🐈‍⬛9. Angga=Airlangga🐈‍⬛

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekar menyipit tak senang sambil meringis menahan perih di pantatnya. Masih duduk di tanah, dia memiringkan badannya dan mengelus pinggang. Gadis itu yakin, Airlangga sengaja melakukannya.

"Kanda jahat!" pekik Sekar dengan suara melengking keras.

Remaja lelaki itu mendengkus dengan senyum jail yang tergambar di wajah. Ia menanggapi gerutuan Sekar dengan mengorek telinganya dengan jari kelingking seolah suara gadis itu membuat kotor telinganya.

"Kanda pengecut! Beraninya sama perempuan! Tahu ada perang begitu malah lari duluan! Bukan menyelamatkan istrinya!" Wajah Sekar memerah dengan oktaf yang semakin tinggi. Urat lehernya sampai menonjol saking rutukannya ingin didengar oleh lelaki itu.

Mata Airlangga membelalak. Alisnya terangkat. "Shit! Jan***!" umpat lelaki itu begitu mendengar kata yang meluncur dari bibir Sekar.

Mulut Sekar menganga lebar mendengar reaksi Airlangga.

Shit? Jan***?

Tidak ada kosa kata itu di era kerajaan Medang! Inggris belum menjajah, dan Belanda pun belum datang. Kenapa Airlangga begitu 'gaul'?

Tiba-tiba mata Sekar membeliak. Ia menyadari sesuatu. "Ma-mas ... Angga?" ucapnya terbata.

Yang dipanggil menoleh. Lelaki itu sama melototnya dengan yang memanggil. Keduanya bersirobok.

"Se-Se ... Kar Galuh?" Angga menggeleng. Nama keduanya sama. Sekar Galuh masa depan dan masa lalu. "Anaknya Om Dharmawangsa?"

Angga menepuk dahinya bahkan nama orangtua mereka pun sama. Apa Sekar ini titisan keluarga Medang? Pikir Angga.

Seketika mata Sekar memerah. Untuk pertama kali, ia senang sekali mendapati Angga ada di dekatnya. Ia buru-buru berdiri, lalu menghambur memeluk lelaki itu.

Angga terhuyung, saat tubuh mungil Sekar mendekap dan mengalungkan lengan kecilnya di pinggangnya. Lelaki itu menarik lengan ke samping atas. Ia kebingungan mendapati reaksi Sekar.

Otak Angga berpikir, kalau benar gadis yang memeluknya ini adalah Sekar Galuh masa depan, kenapa tiba-tiba sejinak merpati? Mana ada Sekar ini dekat bahkan berhimpitan tubuh seperti ini.

Namun, mendapati tubuh kecil dengan dada berisi itu menempel, sontak hormon remaja yang ada di tubuhnya meronta. Jantungnya berdetak kencang membuat dadanya naik turun.

Angga mendekatkan hidung ke ketiaknya, karena teringat ia tidak memakai deodorant. Ia takut Sekar pingsan mendapati bau badannya. Adik Angga selalu kesal saat ia bermain gulat-gulatan dan mengunci badannya karena katanya bau badannya seperti bangkai tikus.

Lelaki itu bernapas lega. Karena bukan aroma asam yang ia cium, melainkan wangi rempah dan bunga. Mungkin efek mandi lulur sedari pagi tadi untuk persiapan pernikahannya, sehingga tubuhnya menguarkan wangi.

"Kamu bener Sekar? Anak Om Dharma dan Tante Laksmi yang tinggal di Jalan Kutilang No. 7 Solo. Sekolahnya dari TK-SMA di Bintang Timoer dan waktu SMA ditolak Naru pas nembak?"

Sekar yang memejamkan mata karena sempat terbius oleh wanginya tubuh Angga yang tak biasa itu membuka mata. Ia menarik tubuhnya.

"Argh! Perlu yang terakhir disebut?" Bibir Sekar maju ke depan lima senti. Ia menyedekapkan lengan di depan dada. "Nyebelin!"

Angga membekap mulut Sekar dan mendorongnya hingga punggung gadis itu bersandar pada sebuah batang pohon. Mata Angga mendelik. Dengan tubuh membungkuk ia menyetarakan pandangan dengan gadis berusia empat belas tahun itu.

"Jangan keras-keras! Kita akan ketahuan bukan Airlangga dan Sekar yang asli!" Airlangga melongok ke kanan dan kiri, untuk memastikan tak ada seorang pun mendengar pembicaraan yang terdengar aneh di masa itu.

Sekar mengurai bekapan Angga. Ia menatap nyalang lelaki di hadapannya sambil menepis kasar tangan itu. "Mas udah ketahuan itu! Bayangin kalau aku bukan Sekar Masa Depan tapi beneran Putri Medang trus denger Mas ngumpat nggak jelas kayak tadi."

"Khilaf! Habis kamu bilang pengecut sih! Itu kata yang nggak boleh disebut! Aku nggak suka dibilang pengecut." Angga menyugar rambut gondrongnya setengkuk. Penampilannya terlihat lain dengan Angga yang selalu berpenampilan rapi dan berambut pendek.

Sekar berdecak. "Kenapa kita bisa di sini, Mas?"

"Kalau kamu tanya aku? Aku tanya siapa? Ya mana aku tahu!"

Sekar mencibir. Ia mengikuti Angga yang berjalan untuk duduk di sebuah batu di tepi sungai. Malam yang pekat membuat Sekar tak bisa dengan jelas memindai sekelilingnya. Yang ia tahu suara gemericik itu menandakan mereka ada di tepi sungai.

Tiba-tiba suara kekehan terdengar. Tawa renyah itu khas gelak Satria Erlangga.

"Kenapa?" Kerutan tergambar di wajah Sekar. Suara itu terdengar menyebalkan.

"Aku ngerasa lucu aja! Kamu tuh mati-matian nolak aku! Eh, sekarang tiba-tiba kamu nggak bisa berkutik mengikuti prosesi pernikahan dan berakhir jadi istriku!" Tawa Angga menguar sambil menepuk-nepuk paha. Ia terpingkal-pingkal membayangkan wajah garang Sekar saat menolaknya.

Sekar mendengkus. Sudut bibir kiri atasnya terangkat. "Aku nggak mau mengubah sejarah aja! Apa yang terjadi di masa depan kalau Sekar Galuh nggak jadi sama Airlangga. Dewi Kili Suci dan Samara Wijaya pasti nggak bakal terlahir! Kahuripan nggak akan dipecah menjadi Panjalu dan Jenggala. Atau mungkin Kahuripan tak akan terbentuk. Bukankah di balik lelaki 'besar' ada wanita kuat yang mendukungnya?"

Tawa Angga semakin keras. "Ah, ngomongi soal anak yang akan terlahir, aku jadi inget! Sekarang ini malam pertama kita dong!" Alis Angga naik turun menatap Sekar.

Sontak Sekar tersadar akan ucapan Angga. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menggeram laksana anjing kelaparan.. "Jangan harap bisa menyentuhku! Hah!" Sekar bangkit. Gerakannya memutar badan membuat rambutnya berkibar mengenai wajah Angga.

Lelaki itu memejamkan mata menghirup aroma wangi rempah yang begitu memabukkan. Feromon feminin Sekar saat itu menguar menyentil hormon pubernya. Sepertinya ritual pre wedding yang mereka lalui sengaja membuat aura pengantin menguar dan jamu-jamuan yang diminumnya itu berkaitan dengan ritual malam pertama untuk menggenapi pernikahan mereka.

Angga mengembuskan napas panjang. Ia tersenyum miring, melihat Sekar yang mencak mencak. Namun, dalam hati Angga merasa tenang, karena bukan hanya dia yang terjebak di masa lalu.

Sekar, kalau di masa lalu aku bisa memilikimu, aku rela berada di sini!

***

Sekar mulai merasa mengantuk. Melihat wajah lelah Sekar, Cempluk mencarikan tempat yang nyaman untuk berbaring. Emban itu akhirnya memilih tempat di balik batu agar Sekar bisa beristirahat sembari menunggu dayang yang lain datang. Dengan berbantal paha Cempluk yang empuk, Sekar berbaring dan langsung terlelap begitu saja.

Sementara itu Angga menemui Narottama. Ia mengeluh dalam hati, kenapa wajah Narotama ini mirip Naru. Rasanya, hanya melihatnya saja Angga ingin menonjok. Tapi, bagaimana bisa menonjok, kalau lelaki dewasa di depannya itu sangat sakti? Bisa-bisa dia tidak akan kembali ke masa depan karena dilumpuhkan seperti kutu.

"Mpu, bagaimana rencana kita selanjutnya?" tanya Angga yang melihat Narottama duduk bersila dengan mata terpejam.

Narottama membuka mata perlahan. Ia mendongak dan melirik ke arah Angga. "Kita akan menuju ke arah barat. Kita akan bersembunyi di balik gunung itu. Hamba rasa pasukan Wurawari tidak akan mengejar sejauh itu."

"Mereka akan mengejar kita?" Angga membelalak. Dia tidak hafal sejarah. Barat yang dimaksud oleh Narottama pun dia tak paham.

"Sudah pasti. Karena Baginda Pangeran Airlangga dan Putri Sekar adalah penerus takhta Kerajaan Medang. Medang akan hancur bila tidak ada penerusnya," ucap Narottama datar.

Angga yang awalnya berdiri, kini duduk di tanah dingin di depan Narottama. Dia melipat kakinya dan menumpukan lengan di sikunya. Matanya mengamati Narottama yang terlihat tenang. "Pas sekali mereka menyerang pas pernikahan."

"Sudah tentu. Karena saat pesta pernikahan, orang-orang larut dalam kegembiraan dan mengendorkan kewaspadaan. Sriwijaya telah mengatur strategi itu, karena Wurawari adalah sekutu kerajaan itu."

Angga mengerucutkan bibir sambil mengingat-ingat pelajaran yang pernah didapat di bangku sekolah.

***

Rombongan dayang yang membawa beberapa barang keperluan pangeran dan putri akhirnya datang. Mereka membawa beberapa baju ganti dan makanan. Sekarang ada delapan orang yang ada di bantaran sungai tersebut. Sekar, Angga, Narotama, Cempluk, dua dayang dan dua patih.

Langit gelap mulai tergusur saat semburat cahaya tersorot dari ufuk timur. Narottama yang berjaga semalaman dengan bertapa kini mendatangi Angga yang terlelap di bawah pohon.

"Baginda Pangeran, bangun. Hari sudah pagi." Narottama menggoncang badan Angga.

Perlahan Angga membuka matanya. Ia memicing sejenak saat cahaya matahari yang hangat menyapanya. "Kita sudah akan berangkat?" tanya Angga sambil menguap. Ia menarik lengannya ke atas untuk meregangkan otot yang kaku.

"Kita akan melanjutkan perjalanan sebelum musuh bisa mengejar. Setelah ini kita akan masuk hutan."

Angga menghela napas panjang. "Dayangku sudah membawa baju ganti? Aku tidak nyaman dengan pakaian ini."

"Sudah, Baginda. Baginda bisa membasuh badan dulu di sungai, sementara para dayang menyiapkan sarapan."

Angga pun akhirnya bangkit. Sepertinya usul untuk mandi itu adalah ide yang bagus. Ia mencari tempat yang tersembunyi dan melepas bajunya yang sangat tidak nyaman dikenakan karena sudah kotor dengan keringat. Tubuh polos Angga terkuak, begitu semua kain yang membalut badan ia lepas begitu saja.

Angga menyempatkan diri meregangkan badannya untuk pemanasan. Sepertinya sungai itu cukup dalam. Kira-kira sedalam dada orang dewasa. Aliran air yang jernih dan tenang, memancing Angga untuk berenang. Namun, saat ia melakukan gerakan senam pemanasan, pekikan terdengar sangat keras.

Sekar membeliak saat matanya disuguhi pemandangan yang tidak boleh ia lihat. Wajahnya memerah dan spontan menutup dengan kedua telapak tangannya.

"Mas Angga, gendeng!"

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro