Chapter 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

Seharusnya semua orang diperingatkan ketika hidupnya hendak mengalami kehancuran. Jadi efeknya tidak membuat bingung dan semua orang dapat bersiap-siap. Jika seperti itu tidak akan terlalu banyak korban yang berjatuhan dan dunia akan lebih damai.

Mendengar Mom berbicara dengan panik di telepon membuatku bergegas menghampirinya. Mom berdiri di ruang tengah, berkali-kali meminta maaf pada siapa pun yang sedang dia ajak bicara. Aku pasti tadi ketiduran, tidak menyadari Mom sudah pulang. Tapi bahkan ini belum waktunya Mom untuk pulang.

"Aku sungguh menyesal. Aku tidak mengira bahwa Zeke akan melakukan itu, itu sungguh terjadi begitu saja. Aku sudah melakukan sebisaku, setidaknya kepalanya tidak terbakar," Mom menggigiti kuku, aku melihat tanda itu sebagai ciri bahwa Mom butuh kopi dingin, jadi aku pergi ke dapur untuk membuatnya. Suara Mom masih kedengaran panik ketika dia berbicara lagi.

"Pasti CCTV merekam kejadian itu, aku akan bayar ganti ruginya tapi tolong jangan pecat aku. Tidak? Aku tidak tahu mereka selebriti! Tidak ada yang memberitahuku--" Mom membuat suara tercekat. "Oh astaga! Kardarshian? Kau yakin? Maksudku, apa yang mereka lakukan di salon—oke, oke baik. Bisakah kau mengatakan pada Pak Manager bukan aku yang meletakkan puntung rokok itu? Ya, ya terima kasih."

Beberapa saat kemudian, Mom kembali bicara.

"Madam Petunia! Apa yang Anda katakan kemarin benar-benar terjadi," kata Mom, suaranya penuh rasa hormat. Aku hanya bertemu Madam Petunia satu kali, saat umurku sepuluh. Setahuku dia guru sihir (atau guru trik sulap) Mom. Mom selalu meminta saran pada Madam Petunia setidaknya satu tahun sekali, mengenai hal-hal berbau mistik dan mencurigakan. Aku seringnya menduga mereka hanya sedang membicarakan ramalan cuaca dalam bahasa puisi, tapi sejak Mom menjadi peramal tetapku (dan Luke dan Dad juga) dan terkadang apa yang dia katakan benar meskipun tak pernah masuk akal, terkadang aku percaya padanya. Dan mengetahui Mom bicara pada Madam Petunia pada keadaan yang tidak biasa mencirikan dua hal, 1) keadaannya gawat, 2) Mom sedang frustasi.

"Apakah Anda pikir ini saatnya—oh benar, saya sungguh minta maaf. Apa saran Anda? Jika Anda tidak keberatan tentu saja."

Aku meletakkan kopi dingin Mom di atas meja, Mom mengangguk dan tersenyum ke arahku. Sekarang sudah pukul enam, seharusnya Luke dan Dad sudah pulang, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka.

Aku meninggalkan Mom berbicara dengan Madam Petunia untuk membuat makan malam. Hanya saja tidak ada apa-apa di kulkas kecuali susu basi dan beberapa kaleng soda. Kuputuskan untuk memesan makanan China sewaktu Mom masuk ke dapur dan mendesah keras-keras.

"Ini sungguh kacau, Summer," suara Mom bahkan kedengaran lelah.

"Apa yang terjadi?"

Mom menyesap kopi dinginnya. "Aku tak tahu, aku mungkin tidak punya pekerjaan besok. Aku tak sengaja membakar rambut seseorang di salon."

Aku mengerjap, menunggu Mom mengatakan bahwa dia bercanda, meskipun hal itu hampir tak mungkin terjadi karena Mom bukan Dad. "Dan ada apa dengan Madam Petunia?"

"Ramalan besar," Mom menghela napas, seolah jawabannya sudah sangat jelas. "Di mana ayahmu? Dan Luke?"

"Dad pergi mengantar Luke ke rumah sakit. Luke sakit, dan Dad baru saja kehilangan pekerjaannya juga dan dia pikir dia ingin jadi badut sirkus jadi dia harus ikut audisi. Kurasa mereka masih ada di sana, audisi badut sirkus. Ngomong-ngomong, tak masalah kan kalau kita makan makanan China malam ini?"

"Tentu, Sayang," Mom menggeser kursi dan duduk sambil menatapku. "Bagaimana harimu?"

"Buruk. Kau ingat Levi?" aku menunggu Mom mengangguk. Levi pernah datang ke salonnya (karena aku yang mengatakan bahwa Mom hebat dalam pekerjaannya dan Levi hanya ingin mengetes saja), dan memastikan dirinya diberi perawatan spesial. Aku tidak bisa berhenti tertawa melihatnya keluar dari sana dua jam kemudian dengan rambut berwarna hijau terang dan setiap kukunya punya warna berbeda. Mom menyebutnya bocah nekat, tapi aku tahu Mom suka padanya karena selama seminggu setelah itu, Levi selalu datang ke salon untuk berbicara pada semua orang mengenai cewek-cewek di sekolah. Itu sebelum kejadian lab, tentu saja.

"Dia menyiramku dengan saus busuk," hidung Mom berkerut jijik. "Aku tahu, kan? Dia kira aku Maddy."

"Oh, Sayang, kita jelas harus mengadakan hari ibu dan anak besok. Kau butuh perawatan menyuluruh, bayangkan apa yang dapat dilakukan kuman-kuman itu pada rambut dan kulitmu!" Mom jelas-jelas bergidik. Aku memutar mata padanya, tapi sudut bibirku terangkat.

"Aku belum mengatakan padamu kemarin," aku mencoba tidak mengerang, masalahnya Mom sedang menggunakan nada itu. "Tapi aku tidak terlalu suka Dustin, kau tahu kan?"

Aku mengangguk. "Kau bilang dia terlalu mirip Justin Bieber."

Mom tertawa. "Sebenarnya aku suka bagian yang itunya, hanya saja menurutku dia tidak terlalu baik untukmu."

"Oh Mom, aku tidak sedih soal Dustin. Kenapa sih semua orang seolah sedang mencoba membuatku merasa lebih baik, maksudku ini hanya putus."

"Aku tahu," Mom tersenyum. "Hanya mencoba jadi ibu yang baik."

Itu membuat perasaanku hangat. Mom tidak tahu saja dia yang terbaik tanpa perlu mencoba. Dan Dad juga—walaupun terkadang Dad kelihatan sinting.

[*]

Pada pukul sepuluh lewat lima belas ketika Mom dan aku mulai khawatir mengapa Dad dan Luke belum juga pulang dan tidak ada dari mereka yang dapat dihubungi, mobil Dad terdengar memasuki halaman rumah. Selagi Mom melihat ke luar, aku membaca pesan di grup chatku bersama Katherine dan Krissy. Mereka masih membicarakan soal bagaimana Levi dapat mendapatkan saus busuk sejak tadi sore.

Katherine: Dia tidak mungkin sengaja membeli saus busuk hanya untuk menyiram Maddy, kan?

Krissy: Aku bahkan tidak mau lagi membahas ini, kenapa kita harus membahas ini?

Katherine: Pasti ada sesuatu.

Katherine: Kau tahu, misalnya saja Levi ternyata memang sengaja menyiram Summer.

Katherine: Aku sedang mencoba mengatakan bahwa Levi berada di pihak Marveline.

Krissy: Apakah kau baru saja menonton ulang semua episode Sherlock?

Katherine: Dari mana kau tahu?

Krissy: ...

Summer: Guys ....

Luke melewatiku dengan wajah murung, dia bahkan tidak mencoba menggangguku seperti yang biasa dia lakukan ketika aku terlalu sibuk dengan ponselku. Luke hanya melewatiku seolah aku tidak ada di sana, berderap ke lantai atas. Beberapa detik kemudian aku dapat mendengar pintu kamar kami dibanting menutup.

Pernahkah kau merasa mendadak saja kau menyadari bahwa sesuatu yang benar-benar buruk telah terjadi? Seperti gelembung yang melingkupimu selama ini pecah dan kau berhadap-hadapan dengan kenyataan yang mengerikan? Itulah yang kurasakan ketika mendengar Mom terisak. Dad mengatakan sesuatu dalam nada rendah pada Mom, tapi apa pun itu jelas tidak menenangkannya karena isakan Mom tidak berhenti. Aku menyadari wajah Dad juga sama murungnya.

Aku jadi ingat ketika aku kelas delapan, Mom baru pulang dari pekerjaannya sewaktu Bibi Austin menelepon dan mengatakan bahwa Granny sudah meninggal. Rasanya selama lebih dari sebulan senyum Mom tidak pernah mencapai mata dan Dad berhenti melontarkan lelucon-lelucon tak lucunya, bahkan Luke bersikap baik. Ketika melihat Mom dan Dad berdiri seperti itu, aku tahu ini pasti sama buruknya seperti kabar Granny dulu.

Aku berdeham, ragu antara ingin tahu apa yang terjadi dan menyadari kenyataannya jauh lebih buruk dari itu atau tetap diam. Pada akhirnya Dad-lah yang menghampiriku setelah Mom pergi.

"Siap mendengar kabar buruk, kid?" Dad mencoba melucu, tapi dari bagaimana sorot matanya menatapku aku tidak tahu apakah aku mau atau tidak.

Aku menelan ludah dan mengangguk.

"Ini soal Luke," kata Dad memulai, dia duduk di sebelahku, memaksaku mendekat ke arahnya. "Aku tidak tahu mengapa ini bisa terjadi. Kami baik-baik saja, dokter pertama mengatakan Luke hanya butuh istirahat, batuknya tidak begitu parah. Tapi kemudian Luke--" Dad mengambil napas, saat itulah aku tahu aku sejak tadi menahan napas. "Kau ingat ceritaku soal menjadi kapten bajak laut?"

"Kau bilang kau bertemu penjarah berkaki tiga," kataku, mengingat-ingat cerita yang sering diceritakan Dad dulu.

"Ya, kami bertemu dengannya di setigita bermuda. Tempat di mana kau tidak akan mungkin bisa selamat," kata Dad mengenang. "Philip dan aku sedang berdiskusi tentang jalur mana yang akan kami ambil,"

"Dan kalian tertidur di atas dek kapal saat kabut datang," aku melanjutkan. Sewaktu mendengar cerita ini untuk pertama kalinya, aku selalu berpikir Dad barangkali cuman tukang cerita saja yang, kau tahu kan? Menjual dongeng-dongeng seperti jaman dahulu. Sampai pada suatu saat Dad bersorak kegirangan dari gudang dan mulai memperlihatkan foto-fotonya sewaktu benar-benar jadi bajak laut.

"Benar, tempat itu punya efek itu. Kemudian Philip tersadar ada kapal lain yang sedang mendekat."

"Pembajak dibajak pembajak," aku menahan tawa, untuk sesaat tidak mengkhawatirkan bahwa aku hendak mendengar akhir yang tidak bahagia setelah ini.

Dad ikut terkekeh, dia meremas pundakku. "Yah, si penjarah berkaki tiga ini bilang, 'Tidak ada yang bisa kaulakukan ketika menghadapi takdir buruk, son. Itu sudah dituliskan.'"

Aku ingat bagian itu. Setelahnya Dad dan anak buahnya nyaris kehilangan segalanya dan terdampar di pulau kosong di suatu tempat di Asia selama setahun.

"Luke," Dad mengambil napas, "dia terkena kanker, Summer. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, kami akan bertemu Dr. William besok untuk memastikan apakah diagnosisnya memang benar."

Dad punya kebiasaan untuk memastikan segalanya setidaknya tiga kali. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu, Luke dan aku memang saudara kembar, tapi kami tidak indentik. Orang-orang bilang saudara kembar selalu punya koneksi yang lebih kuat pada satu sama lain dibandingkan adik-kakak biasa. Tapi Luke dan aku berbeda, hampir dalam segala hal, dan kami jarang sekali akur.

Dad menepuk pundakku pelan, kemudian pergi meninggalkanku sendiri di ruang tengah. Suara detik jam dan kendaraan yang lewat di depan rumah semakin lama semakin terdengar terlalu nyaring. Aku tidak tahu apakah ingin pergi ke kamar dan menyadari aku melihat Luke dari sisi yang berbeda atau tidak, jadi aku membaringkan diri di sofa, berpikir apakah semua ini nyata atau tidak.

[*]

Pada tengah malam, aku akhirnya menyerah. Luke masih terjaga saat aku masuk, memperhatikanku berjalan ke sisi ranjangku. Aku menyalakan laptop, hendak mencari apa pun yang harus kutahu soal kanker ketika aku tersadar aku tidak tahu jenis kanker apa yang Luke punya. Aku mengangkat padanganku dan menatap Luke, maksudku benar-benar menatap. Luke punya rambut yang sama denganku, hanya saja dia mewarnainya jadi lebih gelap dan kecoklatan. Dia bilang, "Aku sudah muak punya rambut merah, aku ingin sesuatu yang berbeda." Ketika aku bertanya mengapa dia mewarnai rambutnya dulu. Iris mata kanannya berwarna hijau sedangkan yang satunya abu-abu, seperti awan menjelang badai. Luke memang menyebalkan, dan aneh rasanya melihatnya punya penyakit kanker padahal dia terlihat baik-baik saja.

"Kau sudah selesai menatapku?" kata Luke sinis. "Aku belum mati, kau tahu."

Aku menelan ludah, mendadak merasa bersalah. "Apa kau baik-baik saja?" pertanyaan bodoh, tentu saja.

Luke terdiam, dia mengetik sesuatu di ponselnya. "Aku sedang menulis surat wasiat, kalau kau ingin tahu."

Kemudian kenyataan itu menghantamku. Luke bisa pergi kapan saja. Kanker bukan penyakit enteng. Mereka membawa pergi orang-orang yang berharga dalam hidup. Dengan sangat cepat. Lalu mendadak saja hidupmu tidak akan sama lagi dan kau tahu kau tidak akan bisa menjadi dirimu sendiri sebelum itu terjadi. Aku memaksa air mataku agar tidak turun.

"Kau boleh menangis. Mom menangis. Dad juga," kata Luke, suaranya kedengaran kosong.

"Tapi kau bilang kau belum mati. Aku tidak akan menangis kalau kau belum mati, kau akan menertawaiku."

"Kau selalu menangis, Summer. Setiap membaca buku, menonton film, bahkan ketika kau putus dengan si idiot Dustin. Aku bahkan tahu kapan kau kehabisan tisu dan mulai menggunakan kausmu untuk membuang ingus. Aku sudah terbiasa melihatnya."

Kami terdiam. Aku masih berpikir ini tidak nyata. Dr. William pasti akan menemukan bahwa diagnosisnya salah dan ternyata Luke baik-baik saja, iya kan? Lagi pula kenapa cepat sekali? Kenapa sangat mendadak? Ini pasti hanya kesalahan sistem, kelalaian para dokter. Itu dapat terjadi.

Aku mengerjap sewaktu mendengar Luke berbisik. "Selamat tidur, Summer," Luke berguling mematikan lampu tidur di sisi mejanya.

Aku menutup laptopku kembali, mematikan lampu tidur milikku dan berbisik. "Selamat tidur juga, Luke." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro