Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika hari menjelang pagi dan kereta yang akan membawa mereka menuju Suaka telah berhenti untuk beberapa waktu, Adjani pada akhirnya membuka mata. Melody lah yang pertama kali menyadari hingga saat melihat pergerakan dari gadis malang itu, dengan cepat ia memanggil Aire dan Lala agar segera mendekat. Aire yang lebih dulu berlari tidak berhenti mengucap syukur saat melihat Adjani menangkap pandangan matanya.

"Kamu baik-baik saja?" Tanyanya sambil tersenyum dan membantu memperbaiki rambut Adjani yang berantakan.

Adjani memandangi sekelilingnya dengan bingung. Ia tidak menyadari tempatnya berada saat ini hingga sesuatu yang nyaman menyangga kepalanya.

Sebuah bantal lembut, mungkin terbuat dari bulu angsa berbau harum menyenangkan.

Adjani mengerjapkan matanya tiga kali, lalu dengan panik ia berusaha bangkit, jika saja Aire tidak menahan tangannya. Sentuhan tangan pria itu di lengannya yang telanjang membuat Adjani mengerenyit. Rasanya seperti terkena setrum. Padahal tadi malam tidak terasa apapun.

Dia lupa, semalam mereka tidak bersentuhan sama sekali. Aire hanya menyentuh jubah kotornya. Ini sentuhan pertama mereka seingatnya. Tapi, kenapa dia bisa berada di dalam kereta? Bukankah ia dan Shield semalam sedang mengobrol?

Dimana dia?

Apa yang telah terjadi?

"Kamu di dalam kereta. Pingsan semalaman. Melody dan Lala yang membantu membersihkan luka dan mengganti bajumu." Jawab Aire seolah tahu sumber kebingungan Adjani saat ini. Dengan perlahan ditolehkan pandangan pada dua wanita cantik yang telah membantunya.

"Terima kasih, Nona. Aku tidak bisa membayar kebaikan kalian." Katanya, nyaris menangis. Lagi-lagi ia mendapatkan perlakuan begitu baik. Rasanya begitu menyenangkan namun membuat tenggorokannya sakit. Belum pernah ia mendapatkan anugerah bertubi-tubi seperti ini.

Melody yang membalas. Adjani baru sadar wanita itu sedang mengelus Shield yang berbaring santai di pangkuannya.

Mereka sudah tahu tentang kamu?

Shield mengangguk. Adjani mulai merasa ketakutan, namun herannya tidak satupun dari Aire, Lala dan Melody yang memandanginya dengan jijik. Semua tampak biasa saja.

Kecuali absennya satu orang yang sejak semalam terang-terangan keberatan atas kehadirannya.

Adjani mendesah. Untuk kedua kali ia berusaha bangkit. Ketika Aire lagi-lagi mengulurkan tangan, Adjani memberi kode dengan tangannya agar pria itu tidak melakukannya. Ia masih sanggup untuk duduk sendiri.

"Kita berhenti? Apa Dean pergi karena aku?" Tanyanya gugup. Melody dengan cepat menjawab.

"Tidak, tidak. Dean baru saja turun sekitar lima menit yang lalu. Kami biasanya berhenti di pagi hari, untuk berbelanja di desa terdekat atau mandi di sungai." Balas gadis cantik itu sama ramahnya seperti malam sebelum ini.

Mendengar kata sungai disebutkan, Adjani langsung bersemangat.

"Sungai? Aku boleh turun dan melihatnya?" Katanya tanpa ragu-ragu. Aire tersenyum, tapi dengan cepat ia menggeleng hingga membuat Adjani menutup mulutnya sendiri.

"Tidak. Kita sedang tidak berada di pinggiran sungai, sebenarnya." Balas pria itu dengan cepat menangkap perubahan di wajah Adjani.

"Kita berada di pinggir danau. Kamu boleh turun kalau sudah sehat."

Dengan cepat Adjani mengangguk lalu ia menyibakkan selimut lembut yang menutupi tubuhnya. Seketika dirinya sadar, bajunya telah berganti. Ia menatap ketiga orang itu dengan cemas.

"Bajumu penuh darah." Lala menjawab.

"Kami cuma bantu mengganti, tidak bisa berbuat banyak." Lanjutnya.

Adjani mengangguk dengan gamang. Siapapun yang menggantikan pakaiannya pasti menyaksikan semua luka yang ada di tubuhnya. Ia menunduk malu.

"Hei, tidak perlu sedih." Aire berusaha menghibur.

"Semua sudah berlalu, bukan? Kamu tidak akan disiksa lagi seperti di sirkus. Tidak lama lagi, setiba di Suaka, hidupmu akan berubah sepenuhnya.

Menahan rasa haru dan air mata, Adjani mengangguk. Masih belum percaya bahwa di hadapannya saat ini duduk tiga orang berhati mulia yang tanpa canggung membantunya.

"Kenapa kalian ingin ke Suaka?" Ia tiba-tiba bertanya. Tidak setiap saat menyaksikan rombongan orang-orang yang seperti dewa dewi mengunjungi tempat seperti Suaka, penampungan orang-orang yang terbuang.

Lala yang menjawab.

"Mencari Alamanda, adik Dean satu-satunya yang hilang saat kecil, di hari yang sama yang menewaskan kedua orang tuanya."

Adjani menahan napasnya.

"Kasian."

"Kupikir akulah orang yang paling sedih di dunia, rupanya Dean masih harus berjuang lagi mencari adiknya." Adjani berusaha tersenyum.

"Apakah adiknya ada di Suaka?" Ia bertanya lagi. Lala dengan cepat menggeleng.

"Tidak ada yang tahu. Tapi di Suaka tinggal seorang ahli nujum dan sihir yang bisa mengetahui keberadaan orang hilang. Setidaknya dia bisa membantu. Kami sudah berkeliling ke seluruh negeri demi mencarinya, sudah nyaris tiga atau empat tahun."

Adjani tidak bisa menutup mulutnya.

"Selama itu? Waw, kalian hebat. Bukankah kalian harus bekerja untuk mendapatkan uang? Seperti kami di sirkus? Aku bekerja satu minggu untuk satu keping tembaga.

Mereka bertiga menatap Adjani dengan pilu. Satu keping tembaga adalah alat pembayaran paling rendah, bahkan tidak bisa digunakan untuk membayar sepotong roti. Pemilik sirkus sungguh tega mempekerjakan anak-anak dibawah umur tanpa perikemanusiaan.

Lala menoleh pada Aire.

"Segera setelah Mandy ditemukan, kamu harus mengusut kasus perbudakan di sirkus itu, Ash. Jangan ada lagi korban seperti Adjani."

Ash mengangguk tepat saat Adjani sadar namanya disebutkan.

"Kenapa Tuan Ash harus mengusut sirkus De Barbarian? Tuan Baron adalah orang yang sangat kuat, anak buahnya begitu banyak dan akan meremasmu dalam satu kali pukulan. Jangan sia-siakan nyawamu, Tuan. Tidak semua anak menderita di sana. Kebanyakan memilih sirkus karena sudah menjadi impian mereka tampil di muka umum." Celotehnya dengan polos membuat Melody tertawa geli.

"Tuan Baron yang kamu bilang hebat itu tidak akan bisa berkutik kalau dia tau siapa Ash sebenarnya."

Adjani langsung menatap Ash dengan bingung. Pria itu dengan cepat menggeleng.

"Jangan dengarkan dia." Katanya.

Adjani yang paham dia tidak boleh ikut campur kemudian tersenyum tanda dirinya mengerti akan tetapi ia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

"Alamanda ini, apakah ia sama rupawan seperti Dean?"

Melody mengangguk.

"Aku pernah melihatnya waktu kecil, saat dia berusia dua tahun. Mandy cantik seperti ibunya. Sedikit mirip dengan Dean. Usianya saat ini sekitar sembilan belas tahun."

Adjani mulai menghitung dalam kepalanya.

Usia mereka berbeda dua tahun. Ia tidak bisa membayangkan gadis sembilan belas tahun memiliki wajah teramat cantik berjalan beriringan dengan Dean.

Ah, ngomong-ngomong, ia ingin melihat pria itu. Apakah Dean berada dekat sini?

Dan ia juga butuh membasuh diri. Air akan cepat membantu lukanya cepat pulih.

"Aku boleh keluar? Sepertinya aku butuh mandi." Katanya dengan suara amat pelan.

Lala menggeleng.

"Jangan, lukamu masih basah. Jangan kena air dulu."

Adjani tidak mendengar. Ia bangkit dari tempatnya tanpa peduli tatapan dari Aire, Lala dan Melody yang panik melihat sikapnya. Saat Adjani membuka pintu kereta, matanya berbinar-binar penuh kekaguman.

Danau yang ia lihat adalah danau yang terindah yang pernah didatanginya, walau Adjani tahu, itulah danau pertama baginya. Dihiasi bunga-bunga liar berwarna kemerahan dan semak-semak kecil yang terhubung dengan hamparan air berwarna biru serupa kaca bening yang sangat menggoda siapapun untuk sekedar menjulurkan kaki atau bahkan menceburkan diri di dalamnya.

Bahkan barisan perbukitan dan pegunungan yang membentang membuat Adjani ingin mengaku bahwa ia sedang berada di surga, bukannya di bumi.

Jika sebuah danau saja begini indahnya, bagaimana keadaan Suaka? Mereka bilang tempat itu sangat indah. Adjani tidak sabar lagi ingin mencapainya. Tapi ia harus memulihkan kondisinya terlebih dahulu. Walau tahu, akan butuh waktu lama.

Saat Adjani mulai berjalan mencari tempat yang tersembunyi, ia melirik Shield yang berada dalam gendongan Melody. Hewan itu langsung melompat hingga membuat Melody berjengit kaget.

Saat sadar bahwa Shield mendekati Adjani yang mulai menjauh, Aire kembali meraih lengan gadis itu.

Untuk kali kedua Adjani mengerenyit. Lengan gaun yang ia kenakan hanya sebatas siku, sehingga sentuhan Aire ditubuhnya berefek mengejutkan.

Aku kenapa, sih?

"Jangan dulu kena air." Cegahnya.

"Tidak apa-apa." Adjani tersenyum menenangkan. Dengan lembut, ia berusaha melepaskan tangan Aire yang masih menempel di lengannya. Rasanya sungguh tidak nyaman, seperti terkena sengatan listrik dan tidak berhenti sampai Aire melepaskan tangannya.

"Air membantu lukaku. Memang aneh, tapi itulah kenyataannya. Karena itu mereka sering menyiksa aku agar para penonton bisa menyaksikannya."

Aire merasa ngilu di sekujur tubuhnya. Saat pegangan tangannya mengendur, Adjani bersyukur dia bisa melepaskan dirinya. Ia lalu dengan cepat menuju bagian tersembunyi dari danau yang tertutupi perdu.

Secepat Adjani menghilang, Aire menoleh pada dua orang wanita yang berdiri di belakangnya.

"Kalian mau membantunya?"

Saat Melody dan Lala hendak mengangguk, Shield dengan cepat muncul diantara mereka.

"Tidak perlu. Adjani cuma ingin membersihkan diri. Tapi dia bohong saat bilang air menyembuhkan. Dia cuma ingin kalian tidak khawatir."

Lala dengan cepat menyanggah.

"Melihat keadaannya seperti itu, siapa yang tidak khawatir?"

Cicitan dan gelengan kepala milik Shield menjadi jawaban bagi mereka.

"Dia sudah seperti itu selama bertahun-tahun dan berhasil bertahan sampai saat ini. Kalian tidak perlu cemas."

"Bertahun-tahun disiksa dan terus bertahan bukan alasan bahwa ia akan hidup seperti itu selamanya. Lagipula kamu sudah janji akan cerita semuanya tentang dia, jangan bohong."

"Aku tidak bohong, tapi aku berharap kalian tidak perlu tahu dan bertanya. Beberapa hal, lebih baik tetap tersembunyi, untuk kebaikan kalian sendiri."

"Kenapa begitu?"

Aire berjongkok menyamakan posisinya dengan Shield agar ia dapat dengan jelas mendengarkan cerita hewan itu.

"Karena kalau kalian tahu, hidup tidak akan setenang ini lagi."

***

Ada yang tahu umur Djani berapa?

Makasih buat yang baca, yang kuat hatinya juga. Masih mau lanjut, kan?

Muaaach..💋💋💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro