Chapter 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semua keamanan yang kuharapkan hanya bertahan sampai matahari terbit. Setelah Rhu memberiku air dan mencoba melihat apakah luka di lengan dan kakiku tampak parah (dan memastikan bahwa aku baik-baik saja), dia meninggalkanku sendiri. Rhu bilang dia harus pergi ke suatu tempat dan aku tidak boleh terlalu berisik.

Aku menggunakan kesempatan itu untuk memanggil Spring. Mendesiskan namanya, mengucapkan nama panjangnya tiga kali lambat-lambat, menuliskan namanya dengan ranting di tanah dan melakukan apa pun yang terlintas di otakku saat itu. Tapi tidak satu pun berhasil. Spring bilang aku bisa memanggilnya kapan pun aku mau, aku tidak menyangka itu akan sesulit ini mengingat dia tidak menjelaskan padaku bagaimana cara untuk memanggilnya.

Setelah setengah jam tidak berhasil memanggil Spring, aku menyaksikan langit perlahan bergradasi dan matahari terbit. Seandainya aku tidak sedang terjebak di tengah hutan dan memegang secangkir teh hangat, aku akan menikmati ini semua. Tapi aku kedinginan dan Rhu belum kembali.

Kekhawatiranku akan sesuatu yang buruk terjadi tepat ketika aku hendak bangkit. Pohon-pohon di sekitarku seperti hendak tumbang, tertiup angin yang kencang sampai aku harus berpegangan karena, meskipun aku tahu rasanya konyol membayangkan aku terbang terbawa angin karena pada kehidupan nyata, hal itu jarang sekali terjadi—bahkan nyaris tidak mungkin kecuali kau berhadapan dengan tornado atau badai yang benar-benar badai, atau angin yang sangat kencang atau bencana alam lain yang belum kurasakan secara langsung dalam hidupku, aku tidak mau mengambil resiko diriku diterbangkan angin di dunia yang sama sekali asing.

Lalu suara raungan terdengar, amat keras sampai tanah bergetar, disusul sorakan ratusan (atau mungkin ribuan) orang. Aku memeluk pohon yang paling dekat, untuk jaga-jaga (lagi) jika tanah memutuskan membelah di bawahku. Sepersekian detik kemudian api menyembur entah dari mana dan jika aku tidak segera tiarap, barangkali kepalaku akan bernasib sama dengan pepohonan di sekitarku.

Aku merasakan tanah berguncang, dan meskipun aku punya dorongan kuat untuk memekik dan meneriakkan nama Rhu agar dia dapat menjelaskan padaku apa yang terjadi, aku tidak melakukannya. Alih-alih begitu aku bangkit untuk mencari tempat yang lebih aman—bertepatan dengan munculnya naga yang terbang meluncur ke arahku.

Aku tidak ingat ada naga di Hunger Games, tentu mereka punya semacam mutan mengerikan yang tak kalah menyeramkan. Tapi tidak ada naga, seharusnya naga hanya ada dalam cerita-cerita fantasi jaman dahulu. Yang lebih abad pertengahan, bukan masa depan.

Naga yang sekarang berdiri tidak jauh dariku mendengus, mata keemasannya mencari-cari. Naga itu berwarna keemasan, dengan sisik-sisik tajam dan cakar yang dapat meremukkan akar-akar pohon tebal begitu dia berjalan. Dan selagi aku mengerahkan seluruh kekuatanku untuk tidak menimbulkan gerakan tiba-tiba atau suara, seseorang muncul dari balik pepohonan gosong, mengacungkan tongkat ke arah si naga. Cahaya muncul dari ujung tongkat, menembak sang naga tepat di dada. Naga itu meraung lagi, aku memilih saat itu untuk bangkit dan lari.

Aku tidak tahu sudah berapa jauh aku lari ketika aku menabrak Rhu. Dia kelihatan tak senang ketika membantuku berdiri, dia menatap ke langit, lalu berbisik tidak jelas. Jika aku tidak salah tangkap dia berkata.

"Sudah waktunya."

"Jika ini benar-benar Hunger Games," kataku sambil terengah. "Bagaimana mungkin ada naga?"

Rhu memandangku aneh. Belakangan aku sering dapat tatapan itu dari Spring, dan rasanya aku dapat melihat Spring di matanya. Memandangiku seakan-akan aku seharusnya sudah tahu hal ini karena semua orang tahu, kecuali aku.

"Sudah waktunya kau pergi, Summer," Rhu memberiku apel, kemudian dia melihat ke suatu tempat, dan sebelum dia menjawab pertanyaanku atau sebelum aku sempat bertanya kembali, dia sudah melesat pergi.

Luar biasa. Aku sendirian, lagi. Aku berbalik, setelah mendengarkan aku tidak mendengar raungan naga di suatu tempat, kemudian menyadari aku sudah berada di tempat yang berbeda. Ini seperti kau tidak sengaja tidur pada jam pelajaran, dan saat bangun orang-orang memasang wajah serius, lalu kertas-kertas soal dibagikan dan kau sama sekali tidak ada ide mengapa itu bisa terjadi. Dinding-dinding menjulang sangat tinggi di kiri kananku. Ditutupi tanaman Ivy tebal yang menjuntai. Mau ke manapun aku melihat, hanya itu yang kutemukan.

Aku mencoba memanggil Spring lagi, kali ini meneriakkan namanya keras-keras, tapi yang kudapat hanya kesunyian ... sampai langkah kaki terdengar dan mendadak saja dari belokan di belakangku, sekelompok remaja berlari sambil membawa senjata.

Aku otomatis memekik. Dan karena tidak tahu apa yang kulakukan, aku berlari menjauhi mereka. Mereka kelihatan berbahaya, berlari begitu cepat seolah ada sesuatu yang mengejar mereka atau mereka sedang mengejarku dan berencana menjadikanku makan malam, ketika aku berbelok dan berlari ke arah berlawanan dari mereka, aku tersadar sesuatu.

Ini labirin. Labirin raksasa. Dan para pelari tadi adalah ... well, pelari. Ini pasti The Maze Runner.

Aku berhenti, setelah memastikan para pelari tadi tidak ada di belakangku, dan bersandar di dinding batu. Aku mencoba mengatur napas. Sudah lama aku tidak berlari sebanyak ini dalam dua hari berturut-turut dan itu sudah membuat kakiku nyaris copot. Begitu menyadari aku masih menggenggam apel yang diberikan Rhu, aku memakannya cepat-cepat, takut jika aku bertemu monster di sini dan harus pergi secepat mungkin.

Spring memutuskan saat itu untuk muncul.

"Aku tidak percaya kau begitu payah," dia kedengaran kesal, ikut bersandar di sebelahku, bahkan ikut meniru posisi berdiriku. "Aku sudah menduga kau payah, tapi tidak sepayah ini. Apakah kalian manusia fana tidak diajarkan bagaimana caranya melawan?"

Aku terlalu terkejut akan kemunculannya yang mendadak sampai aku butuh memproses kalimatnya selama lima detik penuh sebelum merespon. "Aku nyaris mati!" pekikku. "Kembalikan aku, aku tidak akan bertahan satu hari lagi di sini."

"Oh itu memang akan kulakukan," Spring memandangiku dengan pandangan kritis. "Menyedihkan, Summer. Benar-benar menyedihkan. Kau punya puluhan kesempatan untuk memperpanjang waktu agar kau bisa lebih leluasa mencari cinta sejati begitu kita kembali. Tapi yang kaulakukan hanya lari menjauhi semua kesempatan itu, padahal kau bisa membunuh si pria botak itu dan mendapat tiga bulan waktu tambahan, atau membunuh sang naga dan mendapat satu tahun penuh waktu tambahan. Tapi karena kau gagal, sekarang kau hanya punya tambahan satu minggu. Itu akan berlalu sangaaaat cepat, mengingat bahwa kau sangat lambat, jangan diambil hati, kau tahu itu benar," Spring memandangi apel yang baru kugigit sekali dan merebutnya.

Sambil mengunyah dia melanjutkan. "Kau juga melewatkan petualangan luar biasa bersama para pelari, sungguh hal yang sangat merugi, jika kau tanya aku. Maksudku, ada Newt dan Thomas di sana, dan oh! Jangan lupa Minho! Dia favoritku."

Aku memandanginya, mulut menganga. "Kau tidak menjelaskan apa-apa padaku," kataku, mulai kesal dengan sikap Spring. "Kau datang begitu saja melemparkan semua masalah ini di depan wajahku dan berharap aku mengerti? Aku nyaris mati, berkali-kali--"

"Dua kali, cuman dua kali, jangan berlebihan."

"--dan bahkan kau tidak memberitahuku bagaimana aku bisa memanggilmu, aku sudah melakukan berbagai cara dan kau tidak kunjung muncul."

Spring mendesah lelah. "Summer, yang perlu kaulakukan untuk memanggilku hanya menjentikkan jari. Semua orang tahu begitulah caranya."

"Kau selalu menganggap semua orang paham bagaimana cara kerjanya, well, asal kau tahu saja, aku sama sekali tidak tahu. Dan kau menghabiskan apelku," aku menambahkan ketika dia melempar biji apel menjauh.

Spring berbalik menatapku. Mata hijaunya melebar, dan seolah baru menyadari sesuatu dia berkata. "Oh benar, kau manusia fana yang menyedihkan. Maafkan aku, aku sering lupa ada beberapa makhluk yang memang lambat dalam memahami cara kerjanya padahal aku sudah memberikan buku manual khusus pada mereka."

"Buku manual?" aku mengernyit. "Kau tidak memberiku buku manual apa pun."

Spring mengerjap. "Jangan bodoh, aku sudah memberikannya padamu. Ada di bawah bantalmu. Kau periksa saja. Jadi kau ingin kembali atau tidak? Aku bisa meninggalkanmu di sini tapi tidak ada gunanya, kau akan mati dalam dua jam, mungkin aku bisa mengirimmu ke tempat yang lebih manusiawi--"

"Tidak, aku ingin pulang," aku memotong perkataannya. "Aku harus sekolah, aku harus mengecek Luke, dan Mom dan Dad dan rumahku yang bolong. Belum lagi aku harus mencari cinta sejati," kataku sinis. "Kau bilang waktunya hanya satu minggu, aku harus cepat."

Spring tersenyum. "Hebat, otakmu bekerja kali ini. Dan tenang saja, aku sudah membetulkan rumahmu, tidak ada kebolongan di sana," senyum Spring mendadak hilang. "Jika aku merasakan bahwa kau butuh lebih banyak waktu, kau harus siap menerima yang terburuk."

Aku mengangguk. "Tapi harus ada penjelasan terlebih dulu. Aku tidak mau yang seperti ini terulang."

Spring mengedip padaku, lalu kemudian asap menghalangi pandanganku dan membuatku tersedak. Dunia berputar, aku samar-samar melihat bayangan orang-orang di sekelilingku, berlari mengitariku. Sesaat kemudian aku sudah berdiri di halaman rumah.

Spring sudah pergi, aku mengambil napas sejenak, lega sudah kembali, sebelum berlari ke dalam rumah.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro