Bab 25: KADALUARSA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sembilan tahun lalu

"Bella, Asha, Luna," bisik Kai pada Dexa yang duduk bersila di sampingnya.

Pagi ini masih seperti empat pagi yang lain. Murid-murid baru duduk dalam barisan-barisan di aula SMA 514. Penjelasan sejarah dan visi-misi sekolah, pemaparan kegiatan dan ekstrakurikuler yang ada, hingga pengenalan guru-guru dan kakak kelas, menjadi sebagian agenda yang dilangsungkan di ruangan 30 x 20 meter itu.

"Bella dan Asha yang kemarin dipanggil ke depan. Kalo Luna, itu, tuh. Sekretaris OSIS yang lagi ngomong," tambah Kai sambil terus berbisik.

Mengabaikan kata-kata Kai, Dexa malah sibuk membolak-balik buku catatan MPLS. Dari total 76, masih ada delapan tanda tangan panitia yang belum ia dapatkan. Sementara hari itu adalah hari terakhir pelaksanaan MPLS.

Dexa mengintip tas punggung berwarna biru. Ada tiga batang cokelat dan satu botol minuman berperisa. Itu adalah syarat yang diberikan oleh empat panitia MPLS untuk ditukar dengan tanda tangan mereka. Dexa sebenarnya sebal karena seakan-akan sedang diperas. Namun, mau bagaimana lagi? Ia harus menyelesaikan misi yang diberikan.

"Udah ada yang lo incer, belum?" tanya Kai.

"Lo pikir gue ada waktu buat nyari gebetan sementara cita-cita gue adalah tembus PTN luar negeri?" komentar Dexa. 

"Buat selingan, Dex. Hidup jangan serius-serius amat."

Dexa mencibir. Lalu kembali membolak-balik buku MPLS. Kali ini Dexa memperhatikan foto dan nama jajaran dewan guru. Dari raut wajah mereka, Dexa menebak-nebak, guru manakah yang ramah dan mana yang sangar.

"Eh, anak baru yang lagi berdiri di depan oke juga, tuh. Tapi enggak secantik Bella dan Asha." Lagi-lagi Kai berkomentar dengan volume suara kecil.

Tidak tertarik, Dexa terus menunduk. Selama beberapa hari ini, sudah lebih dari tujuh siswi yang diminta maju ke depan, termasuk Bella dan Asha. Umumnya mereka adalah siswi-siswi berparas cantik yang sengaja diminta maju oleh panitia yang sedang mencari perhatian.

Bagi Dexa, siswi-siswi yang maju pun sama saja. Mereka dengan senang hati maju, sedikit malu-malu atau bertingkah manja, menikmati momen-momen diperlakukan khusus. Lalu menerima dua atau tiga tanda tangan sebagai ganti telah berani tampil ke depan.

Bagi Dexa, semua siswi baru sama saja. Hingga ia mendengar kalimat yang tidak mungkin dilontarkan oleh anak baru.

"Buat apa I minta tanda tangan you semua?" tanya Farah dengan tegas.

Dexa sontak mendongak. Ia tidak percaya ada anak baru yang punya nyali untuk membantah senior. Namun bagi Farah, ini bukan soal membantah atau patuh. Ini soal ketidaksediaan untuk tunduk pada hal yang tidak sesuai.

"Ini tugas yang nonsense, you know! New students disuruh antri like a duck di bawah terik, cuma buat dapat tanda tangan senior yang duduk di teras kelas yang teduh karena ada atapnya."

Beberapa panitia mulai memberi isyarat pada Luna untuk mengambil microphone yang sedang di pegang oleh Farah.

"Some senior juga sok jual mahal. Run ke sana-sini and act bussy seperti bee, lalu suruh new students buat ngejar mereka kesana kemari. Ada juga yang ask chocolate, orange, or milk buat ditukar dengan tanda tangan. Take advantage of someone's situation. Yaks!" Farah menumpahkan segala kekesalan.

Beberapa panitia mulai saling lirik dan saling memberi isyarat. Sementara Dexa tidak berhenti menatap kagum pada anak baru dengan Bahasa Indonesia yang belepotan itu.

"Syarat-syarat dari senior kan cuma buat seru-seruan dan bisa dibicarakan." Luna melirik ke arah panitia yang sedang saling tunjuk. "Tapi itu tidak menghilangkan tujuan aktivitas ini yaitu agar siswa baru dan panitia bisa saling kenal."

"Since hari pertama, you semua kan udah introduce yourself. Memang harus sampai mana new student harus kenal you semua?" Tak goyah, Farah terus mempertahankan pendapat.

"Tapi panitia, kan, enggak kenal sama kamu." Luna lalu membuka buku MPLS milik Farah. "Bagaimana mau dikenal sama kakak kelas? Satu tanda tangan panitia saja kamu enggak dapat."

Farah menghela napas. "My name is Farah Satya Negara. Dulu I sekolah di Alexandra International School," ucapnya dengan lantang. Perempuan itu lalu melirik ke arah Luna. "I think, enggak cuma panitia, tapi semua yang ada di sini akhirnya kenal siapa i. Jadi, I enggak perlu nyelesain tugas tanda tangan itu, kan?"

Suasana aula hening seketika. Murid-murid baru tercengang, demikian juga panitia. Sementara Dexa langsung menyunggingkan senyum lebar. Baru kali ini ia bertemu dengan perempuan yang berani dan terus terang.

"Gue udah dapat!" bisik Dexa pada Kai. "Namanya Siluman Bule!"

***

Masa kini

Dulu maupun sekarang, keberanian Farah saat mengungkapkan pendapat selalu membuat Dexa kagum. Bahkan meski waktu berlalu, kekaguman itu tidak pernah mengenal kata kadaluarsa. Termasuk hari ini.

"Karena saat menemukan kamu, saya yang jatuh cinta," lirih Farah.

Farah lalu menggigit bibir. Dia sama sekali tidak pernah berpikir akan tiba di rumah Dexa dan mengatakan kalimat tadi. Namun, ternyata rasa bersalah, rasa kesal, dan rasa rindu berhasil menyeret kaki-kakinya hingga tiba di rumah tersebut.

Berbekal alamat yang diberikan Archi, Farah nekad untuk datang seorang diri. Tanpa pemberitahuan, tanpa meminta izin. Dia hanya ingin menuntaskan apa yang mengganjal di hati.

Farah berdehem. "Karena saat menemukan kamu, saya yang jatuh cinta," ulangnya. Kali ini dengan nada lugas karena merasa sudah lebih siap. "Itu kalimat lanjutan yang benar, kan?"

Bergeming, Dexa menatap perempuan yang sedang duduk hadap-hadapan dengannya di ruang tamu. Dexa tidak ingat semalam ia mimpi apa. Namun, kehadiran dan kata-kata Farah bukanlah hal yang sempat ia pikirkan. Bahkan terlintas pun tidak.

"Kenapa kamu enggak lanjutin kalimat itu? Waktu SMA atau pun saat terakhir kali. Kenapa kalimat itu enggak kamu selesaiin?"

Lagi-lagi, Dexa bergeming. Namun kali ini, ekor matanya menangkap bayangan di kaca lemari. Ibu, kakak ipar, hingga pembantu mereka sedang berbaris di balik dinding pemisah demi mencuri dengar pembicaraan. Mereka merasa harus tahu apa yang disampaikan oleh teman perempuan pertama Dexa yang datang ke rumah.

"Saya akan pura-pura tidak mendengar apa yang kamu bilang hari ini." Dexa menanggapi singkat.

Bukan karena kedatangan Farah yang tiba-tiba. Bukan juga karena ada pihak lain yang menguping. Ia punya alasan lain untuk mengatakan kalimat itu.

Farah mengernyit. "Kenapa harus pura-pura tidak dengar?"

"Sekarang bukan saatnya." Dexa menyunggingkan senyum tipis lalu melihat jam tangan. "Lagipula sebentar lagi Archi dan Ibib datang untuk belajar. Tidak baik kalo mereka lihat kamu di sini. Sebaiknya kamu pulang sekarang."

Farah tertegun. Ditolak dan diusir. Dia tidak menyangka kejujuran dan rasa rindunya dibalas dengan dua hal tersebut. Maka tak ingin berlama-lama, Farah pun angkat kaki.

***

Memikirkan adegan demi adegan di rumah Dexa, Farah menelusuri jalan menuju menuju rumah dengan langkah-langkah lambat. Apakah Archi berbohong padanya? Ataukah perasaan Dexa sudah kadaluarsa? Farah benar-benar tidak mengerti apa yang salah.

Farah masih terus berpikir ketika telepon genggamnya berdering. Dia melihat nama yang ada di layar, lalu mengernyit. Tumben-tumbenan maminya menelepon.

"Kenapa, Mi?" tanya Farah. Rasa penasaran dan khawatir kini bercampur di hatinya.

"Kamu di mana?"

"Di jalan pulang." Farah melihat ke ujung jalan. Atap cokelat rumahnya sudah kelihatan. "Bentar lagi nyampe."

"Buruan, ya."

"Iya, iya." Farah mulai mempercepat langkah. "Emang kenapa?"

"Gilang udah nungguin dari tadi."

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro