🐈‍⬛10. Perhatian Narottama🐈‍⬛

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Angga spontan membungkuk untuk mengambil kain tenun dan bergegas menutupi auratnya. Dia kemudian mendongak dengan mata membeliak begitu mendengar Sekar memanggil namanya dengan panggilan 'Mas Angga'.

"Baginda Putri, ada apa?" Gemuruh kaki Cempluk yang menapak seolah mengguncang bumi. 

Dalam jarak dua langkah, Sekar yang masih menutup wajah dan hendak berbalik, ditahan langkahnya oleh Angga. Lelaki itu menarik kencang pergelangan tangan  kanan Sekar, hingga tubuh kecil itu berputar dan mendarat di dada bidangnya. Sedangkan tangan kiri Angga masih mencengkeram ujung kain tenun agar tidak melorot. 

"Sekar, kamu ceroboh sekali! Gimana kalau mereka dengar dan tahu kita bukan Airlangga dan Sekar Galuh yang asli?" Mata Angga melotot. Bola matanya bergulir ke kanan melihat apakah ada yang melihat atau mendengar mereka. Suaranya berdesis tepat di samping telinga gadis itu.

Seketika wajah Sekar memucat. Ia melipat bibir saat menyadari apa yang ia lakukan.

Rupanya tak hanya Cempluk yang curiga dengan pekikan Sekar, Narottama dan dua patih yang lain pun bersigap menuju ke balik batu besar.

Pendengaran Angga kini menangkap derap tergesa yang semakin mendekat. Dengan lengan kekarnya, lelaki dewasa yang terkurung di tubuh remaja enam belas tahun itu menarik Sekar ke arahnya. Angga mendorong pelan tubuh gadis yang sudah berhimpit dengan dada polosnya sehingga punggung Sekar bersandar ke batu besar yang lembab terkena embun. Kepala Sekar mendarat di dada bidang Angga. Pipi gadis itu memerah karena baru sekali ia seintim ini dengan seorang lelaki. 

Beberapa saat kemudian, Angga membungkuk. Wajah keduanya kini hanya berjarak satu jengkal. Sekar bahkan bisa merasakan embusan napas Angga di wajahnya, karena posisi kepala lelaki itu semakin mendekat. Tenggorokan Sekar tersekat saat netranya disuguhi versi detail paras Angga yang baru ia akui saat itu ternyata cukup rupawan, dengan mata yang dalam dan hidung mancung.

“Mas, kamu ngapain?” Sekar ingin menarik kepala, tapi batu di belakangnya menghalangi gerak. 

Angga melepas genggaman tangannya di lengan Sekar. Tubuh yang berhimpitan sudah membuat pergerakan Sekar terkunci. Mata Angga memindai setiap inchi wajah yang menggetarkan hatinya saat ia berusia SMP. Debaran itu kembali datang. Detak jantungnya bekerja semakin cepat, seiring jarak kepala mereka yang terkikis. Jakun Angga bergerak naik turun. 

Lelaki itu mengelus sudut rahang Sekar. Sentuhan lembut itu menimbulkan rambatan sengatan listrik di sepanjang tulang belakang seolah melumpuhkan raga gadis itu. Sekar tak bisa berkutik dikungkung oleh badan kekar Angga. 

Suara derap langkah dan perintah Narottama untuk berpencar terdengar dari balik batu. Dada Sekar dan Angga kini kembang kempis, dengan peluh yang merembes di dahi. Bukan karena kekhawatiran karena kemungkinan kedok mereka terbongkar, tapi karena tubuh dua insan itu saling menempel.

Saat langkah terdengar mendekat, Angga semakin memperpendek jarak dan bibirnya berakhir di permukaan bibir Sekar. Mata Sekar membeliak. Ia mencengkeram lengan kekar lelaki itu. Batinnya merutuk, kenapa bibir itu singgah di bibirnya. Bahkan Sekar bisa merasakan lumatan kecil di bibirnya yang justru semakin melemahkan raganya karena embusan napas Angga yang semanis cinnamon itu membiusnya.

“Baginda Pu—” Cempluk menghentikan langkahnya. Matanya mengerjap mendapati dua manusia saling menempel, dengan Angga yang ternyata meloloskan kain tenunnya karena tangan kirinya kini menangkup gundukan di badan Sekar yang masih ranum. 

“Ampuni, Hamba!” Pipi Cempluk yang bulat bersemu merah. Dia berbalik menjauh dan justru berdiri di balik batu menjaga agar tidak ada orang yang datang ke situ. 

Sementara itu, mendapati suasana tenang, Angga melepas pagutan bibirnya. Ciuman itu mampu membuat darahnya mengalir deras ke pangkal paha. Ia membungkuk, mengambil kain tenunnya yang sengaja ia lepas agar tidak ada orang yang berani masuk ke area itu. 

Namun, saat ia berdiri, sambil membebat separuh tubuh bawahnya dengan kain, ia melihat wajah Sekar yang sudah berderai air mata. Kedua tangannya membekap mulutnya sendiri, sementara kepalanya menggeleng berulang.

“Sekar?”

“Kenapa? Itu ciuman pertama yang aku jaga! Kenapa Ma—”

Angga menekan tangan Sekar yang menutup mulut kemudian mendekatkan kepala ke daun telinga gadis itu.

“Kamu harus biasakan memanggil ‘Kanda’ agar kita nggak ketahuan. Bersikaplah seperti seorang putri dan istri dari Pangeran Bali, Sekar. Sekuat tenaga kamu membenciku, takdir kita di sini adalah suami istri!”

Sesudah berkata demikan, Angga berbalik menuju ke tepian sungai. Hawa panas akibat gejolak hasrat remaja yang tersentil itu perlu diredam dengan dingin air sungai. Begitu ia di bibir sungai, ia melepas begitu saja kainnya dan menceburkan diri ke sungai.

Sekar melirik sengit ke arah sungai yang bergelombang saat Angga terjun. Gadis itu tak percaya telah melihat raga seorang lelaki tanpa sehelai benang pun. Ia terduduk begitu saja di tanah, sambil menyesali apa yang terjadi. Dalam hati ia mengutuk perbuatan lelaki tengil itu yang telah mengambil ciuman pertamanya.

***
Begitu Angga keluar dari air sungai dan berlalu dari area itu, Sekar segera membenamkan diri di sungai yang beriak tenang itu untuk meredam rasa jengkel. 

Melihat Angga yang keluar dengan rambut yang masih meneteskan air, Cempluk segera memanggil dayang untuk membantu mengenakan pakaian pada lelaki itu. Sebuah kain tenun Bali berwarna merah emas dipadukan dengan atasan berwarna senada dengan kancing emas. Tak lupa ikat kepala khas Bali menghiasi kepala lelaki itu.

Setelah memastikan keperluan pangeran Bali itu terlayani oleh dua dayang yang lain, Cempluk menyusul Sekar yang masih mandi. Emban itu tak berhenti tersenyum saat duduk di pinggir sungai sambil menanti tuan putrinya. Selesai Sekar mandi, Cempluk membantu mengenakan kain di tubuh berkulit kuningnya.

Melihat Cempluk yang mengulum senyum, Sekar mengernyit. “Kenapa, Mbok?”

“Sepertinya kita harus mendapatkan tempat persembunyian yang bisa dipakai Pangeran dan Baginda Putri membuat keturunan Wangsa Isyana.”

Otak Sekar kemudian teringat pada kejadian beberapa waktu yang lalu. Wajah Sekar kini sudah seperti kepiting rebus. Selain marah karena dilecehkan, ia juga malu Cempluk memergoki mereka.

“Mbok, ini bicara apa?”

“Pangeran sepertinya sudah tidak bersabar sekali.” Cempluk mengembuskan napas keras. Ia menggelengkan kepala, memberi tatapan keprihatinan. “Kasihan sekali nasib Pangeran dan Putri. Seharusnya malam tadi kalian berkeringat dan terengah karena pergumulan, bukannya lari menghindari musuh.”

Wajah Sekar sontak kusut. Ia menjadi gusar kenapa embannya terus membahas masalah aneh itu. Kejadian pagi itu berhasil membuat mood Sekar sangat buruk, sehingga ia hanya memanyunkan bibirnya saja sepanjang makan pagi seadanya dengan ikan bakar.

Sekar sengaja duduk berjauhan dengan Angga. Ia tidak ingin terjebak dengan kelicikan Angga yang mempergunakan kedok pernikahan itu untuk melecehkannya. Gadis itu memutar otaknya untuk bisa segera kembali ke masa depan, sebelum ia harus dipaksa melaksanakan kewajiban sebagai istri seorang Pangeran. Sekar tahu pasti, keruntuhan Medang membuat dua pewaris itu berkewajiban untuk melestarikan keturunan keluarga kerajaan.

“Putri, makanlah ini!” Narottama mengambil alih pincuk di pangkuan Sekar yang berisi ikan yang masih utuh. Lelaki itu mengganti dengan pincukan yang berisi daging ikan yang sudah disuwir. Bahkan Sekar tak melihat ada satu duri yang masih menempel di dagingnya.

Sekar mengerjap. Senyuman manis Narottama saat memberikan daging ikan suwir menggetarkan hatinya.

“Terima kasih, Mpu.” Sekar membalas senyuman Narottama. 

Saat ia akan melahap ikan itu, Sekar melirik ke arah Angga yang tampak lahap memakan ikan dengan menggenggam batang kayu yang digunakan untuk menusuk badan ikan. Lelaki yang katanya suaminya itu malah terlihat tak peduli dan menikmati sendiri makanan bersama dayang-dayangnya.

Sekar mendengkus. Bagaimana bisa ia berpikir Angga adalah suaminya. Gadis itu menggeleng menyingkirkan pikiran aneh yang menyusup di kepala. 

“Baginda, sebaiknya ikannya segera dimakan. Atau Baginda ingin makanan yang lainnya?” tanya Narottama melihat Sekar yang hanya termangu saja.

Sekar terkesiap. Ia menoleh ke arah Narottama. Lelaki bertubuh kekar yang sakti mandraguna itu memiliki sisi kelembutan yang membuat batin Sekar menghangat.

“Tidak perlu, Mpu. Kita harus prihatin bukan?” jawab Sekar sambil memasukkan sejumput daging ke mulutnya.

“Pasti sangat berat menikah karena dijodohkan ya?” tanya Narottama kemudian.

“Iya. Apalagi jodohnya pangeran pengecut seperti Kanda Airlangga.” Sekar sengaja mengeraskan suaranya hingga yang disebut menoleh masih dengan mulut yang penuh makanan.

“Kamu memanggilku, Adinda Sekar Galuh?” Kedua alis Airlangga naik ke atas. 

Sekar berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah prihatin. “Mpu Narottama, kurasa kamu harus mendidiknya dengan sangat keras agar ia bisa raja besar. Jangan sampai ayahanda kecewa karena perjodohan ini justru tidak bermanfaat.”

Narottama terkekeh. “Baginda Putri tidak perlu khawatir. Selama kita di pelarian, Paduka Pangeran tetap dalam pengajaran hamba. Hamba tidak boleh mengabaikan titah Paduka Raja Udayana untuk mendidik Pangeran Airlangga. Hamba yakin, akan tiba saatnya kita bisa menggempur kembali pasukan Wurawari dan membangun kerajaan Medang yang lebur.”

“Kamu terlalu meremehkanku, Adinda! Begini-begini aku akan menjadi raja besar. Bukan begitu, Pengawalku yang setia, Mpu Narottama?” Mata Airlangga membalas tatapan sengit Sekar.

“Beruntung sekali, Mpu ada di samping Kanda. Mempunyai seorang guru yang tak hanya pintar ilmu strategi tapi juga sakti dan tampan pasti semua perempuan ingin bersanding denganmu. Ah, seandainya aku bukan Sekar Galuh, pasti aku rela mengikuti ke mana saja, Mpu Narottama.”

Seketika terdengar bunyi derak batang kayu yang digenggam Angga patah menjadi dua bagian. Wajah Angga memerah dengan rahang yang mengerat. Tatapan tajamnya tertuju pada sosok Sekar yang tampak bermanja pada Narotyama di sebelahnya.

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro