🐈‍⬛22. Debaran Sekar🐈‍⬛

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Deers! Dee datang lagi menyuguhkan kisah Sekar dan Angga. Semoga kalian terhibur. Jangan lupa banyak-banyak komen dan votenya yak. Stay safe😘

💕💕💕

"Mas Angga kenapa?" tanya Sekar. Kali ini ia mendekatkan wajah ke arah Angga yang dengan sigap menutup mata dengan lengannya.

Melihat bulu halus di pangkal lengan Angga, Sekar urung mendekat. Ia menutup bulu ketiak Angga yang tak terlalu lebat dengan selimut.

"Ish, tolong ketiak dikondisikan. Di sini nggak ada deodorant!" Sekar mengibaskan kedua tangan sambil mengerutkan hidung. Melihat Angga yang berwajah kusut, gadis itu  hanya ingin menghibur. Namun, bukannya senang, Angga malah semakin cemberut.

"Apaan sih? Nggak suruh kamu bauin juga!" Angga berbalik memunggungi Sekar lagi.

Sekar mencibir. Ia bahkan mengepalkan tangannya seolah ingin memukul lelaki itu.

"Kar, kamu nggak inget kejadian tadi siang?" tanya Angga.

Sekar kini ikut berbaring terlentang di bawah selimut. Ia mengernyitkan alisnya sambil menarik kain sampai ke dadanya. 

"Yang kita jatuh?" 

"Bukan. Sebelum itu," sahut Angga yang menambah guratan di dahi Sekar.

"Ehm, emang kenapa sebelum itu?" Sekar menoleh. Ia hanya mendapati kepala belakang Angga dengan rambut panjang yang menjuntai.

"Sudahlah. Tidur saja."

Sekar mengerucutkan bibir, sambil merutuki Angga. "Bicara kok nggak jelas! Kalau nggak mau cerita nggak usah cerita. Nyebelin!" Lantas Sekar mengubah posisi membelakangi Angga dengan mulut mencap mencep.

Sedang Angga ia menengok ke belakang, mendapati Sekar yang memunggunginya. Dia kecewa usahanya untuk pulang gagal. Apakah mereka harus menerima nasib mereka dan menjalani pernikahan yang bertepuk sebelah tangan? Dalam hati ia berbicara dengan dirinya sendiri untuk mencari cara agar mereka bisa hidup bahagia dan mengulang sejarah yang sama yang pernah ditorehkan dalam buku sejarah.

Selain itu, Angga juga lebih kecewa karena pernyataan dan kecupannya, tak dianggap Sekar.

Apakah Sekar benar-benar lupa atau hanya pura-pura? Angga hanya bisa mengembuskan napas keras.

***

Keesokan harinya, Angga sudah bangun lebih dulu. Sekar keheranan karena biasanya Angga selalu bangun beberapa jam setelah ayam berkokok. Gadis itu menegakkan badan sambil memandang berkeliling. Kepalanya meneleng saat mendengar suasana yang cukup riuh di luar gubuk.

Dari suara yang tertangkap pendengaran, Sekar bisa memperkirakan pasti Tomblok sudah membelah kayu. Di pawon pun sudah ada aktivitas salah satu dayang sudah memasak bersama Cempluk.

Sekar meregangkan tubuh sambil menguap untuk menghilangkan kantuk. Ia segera bangkit dari pembaringan sederhana lalu keluar dari senthong. Suasana ruang di tengah bilik sudah terang karena adanya cahaya yang menyusup dari pintu dan celah-celah kayu, tetapi  Angga tak ada di situ.

Sekar memutuskan kuar untuk menghirup udara segar. Saat ia berada di ambang pintu, ia melihat dayang yang baru saja pulang dari mencuci baju. Sedang Gendhon merawat kebun dari benih yang ia ambil saat kembali ke Kota Watan. Namun, yanh membuat mata Sekar membeliak lebar adalah saat ia melihat tubuh Angga berputar dan bergerak cepat di tengah padang yang tak jauh dari gubuk mereka.

Kantuk Sekar seketika lenyap. Sekar memicing untuk meneliti setiap gerakan Angga melatih raga. Ya, benar! Lelaki itu adalah lelaki tengil yang ikut terdampar ke masa lalu bersamanya. Namun, gadis itu menangkap aura yang berbeda. Terlebih saat tubuh kekar yang berkeringat itu tampak mengkilat diterpa matahari. Rambut panjang yang terurai itu berkibar dipermainkan angin saat Angga menendang, meninju, dan memutar tubuh di udara.

Mata Sekar mengerjap. Ia terpukau dengan gerakan Angga yang seperti seorang pendekar Kaypang dengan tongkat pemukul anjingnya. Gerakan cepat menangkis serangan Narottama yang melatihnya bahkan mampu ditahan oleh lelaki itu.

"Daebak! Sejak kapan Mas Angga bisa sekeren itu?" gumam Sekar.

Sekar memukul mulutnya sendiri karena mengatakan kalimat aneh. Bagaimana bisa ia terpesona dengan Angga? Bila Angga tahu pasti lelaki tengil itu akan besar kepala. Sekar mendengkus sambil meludah. 

Nggak! Nggak bakal aku suka! Blaih, blaih, blaih.

Namun, karena terpesona dengan gerakan Angga saat itu, fokus Sekar tak bisa teralihkan ke yang lain. Ia bahkan kini duduk di balai-balai dan acap kali mengeluarkan decakan dari bibirnya

Sayangnya, kegiatannya tidak bisa berlanjut karena Cempluk sudah menyuruhnya untuk bergegas mandi.

***
Angga terengah. Tenaganya habis karena mengelak dari serangan Narottama yang bertubi. Pagi ini, ia sengaja bangun lebih pagi untuk mengetes seberapa kuat tubuh Airlangga yang dihuni oleh jiwa kaum muda milenial.

Saat Angga tak sengaja melihat Sekar yang duduk di balai-balai depan gubuk, seketika fokusnya terdistraksi. Karena sedetik, kehilangan konsentrasi, pukulan Narottama sudah mengenai hampir ulu hatinya.

"Kalau Pangeran tidak konsentrasi, dengan mudah musuh akan membunuh Pangeran!" Buku-buku jari Narottama kini menempel di ulu hati Angga yang dadanya kembang kempis. 

Remaja 16 tahun itu terengah dengan mulut terbuka lebar seperti ikan yang nyasar ke darat. Seluruh tubuhnya bermandi peluh dengan rambut yang berantakan. Angga menyeka wajah yang berkeringat dengan lengan yang sama basahnya. 

Mata Angga memicing, memperhatikan setiap detail raut Narottama. Sungguh, lelaki itu seperti bukan manusia, pikir Angga. Bagaimana bisa Narottama tidak berkeringat setelah satu jam berduel? Napasnya pun stabil seperti orang yang hanya habis berjalan. Berkebalikan dengan napas Angga yang mirip orang yang habis lari pontang panting karena dikejar anjing.

"Silakan Baginda Pangeran beristirahat. Setelah badan kering barulah mandi."

Angga mendengkus. Rupanya mitos mandi saat berkeringat itu sudah ada sejak zaman nenek moyang. Padahal setelah ini, Angga justru akan menceburkan diri ke sungai untuk menghilangkan keringat yang bisa membuat Sekar jatuh pingsan.

Tak memedulikan nasihat Narottama, Angga berlari menuju sungai lalu menceburkan badannya di air jernih. Ia berenang menyelam dengan mata terbuka, berharap ia menemukan black hole yang menghisapnya ke masa lalu.

Begitu kepala Angga menyembul dari permukaan air, kepalanya bergerak ke kanan kiri untuk, mengibaskan rambut basahnya. Namun, mendengar pekikan Sekar, Angga segera mengusap wajahnya kasar.

"Mas Angga kok mandi sekarang? Kan tahu aku sedang mandi!" Sekar menutupi dadanya dan berbalik memunggungi Angga. 

Angga mengerjap menatap penampakan belakang Sekar yang tak tertutup sehelai benang pun. Air sungai yang bening dengan efek pembiasan justru membuat pantat sintal Sekar terlihat jelas. Jakun Angga naik turun. Darah mudanya bergejolak memompa darah ke seluruh tubuh tak terkecuali ke arah pangkal paha sehingga bagian tubuhnya ada yang perlahan menggeliat. 

"Ya sudah kalau kamu mau keluar, keluar aja! Aku mau mandi! Lagian mana boleh kamu memerintah calon raja!" seru Angga menekankan dominasinya.

Sekar menggeram. Ia menyesal sudah sempat terpesona pada lelaki tengil, egois, dan aneh seperti Angga.

"Siapa duluan, dia yang dapat!" Sekar tak mau kalah.

Angga tergelak kencang. "Aturan dari mana? Yang ada aturan Airlangga lah yang berlaku. Peraturan nomor 1, lidah Angga adalah titah. Peraturan nomor 2, bila belum ada aturannya, kembali ke aturan pertama."

"Mana ada!" Rasanya Sekar ingin berbalik dan melawan Angga. Tapi mengingat keadaannya yang tak berbusana membuat Sekar hanya bisa mengutuki lelaki itu.

"Lagian siapa suruh amnesia!" celetuk Angga dengan wajah cemberut. Ia masih kesal dengan Sekar yang lupa dengan kejadian beberapa menit sebelum mereka meloncat. 

"Amnesia? Maksudnya?" Nada Sekar tai kalah meninggi. Angga kini malah mirip seperti seorang perempuan PMS. Tapi, Sekar juga heran, apakaha ada yang ia lupakan?

Wajah Sekar tiba-tiba memerah. Ia teringat ciumannya dengan Narottama. Tapi mengapa ia membayangkan berciuman dengan Angga. Tatapan Sekar nanar, sambil tangannya mengusap bibir yang sedikit terbuka.

Detik berikutnya  Sekar menggelengkan kepala berulang. Ia menepuk pelipisnya seolah ingin mengeluarkan pikiran aneh itu dari kepala. Mata Sekar melirik ke kiri, kala mendengar kecipak air sebagai tanda Angga menjauh. 

Mengetahui Angga mencari tempat lain untuk mandi, Sekar pun memilih segera keluar dari sungai.

***

Ketika Sekar hendak kembali ke gubuk, ia melihat kucing hitam yang mengeong. Gadis itu tersenyum saat teringat kucing itu yang menerobos masuk ke bilik peristirahatannya sehingga Angga urung melancarkan niatnya menyempurnakan pernikahan mereka.

Sekar berjongkok dan memanggil kucing kecil itu. "Pus … pus."

Kucing itu mengeong menjawab sapaan Sekar sambil berlari ke arah sang gadis. Bulu hitam hewan itu mengkilat seolah baru saja di-grooming. Begitu mendekat, Sekar mengelus bulu yang lembut itu.

"Baginda Putri menyukai kucing?" Sekar mendongak saat Narottama tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Sangat suka. Tapi kenapa di sini ada kucing? Apa kucing hutan?" tanya Sekar yang masih mengelus kucing itu.

Narottama tak menjawab karena kucing itu sudah berlari dari hadapan Sekar dan sekarang hewan lucu itu sudah meminta perhatian  sang begawan. 

Sekar berdiri sambil menepuk tangan untuk menghilangkan bulu halus dari telapak tangannya. Melihat Narottama menggendong kucing hitam sambil mengelusnya, Sekar pun membandingkan dengan Angga yang membenci hewan berbulu itu.

"Lucu sekali kucingnya." Sekar mendekat ikut mengelus leher kucing itu. 

Kucing itu mendongak. Pandangan dari mata bulat yang bersinar itu bersirobok dengan mata Sekar. Seketika Sekar melihat sesuatu di mata kucing itu yang membuat kepalanya serasa berputar.

💕Dee_ane💕

Oh, ya, Dee bakal launching cerita buat event The Writer's Show di Gramedia Writing Project. Genrenya kek Gendhis dengan nuansa kehidupan mahasiswa Kedokteran yang kental. Buat kamu yang merasa muda, atau yang masih muda, silakan mampir. 

Kalian nanti bisa dukung aku dengan membaca ceritanya di website gwp.id. Buat yang udah baca Melody Sang Bayu, masih inget sama Yoel kan? Nah, ini spin offnya si Melody.
Aku tunggu jejak kalian sana di sana!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro