Chapter 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dalam seribu tahun, aku tidak pernah menyangka bahwa tutup pulpen merupakan jalan menuju dunia lain. Maksudku, bukan hanya aku tidak mungkin akan hidup selama itu (seribu tahun, kau lihat? Tidak mungkin, dan terdengar membosankan. Bayangkan saat kau harus mengisi tanggal lahirmu), tapi juga karena menurutku kau tidak bisa menjadikan tutup pulpen sebagai jalan. Aku masih bisa percaya jika itu laci meja (seperti Doraemon) atau koper (tahu, kan? Newt dalam Fantastic Beasts and Where to Find Them). Tutup pulpen? Tidak terlalu.

Maka sewaktu kami melompat masuk ke dalam tutup pulpen menuju Starsfall, kepalaku berdenyut mengerikan. Seakan-akan otakku tidak mau bekerjasama dengan semua keanehan yang terjadi.
Sebenarnya ini berawal dari konser band lokal yang aku dan Levi hadiri malam sebelumnya. Kami berdua mengantre selama lima belas menit di pintu masuk bar, dan dalam sepuluh menit pertama, semuanya tidak ada yang salah. Aku bisa mendengar musik berdentum-dentum dari dalam, dan percakapan ringan dari orang-orang yang ikut mengantre bersama kami. Yah, itu sampai Levi menarikku ke hadapannya.

"Sial, ada Autumn." Levi mengintip dari balik bahuku, dan mengingat dia jauh lebih tinggi daripada aku, dia jadi kelihatan sangat konyol. Tapi memang benar, ada Autumn. Berjalan sendirian serta kelihatan seperti sedang mencari sesuatu (atau seseorang). Aku butuh beberapa saat untuk meyakinkan bahwa itu benar-benar Autumn, bukan Spring. Selain warna rambut mereka, tidak ada yang dapat membedakan kalau mereka adalah makhluk yang berbeda.

"Kau ingin menyapanya?" tanyaku, masih memperhatikan Autumn mengetik sesuatu di ponselnya.

Levi menggeleng keras-keras. "Oh demi Tuhan, tentu saja tidak. Aku sedang menghindarinya."

"Kau menghindarinya. Memangnya kau apa? Anak kecil?"

Levi mendorongku maju, memberikan ID-nya pada penjaga pintu bar yang menatap kami bingung. "Bukan begitu. Ini lebih rumit daripada kelihatannya."

Aku mengangkat alis. Selagi Levi bergerak tak sabar di balik pundakku karena butuh beberapa saat sampai penjaga pintu bar benar-benar memeriksa ID kami, aku menatap Autumn. Levi mencubit lenganku karena itu.

"Jangan menatap. Dia bisa merasakannya."

Penjaga pintu menyerahkan ID kami kembali, kemudian menyuruh kami bergegas masuk. Levi mendorongku agar cepat. Jika di luar aku bisa merasakan dentuman musik, di dalam rasanya seakan-akan musik sedang mengalir di aliran darahku. Tempat itu sangat ramai sampai-sampaai Levi tidak melepaskan pegangannya di pundakku ketika berjalan menembus kerumunan. Meja bar penuh, orang-orang duduk menonton The Gays menyanyikan lagu mereka. Kuakui, mereka tidak begitu buruk. Malah sebenarnya sangat bagus.

"Aku tidak bisa bernapas!" aku berteriak pada Levi.

"Yah, kalau begitu jangan!" Levi menyeringai, dia mengangkat tangannya untuk memanggil sang bartender.

"Levi! Kau ingin yang biasa?" pria berkulit gelap dengan tato berwarna krem nyaris di sekujur tubuhnya menyeringai ke arah kami begitu melihat Levi. Kepala pria itu ditutupi topi badut dan wajahnya diberi hiasan seperti Loki. Dia memakai kaus bertuliskan, Setiap hari adalah hari Senin.

"Yep. Dan berikan untuk Summer ...," Levi menatapku, alisnya naik.

"Diet Coke. Atau jus jeruk," teriakku.

"Satu yang biasa dan satu Diet Coke untuk cewek ini!" setelah si bartender pergi menyiapkan minuman kami, Levi berbicara di telingaku.

"Sungguh? Jus jeruk?"

Kuputar mata ke arahnya. "Salah satu dari kita tidak boleh mabuk."

"Kau tahu kan aku punya toleransi yang tinggi terhadap alkohol?"

Aku menyikutnya. "Untuk jaga-jaga!"

Kami menerima minuman kami (Levi yang bayar, dia bersikeras), kemudian menerobos kerumunan agar bisa melihat The Gays lebih dekat. Mereka adalah sekumpulan remaja dengan masker bercorak pelangi yang menutupi sebagian wajah mereka. Kecuali si penyanyi, yang menggunakan masker tersebut untuk menutupi matanya. Levi menjadi lebih brutal di sebelahku, dia melompat, bernyanyi bersama orang-orang di sekitar kami, mengikuti setiap lirik yang The Gays nyanyikan dan melakukan segala hal yang bisa kau bayangkan ketika kau menghandiri sebuah konser musik dari band kesukaanmu. Aku mencoba mengikuti di sebelahnya, dan meskipun kakiku menikmati irama lagu dan euforia yang terbangun di sekelilingku, aku masih merasakan ganjalan besar di belakang kepalaku, kau tahu kan, seperti ketika kau mencoba melupakan sesuatu yang sangat penting dan besar dan hidupmu bergantung pada itu tetapi tidak bisa melakukannya. Jadi sewaktu Levi terlalu tenggelam dalam semua ini, aku menyelinap pergi menghampiri satu-satunya kursi kosong di meja bar. Di sebelahku sedang terjadi percakapan serius antara kakek tua dan seseorang yang tidak dapat kulihat karena orang tersebut membelakangiku.

"Kudengar ada tiga kecelakaan yang baru saja terjadi! Tabrakan kereta, beberapa mobil terbakar begitu saja dan sebuah lubang besar muncul di tengah kota!" si Kakek berteriak, mencoba mengalahkan dentum musik di sekitar kami. "Sudah kubilang, kalian harus menyalakan televisi dan menonton beritanya! Aku yakin semua saluran sedang panas membicarakan itu!"

"Tapi ini The Gays!" si bartender mencondongkan tubuhnya, bertumpu dengan salah satu siku di atas meja, dia menunjuk ke arah panggung dan mengedikkan bahu, seakan-akan gerakannya sudah sangat jelas; tidak ada pembicaraan serius ketika The Gays sedang manggung.

Aku menghabiskan isi gelasku, memandangi mereka.

"Kalian anak muda harus mendengarkan apa kata orang tua. Aku bicara yang sesungguhnya! Kecelakaan ini sangat tak wajar, seperti ... seperti kutukan telah menimpa negara kita!"

Aku membeku. Barangkali ini konyol, tapi aku merasakan seakan-akan mereka sedang membicarakan aku.

"Amerika sudah terkutuk sejak Donald Trump menjadi presiden, Kek," kata si bartender, mendadak dia menoleh ke arahku dan mata kami bertemu. "Oh hei! Teman cewek Levi!"

Aku tersenyum ke arahnya, mengangkat gelasku untuk isi ulang. Si kakek tua menggerutu. Aku tidak tahu apa yang lebih aneh, melihatnya repot-repot datang kemari untuk membicarakan hal tersebut atau percakapan itu sendiri. Tapi hidupku jauh lebih aneh sejak Spring muncul dalam bentuk kecoa raksasa, jadi aku tidak memikirkan itu terlalu dalam.

Gelas kelimaku sudah hampir habis sewaktu The Gays memutuskan untuk mengambil jeda sejenak. Musik di tempat itu digantikan jadi sesuatu yang terdengar lebih tenang. Sesekali aku mencoba mencari Levi dari semua orang yang berkerumun di lantai dansa, tapi aku tidak menemukannya, maka aku berhenti mencari dan berharap dia tidak lupa tentang kehadiranku di sini kemudian pergi meninggalkanku tanpa kendaraan untuk pulang. Aku baru memesan gelas keenam saat Levi mendadak sudah berada di hadapanku.

"Demi Tuhan, Summer! Aku sudah mencarimu ke mana-mana!" Levi kelihatan panik dan berantakan dan tidak fokus.

Kuangkat gelasku tinggi-tinggi, "Aku sedang menikmati ini, sejak tadi."

Levi mengerang. "Gelas keberapa ini?"

"Enam. Dan tenang saja, ini masih Diet Coke," aku tersenyum. "Kenapa raut wajahmu seperti itu?"

"Autumn," dan seakan kata tersebut membuatnya tersadar kembali, Levi melirik sekitar. "Dan kita harus segera pergi. Sekarang juga."

Secara harfiah Levi menarikku sampai berdiri, dan tahu-tahu saja aku sudah diseret menuju pintu keluar. Kami membuat orang-orang menatap kami, dan sepertinya mereka tahu betapa seriusnya ini bagi Levi dan menyingkir dari jalan. Aku hanya berharap mereka tidak berpikir bahwa aku terpergok selingkuh dan Levi sedang berusaha menghukumku. 

"Aku belum membayar!" teriakku, mencoba menghentikan Levi.

"Akan kuurus nanti! Tidak ada waktu, Summer."

Aku tidak mengerti mengapa ini begitu membuat Levi ... panik. Maksudku selain fakta bahwa Levi menyukai Autumn, mereka adalah teman dekat. Barangkali seperti aku dengan Katherine dan Krissy dan aku tidak bisa membayangkan diriku panik ketika mereka muncul di hadapanku. Yah, bagian menyukainya agak menyedihkan, tapi kau tidak bisa memaksa perasaan orang lain padamu, kan? Kecuali bahwa hal tersebut sangat menganggu Levi dan dia tidak mau berurusan dengan perasaan tersebut.

Levi, sayangnya, tidak cukup cepat menghindari apa yang sangat ingin dia hindari; Autumn sendiri. Cowok itu berdiri di depan mobil Levi, menyilangkan tangan di depan dada. Autumn kelihatan kesal setengah mati ketika melihat kami. Aku tidak bisa menyalahkannya, hanya saja melihatnya mengingatkanku pada wajah menyebalkan Spring dan betapa aku dikejar tengat waktu.

"Bagus, aku sudah tahu kau akan ke sini tepat ketika kau mencoba menghindariku lagi. Levi, aku tidak mau main-main, katakan padaku jika aku sudah berbuat sesuatu yang membuatmu kesal atau betapa berengseknya aku agar aku bisa minta maaf dan mengakhiri ini semua dengan damai," kata Autumn. Aku melepaskan lenganku dari cengkeraman Levi yang semakin keras dan melangkah mundur. Autum mengalihkan tatapannya padaku. "Apakah ini semua ada hubungannya dengan Summer? Kau menjauhiku, maksudku."

Aku melirik Levi, wajahnya keras dan postur tubuhnya tegang.

"Jawab aku, sialan. Kau terus mengabaikanku sejak kau mulai dekat lagi dengan Summer. Aku tahu dia sedang kesusahan karena semua hal gila yang Spring katakan tapi bisakah kau tidak menjauhiku?" Aku merasa ini bukan tempatku untuk berdiri, jadi aku mulai menjauh lagi dan mengeluarkan ponselku (hanya agar terlihat seperti aku tidak peduli, Levi pasti tidak senang aku terlibat dalam pertengkarannya, atau apa pun yang sedang terjadi di sini).

"Tidak ada hubungannya dengan dia," Levi mendesiskan kalimat itu dari sela-sela giginya. Dia mendesah keras-keras. "Dengar, tidak ada yang terjadi, OK? Aku hanya butuh jarak. Di antara kita. Bisakah kau menyingkir?" Levi menatapku. "Summer, ayo--"

"Kau tidak bisa berkata seperti itu dan berharap aku percaya. Jarak apa? Levi, Maddy bilang--"

"Aku tidak peduli apa yang Maddy katakan!" Levi membentak. Kejadian itu begitu tiba-tiba sampai aku terlonjak. Dilihat dari bagaimana ekspresi Autumn, aku yakin sekali dia juga tidak menduga Levi meninggikan suaranya seperti itu, hanya saja tidak seperti aku, ekspresi itu hilang secepat kemunculannya.

"Kau sungguh punya masalah denganku kalau begitu. Apakah ini soal Maddy? Apakah kau menyukainya juga dan tidak senang aku berkencan dengannya? Dengar, sobat, ini terjadi begitu saja, OK? Aku tahu kau kenal dia lebih dulu tapi--"

Autumn berhenti bicara. Barangkali karena aku memelototinya sambil menggeleng keras-keras, atau karena Levi menjadi semakin tegang, apa pun itu berhasil membuat Autumn tutup mulut. Detik selanjutnya Levi sudah menarik kerah baju Autumn dan menciumnya cepat, tepat di mulut. Lalu dia mendorong Autumn menjauh, yang kelihatan bingung dan terkejut.

"Lihat? Itulah mengapa aku butuh jarak," kemudian tanpa menjelaskan lebih jauh, Levi masuk ke dalam mobil.

Aku tidak mau ditinggalkan, tapi sebagian besar aku juga tidak mau ikut campur. Ini masalah Levi dan Autumn, tapi sewaktu aku hendak melewati Autumn agar bisa masuk ke mobil, dia menahanku. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatapku dengan mata biru lautnya. Aku bahkan tidak tahu mengapa aku berkata, "Ya, aku tahu soal itu." Tapi sepertinya itu sesuatu yang memang harus dikatakan. Autumn menyingkir hampir tanpa disuruh.

Berkendara dengan Levi yang sedang kesal dan mungkin saja juga sedih seratus kali lebih tidak menyenangkan dibandingkan berkendara dengan Levi yang ceria. Aku terus meliriknya, mencoba mencari tanda-tanda apakah dia hendak bicara, atau menghilangkan kerutan di dahinya. Aku jadi berharap aku punya kopi, atau sesuatu yang dapat membuatnya lebih baik, rasanya aku benar-benar berengsek karena tidak tahu harus melakukan apa padahal setelah kejadian Steve dia membuatku tertawa.

Sepertinya aku harus menambahkan ke dalam keyakinanku bahwa cinta tidak selalu membawa kebahagiaan dan menyelamatkan dunia dari kiamat (sebagaimana Spring dengan tegas menjelaskan bahwa jika aku tidak menyelesaikan misiku, dunia kiamat), itu juga menimbulkan rasa sakit berkepanjangan, dan kecanggungan serta membuat kehancuran. Apalagi jika kau jatuh cinta dengan seseorang yang tidak akan bisa mencintaimu sebagaimana kau mencintainya.

Mataku berair hanya memikirkan betapa menyedihkannya semua itu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang Levi rasakan. Pasti menyakitka--

Mobil berhenti mendadak. Aku terhempas ke depan, menjerit sewaktu kepalaku membentu dasbor. Aku mendengar banyak sekali keributan di saat bersamaan; klakson mobil yang menggila, Levi yang menyumpah-nyumpah, teriakan orang, decitan ban dan suara tubrukan di sana-sini.

Begitu membuka mata dan melihat ke luar untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi, mulutku menganga.

Ini seperti salah satu kekacauan yang hanya muncul di TV. Beberapa meter di hadapan kami, sesuatu terbakar, orang-orang berlarian, mobil menabrak tiang lampu jalan, menyebabkan tabrakan beruntun yang lain. Sebuah toko perhiasan hancur, seakan baru saja terkena ledakan bom; beberapa perhiasan tersebar di jalanan. Dan di antara semua itu, berdirilah makhluk paling mengerikan yang pernah aku lihat.

[*]

Aku tidak melebih-lebihkan. Aku pernah menonton film dengan visualisasi yang menakjubkan dan menghadirkan monster-monster atau makhluk jahat dalam wujud yang sangat nyata dan mereka semua jelas tidak bisa diremehkan. Hanya saja makhluk yang berdiri di tengah jalan seratus kali lebih mengerikan dari semua itu. Seolah-olah Tuhan sedang iseng dan berusaha menakuti makhluk ciptaannya yang lain sampai terkencing-kencing.

Makhluk itu bermata banyak, masing-masing mata memiliki bentuk pupil yang berbeda. Gigi-giginya runcing, berlumuran darah dan meneteskan liur yang melepuhkan aspal di bawahnya. Sewaktu dia menjulurkan lidahnya, aku dapat melihat bola mata mengedip, kepala-kepala terjulur, dan tangan-tangan bercakar meraih-raih udara, semua itu bergantian muncul di sepanjang lidahnya. Makhluk itu tidak bertangan dan berkaki, alih-alih begitu tubuh panjangnya memiliki sayap yang meneriakkan kematian. Setiap kali aku menatap terlalu lama pada kegelapan yang dibawa kedua sayap itu, aku merasakan ketakutan yang teramat, tubuhku membeku, pandanganku mulai menghitam, dan hal pertama yang kuinginkan adalah berbaring ... membiarkan apa pun menarik jiwaku keluar dan--

"Sialan, kau pasti bercanda," suara Spring mengalihkan tatapanku dari makhluk itu. Dia muncul di antara kami, dalam bentuk kecil, melayang-layang dengan tangan terlipat. "Kalau sudah begini kita tidak punya pilihan lain, Summer."

Aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Yang aku tahu aku ketakutan setengah mati. Spring mengeluarkan ponsel berbentuk kecoanya, membuat beberapa panggilan, sebelum menatapku dan Levi bergantian.

"Anak-anak, aku tak mau membuat kalian pipis di celana. Siap merasakan perjalanan teleportasi yang pertama?"

Hal selanjutnya yang kurasakan adalah dunia mengerut, dan kami hilang. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro