🐈‍⬛21. Sang Penyelamat🐈‍⬛

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekar melongo, menatap jurang yang ada di depannya. Di bawah ada sungai yang beraliran tenang. Di tebing-tebingnya tumbuh tumbuhan paku yang daunnya lembab.

Sekar bergidik. Ia mundur selangkah hingga merontokkan kerikil-kerikil di ujung tebing. Rona di wajahnya menguap. Gadis itu menggelengkan kepala, menatap Angga dengan ngeri.

"Nggak! Gila apa? Itu namanya bunuh diri! Gimana kalau kita justru mati? Bukannya kembali ke masa depan tapi justru kita terjebak di keabadian!" sergah Sekar.

"Hanya ini caranya!" balas Angga tak kalah ngotot. "Coba kamu ingat, dulu kita tersedot black hole sewaktu tercebur sungai Kali Mas kan?"

"Iya! Tapi ... tapi nggak kaya gini juga kali, Mas." Mata Sekar kini berkaca-kaca. Ia berpikir sepertinya Angga sudah depresi saking putus asanya tidak memperoleh jalan keluar.

"Coba saja. Bukankah kamu ingin bertemu papamu? Siapa tahu ... siapa tahu kita bisa pulang." Angga menatap sendu pada Sekar.

Sekar bergeming. Matanya sudah melelehkan bulir bening.

Angga menatap Sekar lalu meraih pergelangan tangannya.

"Kar, percaya sama aku. Ehm?" ujar Angga menatap sendu pada Sekar.

Sekar hanya membisu. Bagaimana bisa percaya pada lelaki di depannya ini? Namun, Sekar juga merasa tidak ada jalan lagi. Mereka tersesat ke masa lalu tanpa melalui sebuah mesin seperti di film. Mereka tak tahu jalan pulang.

Sekar akhirnya mengangguk. Ia mengikuti saja arahan Angga. Merasakan tarikan di tangannya, gadis itu mengikuti arahan Angga. Toh, bagi Sekar sama saja. Berada di masa lalu sama artinya dengan berada dunia lain.

Jantung Sekar berdetak kencang. Peluh tipisnya merembes. Mungkin ini kali terakhir Sekar bisa merasakan tanda vitalnya. Jantung yang berdetak memompa darah, udara yang memenuhi paru-paru, serta embusan bayu yang menyapu wajah dan mempermainkan anak rambut.

***

Sementara itu Angga tak kalah tegangnya. Ia seperti dokter yang menghadapi kasus berat dan tidak tahu berapa persen keberhasilannya. Ia juga bagai seorang pasien kritis yang sedang meniti jembatan di mana batas hidup dan mati sama tipisnya dengan sehelai rambut.

Rahang Angga merapat ketat. Ia mempererat genggaman tangan yang dingin dan basah oleh keringat ketegangan di pergelangan tangan Sekar. Namun, Angga masih sempat memindai wajah Sekar yang terlihat manis diterpa cahaya matahari siang itu. Paras itu selalu bisa mendetakkan jantungnya beberapa kali lebih cepat bila bersama.

"Sekar," panggil Angga dengan suara parau.

Gadis itu menoleh dengan senyuman manis. "Maaf, bila aku membuat kamu sial."

Jakun Angga naik turun. Kini dadanya berdegup kencang hingga terasa sesak. Ia menghela napas untuk meraup udara masuk saluran napasnya.

"Sekar, kita akan berjumpa di masa depan." Angga meraih tangan kanan Sekar yang bebas sehingga mereka saling berhadapan. "Bila ternyata kita nggak berhasil dan kemungkinan akan mati, ketahuilah kalau aku ... kalau aku ...."

Tenggorokan Angga tercekik. Ia membasahi bibir dengan lidahnya untuk meloloskan kata-kata. "Ehm, Sekar ... aku ... aku ... sebenarnya sayang kamu."

Sesudah berkata demikian Angga mengecup bibir Sekar yang menganga. Lalu lelaki itu menarik lengan Sekar yang otaknya masih mencerna perkataan Angga untuk terjun ke jurang.

Detik berikutnya dua insan itu melayang di udara. Mata Angga menatap Sekar seolah tak menyesal dengan keputusannya. Rambut mereka berkibar tertiup angin ketika tubuh mereka terhempas tertarik oleh gravitasi bumi. Angga memejamkan mata menanti keajaiban terjadi.

.

.

.

Namun, sesaat kemudian sesuatu membebat tubuh Angga, menariknya melawan gravitasi sehingga ia terangkat kembali ke tepi tebing. Dalam hitungan detik Angga terkesiap.

"Arrgghhh!" Seruan Angga menguar saat tubuhnya terbanting, terseret dan berguling-guling di tanah penuh kerikil.

Angga merintih. Rasa nyeri menjalar di tubuh begitu ia terhempas ke tanah. Ia menggelepar di atas tanah. Sementara itu netranya disuguhi pemandangan Narottama yang membopong Sekar yang tak sadarkan diri.

***

Mata Narottama membeliak saat ia tiba di tepi jurang bertepatan dengan raga kedua remaja yang terjun bebas. Dengan secepat kilat ia menyusul dan ikut terjun. Tentu saja lelaki itu mampu melawan gravitasi seperti burung di udara.

Lelaki dewasa berjubah putih itu mengejar tubuh Angga dan Sekar. Ia tidak bisa menjangkau keduanya. Ia menangkap tubuh Sekar di pinggangnya sementara ia melempar kain yang melilit pinggang untuk menangkap tubuh Angga.

Baru kali ini jantung Narottama serasa ingin lepas dari rongga dadanya. Namun sekarang ia bisa bernapas lega saat bisa menyusul dua junjungannya. Selisih beberapa waktu saja, ia yakin tubuh keduanya akan remuk dan siap menjadi santapan serigala kelaparan.

Kini Narottama memeluk Sekar di pinggangnya. Wajah ayu itu tampak pudar ronanya dalam keadaan tak sadarkan diri. Sementara itu, kain yang melilit pinggang itu memanjang, mengejar tubuh Angga yang ditarik bumi. Kain itu membelit raga lelaki yang dianggap calon raja itu. Begitu tubuh Angga terbebat kain, dengan gerakan tangannya, ia menarik raga itu kembali ke atas hingga badan sang pangeran itu terhempas jatuh di tanah.

Narottama dan Sekar masih melayang di tengah udara. Embusan bayu mempermainkan rambut keduanya. Narottama menyeka peluh tipis di dahi sang gadis, lalu membawanya naik dengan perlahan seolah tak ingin membangunkan sang putri.

Narottama mengubah posisi badan Sekar yang terkulai lemas. Ia membopong tubuh gadis itu hingga mendarat di tanah di tepi jurang. Saat tubuh Sekar bersandar di lengannya, Narottama bisa merasakan betapa dingin tubuh sang gadis. Rona wajahnya menghilang menyisakan raut pucat layaknya mayat.

Rahang Narottama mengeras. Ia melirik Angga yang merintih kesakitan. Bisa-bisanya sang pangeran terjun dari jurang? Untung saja firasat Narottama begitu tajam saat merasa ada yang aneh dengan pangeran dan putrinya.

Perlahan ia turunkan Sekar dan menyandarkan tubuh lemah itu di batang pohon. Melihat wajah Sekar pucat dan dingin, Narottama mendaratkan bibirnya di bibir Sekar. Ia mengembuskan udara hangat untuk mengembalikan panas tubuh gadis itu. Tak hanya itu, Narottama juga mengisap udara yang keluar dari bibir Sekar.

Mata Sekar terbuka perlahan. Napasnya tersengal dengan dada naik turun. Begitu matanya terbuka lebar, ia terkesiap ketika menghirup aroma napas seorang lelaki yang ia kagumi. Tak hanya itu, penglihatannya disuguhi mata dalam yang memandangnya dengan intens kala bibir mereka bersatu.

"Na ... Naro?" Sekar segera mendorong tubuh kekar itu. Ia menggigit bibir bawah dan menutup dengan tangannya. Pipinya kini merona. Itu adalah ciuman pertamanya.

Ciuman pertama? Seketika kepala Sekar terasa pening. Dia menekan kedua pelipis karena kepalanya berdenyut saat mengingat sesuatu.

"Maafkan hamba, Baginda. Hamba hanya berusaha menyelamatkan Baginda." Narottama menunduk takzim. Ia berlutut dengan satu kaki.

"Tapi, kenapa kamu menciumku?" Sekar terlihat bingung.

"Hamba tidak tahu apa yang terjadi. Hanya saja hamba melihat Pangeran dan Putri jatuh dari tebing ini. Mungkin saking takutnya, kesadaran Baginda Putri menguap begitu saja. Apa yang hamba lakukan semata-mata ingin menyelamatkan Baginda Putri."

"Jatuh?" Alis Sekar mengernyit. Dia memandang berkeliling kebingungan. Ia tidak ingat apapun. Mana mungkin ia melompat terjun dari tebing.

"Kanda?" seru Sekar saat melihat Angga menggelepar di tanah seperti ikan yang salah alamat. Namun, tubuhnya terlalu lemah untuk menghampiri Angga. "Ke-kenapa Kanda, Naro?"

"Pangeran kesakitan karena terlalu keras mendarat di tanah. Hamba terlalu cemas saat melihat Baginda Putri tak sadarkan diri," terang Narottama. "Sungguh, hamba tidak ingin hal buruk terjadi pada calon ratu Medang dan satu-satunya gadis yang bertakhta di hati hamba."

Sekar menelan ludah kasar. Jantungnya seketika berdebar kencang. "Ja-jangan begitu. A-aku adalah istri dari pangeranmu."

"Hamba tahu. Hanya saja setelah kejadian ini, hamba sendiri yang akan melindungi Baginda Putri karena Pangeran justru hendak mencelakai Putri!" kata Narottama seraya menyibakkan anak rambut Sekar.

***

Sekar duduk termenung di dalam senthong. Perlakuan Narottama sejak siang tadi begitu manis. Tak henti-hentinya Sekar tersenyum dengan dada berdetak bila mengingat perhatian Narottama. Terlebih saat mengingat ciuman Narottama.

Saat hati Sekar berbunga, masuklah Angga ke dalam bilik peristirahatan mereka. Lelaki itu wajahnya kusut dengan lebam dan lecet di badannya. Mereka bersirobok, tapi tidak saling bercakap.

Alis Sekar mengernyit, mengikuti gerakan Angga yang berjalan lunglai hingga berbaring di sisinya.

Kepala Sekar meneleng. Ia merasakan ada peristiwa penting yang ia lupakan. Ia melirik Angga yang berbaring membelakangi. Lebam melingkar akibat bebatan kencang kain Narottama membekas di punggung.

Mengetahui diamnya Angga, Sekar mulai membuka suara. "Mas, kita tadi kenapa bisa jatuh ya?"

Tidak ada jawaban dari Angga. Namun, Sekar yakin Angga masih berjaga. "Mas, jawab!"

Sekar menarik Angga dan matanya membeliak saat melihat mata Angga memerah dan berkaca-kaca.

💕Dee_ane💕












Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro