Bab 12: HOAKS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Masa kini. 

"Di mana, di mana, Bu Farah di mana. Di sana, di sana, dia ada di sana." 🎶

Terkesiap, Farah yang sedang menatap layar laptop, sontak mendongak. Baru kali ini sang wakil kepala sekolah memanggilnya dengan nada lagu 'Anak Kambing Saya'. Meski bingung, Farah tak urung menyunggingkan senyum.

Dirga menghampiri Farah sambil terus bersenandung. Lalu melongok ke layar laptop guru tersebut. "Bu Farah lagi ngerjain apa?"

"Ngerangkum soal-soal olimpiade, Pak. Buat latihan Ibib dan Malahayati."

Biasanya peserta yang melanjut di tingkat provinsi akan mencari mentor khusus untuk belajar. Bisa dari mahasiswa, guru privat yang kompeten, atau bimbingan belajar. Namun untuk itu semua, perlu uang.

"Mereka enggak mau les tambahan di bimbel?"

"Kalo Malahayati, mungkin masih bisa ikut bimbel, Pak. Tapi, Ibib sepertinya enggak bisa. Dia enggak punya biaya," jawab Farah sambil tersenyum getir.

Ibib pernah cerita. Ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci dan ayahnya yang bekerja sebagai tukang ojek, tidak punya cukup dana untuk membiayai belajar tambahan anak mereka. Maka Farah pun berinisiatif untuk melatih Malahayati dan Ibib menuju olimpiade tingkat provinsi.

"Bagus! Bagus!" Dirga mengacungkan jempol. "Semoga anak-anak kita bisa lanjut sampai nasional." Pria berkepala pelontos itu lalu menaruh sebuah tas kain di samping laptop Farah. "Ini buat Bu Farah. Buat ngemil sambil nyiapin soal anak-anak."

Farah mengernyit, tapi tak urung mengucapkan terima kasih. Selama hampir satu tahun mengajar di SMA 514, ia belum pernah menerima hadiah dari wakil kepala sekolah tersebut. Apalagi kali ini bingkisan yang diberikan cukup banyak. Dua lusin cokelat kesukaan Farah.

Tak berselang beberapa lama, giliran Siska yang menghampiri Farah. Kali ini guru itu memberikan sebuah syal dengan perpaduan warna denim dan pink.

"Dalam rangka apa, ya, Bu?" komentar Farah. Setelah lebih dari satu semester merepotkan Farah dengan permintaan menggantikan tugas mengajar, ini kali pertama Siska memberinya hadiah. Ada rasa curiga di diri Farah. Jangan-jangan, ada permintaan lain yang lebih besar.

"Enggak dalam rangka apa-apa, kok, Bu Farah. Kebetulan pas kemarin liburan, saya liat syal ini. Terus saya tiba-tiba keingat Bu Farah."

"Tiba-tiba sekali, ya, Bu," komentar Farah yang ditutup dengan tawa datar.

Tak mempedulikan kalimat tersebut, Siska malah tersenyum sambil melenggang menuju mejanya.

Bukan hanya Dirga dan Siska. Selama seharian ini, Farah menerima beberapa bingkisan. Harusnya ia senang. Namun karena bingung, perkara bingkisan membuat Farah tidak konsentrasi seharian.

🏀🧮🏀🧮🏀

"Miss Nawaang!" panggil Farah sambil memasuki ruang Bimbingan Konseling.

Seperti biasa, Nawang berada di sana sepanjang hari. Selalu siap di ruang BK menjadi salah satu tugas Nawang. Agar saat membutuhkan konseling, murid-murid tahu harus mencari Guru BK tersebut di mana.

"Ada apa?" Nawang yang sedang mengaduk teh bertanya dengan lembut.

"Miss, kayanya ada yang nyebarin hoaks tentang saya, deh."

"Hoaks? Hoaks apa?" tanya Nawang sambil duduk di kursi.

Farah ikut duduk di seberang Nawang, lalu menjawab, "Hoaks kalo hari ini saya ulang tahun!"

Nawang mengernyit. "Kenapa kamu mikir begitu?"

"Ini!" Farah meletakkan dua tas kain di meja. "Hari ini saya dapat banyak bingkisan dari guru-guru."

"Owh. Jadi karena itu kamu curiga ada yang nyebarin hoaks kalo hari ini kamu ulang tahun?" selidik Nawang yang dijawab dengan anggukan Farah.

"Ada kemungkinan lain!" seru Dexa sambil melongok dari balik lemari koleksi.

Farah menoleh. "Why are you here? Sepertinya kamu lebih sering di sini dari pada di ruang guru. Do you wanna be a school counseling teacher?"

"Sepertinya kamu sering sekali menyuruh saya berganti mata pelajaran. Do you wanna be a principal?" Dexa meniru Farah, lalu tergelak.

Kesal karena pertanyaannya jadi bumerang, Farah menoleh ke arah Nawang. "Miss enggak bosen dia sering ke sini?"

Tak disangka Farah, Nawang malah menggeleng. "Ibu senang karena ada yang nemenin. Lagi pula, Dexa di sini karena ingin belajar," ucapnya sambil mengerling ke arah Dexa yang sedang memamerkan buku yang dibaca.

Farah mendengkus, lalu teringat tujuannya datang ke ruangan tersebut. "Back to the topic. Miss juga setuju dengan kecurigaan saya, kan? Pasti ada yang nyebarin hoaks tentang ulang tahun saya!" Perempuan itu lalu menoleh ke arah Dexa. "Kamu, kan, orangnya?"

Dexa menarik satu sudut bibir. "Kamu yakin saya nyebarin hoaks kalo hari ini kamu ulang tahun? Bukan hoaks kalo hari ini kamu mau resign?"

Mata Farah membelalak. "Kamu nyebarin hoaks itu?"

Lagi-lagi Dexa tergelak. Sementara ingatan Farah segera terbang ke masa lalu.

🏀🧮🏀🧮🏀

Sembilan tahun lalu

"Selamat ulang tahun, ya, Farah."

"Terima kasih, ya."

Farah mengernyit. Ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh dua orang teman sekelasnya itu. Bukan hanya dua murid tadi, beberapa teman yang berpapasan dengan Farah juga mengucapkan hal serupa.

Meski bingung, Farah tak banyak ambil pusing. Ia terus berjalan menuju kantin, di mana ternyata hal buruk telah menanti.

"Maybe mpok salah orang," ucap Farah kepada pemilik kantin. Ia masih berusaha menjelaskan. Mungkin Farah yang dimaksud bukan dirinya.

"Kagak, Neng. Katanya, yang ulang tahun namanya Neng Parah, dari kelas X-A. Yang ngomongnya campur-campur bahasa bule."

"Tapi today bukan birthday I, Mpok."

"Ya, terus pegimane, Neng? Ini udah pada makan, tapi kagak bayar. Katanye nanti Neng Parah yang bayar."

Farah hampir-hampir saja menangis. Namun ia tahu, menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Maka, ia pun bertanya, "Emang how much yang harus I bayar?" tanyanya. Ia menyerah dan memilih untuk menyelesaikan masalah itu.

Pedagang kantin itu menyodorkan kertas yang berisi catatan makan teman-teman sekelas Farah: mie goreng, mie kuah, mie kuah pakai dua telor, bakwan, tahu isi, risol, tempe, hingga es teh. "Kagak banyak, kok, Neng. Cuma 264.000."

Sambil menggigit bibir, Farah membuka dompet dan mengambil 6 lembaran berwarna biru. Harusnya, itu akan jadi uang jajannya selama sebulan ke depan. Namun dalam sehari, uang itu harus berpindah tangan.

"Mpok," panggil Farah dengan leher tercekat. Karena baru saja sebulan masuk SMA, Farah memaklumi jika teman-teman di kelas mendapat informasi yang salah tentang ulang tahunnya. Namun, pasti ada biang keladi di balik kabar bahwa Farah akan mentraktir di hari itu.

"Siapa yang bilang kalo today I yang traktir?"

"Dexa."

🏀🧮🏀🧮🏀

Masa kini

"Ada apa, Bu Farah?"

Farah menyunggingkan senyum. Ada sedikit ragu untuk menyampaikan hal yang berkecamuk di pikirannya. Namun, bukankah tidak ada keberhasilan tanpa mencoba?

"Kemarin saya sudah cek mutasi di rekening. Gaji saya bulan ini sudah masuk, Bu."

"Lalu?" tanya Sukma sambil tetap mempertahankan senyum. Seperti biasa.

"Nominalnya masih sama dengan bulan-bulan kemarin, ya, Bu?"

Sukma mengangguk. "Betul. Sesuai perjanjian kita di awal."

Sebelum melanjutkan, Farah berdehem. "Murid-murid kita, kan, ada yang lolos di olimpiade Matematika tingkat kota. Dan saya dapat kabar bahwa prestasi itu membuat teman-teman guru ASN mendapat tambahan tunjangan. Sebagai pelatih, apakah saya dan Pak Dexa tidak mendapatkan mendapat bonus juga, Bu?"

Farah mengingat pembicaraan minggu lalu di ruang bimbingan konseling. Nawang mengatakan bahwa prestasi murid-murid di olimpiade tingkat kota membuat tunjangan semua guru ASN -bahkan yang tidak mengajar mata pelajaran tersebut- bertambah. Hal itu yang menyebabkan beberapa guru memberikan bingkisan terima kasih untuk Farah dan Dexa.

Awalnya Farah antusias. Ia menduga, gajinya akan naik. Namun saat menerima notifikasi debit kemarin sore, ia mendapati bahwa angka gajinya masih tetap. Tidak bertambah bahkan sepuluh ribu pun. Maka tanpa keraguan, ia menghadap Sukma seorang diri.

"Bu Farah, saya sudah pernah bilang, kan? Gaji honorer diambil dari biaya operasional sekolah yang diberikan oleh pemerintah. Dana itu tidak berubah bahkan saat anak-anak kita meraih medali di olimpiade tingkat internasional. Berbeda dengan guru ASN yang dapat tambahan tunjangan langsung dari pemerintah. Jadi, saya mohon maaf karena belum bisa memberikan apa yang Bu Farah harapkan."

"Tidak bisa walaupun dengan mengambil budget lebih dari BOS?"

Sambil tetap mempertahankan senyum, Sukma menggeleng. "Semua sudah ada posnya masing-masingm, Bu Farah."

Farah terdiam. Ia ingin protes, tapi kata-kata Sukma cukup masuk akal. Satu-satunya yang harus disalahkan adalah pemerintah. Apakah mereka percaya hoaks bahwa guru honorer tidak cukup berprestasi sehingga tidak layak diapresiasi? 

🏀🧮🏀🧮🏀🧮🏀🧮🏀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro