Chapter 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Kau sungguh tidak ada pakaian lain?" Levi berdiri di depan lemariku, tangan terlipat di dada. Setelah berkata bahwa aku harus ikut dengannya demi kelancaran misiku, hal yang pertama dia lakukan adalah melihat isi lemari dan melemparkan gaun-gaun yang kupunya ke atas ranjang. Sejujurnya aku sudah ingin mencekiknya sejak tadi, tapi mengingat yang selalu merapihkan isi lemariku dan kamar ini adalah Luke, aku seharusnya tidak perlu bersusah payah marah-marah melihat Levi beraksi.

"Yah, aku punya gaun hitam, ada di bagian belakang," kataku, sambil berusaha membaca buku manual pemberian Spring yang tidak berguna.

Levi kedengaran tidak senang sewaktu menemukannya. "Serius, Summer, pakaian seperti ini tidak cocok untukmu. Dan sisanya membosankan, maksudku, terlalu biasa. Jins dan kaus, jins lagi, dan kaus-kaus," Levi menunjuk seluruh pakaianku, kelihatan tersinggung.

"Semua orang pakai itu," aku mencoba membela diri. Aku tahu aku bukan tipe cewek yang punya gaya berpakaian yang mencolok, tapi aku tidak pernah menganggap gaya berpakaianku jelek.

"Tapi kita perlu sesuatu yang membuat orang tidak bisa berhenti menatapmu, sesuatu yang berbeda."

"Aku tidak tahu apa maksudmu, jika ini pesta, biasanya aku pakai ini," aku mencoba memisahkan pakaian yang biasa kupakai ke pesta dan menunjukkannya pada Levi.

Levi mengerang. "Itulah sebabnya kau berpacaran dengan Dustin."

"Levi, kau membuatku tersinggung."

"Oh maaf! Tapi pakaianmu payah, jangan diambil hati, kau tahu itu benar."

"Tidak, aku tidak tahu," kini aku melipat tanganku di depan dada. "Dan bagaimana mungkin pakaian berpengaruh besar dalam misiku?"

Levi menggeleng sedih. "Kau sama sekali tidak tahu," dia memilah-milah lagi, mengambil kaus berpotongan pendek dengan rok jins yang tidak pernah kupakai dan melemparkannya padaku. "Ganti dengan itu, setelah semua ini akan kupastikan kau punya satu set pakaian yang layak."

"Aku tidak mau pakai ini," aku menunjuk ke arah rok. "Ini bahkan tidak sampai setengah pahaku, Krissy memberikannya padaku sebagai lelucon."

"Kau harus berterimakasih pada Krissy nanti," Levi menunjuk ke arah kamar mandi dan berdecak. "Lima menit."

Aku hampir lupa sikap sok perintahnya yang dulu. Levi barangkali tidak terlihat seperti cowok tukang perintah, tapi percayalah, dia begitu. Sambil memutar mata, aku beranjak ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Ketika aku keluar, Levi sedang duduk di ranjangku, melihat koleksi alat make up-ku dengan pandangan mengkritisi.

"Seharusnya kita melakukannya di rumahku."

"Aku tahu kau punya keahlian mendadani dengan sangat hebat," aku mencoba terdengar sinis. "Lagi pula sejak kapan kau perhatian dengan penampilanmu—tidak, yang lebih penting adalah, sejak kapan kau mengoleksi make up?"

Levi mengangkat bahu. "Baru-baru ini, tapi tidak usah dipikirkan, cepat kemari, kita tidak punya waktu banyak."

Jadi aku membiarkan Levi melakukan hal yang dia inginkan dengan wajah dan rambutku dan membawaku pergi. Jika boleh jujur, melakukan ini ketika Luke berada di rumah sakit dan Mom serta Dad sedang menghilang rasanya seperti melakukan kecurangan. Seakan-akan aku berbahagia di atas penderitaan orang lain. Tapi kemudian aku ingat Spring dan wajahnya yang membuatku sebal serta penjelasannya yang tak masuk akal, aku pikir lebih baik menyelesaikan ini secepat mungkin.

Sewaktu Levi memarkirkan mobilnya di depan rumah Theo James, si kapten olahraga idola semua cewek di sekolah, aku menyipitkan mata ke arahnya.

"Pesta Theo?"

Levi tersenyum lebar. "Theo hanya mengundang cowok-cowok dan cewek-cewek keren, berterimakasihlah aku mengajakmu."

"Kebanyakan dari mereka tanpa otak! Kau ingat saat tahun pertama mereka hendak menceburkanmu ke kolam penuh ular?" Aku histeris selama lebih dari dua minggu sejak kejadian itu. Tidak ingat mengapa, toh bukan aku yang hendak diceburkan.

"Ularnya tidak berbisa, Summer," Levi mengingatkan, dia sudah mematikan mesin dan hendak membuka pintu.

"Aku harus bersama Krissy dan Kat untuk menghadapi ini," aku mengeluarkan ponselku, baru saja ingin menghubungi mereka sewaktu Levi merebutnya dariku.

"Tidak. Tidak ada dobel K malam ini. Hanya kau dan aku, dan semua orang di sana."

"Tapi aku tidak akan berfungsi--"

"Kau dan aku, tidak ada yang lain, paham?" Levi bersidekap, wajahnya serius, seadainya dia tidak menyelipkan bunga layu di belakang telinganya dia akan kelihatan sangat mengintimidasi.

Aku memutar mata, tanpa mengatakan apa-apa mengikutinya keluar dari mobil, aku tahu berdebat dengan Levi tidak akan pernah berhasil cepat dan damai. Pasti ada lemparan tinju dan cakaran di sana sini, aku sudah banyak dapat luka (dan jelas tidak mau ada tambahan). Dua langkah menuju rumah Theo James, aku sudah bisa mendengar musik berdentum sangat keras.

Levi mengetuk pintu, tersenyum lebar padaku sewaktu melakukan itu. Aku ragu apakah ada yang akan membukanya, mengingat kebisingan yang terjadi di dalam. Tapi beberapa detik kemudian pintu dibuka oleh cowok paling besar yang pernah kulihat. Seluruh lengannya dipenuhi tato bergambar ... Hello Kitty.

"Apakah kalian berdua terdaftar?" katanya, suaranya hampir tidak terdengar.

Levi merangkul bahuku. "Aku iya, Levi Adams, aku yakin ada di daftar paling atas," dia menunjuk ke arah buku yang dibawa si cowok besar.

Cowok itu mengangguk, matanya beralih ke arahku. "Dan kau?"

Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi Levi menyela. "Dia Summer, dia datang denganku," lalu dengan nada yang lebih pelan dan penuh konspirasi, Levi menambahkan. "Kami baru jadian beberapa detik yang lalu, dan kau tahu kan kalau cewek tidak suka ketika aku meninggalkannya begitu saja? Maksudku, yah, kau bisa lihat aku," Levi menunjuk dirinya sendiri, menaik turunkan alisnya saat melakukan itu.

Aku ingin muntah.

Si cowok besar menyipitkan matanya, aku yakin sekali dia tidak akan termakan omongan Levi, tapi kemudian dia mengangguk. "Masuklah, Theo James berada di kolam air panas."

Begitu kami sudah agak jauh dari si cowok besar, aku berbisik. "Pacarmu?"

"Kau tidak akan bisa masuk kalau aku tidak bilang begitu," Levi terkekeh. Kami berbelok menuju ruangan tempat pesta benar-benar meledak (kau tahu kan maksudku, ruangan utamanya), orang-orang berdansa dan tertawa di segala tempat. Selain tong bir berukuran raksasa yang sedang dihabiskan cewek gemuk dan disoraki hampir oleh semua orang, rasanya hampir tidak jauh beda dengan pesta-pesta—aku membelalak ketika mengingat sesuatu.

"Levi!" aku memekik. "Aku baru ingat Mom tidak mengizinkanku ke pesta selama satu bulan! Ini ada dalam ramalannya!"

"Kau masih meyakini ramalan ibumu?"

"Ya! Maksudku, bagaimana jika hal ini mengacaukan sesuatu?"

Levi memutar mata. "Lupakan soal itu, nah jadi, aku punya beberapa usul," dia menarikku menuju salah satu sofa kosong dan duduk di sana. "Kalau kau ingin mencari cinta sejati, kau bisa bertanya padaku siapa yang kira-kira cocok denganmu."

Aku menyipitkan mata padanya. "Maksudmu kau akan menyarankan orang-orang yang ada di sini?" aku menyisir ruangan dengan ngeri, dari kerumunan, Marveline tertawa terbahak-bahak. "Ew."

"Hei, apa salahnya? Tidak semua orang populer yang ada di sini berengsek, Summer. Contohnya saja, aku," Levi menaik turunkan alisnya sewaktu mengatakan itu.

Dahiku berkerut. "Trims untuk contoh yang sangat membantu."

"Autumn juga pasti ada di suatu tempat di sini—oh! Itu dia!" Levi melambai, menarik perhatian Autumn yang sedang berdansa bersama kerumunan cewek-cewek Asia. Autumn tertawa dan berjalan mendekat menghampiri kami.

"Kupikir aku tidak akan melihatmu datang, Sobat!" dilihat dari bagaimana suaranya kedengaran lebih sumbang, aku yakin sekali Autumn mabuk. "Dan kau bersama Summeeeeer, halo Summmmeeeeerr."

"Hai, Autumn."

"Apakah kau bersama Spring? Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Spring, kau tahu dia sering membantuku," Autumn tertawa, pandangannya menjadi tidak fokus sewaktu dia menyisir ruangan. "Tunggu sebentar, aku pasti meninggalkan Maddy di suatu tempat. Ke mana perginya cewek itu?" kemudian setelah berkata begitu, dia pergi.

"Bukankah Maddy adalah cewek bajingan yang merebut pacarmu?" tanyaku pada Levi, "Bukankah seharusnya sebagai temanmu, Autumn menghindari cewek itu juga?"

Levi mengangkat bahu, mendadak begitu tertarik dengan gelas karton berisi minuman buah yang dia ambil dari meja di sebelahnya. Aku cukup pandai berspekulasi (kebanyakan sih hanya keberuntungan saja) dan sejujurnya sewaktu berkata, "Jangan bilang Autumn itu mantan pacarmu?" aku tidak benar-benar serius.

Hasilnya adalah aku terlonjak kaget melihat Levi mengangguk.

"Pada dasarnya sebenarnya kami tidak benar-benar pacaran, maksudku, Autumn tidak suka cowok. Mari katakan itu hanya delusiku agar aku bahagia."

Selama beberapa detik, aku tidak mengatakan apa-apa. 

"Levi," kataku sambil berbisik. "Apakah kau gay?"

Levi memutar mata sambil menoyor kepalaku menjauh. "Kau ketinggalan zaman, dan aku bukan gay, aku bi. Kupikir semua orang tahu."

Aku mengerjap. "Maksudmu, kau seperti suka cowok dan suka cewek juga?"

Levi mengangguk. "Seperti itu," katanya setuju.

"Waw. Kau benar-benar rakus." Aku mendapatkan tinju di lengan gara-gara itu.

Ketika Levi hendak beranjak pergi, aku buru-buru berkata (sambil tersenyum jahil). "Jadi kau diam-diam menyukai Autumn."

"Astaga Summer! Jangan katakan itu keras-keras. Sekarang berhenti bicara soal aku, kita harus mencari cowok. Dan kita mulai dari kolam air panas."

"Bilang saja kau ingin lihat cewek berbikini dan para cowok bertelanjang dada," aku tidak tahu mengapa aku menggodanya. Tapi rasanya menyenangkan melihat Levi melirik panik, takut-takut ada Autumn yang tidak sengaja mendengarkan. Lagi pula dia kelihatan imut sewaktu pipinya merona.

Aku memutuskan malam ini tidak akan seburuk yang kupikirkan.

[*]

Tentu saja aku salah.

Sebenarnya itu dimulai ketika aku bertubrukan dengan Dustin. Levi sedang mengambilkan minum, jadi aku ditinggalkan begitu saja di pinggir kolam air panas bersama cowok pertama yang Levi sarankan untukku (namanya Jonas) dan kami membicarakan cuaca (aku tahu, aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu). Percakapan kami terderngar seperti ini,

Aku: Malam yang cerah, ya?

Jonas (sedang mengetik sesuatu di ponselnya sebelum mengangkat kepala dan tersenyum padaku (sebenarnya dia cukup tampan, seadainya gigi depannya bukan gigi emas)): Oh ya! Sangat. Sangat cerah, tidak akan ada badai sampai minggu depan.

Aku: Bagaimana kau tahu?

Jonas (mengangkat bahu): Kau tahu tokoh cewek di film Mean Girl? Aku membicarakan yang pertama, tunggu sebentar, kupikir aku ingat, namanya ... Karen? Ah ya! Karen.

Aku (mencoba terlihat antusias): Tentu saja aku tahu dia.

Jonas: Jadi aku sedikit seperti dia, kau tahu, Karen dapat meramal cuaca hanya dengan merasakan sesuatu pada dadanya. Aku hanya sedikit berbeda, aku bisa merasakan kapan ada badai jika bolaku terasa dingin, seperti tertiup angin.

Butuh satu detik sampai aku paham betul maksudnya. Aku tertawa canggung.

Aku: Keren sekali, Jonas! (Aku bohong).

Jonas (mengangguk bangga): Aku tahu.

Percakapan kami terhenti sampai situ saja, dan karena aku ingin pergi ke toilet (benar, aku ingin menghindar, siapa pula yang dapat merasakan kapan terjadinya badai dengan merasakan rasa dingin di alat kelaminnya?), maka aku berbalik. Saat itulah aku menubruk Dustin. Sialnya dia sedang membawa minuman ketika itu, jadi pakaianku (Dustin juga) yang susah payah Levi carikan untukku, ternoda.

Seakan itu belum cukup memalukan, Marveline berderap menghampiri kami. "Oh astaga, Babe! Kau tidak apa-apa? Apakah kau terluka?" Marveline melirikku, tatapannya berubah jadi tatapan setan siap membunuh. "Summer! Bisakah kau tidak cari perhatian? Dustin jelas tidak akan menginginkanmu!"

Dalam sekejap kami sudah jadi pusat perhatian (aku menduga Marveline sengaja memekik terlalu keras untuk mempermalukanku). Wajahku pasti merah padam dan aku kelihatan menyedihkan.

"Aku tidak cari perhatian," kataku lemah, "Semuanya tidak sengaja--"

"Oh Tuhan, mengerikan sekali! Summer, dengar, kau tidak punya harapan. Jadi menjaulah dari Dustin!"

"Bukan salahku Dustin menubrukku, seharusnya dia tidak menghalangi jalan--"

Marveline menyela lagi. "Summer, diam. Akui saja kau cari perhatian."

Aku menatap Marveline tak percaya, lalu mengalihkan tatapanku pada Dustin. Tapi dia sedang sibuk menyumpahi pakaiannya yang ternoda dan terlihat jelas tidak mau repot-repot menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak percaya Dustin melakukan itu (mengabaikanku), dulu dia bersikap sangat manis.

"Ayo, katakan kalau kau hanya cari perhatian, duh Summer, kau sungguh menyedihkan. Seharusnya kau bersyukur dulu Dustin mau memacarimu."

Aku membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu saat Levi mendekat dengan wajah bingung.
"Baby, apa yang terjadi?" dia bertanya padaku, wajahnya kelihatan khawatir. Aku tidak tahu bahwa Levi bisa benar-benar meyakinkan dalam urusan berbohong (atau mungkin berakting). "Oh, kau kotor, siapa yang melakukan ini?" jika gerakan menoleh dapat dibilang anggun, itulah yang dilakukan Levi, menoleh ke arah Marveline dan Dustin dengan anggun. Levi berpura-pura terkejut ketika melihat mereka.

"Oh hai, maaf aku tidak melihat kalian, kalian tidak keberatan kan kalau aku membawa Summer pergi?" Marveline masih kelihatan syok dan tidak percaya saat kami menjauh darinya.

Aku menutup wajahku dan mengerang. "Tadi itu sial sekali!"

Levi tertawa terbahak-bahak. "Kau harus lihat wajah Marveline!"

Satu-satunya cara agar Levi berhenti tertawa adalah dengan meninju lengannya, keras-keras. Aku berhasil, dalam sekejap dia mengaduh. "Tapi bagaimana dengan Jonas? Kau suka dia? Dia cukup keren."

Aku mengerang lagi, kali ini sambil menjatuhkan diriku ke kursi pantai terdekat dan berbaring di sana. "Tolong jangan dia, aku baru saja keluar dari percakapan paling aneh dan kejadian paling menyedihkan. Bisakah kau menyarankan cowok yang lebih normal?"

"Hmm, biar kupikirkan," Levi menyerahkan minuman padaku, dan memberiku tisu.

Aku ingin bilang bahwa setelah itu aku bertemu cowok luar biasa yang benar-benar ingin kujadikan cinta sejati. Tapi rasanya malamku semakin buruk sewaktu melihat Theo James sedang merangkul Spring. Parahnya mereka hendak menghampiri kami.  []



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro