Apakah insiden pekan kemarin masih belum selesai? Dan apakah sekarang dirinya terlibat seutuhnya dalam kisah tersebut? Ah, apa jadinya jika seluruh kampus tahu.

“Dalam situasi ini, saya sangat mendukung Langit. Makanya, saya sabar menanti bocah itu menyelesaikan urusannya. Bayangkan! Kami para bujang harus berkompetisi juga dengan para duda yang sudah berpengalaman!” ucap Yoga berapi-api.

Apakah para duda tidak berhak untuk menjalin hubungan baru?’ Titan hendak menyela kalimat Yoga. Namun, pertanyaan tersebut ditelan kembali. Dia tak ingin sang rekan curiga.

“Menurut saya, Jatu membuat kesalahan besar jika memilih pria selain Langit. Nggak ada yang sebanding dengan bocah itu.”

“Nggak ada yang sebanding?” ulang Titan. Kali ini egonya mulai terusik.

“Sudah pasti Jatu kena pelet dari duda itu!” Tanpa mengindahkan pertanyaan Titan, Yoga meneruskan asumsi-asumsi. Pria itu lalu berdecak sambil geleng-geleng. “Zaman sekarang, masih juga melibatkan kekuatan mistis.”

Titan semakin meradang. Ingin sekali diteriakannya, bahwa dirinya layak untuk bersaing dengan Langit. Bahwa dirinya sanggup memenangkan seorang perempuan, tanpa embel-embel kekuatan mistis.

Alih-alih meneriakan kalimat-kalimat itu, Titan memilih untuk berkata dingin, “Mungkin kamu perlu coba.”

“Apa?”

“Pelet,” ucapnya sinis. 

Menyadari kalimat sinis itu, Yoga segera teringat kalau sang sahabat juga menyandang gelar duda. Dia pun buru-buru menenangkan Titan. “Kamu jangan baperan, dong. Saya kan lagi ngomongin duda yang lain, bukan kamu,” ucapnya sambil cengar-cengir.

“Ta—”

Bruk!

Ucapan Titan terputus saat seseorang mendorongnya. Badan mungil Jatu menyeruak, menerobos barisan. Dengan langkah-langkah lebar, gadis itu langsung menuju ke arah sang pencari perhatian. Mengabaikan seruan ‘huu’ dari para penonton di sekitar.

“Lang!” panggil Jatu tertahan ketika telah tiba di dekat mobil Langit.

Mendengar suara yang dinanti, Langit pun berpaling dari layar ponsel. Sedetik kemudian, dia melompat turun tepat di hadapan Jatu sambil tersenyum penuh kemenangan. Beberapa hari terakhir, dia mencoba berbicara dengan gadis itu. Namun, puluhan panggilan dan ratusan pesannya terus diabaikan. Siapa sangka, dengan caranya sekarang, sang kekasih hati sudi menghampiri bahkan tanpa diundang.

“Lo ngapain, sih?” tanya Jatu geram.

“Ternyata gampang banget ngebuat lo mau ngomong sama gue.” Alih-alih menjawab pertanyaan Jatu, Langit justru memproklamirkan kesuksesannya.

“Gue datang karena gue nggak mau didemo orang se-kampus!” tegas Jatu, lalu melirik ke arah para penonton yang ada di radius 15 meter, seolah-olah ada koordinator lapangan yang menginstrusikan mereka untuk menjaga jarak aman.

“Ngapain bawa-bawa mobil gede gini?” tanya Jatu sengit.

“Gimana? Keren nggak?” Langit lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan Jatu. “Nggak selevel-lah sama mobil ringkih itu,” ucapnya sambil mengerling pada HR-V Titan.

“Jadi, ini semua cuma buat perbandingan? Norak tau!” Jatu semakin geram melihat tingkah Langit.

“Salah satunya. Tapi, gue masih punya hal penting lain yang harus gue omongin sama lo.”

“Gue nggak mau denger.”

“Artinya, gue nggak akan pergi dari sini,” timpal Langit acuh tak acuh.

Jatu menggigit bibir, berusaha menahan kemarahan di dada. Jika ingin urusan ini segera selesai, jika ingin Raven tidak menyaksikannya, mau tak mau ia harus setuju dengan permintaan Langit.

“Lima menit. Gue nggak punya lebih dari itu.”

“Cukup, kok,” ucap Langit. Pria itu lalu memperlihatkan layar ponsel dengan bangga. “Gue udah daftar di Madam Rose.”

Jatu mengernyit, dalam hati bertanya-tanya, ‘Kenapa pria sesempurna Langit masih memerlukan Madam Rose?’

“Gue lagi nyari janda anak satu yang mau gue nikahin selama … mungkin sebulan, seminggu, atau sehari juga cukup. Setelah itu, cerai. Hasilnya, gue dapat status duda dengan anak satu seperti yang lo mau. Gimana? Rencana gue fantastis, kan?”

Mendengar ide konyol itu, Jatu hanya sanggup ternganga. Apa ada yang salah dengan otak jenius pria di hadapannya? Ataukah memang itulah ide paling brilian yang pernah ada di muka bumi? Rasanya, ia ingin mengamuk saat itu juga. Namun, ia sangat mengenal Langit dan tahu cara itu tidak akan mempan.

Jatu lalu mengambil posisi duduk bersila di aspal sambil berusaha mengatur napas yang memburu. “Lang, duduk sini, deh!” perintahnya sambil menepuk ruang kosong di dekatnya.

Langit segera mematuhi permintaan Jatu. Apapun yang akan dibicarakan gadis itu, dia akan mendengarnya. Itu lebih baik daripada sikap diam Jatu beberapa hari terakhir, tepatnya setelah insiden di parkiran terjadi.

Jatu terdiam selama beberapa saat, mencoba merangkai kalimat terbaik untuk membuat Langit paham. “Lang, pernikahan itu sesuatu yang sakral yang harusnya dijalani seumur hidup. Bukan buat main-main.”

Langit mengangguk. “Gue tau. Makanya, gue cuma mau ngejalaninnya sama lo.”

“Tapi, lo menjadikan itu seperti sebuah permainan ketika lo bilang mau nikahin janda anak satu demi dapatin status duda beranak satu.”

Langit menatap dalam pada bola mata Jatu yang dia kagumi. Bola mata yang mampu menyorotkan aura yang berbeda-beda: ketenangan, semangat berapi-api, hingga perasaan iba.

“Gue nggak nganggep ini permainan, Jat. Ini seperti sebuah mata kuliah prasayarat sebelum gue ngambil mata kuliah tertentu,” ucap Langit penuh penekanan.

“Lang. Nikah bukan cuma sekedar memenuhi seluruh prasyarat yang ada. Lo juga butuh cinta. Lo juga butuh kata takdir. Jodoh.”

“Gue yakin cinta bisa tumbuh. Dan gue yakin, takdir bisa diusahakan.”

“Lang—”

“Lima menit lo hampir habis,” potong Langit sambil melihat waktu di layar ponsel. “Gue akan lakukan apapun buat bikin lo jadi milik gue.”

Jatu menghela napas berat. “Terserah, lo, deh,” ucapnya sambil berjalan lunglai, menerobos kerumunan yang masih juga tak beranjak.   

🌹🌹🌹🌹🌹

Tidak lama setelah Jatu pergi, Langit pun masuk ke dalam mobil. Dengan senyum semringah, dia memacu mobil ber-gen militer itu menuju parkiran yang memang dikhususkan untuk para mahasiswa. Misinya sukses. Pengorbanan bolosnya tidak sia-sia.

“Kamu liat, Tan? Bocah itu benar-benar keren. Benar-benar teguh memperjuangkan cinta. Saya yakin, Langit pasti menang dan ngalahin duda itu.”

Mendengar kalimat Yoga, Titan menyeringai sinis. Haruskah dia menghadapi pertempuran itu demi kehormatan dan harga diri?

🌹🌹🌹🌹🌹

Sekali-kali tampilin Jatu lagi, ah.

In pict: Jatu lagi di koridor gedung fakultas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro