30. Last Chance (Sarinaava)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama: Sarinaava
Jurusan:
1. Romance

❤❤❤

     Hari yang menyenangkan, menghabiskan sisa waktu liburan yang tinggal beberapa hari lagi dengan bersenang-senang adalah bahagiaku yang sederhana. Kulihat pemandangan pantai indah dengan gelombang laut yang menyapu bibir pantai yang juga mengenai telapak kakiku, terasa dingin tapi aku menikmatinya.

     Kulihat ibu, ayah serta kedua adikku tengah bermain pasir. Alana adikku yang paling kecil sangat bersemangat mengubur tubuh Ayah, sedang Selena adik yang hanya berbeda dua tahun dengan umurku bersama Ibu berfoto ria, sungguhlah aku teramat sangat bahagia.

     Tiba-tiba aku merasakan ada yang memelukku dari belakang. “Hari ini menyenangkan bukan?”

     Senyumku mengembang, jantungku berdebar, selalu seperti ini jika Nolan—pacarku— sudah melancarkan sifat romantismenya. Ah, bukan aku tidak suka tapi jantungku yang tidak baik, walaupun kami sudah berpacaran selama setahun tapi tiap kali ia memelukku rasanya seperti remaja yang baru puber, malu-malu sendiri.

     Pernyataannya tadi hanya ku balas dengan anggukan kecil, dan anehnya ia malah mengeratkan pelukannya. Oh, Nolan tidak tahukah kamu betapa jantung ini lemah bila bersamamu. Tanpa aba-aba ia memutar tubuhku hingga kini mata kami dapat saling memandang, matanya yang amat indah itu selalu membuatku jatuh ke dalamnya iris hitam itu.

     “Aku mencintaimu.”

     Satu kalimat itu mampu menerbangkan hatiku hingga langit yang ke tujuh, aku tahu kata-kataku sangatlah hiperbolis, tapi kalau kamu di posisiku maka kamu akan tahu bagaimana menyenangkan dicintai sedalam ini. Ketika mulutku sudah terbuka untuk membalas 'aku mencintaimu juga' sebuah suara mengganggu suasana.

     “Kak, kata Ibu, siap-siap untuk makan malam,” ucap Selena tanpa sadar telah merusak suasana.

      “Bilang sama Tante, kami menyusul.” Nolan mendahuluiku, ia benar-benar Pria yang baik. Ia tidak pernah mengeluhkan sifat adik-adikku yang selalu iseng mengganggu jika kami sedang bersama. Aku tahu Selena sengaja datang, bagamaina mungkin langit masih dihiasi matahari, Ibu sudah menyuruh untuk makan malam, oh yang benar saja.

      “Kenapa muka kamu ditekuk begini?”

    “Seharusnya kamu memarahi Selena! Kamu kan tahu itu hanya alibinya saja untuk mengganggu kita,” ucapku jengkel.

     Menyebalkan, Nolan malah tertawa. Ya ampun ada apa di kepalanya, aku sama sekali tidak sedang melucu di sini.

     “Memangnya di mengganggu apa?” godanya. Ah, seharusnya aku sadar bahwa aku berkata salah, sudah dapat dipastikan ia akan terus menggodaku.

     “Helena, Memang apa yang membuat kamu merasa terganggu? Dan apa yang diganggu.”

     “Nolan, jangan mulai, deh.”

     “Sekarang Selena sudah pergi, ada yang ingin kamu katakan?”
Aku menggeleng, aku malu. Jika sudah begini aku jadi tidak bisa mengungkapkan perasaanku, memang aku paling tidak bisa mengungkapkan perasaanku secara gamblang. Aku mendorong dia pelan dan berlari meninggalkan dirinya yang tengah menahan tawa.

     “Aku membencimu Nolan,” teriakku sebelum benar-benar meninggalkannya.

     Bukankah masih banyak kesempatan untuk mengatakannya dilain waktu, biar Nolan dan otaknya yang sangat hobi menggodaku itu menunggu aku membalas pernyataannya tadi.

     Sekitar setengah jam kuhabiskan untuk membenah diri, bersiap untuk makan malam di suatu restoran di pinggir pantai yang memang sudah kami pesan beberapa waktu yang lalu. Hari libur benar-benar kami gunakan dengan sebaik mungkin, karena di saat  inilah waktu yang kami punya untuk bersama, jika hari-hari biasanya kami akan sibuk dengan kegiatan kami masing-masing. Aku dengan segudang tugas kantor, Selena dan Alana dengan Sekolah dan lesnya, Ayah dengan pekerjaannya, dan Ibu yang setia menanti kami di rumah.

    “Helena.”

     Aku menoleh mendapati Ibu yang sedang membawa nampan berisi masakan yang memang sengaja ibu bawa dari  rumah karena sudah pasti di restoran ini tidak dijual. Semur jengkol. Makanan yang bagi kebanyakan orang akan sangat dihindari itu adalah makanan kesukaan kami sekeluarga, jadi jangan heran bila makanan itu ada di saat kami makan bersama.

     “Bantu Ibu bawa ini,” ujarnya memberikan nampan itu padaku. “Ibu masih harus membantu Alana memilih pakaiannya.”

      Aku memutar mata, bosan dengan tingkah Alana yang selalu berlebihan. Ini hanya akan menjadi makan malam biasa, bisakah ia memakai baju biasa saja? Tidak ingin memikirkan hal yang akan membuatku bad mood aku segera membawa si semur jengkol pergi.

      Tibanya di tempat, aku melihat Ayah dan Nolan sedang asyik dengan perbincangan mereka, betapa calon imam yang benar-benar kusuka itu dengan mudahnya akrab dengan Ayahku alias calon mertuanya.

      “Sedang membicarakan Helena, ya?” tanyaku sambil mendudukkan diri di kursi yang bersebelahan dengan Nolan.

     “Iya, kamu tau aja,” jawab Nolan enteng.

    Nolan selalu bisa membuatku kalah, iya dia selalu menang di hatiku. Ayah senyum-senyum sendiri membuatku semakin malu, Nolan lihat saja kamu.

     “Lihat baju aku, kak Nolan.” Alana dengan berlari kecil menghampiri Nolan. “Bagus, kan?”

     Aku tersenyum masam melihat Alana yang sangat manja pada Nolan. Tidak, aku bukannya cemburu pada adikku sendiri, namun hanya kesal saja.

    “Iya, Alana cantik banget pakai baju itu,” puji Nolan.

     “Siapa dulu yang memilih.” Alana memeluk Ibu yang baru saja datang. “Ibu memang yang paling terbaik, Alana sayang sama Ibu.”

      “Selena juga,” adikku yang satu itu malah ikut-ikutan.

     Dalam hati aku sangat iri pada mereka yang bisa dengan semudah itu mengungkapkan perasaannya, aku bahkan mati-matian menjawab pertanyaan Nolan sewaktu memintaku menjadi pacarnya dulu. Sangat berat mengatakan aku sangat teramat menyayangi Ayah dan Ibu. Begitulah aku yang sulit mengekspresikan diri ini.

     Buat apa aku memikirkan hal ini, bukankah masih banyak kesempatan dan waktu untuk mengatakannya nanti-nanti. Iya, nanti saja ketika keberanian dalam diriku muncul maka aku akan mengatakan pada semua orang yang aku sayangi bahwa aku menyayangi mereka.

    “Kamu berhutang jawaban padaku.”

     Bulu kudukku meremang, bisikan yang berasal dari sampingku itu sontak membuatku terkejut.

      “Ayo katakan bahwa kamu juga mencintaiku,” ucapnya sambil menatapku lekat.

      Bukankah sudah kukatakan bahwa nanti aku akan mengatakannya jika keberanianku ada, dan bukankah masih banyak kesempatan dan waktu bagi kami. Nolan dan aku masih muda dan masih memiliki waktu yang banyak, bukan?

    Angin dari arah laut berembus kencang, burung-burung beterbangan. Perasaanku tidak enak. Kulihat Nolan dan keluargaku sama gelisahnya dengan diriku. Air laut dengan anehnya menyurut membuat aku menahan napas lalu memandang keluagaku. Beberapa menit kemudian hadir gelombang air laut yang teramat besar.

    Aku dapat melihat bagaimana sebuah ombak besar berjalan menuju kami dengan dahsyatnya, dan dengan cepat menyapu siapa pun yang dilewatinya. Aku melihat bagaimana ombak itu menerjang kami. Tangan Nolan memegangku dengan erat tetapi genggaman itu terlepas oleh kekuatan maha dahsyat, hantaman ombak laut tadi.

     Aku merasakan sakit luar biasa ketika tubuhku bertubrukan dengan benda keras. Aku tidak bisa bernapas saat tubuhku yang tenggelam dalam air laut.

     Mataku mencari keberadaan Ayah, ibu dan adikku, juga Nolan saat rasa sakit itu kian menyerangku, menyebar ke seluruh sudut dalam diriku. Saat pandanganku mulai mengabur, saat aku dan hatiku berteriak menyuruhku untuk mengatakan pada mereka bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk mengatakan perasaanku.

     Malam itu menjadi malam yang benar-benar gelap dan kelam, malam itu benar-benar adalah seharusnya kesempatan dan waktu untuk diriku. Nyeri amat besar membuatku menutup mata.

...

     Aku membuka mata untuk beberapa lama yang tidak aku ketahui lamanya, menemukan adikku Selena di samping diriku yang terbaring. Selena menangis saat melihat diriku sadar. Ia menggenggam tanganku erat, membasahi tanganku yang sekarang kutahu telah diperban.

     “Maafkan Selena, Kak. Maaf.”

     Hatiku sesak mendengar itu, seolah itu adalah pernyataan paling menyakitkan yang pernah kudengar. Selena dengan pakaiannya yang sudah kumuh, dengan di pelipisnya terdapat perban dan di beberapa luka bagian tubuhnya.

     “Selena janji nggak akan ganggu kakak lagi, Selena akan jadi adik yang baik. Selena janji, tapi jangan pergi kayak yang lain.”

     Ada bagian dari diriku yang tersayat mendengar itu, beberapa perkiraan negatif mengerubungi pikiranku. Beberapa spekulasi yang tidak akan bisa kuterima melayang-layang.

     “Ibu, Ayah, danAlana sudah pergi, Kak. Mereka ninggalin kita, Selena hanya punya Kakak sekarang. Jangan pergi ya ... Kak,” Selena mendekapku erat. Walaupun dekapan itu membuat tubuhku sakit, tidak membuatku berniat melepaskannya.

    Semesta benar-benar mempunyai berbagai cara untuk menghancurkan kebahagiaan yang ada di hidup ini, semesta berkonspirasi dengan lautan juga malam untuk meluluh lantakan apa yang menjadi kebahagiaanku.

     Aku mencoba bangkit dengan dibantu Selena, mataku membulat sempurna melihat pemandangan di sekitarku. Banyak korban jiwa lainnya, juga jenazah di samping kanan-kiriku, tangisan pilu menjadi musik tersendiri di sini.

     Kulihat orang-orang berseragam datang membawa sebuah kantung yang bisa kuduga berisi korban yang sudah meninggal. Rasa penasaranku tiba-tiba muncul ketika melihat orang-orang itu membuka kantung itu.

     Air mataku meluruh dengan deras, aku sudah kehilangan Ayah, Ibu, Alana dan kini kenyataan mengatakan bahwa aku juga kehilangan Nolan, Selena juga sama terkejut dan menangis di sampingku.

     Aku salah ternyata kesempatan dan waktu yang kumiliki tidak banyak. Seharusnya aku tidak perlu menunggu keberanian yang entah kapan akan ada dalam diriku untuk menyatakan perasaanku pada mereka. Menyatakan betapa sayangnya aku terhadap Ayah dan Ibu juga Alana. Menyatakan betapa aku mencintai Nolan. Kesempatan itu tidak pernah kumiliki.

:::::

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro