Chapter 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kejadian hidup dan mati tak pernah dapat ditebak.

Kukira jika suatu saat aku mengalami itu, aku akan berada dalam pesawat menuju Hawaii. Atau ketika aku pulang dari Honeymoon dengan suami masa depanku (yang kemudian ternyata suamiku adalah semacam pahlawan, menyelamatkan kami semua dari bahaya). Kejadian hidup dan mati di dalam kamarku sendiri jelas tidak pernah terpikirkan.

Aku tidak tahu mengapa ada truk yang lewat di depan rumah kami. Truk besar, jenis untuk mengangkut bahan bangunan. Dan aku tidak perlu diberitahu mengapa truk itu bisa melubangi kamarku (dan sebagian besar ruang tamu), aku sudah tahu mengapa, ini semua karena Winter Blue berada dalam lingkaran kesialan. Dan aku terlibat. Dan ini barangkali belum seberapa.

Ketika duduk di bagian belakang ambulans sambil minum cokelat panas dan diselimuti kain tebal yang hangat, aku memelototi rumahku, berharap ketika aku mengedip lagi di detik berikutnya, semuanya akan kembali seperti semula. Alih-alih, aku masih menatap para petugas pemadam kebakaran sedang melakukan pembersihan, mereka sudah mengeluarkan truk itu dari rumahku, dan supir truknya dibawa ke rumah sakit jiwa karena dugaan kehilangan akal.

Parahnya Mom dan Dad tidak bisa dihubungi.

"Kami akan terus mencoba," kata George. Wajah George keras, seakan dia sudah merasakan terlalu banyak kepahitan hidup dan tidak bisa lagi menunjukkan ekspresi senang atau sedih. Tapi hanya dia yang datang ke rumahku selagi polisi-polisi lain barangkali sibuk dengan tugasnya yang lebih penting dibandingkan membuatku merasa aman.

"Ini sudah dua jam," aku berbisik, menatap ke jalan, berharap menemukan cahaya lampu mobil Dad atau Mom memasuki daerah rumah kami. "Aku juga tidak bisa menghubungi mereka."

"Kau mau kuantar ke rumah sakit tempat saudaramu berada, Nak?" tanya George, berusaha kedengaran ramah. Tapi aku berani sumpah dia hanya ingin ini cepat selesai. Jadi kugelengkan kepalaku, menatap sekali lagi ke arah rumah, sebelum berkata.

"Aku bisa sendiri. Trims, George. Kau pikir apa yang akan mereka lakukan dengan rumahku?"

George berdiri lebih tegak, tangan di tempat senjatanya berada, dia juga memandang ke arah rumah. "Mereka akan menutupnya sementara," lalu setelah jeda dia menambahkan. "Kau yakin tidak ingin kuantarkan?"

Aku mengangguk. "Tentu."

Kulipat kembali selimut hangat yang menyelubungi tubuhku, mengangguk pada George untuk terakhir kali, kemudian berjalan pergi. Tadinya tempat ini ramai, tetangga-tetangga menonton di jalanan, barangkali memotret beberapa foto dan memasukkannya ke instragram dengan caption RIP Keluarga Green. Tapi sekarang sudah sangat sepi, barangkali mereka lelah karena Mom dan Dad tidak kunjung muncul untuk diajak berselfie.

Ketika aku berbelok di ujung jalan, semua lampu di jalan mati, angin berhenti dan aku seperti di tarik ke dalam bayang-bayang; kaki-kakiku terasa berat.

"Spring," aku mendesis, mendadak ingat bahwa seharusnya aku memanggilnya sejak tadi. Suaraku menggema di kegelapan.

"Lihat! Aku bahkan belum pergi terlalu lama dan ini sudah terjadi," Spring tahu-tahu saja sudah berada di sebelahku; kini dalam balutan pakaian normal; celana jin dan kaus. Dan tingginya tidak jauh berbeda dariku. "Menyedihkan, semuanya bergerak terlalu cepat, kita butuh waktu, apakah kau sudah menemukan cinta sejatimu?"

"Rumahku baru saja ditabrak truk, bagaimana mungkin aku punya waktu untuk menemukan cinta sejati?" aku menatapnya. "Aku harus menjenguk Luke--"

"Tidak ada waktu," Spring melambaikan tangan di depan wajahku, seolah sedang mengusir kata-kata yang baru saja kukatakan. "Kita terlambat. Maksudku hampir terlambat, karena aku dengan baik hati mencoba menghentikan waktu," Spring mulai menarikku, berjalan dalam kegelapan.

"Ke mana? Dan di mana Mom dan Dad? Para polisi itu berkata Mom dan Dad--"

"Mereka diamankan."

"Diamankan? Kenapa mereka butuh diamankan?"

Spring memberiku tatapan seakan aku tidak bisa dipercaya. "Nasib buruk telah mengambil sebagian besar dari Luke, kau ingin ayah dan ibumu juga diambil? Lagi pula ibumu terikat sesuatu yang tidak bisa kupahami sekarang—tapi tidak usah khawatir aku dapat mengatasinya.Tugasmu sekarang adalah, hmm, coba kulihat," Spring terdiam. Aku tidak suka kegelapan dan kesunyian di sekitarku. Bahkan aku tidak bisa merasakan apa-apa kecuali gesekan pakaian di kulitku.

Setelah beberapa saat Spring tersenyum. "Apakah kau suka labirin?"

Aku mencoba melepaskan genggamannya di lenganku, tapi tidak bisa. "Taman labirin? Tidak aku tidak suka, tidak terlalu maksudku."

"Bagaimana dengan arena?"

"Arena? Entahlah, barangkali?" aku melihat sekeliling, mencoba mencari sesuatu yang kelihatan bergerak dan hidup, tapi tidak menemukan apa-apa.

"Oke, bagus. Sudah diputuskan," Spring kini menatapku, "Semoga beruntung, Summer."

Aku tahu setelah mendengar kalimat itu keluar dari mulut Spring, aku baru saja dilemparkan ke dalam masalah baru. Wujud Spring perlahan pudar, seperti asap yang terbang tersapu angin. Di sekitarku, udara berderak, berganti citra dari rumah-rumah bergaya sama menjadi pepohonan lebat. Aku seperti menyaksikan sebuah layar raksasa yang mengelilingku bepindah channel dengan paksa. Hanya saja ditambah udara dingin dan kabut yang perlahan muncul.

Tahu-tahu saja aku sudah berada di tengah hutan. Sendirian.

Aku menyumpah, berjalan memutar dan meraba udara, berharap ini hanya lelucon dan aku ternyata ada di sebuah ruangan; pohon-pohon di sekitarku ternyata hanya dinding yang terasa super nyata. Atau semua ini hanya ilusi. Tapi setelah lima menit penuh mencari dinding tipuan dan berusaha keras untuk mencari celah dari ilusi ini, tidak ada apa pun yang dapat membuktikan semua ini hanya kebohongan.

Aku memanggil Spring, entah mengapa dengan berbisik. "Spring!" tidak ada respon. Aku berjalan ke depan, lalu berhenti, kemudian memutar. Semua tempat rasanya sama. Pohon-pohon berdiri rapat, pergi ke mana saja pasti akan menghasilkan satu; aku tersesat di antah berantah. Aku punya keinginan kuat agar tidak pergi dari tempatku sebelumnya, jadi aku diam di tempat.

"Spring! Apa yang kaulakukan! Tidak—tunggu, apa maksudmu mengirimku ke sini!" tidak ada balasan, selain suara hutan; desir daun, serangga, dan kesunyian.

Barangkali ini hanya ujian, aku harus diam di sini selama mungkin lalu aku akan dikembalikan. Semacam uji kesabaran? Jika hal yang seperti itu ada. Tapi semakin malam suasana menjadi semakin mengerikan. Bisa ada apa pun yang terjadi, harimau muncul. Atau serigala. Atau ular. Atau yang lebih buruknya zombie.

Aku duduk, memeluk lututku dan menyumpahi semua yang terjadi dalam hidupku. Mendadak aku ingin menangis lagi, Spring sialan, dasar nasib buruk sialan, kenapa harus aku yang mengalami ini semua? Kenapa bukan Winter saja? Dan kenapa Winter harus berada dalam lingkaran kesialan (tempat apa pun itu)? Seharusnya dia kabur, seharusnya dia bisa kabur dan menyelamatkan dirinya sendiri. Tidak perlu membuat hidupku repot dan menyedihkan hanya dalam tiga hari. Tidak perlu membuat Luke berada dalam keadaan seperti itu, tidak perlu menghancurkan kehidupanku juga.

Sesi meratapi kesedihanku (dan kemalanganku, dan kesialanku) hanya bertahan sampai situ saja, aku mengangkat kepala ketika mendengar suara ranting patah. Aku pernah ikut menonton The Walking Dead bersama Katherine, dan sumpah, suara kemunculan zombie di belakangmu secara mendadak terdengar seperti itu. Aku membuat diriku semakin kecil, jika itu mungkin, dan berusaha tidak bergerak sesenti pun, aku bahkan meminimalisir suara napasku (jika itu mungkin), dan berharap jantungku tidak berdetak terlalu keras. Lalu aku mendengarkan, mencari tanda-tanda apakah akan ada suara ranting patah yang lebih dekat. Dan menunggu.

Aku menunggu sampai lima belas menit sebelum mengangkat kepala, melirik ke sekitar, tapi tidak menemukan apa-apa. Aku menghela napas, baru akan bersyukur ketika sebuah suara terdengar.

"Kau berada di pihak siapa?"

Jika aku tidak sedang duduk memeluk lutut, aku yakin sekali jantungku sudah lompat ke kaki. Aku berbalik dengan sangat cepat sampai rasanya leherku barangkali akan patah hanya dalam gerakan itu saja. Di antara pepohonan, terlingdung bayang-bayang, berdiri sebuah sosok ... anak kecil.

"Kau berada di pihak siapa? Aku belum melihatmu sampai kali ini," bocah itu maju selangkah, membuatku dapat melihat sosoknya lebih jelas. Seorang gadis kecil, berpakaian hitam-hitam, dengan rambut afro menjuntai sampai ke bahu. Dia untungnya kelihatan ramah. Aku memutuskan bahwa dia aman. Setidaknya sampai detik ketika dia memutuskan berubah jadi monster apa saja yang tentu mungkin terjadi dan menyerangku.

"Aku... aku Summer," kataku. "Apakah kau tahu Spring?"

"Spring?" gadis itu kedengaran bingung. "Tidak pernah mendengar, tidak pernah mendengar juga namamu. Kau berasal dari distrik mana? Aku Rhu."

"Distrik? Eh ...," aku bangkit, menatap sekitar. "Aku dari Manhattan," aku kembali menatap Rhu (rasanya nama itu tidak asing), "hutan apa ini? Apakah kau tahu jalan keluarnya?"

Untuk sesaat Rhu terdiam, aku tidak akan kaget jika dia memutuskan bahwa aku ternyata gila. Aku pasti kelihatan kacau, dan aku sedang mengenakan pakaian tidur bergambar angry birds serta sepatu kets. Bukan kombinasi yang bagus.

"Satu-satunya jalan keluar adalah kau memenangkan permainan," Rhu berjalan mendekat. "Kau sungguh tidak tahu? Kupikir semua orang tahu."

Dahiku berkerut sangat dalam aku yakin nanti pasti akan ada bekasnya. "Permainan, maksudmu--" kemudian hal itu menghantamku. Arena. Permainan. Hutan. Rhu (seharusnya aku menyadari sejak awal, namanya benar-benar tidak asing).

Aku terkesiap. Sial. Apakah ini Hunger Games?

"Kau tidak seperti di TV," kataku tiba-tiba, sepertinya otakku tidak bisa digunakan dengan benar saat itu sampai hal pertama yang bisa aku katakan hanya itu. "Kau seharusnya bersama Katniss. Sudah sampai tahap berapa ini?"

Rhu kini memandangiku curiga dan aku tahu aku telah mengatakan hal yang salah. Mengingat betapa mengerikannya Hunger Games, aku hampir tidak punya harapan untuk tetap hidup sampai matahari terbit. Rhu akan membunuhku sebelum aku bertemu Katniss. Jika Katniss adalah Jennifer Lawrence aku harus minta tanda tangannya, mungkin sedikit fot—sial, aku tidak bawa ponsel.

"Jadi kau berada di pihak siapa?" tanya Rhu lagi, kali ini nadanya lebih hati-hati dan aku bisa melihat alisnya bertaut. Barangkali menimbang-nimbang dia harus membunuhku dengan cara apa. Aku diam-diam merutuki Spring, hanya agar aku merasa lebih baik saja (bocoran: tidak ada gunanya, aku tetap merasa buruk).

"Tidak tahu, tidak ada sepertinya," kataku, lebih hati-hati daripada yang kuniatkan. "Aku bisa berada di pihakmu."

Rhu mundur selangkah. "Apa keahlianmu?"

Aku melihat sekitar dengan cepat. Apa yang bisa kulakukan di hutan? Aku pernah berkemah, satu kali, dan tidak pernah berhasil memasang tenda dengan benar. Aku bisa membuat api unggun, hanya jika ada korek api dan kayu. Aku bisa berburu, jika hewan buruannya tidak memiliki kecepatan super. Aku memutuskan menyebutkan itu, minus hal-hal yang tidak perlu.

Rhu mengangguk, dia mendadak menatap langit dan aku tidak tahu harus melihat ke mana jadi aku juga melihat ke arah sana. Ketika aku hendak bertanya apa yang dia lihat, Rhu sudah tidak ada.

Sial. Dia praktis menganggapku tidak berguna dan meninggalkanku.

Aku kembali duduk, yang tidak bertahan lama ketika sebuah tombak mendarat beberapa senti dari jari-jariku. Aku memekik, melompat bangkit, melihat sekilas pada pria botak yang menyeringai ke arahku dari balik semak-semak. Sambil menyumpahi Spring dan mengutuk semua bintang di langit, aku melesat kabur.

Aku berlari seperti sedang dikejar setan, yang pada dasarnya memang benar. Ketika nyaris tergelincir tanah yang licin, sebuah tombak mendarat persis di belakangku dan menggores lenganku. Aku berusaha tidak memekik terlalu keras, berbelok asal-asalan dan terguling ketika tersandung akar pohon. Lenganku lecet-lecet dan kausku pasti robek di beberapa tempat. Jika tidak karena sepatu kets yang kugunakan, kakiku barangkali tidak selamat. Aku sudah dipastikan terlihat seperti gembel ketika berbelok memasuki celah gua dan berhenti, mendengarkan apakah masih ada pria botak bertombak yang mengejarku. Tapi aku tidak mendengarkan apa-apa.

Catatan untuk diri sendiri; jangan percaya pendengaranmu jika kau sedang kehabisan napas dan yang bisa kau dengar hanya suara jantung yang berdetak terlalu cepat. Karena begitu aku hendak duduk dan meringkuk untuk bersembunyi, sebuah suara terdengar.

"Keluarlah, gadis kecil. Aku akan mengakhiri ini dengan cepat, aku janji." Bahkan jika aku cukup bodoh untuk melakukannya, setidaknya aku punya sesuatu untuk melawan.

"Kau tidak perlu mempersulit ini, kau tahu?" katanya lagi, "Kita semua akan mati pada akhirnya."

Cukup memotivasi. Aku tetap diam, mendengarkan langkah kaki pria itu dan desahannya.

"Aku tidak ingin memaksa, jadi aku akan tunggu di sini sampai kau memutuskan untuk keluar, bagaimana? Kau punya waktu cukup lama untuk mempersiapkan diri, kemudian selesai, tidak akan ada rasa sakit." Aku mendengar suara daun-daun kering disingkirkan dan ranting patah, lalu suara seseorang yang sedang mendaratkan bokongnya ke tanah, kemudian desahan panjang, gumamam nada, sesuatu sedang bergesekan dengan logam (barangkali sedang menajamkan ujung tombaknya?).

Untuk waktu yang panjang, aku tidak tahu apakah harus terus merasa takut atau marah atau ingin menangis lagi. Spring seharusnya menyelamatkanku, apa yang dia bilang pada awalnya? Dia adalah penjagaku, bertugas untuk menjagaku selama aku menyelesaikan misi mencari cinta sejati. Seharusnya aku berada di suatu tempat yang lebih masuk akal untuk mendukung itu semua. Bukan terdampar di tengah hutan dan akan segera dicincang oleh pria botak bertombak jika aku keluar. Belum lagi aku jelas nyaris mati, tidak aman, memiliki luka-luka dan berada selangkah menuju histeris.

Mengapa Hunger Games terasa lebih mencekam daripada di TV? Jika tidak salah ingat seharusnya ini masih awal, mengingat Rhu masih hidup. Katniss barangkali terjebak di atas pohon, atau di gua, bersama Peeta yang terluka. Atau di manapun. Tapi aku tidak pernah melihat kisah gadis terdampar yang dikejar pria botak. Pasti terjadi di antara semua hal yang terjadi pada Katniss. Tapi apa memang ini benar Hunger Games yang itu? Maksudku, jika tidak salah ingat Spring menyebut-nyebut soal—tunggu sebentar.

Aku mencoba mengingat semua perkataan Spring sebelum aku sampai di sini. Dia menanyakan apakah aku suka arena (yang kujawab asal-asalan) dan bertanya soal labirin (yang kujawab asal-asalan juga) apakah keduanya berkaitan dan sebenarnya ini hanya semacam ... penyatuan? Percobaan? Apa kata yang tepat? Apakah aku salah menebak film lain dan sebenarnya ini bukan Hunger Games tapi sesuatu yang lain?

Kepalaku sudah pusing memikirkan itu. Aku harus mencari tahu bagaimana cara pergi dari tempat ini tanpa terbunuh sebelum berpikir lebih jauh. Aku mulai melihat sekitar, gua ini kecil, tapi sebenarnya aku tidak mau melihat terlalu lama ke dalam kegelapan di sisi kiriku jadi aku simpulkan saja bahwa tempat ini memang sekecil itu. Melihat ke manapun aku hanya menemukan bebatuan, genangan air, bebatuan lagi. Aku meringkuk semakin kecil, mendengarkan suara dengkur si pria botak mulai mengeras. Aku baru akan memikirkan untuk menyelinap keluar ketika sesuatu merayap keluar dari balik batu tempatku bersembunyi dan napasku tercekat.

Laba-laba! Paling besar yang pernah kulihat. Barangkali lebih besar daripada dua telapak tanganku dijejerkan. Laba-laba itu bergerak amat sangat lambat selagi aku mencoba tidak bernapas dan memelototinya. Aku mengikuti setiap gerakannya, satu gerakan ke kiri, berdiam diri selama beberapa detik, lalu mundur. Aku meneriakkan kata Pergi! Menjauh! Bagus! Ya! Seperti itu! Terus berjalan ke arah sana! Dalam hati, berharap laba-laba itu mengetahui maksud dari tatapan ngeriku padanya dan pergi meninggalkanku sendiri.

Namun alih-alih begitu dia malah bergerak semakin dekat dan pilihanku hanya dua; 1) pergi dan melesat secepat mungkin, 2) diam tidak bergerak dan membiarkan laba-laba itu merayap di sepanjang tubuhku dan menunggu sampai dia pergi. Aku tidak suka pilihan pertama, mengingat aku bisa saja langsung terkapar tak bernyawa begitu aku keluar dari persembunyianku. Tetapi pilihan kedua lebih mengerikan. Aku tidak mau tubuhku diinjak-injak serangga berkaki banyak. Jadi setelah berdoa sebentar aku melesat pergi (secepat yang kubisa) melewati si pria botak yang tersentak bangun ketika aku tak sengaja menendang tombaknya.

Aku mendengar umpatan pria itu saat aku berusaha tidak terjungkal atau terguling. Belum seratus meter napasku sudah terengah-engah. Beberapa meter di hadapanku aku melihat pendar api. Aku tidak tahu apakah harus senang atau semakin takut. Tombak meluncur di atasku dan menancap tepat di hadapanku jika aku tidak berhenti di saat yang tepat, lalu tanpa pikir panjang aku mengambil jalur kiri menjauhi sumber pendaran itu. Untuk kedua kalinya malam itu aku terguling menuju dataran yang lebih rendah, berhenti hanya karena menabrak pohon dan meringis kesakitan. Aku bisa merasakan mataku mulai memanas karena rasa sakit di seluruh tubuhku dan ketakutan.

Barangkali hanya sampai di sini saja. Aku memejamkan mata, menunggu apa pun menghampiriku—si pria botak dengan tombaknya, laba-laba raksasa lain. Alih-alih begitu aku mendengar suara Rhu lagi.

"Kau bisa bangkit? Kita harus pergi."

Aku membuka mata, menatap tangan yang terjulur di atasku, menungguku untuk meraihnya.

"Tidak jauh, aku punya tempat persembunyian. Tapi kita harus cepat," Rhu menatapku lalu ke suatu tempat di belakangnya dengan cepat, jelas khawatir akan sesuatu.

Aku tidak perlu disuruh dua kali, aku meraih tangan Rhu. Lalu bersama-sama kami berjalan (aku dengan terpincang-pincang) menuju tempat yang lebih aman (kuharap). []

























































Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro