Chapter 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku terbangun pada pukul tiga lewat tiga menit. Tidak ada lampu yang menyala, bahkan bintang-bintang yang kupasang di dinding dan langit-langit kamar yang seharusnya menyala dalam gelap tidak memendarkan cahaya. Hanya ada satu cahaya di ruangan itu, berasal dari jam beker di meja di sampingku. Aku bahkan tidak bisa melihat ke arah ranjang Luke untuk memastikan apakah dia ada di sana atau tidak. Aku mengerjap, menyalakan lampu, dan bangkit untuk ke kamar mandi. Ketika aku berjalan kembali menuju kamarku, aku menyadari tidak ada suara dengkur Dad atau musik yang Mom nyalakan keras-keras sampai kau bisa mendengar dentumannya meskipun dia sudah pakai headphone. Rumah hanya begitu sepi, dan kosong, dan gelap.

Aku menutup tirai jendela kamarku yang terbuka, sebelum berhenti untuk melihat bintang jatuh. Sebuah garis cahaya yang bergerak cepat menggores langit malam, diam-diam aku berdoa bahwa Luke tidak sakit dan semuanya baik-baik saja. Detik ketika aku membuka mataku kembali, sebuah suara bernyanyi.

"Dirimu yang lain berada dalam lingkaran kesialan, hanya kau yang dapat menyelamatkannya."

Aku mengerjap, pasti ulah Luke. Luke suka Ariana Grande, itu jelas suara gadis itu. Tapi ketika aku melihat Luke, dia masih tertidur, membelakangiku. Aku mengabaikan suara itu dan menatap ke langit lagi, berharap menemukan bintang jatuh lain.

"Apakah kau sedang mengabaikanku?" suara itu kembali bernyanyi. Kali ini dalam suara Zayn Malik. Aku menatap Luke, tapi dia tetap tidak bergerak.

"Kau melihat ke arah yang salah!"  kali ini suaranya berat, aku berbalik untuk menatap ke arah ranjangku dan tersentak.

Aku benci serangga, sejujurnya aku benci segala macam serangga. Mereka menjijikkan, bahkan yang berbulu sekalipun. Mereka berkaki banyak dan membuat suara krees ketika dikeringkan dan kau tidak sengaja menginjaknya. Apalagi jika serangga itu sebesar bantalku, berwarna merah dan berpendar, dan berada di ranjangku. Ditambah lagi itu kecoa, kecoa terbesar yang pernah kulihat. Aku mundur selangkah.

"Bagus, kau melihat ke arah yang tepat, apakah kau tidak menyadari bahwa sulit sekali menirukan suara Ariana Grande sambil mencoba menggunakan bahasa misterius dalam kalimat? Aku bahkan harus mengeluarkan keahlianku yang lain, Zayn Malik cukup sulit ditirukan, wajahnya kadang menggangguku setiap kali aku latihan, maksudku, dia tampan," aku tidak tahu siapa yang bicara, tapi siapa pun dia kini suaranya menjadi agak kecil. Suara itu mendesah lelah.

"Apakah kau bisu? Menyedihkan sekali, pantas saja Yang Mulia Sang Petinggi Kesialan, Paling Dermawan, Bijaksana, dan Penyayang serta Apa Saja Julukan Agung yang Ada Dalam Kitab Suci Bintang Jatuh menyetujui dirimu yang lain pantas berada dalam lingkaran kesialan. Aku bahkan tidak perlu repot-repot melaporkan pada Pengurus Dewan Keadilan Starsfall jika aku gagal," kali ini dia membuat suara desahannya semakin keras dan lebih dramatis. "Betapa merepotkannya ini semua."

Aku menemukan kembali suaraku dan bertanya. "Siapa kau? Di mana kau bersembunyi?"

Kecoa di atas ranjangku berkedut, aku khawatir dia akan terbang dan hinggap di wajahku, jadi aku mundur lagi. "Kau sungguh melukai hatiku! Apakah kau tidak bisa melihat?"

"Luke," aku berbisik, menyentuh kepala Luke dan mengguncangnya. "Luke!"

"Oh tidak usah repot-repot, aku sedang menghentikan waktu agar kita bisa bicara secara pribadi tanpa gangguan sama sekali, kupikir tidak akan lama, aku ada interview di Sekolah Besar Kecoa dalam setengah jam. Aku harus masuk Universitas itu, semua kecoa butuh gelar sarjana, kau tahu? Itu sudah aturan."

"Kecoa," kataku perlahan, menatap kecoa yang ada di ranjangku ngeri. "Kau kecoa?"

"Ya! Memangnya apa—oh benar, maafkan aku, kadang aku lupa berubah wujud, aku tahu makhluk fana kadang membenci kami," aku masih menatap kecoa itu, detik selanjutnya seorang bocah laki-laki setinggi dua puluh senti berdiri di kasurku, dia memakai pakaian serba merah, dan karena cahaya di kamarku tidak begitu terang, aku tidak bisa melihat pin-pin apa yang ada di bajunya. Rambut bocah itu pirang platinum, dan dia sedang tersenyum padaku.

"Aku Spring, aku—dalam arti yang sebenarnya—adalah penjagamu."

"Spring," ulangku. Merasa sudah nyaris gila. "Dan aku Summer, lucu. Aku harus bangun sekarang."

"Sebenarnya Spring kependekan dari Springus. Tapi Springus tidak kedengaran bagus dan bukan nama manusia, jadi aku menggantinya menjadi Spring. Aku tahu kau Summer, aku membaca sejarah hidupmu."

"Sejarah hidupku," ulangku.

"Ya! Sejarah hidup, kami di Starsfall punya segala macam keajaiban yang tidak kalian miliki. Sayangnya sejarah hidupmu tidak menarik, bahkan sebenarnya aku ingin lihat apa yang terjadi setelah ini, kau tahu kan maksudku, setelah Luke," Spring membuat gerakan aneh dengan tangannya, menunjuk Luke yang berbaring. "Tapi aku penjagamu, menyedihkan sekali, aku harus memastikan kau aman."

Dahiku berkerut. "Aman dari apa?"

"Kesialan! Nasib buruk, apa pun yang kau sebutkan kini," aku yakin ada duh di suatu tempat di kalimat itu. "Jadi, apakah kau setuju?"

Dahiku berkerut semakin dalam. "Setuju untuk apa? Apa yang harus disetujui?"

Spring menggelengkan kepalanya dan mendesah keras-keras. "Kau tidak akan mengerti jika kau berdiri terlalu jauh seperti itu, kemari, duduklah. Kita akan membicarakan ini sambil minum teh."

"Aku tidak mau duduk dekat-dekat dengan kecoa," kataku.

Aku bisa merasakan Spring memutar mata meski tidak bisa melihatnya dengan jelas. "Jangan jadi idiot, kami para kecoa besar dari Starsfall adalah peri, kau beruntung memiliki aku, kecoa-kecoa lain tidak ramah. Lagi pula aku sedang dalam wujud ini."

Aku mendekat, ragu. Spring kini duduk di kasur, menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya tak sabar. "Cepat, cepat, aku tidak punya waktu. Interview, ingat? Aku juga punya kehidupan."

Sewaktu aku sudah duduk, Spring mengeluarkan kantung uang dari dalam mantelnya dan mengeluarkan serbuk-serbuk yang berkilau. Dia melemparnya ke udara, dan cahaya di ruangan itu menjadi lebih terang. Spring meraih segenggam lagi sebelum melemparnya ke arahku, dan tahu-tahu saja ukuran badan kami menjadi tidak jauh berbeda.

"Begitu lebih baik. Jadi, kau suka teh rasa apa?"

Aku memandang tubuhku, rasanya aneh menjadi kecil, atau ruangan kamar ini menjadi begitu besar. Dan dilihat dari dekat seperti ini aku menyadari Spring bukan bocah, dia barangkali seumuranku, atau lebih tua, dengan mata hijau seperti dedaunan musim semi yang berkilau dan telinga runcing. Spring juga punya antena kecoa yang bergerak-gerak. Pin-pin yang dia pakai ternyata pin penghargaan, aku bisa membaca salah satunya, JUARA TERBANG CEPAT KECOA ANTAR GALAKSI. Aku tidak mau membayangkan ada galaksi khusus kecoa, ratusan milyar kecoa berkumpul dalam satu tempat, minum bir sambil bersorak menonton perlombaan terbang cepat.

"Summer," dari bagaimana Spring menggunakan nada itu, dia seperti sedang bicara dengan anak kecil keterbelakangan mental yang tak dapat mengerti bahasa. Aku mengerjap ke arahnya.

"Apakah ini semacam Alice in Wonderland?" tanyaku.

Spring memutar mata seolah aku telah menanyakan pertanyaan paling bodoh sedunia. "Duh, kau butuh edukasi Starsfall secara penuh. Tentu saja kami bagian dari itu semua. Memangnya kau pikir dari mana para manusia fana yang hobi menghabiskan waktu dengan duduk di depan layar berjam-jam membuat cerita menakjubkan mendapat pemikiran itu? Tentu saja karena kalian dan makhluk-makhluk Starsfall terikat satu sama lain."

Spring memunculkan meja teh dari ketiadaan, lengkap dengan cangkir-cangkir cantik. Dia menuangkan teh ke gelasku dan tersenyum. "Silakan, aku pembuat teh yang baik.

Aku mengambil cangkirku dan menyesapnya. "Terbuat dari apa ini?" rasanya bertanya sesuatu yang nyata dan biasa-biasa saja tidak akan memperparah efek halusinasiku.

Spring menuangkan untuk dirinya sendiri sebelum menjawab. "Sayap kecoa mati."

Aku menyemburkan minumanku ke arahnya. Membelalak tak percaya. "Kau kanibal!" pekikku.

Spring memelototiku. "Oh ayolah, jangan berlebihan. Semua orang tahu sayap kecoa membuat rasa menjadi enak," dia menyesap minumannya dengan santai, mendesah puas, dan tersenyum. "Inilah yang namanya kenikmatan hidup," hidungnya berkerut, seolah dia baru saja menyadari sesuatu. "Yah, jika aku masih ada di Starsfall, itu kenikmatan hidup yang mutlak, di sini? Tidak terlalu."

Kami terdiam selama lima menit penuh (aku memelototi cangkirku sambil membayangkan apakah akan ada hantu kecoa yang akan menghantuiku karena berani meminum sari-sari sayapnya, dan Spring menikmati minumannya) sebelum aku tak sabar dan bertanya. "Jadi mengapa kau menjadi penjagaku dan kenapa aku butuh dijaga?"

Spring menggeleng sedih, "Para kurcaci bertaruh," dia menyesap minumannya lagi. "Dan Winter Blue—dia adalah kau di Starsfall—sudah pasti akan menjadi Gadis Menyedihkan. Jika Winter Blue sudah dinobatkan, kau hancur. Luke ini hanya awalnya, kau bisa saja tertabrak truk, tergiling kereta, dimutilasi zombie, melihat orang yang kau cintai disantap sahabatmu dan kiamat dunia." Seiring setiap perkataannya, dahiku berkerut semakin dalam. "Tidak boleh ada manusia fana yang dinobatkan lagi. Sejak Tuan Kematian ada efeknya tidak menyenangkan, tidak pernah ada lagi keaabadian. Padahal tahukah kau sebelum itu, semua makhluk abadi?" melihat kediamanku Spring mendesah.

Winter Blue, itu nama yang kulihat ada di kertas itu.

"Dan sejak Nona Pemurung, banyak kesedihan di seluruh dunia. Bahkan Musik tidak bisa lagi mengatasi itu. Dan lalu muncul Pencuri Kesenangan yang, yah, kau tahu, banyak orang jahat di luar sana, mencuri kesenangan agar bisa mendapatkan kesenangan," Spring menggeleng-geleng sedih. "Aku sungguh prihatin," dia menunduk, kukira dia akan menangis, tapi kemudian dia mengangkat kepalanya dan kembali berkata. "Itulah mengapa tidak boleh ada lagi yang dinobatkan, Gadis Menyedihkan? Sudah dipastikan itu adalah kiamat."

Aku memandang Spring, sudah pasti aku berhalusinasi. Ini tidak nyata, barangkali ternyata aku punya skizofrenia dan ini hanya bagian dari imajinasiku. Aku menggigit lidahku keras-keras, lalu memekik tertahan karena rasa sakitnya. Apakah halusinasi bisa memberikan efek sakit? Sepertinya tidak.

"Jadi itulah mengapa aku di sini!" Spring kembali ceria. "Jadi kau sudah setuju?"

"Bhaghaimhanha akhu bhisa perchayha phadhamhu?" alis Spring naik mendengar suaraku, dia menggeleng sedih, mengeluarkan serbuk berkilaunya dan melemparnya ke wajahku.

Rasa sakitnya hilang.

"Bagaimana aku bisa percaya padamu?" ulangku.

"Summer, Summer," Spring memunculkan sandaran dari ketiadaan dan bersandar, dia melipat tangannya di pangkuannya sambil menatapku. "Kau harus percaya padaku, aku adalah penjagamu. Aku berkewajiban melindungimu—meskipun sebenarnya aku tidak mau, karena aku sibuk—dari marabahaya selagi kau menjalani misi."

"Misi apa?"

"Menemukan cinta sejati, apalagi? Itulah yang diceritakan semua cerita, 'temukanlah pasangan hidupmu, cinta abadi, bla bla bla dan kekuatan cinta akan menyelematkanmu dari kegelapan bla bla bla' cheesy, tapi sebenarnya itu benar."

Aku memandang Spring, mulut menganga. "Kau pasti bercanda."

"Meskipun aku mau, sayangnya aku tidak. Ini sangat serius Summer."

"Jadi begitu saja? Hanya karena si Winter Blue ini akan dinobatkan jadi Gadis Menyedihkan dan menimbulkan kiamat, aku harus menemukan cinta sejati? Ini kedengaran seperti kisah di negeri dongeng."

"Well, ini memang negeri dongeng, setiap kehidupan akan meninggalkan dongeng yang dapat diceritakan untuk generasi selanjutnya. Hanya orang-orang yang punya sejarah hidup saja yang dongengnya bisa abadi," Spring menyesap teh-nya lagi. "Dan sayangnya kau dan Winter Blue terikat, kalian seperti cermin, tapi berada dalam dimensi yang berbeda, kau berada di sini, dan dia berada di sana."

"Kenapa tidak menyuruh Winter saja untuk menemukan cinta abadinya dan menyelamatkan dirinya sendiri, bukankah harusnya seperti itu?"

"Winter berada dalam lingkaran kesialan, Summer. Hanya kau yang dapat menyelamatkannya, bukannya aku sudah bilang?" dengan sabar Spring menghilangkan meja dan gelas-gelas cantiknya, dia menatapku, mata hijaunya berkilat-kilat. "Hanya kau yang bisa, kau adalah dia, dan dia adalah kau, salah satunya terjebak, keduanya tamat," dia sengaja diam untuk memberikan efek dramatis sebelum berkata. "Nah, jadi apakah kau bilang kau setuju? Aku harus menghadiri interview dan aku tidak boleh terlambat. Kita bisa bicara lagi besok, atau lusa, kapan pun kau mau, tapi kau harus bilang kau setuju."

Aku memikirkan apa yang sudah terjadi dua hari belakangan; aku diputuskan Dustin, disiram saus busuk, Dad kehilangan pekerjaan, Mom barangkali akan menyusul, dan Luke sakit. Kemudian Spring muncul mengatakan semua ini. Lingkaran kesialan. Winter Blue. Starsfall. Dan sejuta hal tak masuk akal lainnya. Jika dia benar ini baru awalnya saja (jika dia benar soal segalanya), Luke tidak akan membaik. Tapi bagaimana jika aku setuju dan Luke membaik? Aku memandang ke seberang ruangan, siluet Luke yang tertidur di balik selimut, terlihat damai.

Spring sepertinya menyadari tatapanku dan mendesah sedih. "Jika kau berhasil menemukan cinta sejatimu, semuanya akan kembali normal. Luke juga termasuk."

Aku mengalihkan tatapanku dari Luke ke Spring. "OK, aku setuju."

Wajah Spring mendadak menjadi cerah. Dia bangkit berdiri dan—secara harfiah—melompat. "Bagus! Aku tidak menyangka akan semudah ini," dia menjetikkan jarinya dan aku kembali ke ukuran semula. "Panggil saja aku jika kau butuh sesuatu, tapi sekarang aku ada interview, doakan aku beruntung!" lalu begitu saja, dia menghilang, diiringi suara berdencing.

Oh Tuhan, yang benar saja! Aku membaringkan diriku kembali ke kasur, menatap langit-langit kamar, dan sedetik kemudian aku sudah terlelap.

[*]

Tidak banyak yang berubah. Awalnya aku kira ketika aku terbangun pagi tadi, aku akan merasa lupa pada apa yang terjadi tadi malam dan mulai bertanya-tanya apakah itu mimpi atau tidak. Tapi kenyatannya aku ingat jelas (setiap detailnya). Meskipun Mom dan Dad tidak banyak bicara sewaktu sarapan karena Luke tidak turun—dan jelas tidak akan makan bersama kami, aku tidak bisa berhenti memikirkan setiap perkataan Spring. Mengingat-ingatnya kembali membuatku merasa kewarasanku perlahan lepas dari genggamanku.

Bahkan tidak banyak yang terjadi di sekolah. Aku memasuki kelas Algebra II dan nyaris meledakkan kepalaku di sana. Mengobrol dengan Katherine dan Krissy di kafetaria sambil menjelek-jelekkan Marveline dan Dustin. Aku bahkan berpapasan dengan Levi, berkata padanya bahwa jaketnya masih ada padaku, dan pulang dengan damai. Tidak ada yang berubah.

Sampai kemudian aku melintasi rumah Madam Petunia dan wanita tua itu berderap ke arahku dengan wajah marah.

"Apa yang sudah kaulakukan?" desisnya geram. Madam Petunia memakai jubah ala penyihir jaman dahulu—seperti yang ada di film Harry Potter, hanya setengah wajahnya yang terlihat. Gigi-giginya hijau, dan jelek, wajahnya keriput, dan dia menunjuk hidungku dengan jari telunjuk gemuknya. "Kau mengacaukan segalanya!"

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku bukan tukang pengacau, aku bahkan tidak tahu apa yang kulakukan sampai membuat Madam Petunia marah besar, jadi aku mundur selangkah.

"Kau menghancurkan kesempatanku, kau akan tahu balasannya, Nona Muda. Kau akan tahu," kemudian, seperti nenek tua sinting, dia berbalik dan berderap kembali ke rumahnya.

Aku menyalakan video call sepanjang sisa perjalananku ke rumah bersama Katherine dan Krissy, membicarakan Madam Petunia.

"Dia bukankah, semacam Guru Besar atau apa?" Katherine sedang memoles masker ke wajahnya. "Apa yang kaulakukan Summer?"

"Tidak tahu, aku sudah tidak bertemu dengannya lama sekali," kataku.

Krissy mendengus menahan tawa. "Madam Petunia hanya merindukanmu, sudah jelas--"

"Jangan konyol!" aku dan Katherine berkata bersamaan.

"Madam Petunia itu ... misterius," lanjut Katherine. "Dia tidak punya perasaan seperti itu."

Lalu ketika berbelok menuju daerah perumahanku, aku ingat aku belum menceritakan hal yang terjadi kemarin pada mereka dan mendadak aku merasa bersalah. Krissy melihat itu di wajahku dan dia berkata.

"Uh-oh, ada sesuatu yang belum kau katakan pada kami."

Aku menelan ludah. "Benar, aku akan ganti baju dulu, lalu aku akan cerita pada kalian dalam setengah jam."

Tidak ada orang di rumah ketika aku pulang. Mom meninggalkan pesan di Papan Pesan yang terletak di dekat pintu, tulisannya berbunyi;

Aku baru akan pulang jam sepuluh malam, jika tidak lebih. Ada pizza beku di kulkas.

--MOM

Dad meninggalkan pesan di bawahnya.

Aku dan Luke bertemu Dr. William, jangan menunggu kami.

--Dad.

Aku berderap ke kamarku, berhenti sejenak di ambang pintu, hanya untuk jaga-jaga apakah aku akan bertemu Spring lagi dalam wujud kecoa besar, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya, jadi aku mengambil pakaian bersih, pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri.

[*]

Sewaktu aku selesai, aku menyalakan laptopku dan menggunakan Skype untuk menghubungi Katherine dan Krissy.

"Oke, katakan," kata Krissy, tepat ketika kami baru saja terhubung.

Aku berdeham, tidak menatap mereka ketika mulai bercerita. "Dengarkan saja, OK? Aku tidak mau mengulang."

Aku menceritakan dari awal, sewaktu menemukan Dad di teras rumah, Mom yang barangkali akan kehilangan pekerjaan, sampai kabar mengenai Luke. Aku tidak tahu apakah aku ingin menceritakan soal Spring, rasanya itu terlalu tidak masuk akal, mereka akan mengira bahwa aku memang punya skizofrenia dan hal yang pertama mereka lakukan adalah datang ke sini dan membawaku ke terapis. Jadi aku melewatkan bagian yang itu. Ketika selesai, Katherine sedang menangis.

"Oh astaga, Luke!" dia tersedu-sedu, membuat ingus dan tersedu-sedu lagi. Aku dan Krissy bertatap-tatapan, dia mengatakan, "Dia hanya sedang ... menjadi Katherine," dengan bahasa isyarat. Aku mengangguk.

"Apakah itu sudah dipastikan?" kata Katherine, ketika dia tenang. "Astaga malang sekali."

"Aku tidak tahu," kataku. "Dad dan Luke pergi sedang mengunjugi Dr. William."

"Katherine, kita harus pakai gaun putih itu," kata Krissy.

"Oh benar!" Katherine bangkit, mereka menghilang sejenak. Sewaktu kembali aku dapat melihat mereka menggunakan gaun putih berlogo KSK yang sama.

"Aku ingin melihat Luke lebih banyak," Krissy pasti sedang membuka sesuatu di lama browsernya. "Kau tahu bahwa banyak penderita kanker bisa sembuh kan, Summer?"

"Aku tahu," kataku, memain-mainkan ujung kausku. "Hanya saja ini begitu ... tidak nyata."

Dan baru saja semalam aku diceramahi ini baru awalnya. Tentu saja segalanya mendadak, kenapa aku lambat sekali. Aku harus cepat mencari cinta sejatiku, artinya aku harus mulai dari punya pacar. Tidak ada waktu untuk berharap sesuatu yang hebat akan terjadi.

"Hai, jangan pikir pertanyaanku aneh, OK? Tapi siapa menurut kalian cowok yang cocok denganku di sekolah? Yang tidak berengsek seperti Dustin."

"Morgan," kata Katherine. "David, Big J."

"Levi," Krissy menyeringai. Aku dan Katherine sama-sama membelalak padanya.

"Kau tahu apa yang dia lakukan pada Summer, kan?" Katherine nyaris memekik.

"Hei, itu kan kecelakaan. Lagi pula aku hanya mengusulkan. Memangnya kenapa kau bertanya, Summer?"

Aku mengangkat bahu, sedang memikirkan Morgan; agak culun, berkacamata, dan penggila sains. Bukan tipeku, aku akan bosan mendengarnya mengoceh terus soal hal-hal ilmiah dan dia akan menganggapku cewek tanpa otak. David; kami sekelas di kelas Algebra II, dia ... kupikir dia gay. Dan Big J, meskipun kedengaran bijak—mengingat apa yang dikatakan Katherine kemarin, tetap saja aku tidak tahu dia.

Dahiku berkerut, apakah Katherine mengusulkan nama-nama cowok itu karena berpikir aku agak culun, lesbian frustrasi yang akan pacaran dengan cowok gay dan penjaga pintu bar yang bijak atau dia hanya punya selera yang buruk dengan cowok?

Aku tidak mau tahu jawabannya.

Dan aku jelas tidak akan mempertimbangkan Levi.

"Entahlah, iseng. Hei, aku harus perg--"

Kejadian ini sangat cepat. Aku baru saja hendak menyelasaikan ucapanku sewaktu suara klakson mobil menggila dan yang kutahu selanjutnya adalah dinding kamarku bolong.

Kini aku berhadap-hadapan dengan supir truk yang memelototiku dari balik kaca. Darah mengalir dari sisi kepalanya.

Aku memekik dan pingsan. []

     



























Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro