1. Dunia Merah Darah (Xiu)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama : Xiu
Jurusan :
1. Fiksi Sejarah

❤❤❤

Manusia ....

Di manakah eksistensi manusia itu berada?

Di dalam setiap rekam jejak pencapaian kesuksesan mereka? Di atas piagam dan piala di mana nama manusia terukir indah dengan tinta emas? Atau tercatat di dalam buku-buku pengetahuan bersama dengan hal-hal yang mereka tinggalkan untuk generasi berikutnya?

Mungkin bagi orang yang matanya selalu menatap ke atas, mengagumi tokoh-tokoh terkenal yang berjuang keras demi menggoreskan nama mereka di prasasti sejarah, di sanalah letak eksistensi mereka. Mereka merasa hidup dengan melakukan hal-hal besar atau mereka memang hidup untuk melakukan hal-hal besar, hanya mereka yang tahu.

Bagi seorang Dago, eksistensi berarti hidup. Bisa tetap bertahan hidup di tengah rintihan kesakitan dan teriakan memilukan, bisa tetap mendengar di antara desingan peluru, bisa tetap bernapas di antara kobaran api, bisa tetap melihat di tengah ledakan ranjau dan bom, berlari dan berlari menghindari sabit sang Dewa Maut, menusuk dan menyingkirkan apa pun yang ada di hadapannya dengan bambu runcing di tangan. Itulah eksistensi bagi seorang Dago.

Datang dari desa kecil di pelosok Bandung, bergabung dengan pasukan sukarelawan yang bergerilya untuk mengusir orang asing yang katanya sudah menjajah Indonesia selama ratusan tahun, sejujurnya, Dago bahkan tidak paham sama sekali apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh kelompok orang yang setiap harinya berbicara dengan nada tinggi penuh semangat ini. Dago hanya tahu bahwa dia diajak oleh para pemuda di desanya, mereka bilang mereka ingin melakukan sesuatu, ingin menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia, ingin membanggakan orang tua, dan banyak lagi kata-kata yang bagi Dago terlalu sulit untuk dipahami.

Dago hanya pemuda yatim piatu yang hidup sendirian di gubuk kecil di sudut desa. Bertahan hidup dengan menanam pohon ketela di belakang rumahnya, menangkap ikan di sungai di kaki gunung, terkadang berburu di hutan di atas gunung. Dia tak pernah ingin menjadi bagian dari sejarah, tidak ada seorang pun yang akan bangga walau dia melakukan hal-hal besar, bahkan tidak akan ada yang sadar sekalipun dia tiba-tiba lenyap dari dunia ini.

Satu-satunya alasan mereka mengajak Dago adalah; bertambah satu lebih baik daripada tidak sama sekali. Dan alasan Dago setuju ikut dengan mereka juga hanya satu; ingin melihat dunia yang berbeda dari desa kecil yang bahkan namanya saja dia tak tahu.

Dan sekarang, di sinilah Dago. Di barisan depan medan pertempuran, melawan 'musuh' yang baru saja dilihatnya, menghunuskan senjata ke arah mereka yang tidak dikenalnya sama sekali. Membunuh atau dibunuh.

Setiap kali pasukan mereka kembali ke markas di tengah hutan, dengan jumlah yang pastinya berkurang drastis, wajah-wajah wanita dan anak-anak yang menanti mereka dengan harap-harap cemas lalu menangis saat wajah yang mereka harapkan untuk terlihat tidak berada di antara barisan pejuang yang selamat, Dago selalu merasakan kesepian yang sulit dijelaskan oleh otak sederhananya.

Mungkin, mungkin jauh di dalam hatinya, sedikit banyak Dago berharap akan ada seseorang yang juga menunggunya, berharap dia kembali dengan selamat, cukup satu, hanya satu di antara sekian banyak sudah lebih dari cukup. Tapi tatapan mata mereka hanya menyapu sekilas, lalu kembali beralih, mencari-cari wajah yang mereka harapkan, berbinar-binar saat menemukan wajah yang mereka cari, berurai air mata saat wajah yang ingin mereka lihat tak kunjung terlihat.

Tak ada satu pun yang peduli dengan rambut lengket berbau amis karena cipratan darah dari musuh yang ditusuknya, tak ada yang cemas dengan langkah pincangnya, juga tak ada yang mau tahu kenapa wajahnya lebam.

Tak ada satu pun...

Mata nanar Dago menatap mereka dengan tatapan dingin. Seperti mereka yang tak peduli padanya, dia pun tak pernah peduli dengan keadaan di sekitarnya. Menyeret kakinya yang tadi terserempet peluru, Dago berjalan pelan ke arah pos pengobatan.

"CEPAT! HENTIKAN PENDARAHANNYA!"

"TOLONG! CEPAT TOLONG SUAMIKU!"

"Ayah ...."

Riuh-rendah suara manusia langsung menyambutnya. Beberapa wanita yang sudah dilatih untuk memberikan pertolongan darurat bergerak sigap di antara teriakan dan tangisan putus asa, pria-pria yang juga mengerti cara menjahit luka dan menghentikan darah yang mengucur deras sibuk mengurusi para pejuang yang terluka dengan kening berkerut.

Dago tak pernah suka dengan suasana ricuh di pos pengobatan ini, sebisa mungkin Dago menghindar dari tempat ini kalau saja lukanya tidak terlalu serius. Kalau saja kaki kirinya tidak lagi mengalirkan darah segar. Apa boleh buat, Dago tak mengerti cara menghentikan pendarahan. Walaupun tadi dia sudah meniru cara tentara lain, mengikat kuat-kuat bagian yang terluka hingga darah berhenti mengalir, tapi darah tetap saja mengalir deras. Tak ingin mati konyol kehabisan darah setelah susah payah bertahan hidup di medan perang, mau tak mau Dago singgah ke pos ini.

Seorang wanita gemuk mengernyitkan dahinya ke arah Dago, bertanya tanpa suara apa kepentingan Dago di tempat yang penuh dengan hawa sesak kematian ini.

Tanpa banyak bicara, Dago menarik celana yang basah oleh darah hingga ke lututnya, memperlihatkan betis yang sobek mengeluarkan darah. Ah, sepertinya ini bukan terserempet, tapi tertembus.

Wanita gemuk yang merupakan salah satu relawan di tentara gerilya tanpa nama ini menatap wajah Dago sesaat, matanya membelalak, tapi melihat wajah Dago yang seolah tidak merasa sakit, akhirnya dia hanya menghela napas kuat-kuat lalu mulai bekerja mengobati Dago dengan obat-obatan seadanya.

Luar biasa! Saat wanita gemuk itu selesai, darah tak lagi mengalir dari lukanya. Mereka benar-benar hebat!

"Terima kasih ...," ucap Dago lirih.

Wanita itu menatap Dago seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tapi pada akhirnya dia hanya mengangguk lalu kembali mengurus pejuang yang lain.

Di luar pos, pejuang yang selamat tanpa luka yang cukup berarti berkumpul membicarakan strategi untuk penyerangan berikutnya. Duduk dan mendengarkan. Hanya itu yang biasanya dia lakukan sejak awal dia bergabung sebagai relawan pasukan gerilya tiga bulan yang lalu di bulan November.

"Pasukan Belanda sudah semakin melemah. Sedikit lagi, tinggal sedikit lagi, kita akan bisa mengusir mereka!" Pria tegap dengan suara lantang dan tegas ini selalu berdiri paling depan saat sedang berkumpul seperti ini. Sepertinya dia adalah pemimpin dari kelompok ini.

"Kapten, apa perlu kita bekerja sama dengan tentara Jepang? Menurut kabar, para pejuang di Sumatra juga sudah bekerja sama dengan mereka."

"Bung Agus, kabar itu belum bisa kita pastikan kebenarannya ...." Mata tajam si pria tegap menatap kertas yang ada di tangannya.

Tinggal di dalam hutan, entah bagaimana cara mereka mendapatkan berita mengenai keadaan di luar sana. Dago selalu merasa heran dengan hal ini. Tapi, yah, sudahlah, bukan tugas Dago untuk mengetahui itu. Tugas Dago adalah membunuh 'musuh' sebanyak-banyaknya agar dia bisa tetap hidup.

Orang yang disebut Agus itu mengernyitkan dahinya, seperti memikirkan sesuatu yang cukup rumit. "Bagaimana kalau kita usulkan pada markas pusat?"

Melemparkan pandangannya ke arah pasukan yang terdiri dari pemuda relawan yang hanya bermodalkan keberanian, Kapten menatap wajah mereka satu persatu. Berhenti sebentar di wajah Dago sebelum kembali berbicara pada Agus.

"Tak ada salahnya dicoba." Melihat wajah-wajah lelah dan tubuh penuh luka prajuritnya, sebagai seorang Kapten, dia yang paling paham, tak mungkin mengirim mereka ke medan perang secara terus menerus.

Sejak mendapat berita terdesaknya pasukan Sekutu oleh tentara Jepang, dia telah mengirim gerilyawannya untuk menggempur benteng Belanda yang terdapat di Bandung ini dengan harapan mendapat kemenangan yang membanggakan. Namun, meskipun benar bahwa Belanda sudah melemah, tetap saja, persenjataan mereka lebih memadai daripada pasukannya yang sebagian masih bersenjatakan bambu runcing dan sebagian lainnya menggunakan senjata api hasil rampasan perang.

Di ufuk timur, semburat kemerahan matahari terbit mulai terlihat. Entah kenapa, bagi Dago, langit seperti berdarah. Dunia yang berwarna merah.

Dunia merah darah.

-Selesai
Luxiufer2

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro