Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aire menghela napasnya. Sudah banyak menit yang berlalu sementara Adjani yang tergolek lemah dalam dekapannya tidak juga membuka mata. Pada awalnya mereka tidak ada yang menyangka bahwa kondisi gadis itu benar-benar gawat hingga suara keratan di atas atap kereta mengagetkan mereka semua. Suara keratan yang ternyata berasal dari milik hewan mungil sebangsa musang berwarna putih itu akhirnya membuat Aire meminta sais menghentikan kereta dan mereka berempat dengan penuh rasa ingin tahu bergegas keluar dan melihat apa yang sedang terjadi.

Adjani terbaring tidak sadarkan diri dengan darah menggenang disekujur tubuhnya.

Lala bahkan langsung panik dan mendekati Adjani sambil bercucuran air mata.

"Kenapa kamu tidak memberitahu kalau dia terluka seperti ini?" Serunya sambi menyibak tudung yang menutupi kepala Adjani. Ia langsung terkesiap saat menyadari luka menganga yang memanjang dari pipi bagian kanan hingga ke bahunya.

"Ambil kain bersih, atau selimut, atau pakaian bersih, lukanya harus dibersihkan." Dengan cepat ia membuka mantel dan pakaian Adjani yang penuh darah. Lagi-lagi napasnya tercekat, tubuh gadis itu terlalu kurus dan dipenuhi luka yang bahkan belum mengering.

"Biar aku bantu." Seru Aire sambil mengulurkan tangannya, mengalirkan energi penyembuhan yang ia kuasai agar Adjani setidaknya pulih atau siuman, yang mana saja berguna untuk menyadarkan kembali gadis itu.

Namun Adjani tetap diam dan masih memejamkan mata, sementara ferret putih yang berada di sampingnya bergerak-gerak panik.

"Dari mana hewan ini berasal?" Tanya Melody sambil mengangsurkan sehelai kain bersih. Aire dengan cepat menggeleng.

"Tidak tahu. Tadi ia hanya sendirian." Balasnya.

Lala kembali memandangi Adjani yang masih tidak sadarkan diri, tubuhnya panas tinggi.

"Kenapa dia bisa terluka seperti ini?" Tanyanya bingung. Aire langsung menjawab.

"Dia bilang diserang macan."

Lala membelalakkan matanya.

"Ya Tuhan, Adjani. Kamu sampai seperti ini." Pandangan Lala lalu kembali tertuju kepada Aire.

"Berusahalah lebih keras lagi." Katanya dengan nada sedikit memerintah, Aire mengangguk dan tidak merasa tersinggung sama sekali.

Setelah beberapa detik, tetap tidak ada yang terjadi, keduanya saling menatap kebingungan.

Djani"

"Djani, bangunlah." Aire memanggil, sementara Lala menepuk pelan pipi Adjani.

"Ash, aku rasa dia pingsan karena kehilangan banyak darah. Apa kamu benar sudah mengobatinya?"

"Aku yakin begitu, Lala. Tapi anehnya, kekuatanku seperti tidak berpengaruh padanya. Lihat, luka itu bahkan tidak menutup sama sekali." Aire membalas. Suaranya terdengar ragu-ragu. Sudah dua kali dia gagal malam ini dan rasanya benar-benar tidak menyenangkan. Ia tidak menyukainya.

"Sudah kubilang tadi, tinggalkan saja dia. Kamu memang ingin cari masalah, Ash. Dia benar-benar menjijikkan. Jika mau berbuat baik, carilah orang yang lebih layak, bukan dia. Kamu itu calon Raja." Suara Dean yang sedikit mengejek membuat Aire menoleh kepadanya. Tidak menyangka Dean yang menjadi sahabat selama bertahun-tahun mengucapkan hal tersebut kepadanya.

"Diamlah Dean. Kamu kenapa, sih? Dari tadi sikapmu seperti ini? Seperti bukan dirimu yang sebenarnya."

Dean mengedikkan bahunya. Ia berbalik saat Melody kembali dan membawa satu wadah berisi air.

"Tidak panas. Hanya ini yang bisa aku temukan." Katanya. Aire mengangguk, lalu memanggil Dean.

"Dean, kami butuh bantuan."

Dean menggeleng.

"Nyalakan api." Katanya seolah tidak peduli permintaan sahabatnya itu.

Kali ini Lala yang membalas.

"Tidak akan sempat. Kamu ini bagaimana, sih? Adjani butuh pertolongan."

Dean tampak tidak terpengaruh, maka satu-satunya harapan adalah Melody yang merayunya. Begitu Lala memberi kode, wanita cantik itu langsung mendekati Dean.

"Dean, tolonglah. Kamu yang paling bisa diandalkan." Bujuknya dengan genit.

Dean kemudian menghentikan langkah dan berbalik menuju wadah yang diletakkan Melody di dekat kaki Aire yang masih menatap sahabatnya dengan perasaan bingung.

Dalam dua detik, air dalam wadah tersebut mulai mengeluarkan uap begitu tangan Dean menyentuhnya. Setelah itu ia memandangi ketiga rekan seperjalanannya.

"Sudah aku bantu. Sekarang aku mau tidur lagi. Kalian juga segera bergegas, kita tidak punya banyak waktu. Penyihir di Suaka tidak akan menunggu, begitu juga adikku, Alamanda."

Melody menghela napasnya, begitu juga Lala.

"Keras kepala dan mau menang sendiri. Alamanda bisa menunggu, sudah bertahun-tahun dia hilang." Gerutunya sambil mengambil sehelai kain, mencelupnya dalam air hangat dan mulai membersihkan luka Adjani.

"Menurutmu orang seperti apa yang tega menyiksa dia hingga seperti ini?" Tanya Aire tanpa melepaskan tubuh Adjani meski Lala dan melodi mulai membersihkan tubuh gadis itu tanpa ada rasa jijik sama sekali.

"Hanya orang gila yang bisa melakukannya." Jawab Melody saat ia menyeka kaki Adjani yang juga terluka dengan sangat hati-hati.

Saat tangan Lala menarik tali yang mengikat mantel Adjani, rembesan darah yang tadi hanya terlihat gelap menjadi lebih jelas, terutama saat mantel tersebut lepas dan memisahkan atasan Adjani yang berwarna terang.

"Semuanya darah. Bajunya harus diganti sekalian." Ia menoleh pada Melody yang langsung mengangguk.

"Aku bantu." Kata Aire dengan polos, membuat kedua wanita itu menoleh kepadanya.

"Yang benar saja, Ash. Adjani perempuan, kecuali dia istrimu baru boleh kamu melihat tubuhnya."

Aire terkekeh, tepat saat ia mendengar cicit dari ferret milik Adjani yang sedari tadi diam di samping gadis itu.

"Aku menunggu di samping kereta jika kalian butuh bantuan." Katanya dengan perlahan meletakkan Adjani yang belum juga sadarkan diri ke lantai kereta yang beralaskan jerami kering.

Saat Aire sudah menjauh, Melody dan Lala langsung bergerak dengan cepat.

"Kalau aku jadi dia, aku pasti sudah mati." Gumam Melody menahan air matanya yang jatuh.

"Menurutmu, kenapa dengan matanya?" Lanjutnya lagi sambil menoleh pada Lala. Sahabatnya itu mengedikkan bahu.

"Aku tidak tahu. Bisa jadi terluka, atau bahkan buta. Mereka tidak punya perasaan menyiksanya hingga seperti ini."

Saat kancing baju terakhir Adjani terbuka dan mereka siap melepaskan pakaian gadis itu keduanya nyaris memekik, hingga membuat Aire yang tadinya masih berada di samping kereta, dengan cepat menghampiri mereka.

"Ada apa?" Tanyanya panik.

Lala yang menjawab dengan air mata bercucuran.

"Mereka yang menyiksanya tidak punya hati nurani sama sekali." Isaknya.

Mata Aire tanpa diperintah langsung tertuju pada bagian punggung Adjani yang terbuka. Seperti Lala dan Melody, kali ini ia tidak mampu menahan rasa terkejutnya. Bagian belakang gadis itu hancur lebur terkena cambukan. Lukanya begitu parah hingga bagian daging menganga begitu banyak. Begitu banyak dan sangat menyeramkan hingga membuat siapapun yang melihatnya akan bergidik ngeri.

Ia menyumpah karena tidak mampu membantu Adjani. Satu-satunya keanehan yang tidak bisa dipahami olehnya. Aire adalah penyembuh paling hebat di negeri ini. Sebagai seorang calon raja, dirinya malah memiliki kemampuan di atas semua orang yang mampu mengendalikan dan menguasai berbagai elemen kehidupan. Jika kebanyakan orang hanya bisa menguasai satu kemampuan, seperti Dean yang bisa mengendalikan api dan panas, maka Aire menguasai lima kemampuan sekaligus.

Walau untuk pertama kalinya, kekuatan menyembuhkan tidak berguna sama sekali untuk menyelamatkan Adjani.

"Darahnya bahkan belum mengering. Kita harus bagaimana?" Ujar Melody, masih terisak sambil memegangi kain yang kini sudah mulai berubah merah karena darah Adjani.

"Kita bawa ke tabib terdekat." Seru Lala, sambil meraih pakaian bersih yang sudah disiapkan Melody sebelumnya.

"Bersihkan dulu lukanya pelan-pelan. Setelah itu kita harus cepat mencari tabib." Lanjutnya.

Saat Lala dan Aire mengangguk, untuk pertama kalinya, mereka dikejutkan oleh tindakan ferret yang berdiri dengan dua kakinya lalu memandangi mereka semua.

Suaranya lah yang membuat mereka bertiga memandanginya dengan takjub.

"Tidak perlu. Dia hanya pingsan, tapi akan baik-baik saja. Terima kasih sudah memperhatikan Adjani."

"Ash, ini ulahmu?" Lala mulai ketakutan.

Aire menggeleng.

"Bukan. Aku baru pertama kali lihat yang seperti ini."

Terdengar suara halus seperti gumam tawa dan ketiganya yakin, suara itu milik si ferret, bukan yang lain.

"Jangan takut. Aku Shield, ferret pelindung Adjani. Terima kasih sudah mau membantunya."

Aire yang berada dekat Shield tersenyum dengan ramah.

"Hai, Shield. Senang berkenalan denganmu. Sepertinya akan ada banyak hal yang mesti diceritakan, bukan?" Katanya.

Shield mengangguk.

"Tentu, asal kalian membantunya."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro