Bab 17: TERASING

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Miss Diva!" Siska duduk di kursi yang ada di depan meja Diva. Setelah mereka saling tatap, dia pun melanjutkan, "Besok tolong gantiin saya ngajar jam 1-2 di XII-A, jam 3-4 di kelas XII-D, dan jam 5-6 di kelas XII-C, ya," ucapnya sambil meletakkan setoples nastar di meja Diva.

"Bu Siska mau izin lagi?" tanya Diva. Ini adalah kali ketiga Siska meminta bantuannya.

Siska mengangguk sambil menyunggingkan senyum. "Besok ada seminar. Saya harus ikut karena target poin saya untuk semester ini belum tercapai. Miss Diva tahu sendiri, itu akan berpengaruh ke penilaian sekolah kita juga."

Diva mencoba tersenyum. Meski poin yang dimaksud memang berpengaruh pada penilaian sekolah, Diva tahu pasti, alasan utama Siska adalah agar tunjangannya tidak berkurang.

"Duh! Sebenarnya aku, sih, pengen banget nolongin Bu Siska. Tapi, gimana, ya? Di jam 3-4 dan 5-6 aku juga ada jadwal, Bu." Diva memasang wajah bersalah. "Tapi, aku bisa ngegantiin di jam 1-2. Meskipun hanya 1 jam karena aku harus nyelesaiin soal ujian tengah semester," tambahnya. Setidaknya, harus ada harga yang dibayar untuk setoples nastar dari Siska.

"Owh, Miss Diva ada jadwal juga, ya?" tanya Siska yang diajawab anggukan Diva. "Kalo saya titip tugas, terus Bu Diva sesekali masuk ke kelas XII-D dan XII-C untuk memastikan anak-anak tetap ngerjain tugas, gimana?"

Diva tersenyum. Hal itu memang bisa dilakukan, tapi dia enggan karena akan merepotkan. "Sejujurnya, kemarin kaki saya terkilir, Bu. Saya agak khawatir kalo naik turun tangga berulang kali."

Raut wajah Siska sedikit berubah. Dia tidak menyangka, kali ini sedikit sulit meminta pertolongan Diva. "Gimana, dong, ya?"

"Bu Siska udah coba minta tolong ke Pak Dirga?" tanya Diva, berusaha mencari solusi untuk Siska.

"Udah. Tapi besok beliau mau ke kantor wilayah. Katanya ada yang harus diurus."

Diva menghela napas. Mencoba terlihat ikut bersimpati. "Coba Bu Siska minta tolong sama Miss--"

"Enggak, ah," potong Siska. Dia tahu nama siapa yang akan disebutkan oleh Diva. "Saya enggak mau ada masalah." Siska menambahkan.

Meski duduk di barisan depan, Farah bisa mendengar dengan jelas percakapan antara Siska dan Diva. Ada sedikit rasa lega karena Siska tidak lagi mengalihkan tugasnya kepada Farah. Namun di lain sisi, Farah juga sedih. Ia merasa tidak dibutuhkan lagi.

"Ya sudah, deh. Saya coba cari seminar yang lain saja. Mudah-mudahan masih bisa kekejar," putus Siska. Sepertinya dia harus menyerah untuk seminar kali ini.

***

"Kenapa lagi?" tanya Dexa saat melihat Farah memasuki ruang bimbingan konseling dengan wajah ditekuk.

Alih-alih menjawab, Farah malah merebahkan kepala di meja Nawang. Akhir-akhir ini, ia mengikuti jejak Dexa yang lebih banyak menghabiskan waktu di ruang bimbingan konseling. Bagi Farah, saat ini ruangan guru sangat menyesakkan karena sebagian besar guru menjaga jarak dan menghindari percakapan dengannya. Hanya satu dua yang mau berinteraksi. Atau jika ada hal-hal penting yang memang harus dibicarakan.

Bukan itu saja. Menurut pengakuan Nawang, guru-guru juga tidak lagi berpartisipasi dalam amplop keluarga untuk Farah dan Dexa karena alasan harga-harga yang meningkat. Farah tahu, alasan sebenarnya adalah rasa marah dan kecewa karena Sukma dimutasikan.

Meski begitu, Farah tidak keberatan. Justru ia lega karena seakan-akan terlepas dari beban. Sesuai perjanjian awal dengan Nawang, amplop itu harusnya ditukar dengan belajar tambahan. Namun saat ini, program itu tidak lagi bisa diadakan.

'Tidak boleh ada belajar tambahan di luar jam sekolah. Meskipun gratis atau ada donator yang membiayai. Biarkan anak-anak mandiri dalam meningkatkan kemampuanny,' tegas kepala sekolah yang baru.

Farah sudah mencoba menjelaskan bahwa belajar tambahan tersebut sangat bermanfaat bagi anak-anak yang membutuhkan, tapi kepala sekolah baru itu tetap bergeming.

'Peraturan tetap peraturan, Bu Farah. Bagaimana jika ada guru yang iseng melaporkan? Saya juga yang akan kena, kan?' ucap kepala sekolah baru, yang bagi Farah terdengar lebih seperti sindiran.

Pengganti Sukma itu hanya mau memberikan izin belajar tambahan untuk siswa yang mengikuti olimpiade. Itupun, maksimal seminggu sekali. Bagi Farah, kebijakan itu terasa amat kurang karena jadwal olimpiade tingkat provinsi tinggal sebulan lagi. Meski begitu, mau tak mau ia menyetujuinya.

"Siapa lagi yang bikin kamu tersinggung?" kejar Dexa. Soal-soal Fisika di hadapannya tidak lagi menarik. Dia lebih ingin mengetahui apa yang membuat wajah Farah tertekuk.

Farah menegakkan punggung, lalu menatap Dexa yang sedang duduk di sofa. "Kamu enggak lihat kalo aku lagi males ngomong?"

Dexa terbahak. "Barusan kan ngomong," cibirnya.

Farah melotot ke arah Dexa yang sedang menatapnya dengan tatapan mengejek. Bagi Farah, kehadiran Dexa membuat ruangan bimbingan konseling tidak sepenuhnya jadi tempat pelarian yang nyaman. Namun, ia tidak bisa mengusir pria tersebut. Dexalah yang lebih dulu menjadikan ruangan Nawang sebagai markas.

Farah lalu berpaling ke arah Nawang yang sedang sibuk mengoreksi makalah sambil mengulum senyum. "Miss, I need time capsule," lirihnya.

Nawang mendongak. "Untuk apa? Kembali ke masa lalu dan memperbaiki kesalahan kamu?" tanyanya yang dijawab anggukan Farah.

"Bu Nawang bukan Doraeman!" timbrung Dexa, lalu terkikik.

"Will you shut up?" bentak Farah sambil melotot ke arah Dexa. Ia sudah cukup kesal karena diperlakukan seperti orang asing oleh guru-guru. Apapun yang Dexa katakan akan mudah menyulut emosinya.

"Tenangin diri kamu, Far. Gimana kalo ada murid yang tiba-tiba masuk?" tegur Nawang sambil mengerling ke arah pintu.

Saat tidak berada di depan murid atau guru-guru lain, Nawang masih memanggil nama Farah dan Dexa tanpa embel-embel bu dan pak. Dia masih menganggap kedua rekan kerjanya itu sebagai murid. Maka dia tidak segan memberi nasihat, bahkan menegur jika Farah atau Dexa melakukan kesalahan.

"Yang sudah berlalu, biarkan berlalu. Berlarut dalam penyesalan enggak akan merubah kenyataan. Kamu hanya perlu melakukan sesuatu untuk memperbaikinya," nasehat Nawang.

"Lagipula, kamu enggak sepenuhnya salah. Kamu hanya menuntut keadilan. Mungkin waktu dan cara kamu saja yang kurang tepat," tambah guru bimbingan konseling itu.

"Terus, saya harus gimana untuk memperbaikinya, Miss? Saya enggak bisa terus-terusan bertahan dengan situasi enggak nyaman ini." Farah Kembali merebahkan kepala di meja. "Pengennya sih resign aja. Tapi Miss tahu, saya enggak bisa ngelakuin itu."

Nawang mengangguk. Sudah sering Farah berkata, ia bertahan dengan gaji kecil di SMA 514 demi jenjang karir. Farah ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi abdi negara. Bukan semata-mata karena mantan calon mertuanya, tapi juga untuk dirinya sendiri.

"Sebenarnya, waktu adalah obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan luka apapun. Termasuk rasa marah dan kecewa. Itu juga yang diperlukan oleh guru-guru yang saat ini mengasingkan kamu. Tapi," Nawang berpaling pada Dexa, "sepertinya Dexa punya ide yang bagus untuk membuat obat itu lebih cepat bekerja. Kasih tahu, Dex."

"Kalo ngomong, nanti saya dimarahin lagi, Bu," rajuk Dexa sambil terus pura-pura mengerjakan soal-soal Fisika.

Nawang menepuk punggung tangan Farah, memberi isyarat agar perempuan itu sendiri yang meminta Dexa berbicara.

Farah menegakkan punggung, lalu menghela napas. "Pak Dexandra, silakan bicara dan kasih tahu saya ide Bapak," ucapnya dengan penuh penekanan. "Saya harap itu adalah ide yang brilian. Dan yang terpenting, ide itu harus masuk akal!"

Dexa tertawa, lalu meletakkan buku yang sedang dipegang. "Dengar baik-baik, ya!"

***** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro