Bab 24: ELEXFOUR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bu Miss sendirian?" tanya Archi sambil ikut duduk di samping gurunya.

Tersenyum sekilas, Farah mengangguk singkat. Sejak tadi, ia memang duduk sendiri. Bukan hanya hari itu, tapi juga hari-hari kemarin. Atmosfer di ruangan guru terlalu sesak bagi Farah, sedangkan ruangan bimbingan konseling selalu menghadirkan bayang-bayang Dexa. Maka bangku kayu di bawah pohon flamboyan menjadi tempat favoritnya saat ini.

Selain bangku kayu di bawah pohon, ada banyak bangku-bangku lain yang terbuat dari besi dan kayu, ada juga yang terbuat dari campuran semen dan pasir. Semuanya tersebar di teras kelas, pinggir lapangan, juga di taman. Namun bangku yang diduduki Farah dan Archi punya keunikan tersendiri karena berada tepat di bawah pohon yang konon sudah ada sejak sekolah tersebut dibangun.

Tampilan bangku kayu yang muat diduduki 3 hingga 4 orang itu sangat sederhana. Terbuat dari gelondongan kayu jati yang dibelah dua, satu bagian untuk tempat duduk, sisanya dibagi-bagi untuk menjadi kaki-kaki. Meski begitu, bangku kayu ini sangat awet. Dia sudah ada sejak Farah masuk ke SMA 514.

Di bangku kayu ini jugalah Dexa menertawakan momen saat Farah dan Gilang akhirnya berpisah.

"Kamu enggak ikut main?" tanya Farah tanpa melihat lawan bicara. "Mumpung berawan."

Meski sudah jam istirahat kedua, siang itu memang tidak terik. Sepertinya matahari sedang sibuk bermain petak umpet di balik awan. Atau hanya ingin membuat suasana lebih syahdu bagi Farah.

"Enggak ada lawan yang sepadan," jawab Archi dengan arogan.

Farah memutar kedua bola mata. Namun tidak menampik ucapan murid laki-laki tersebut. Farah lalu kembali menyaksikan murid-murid yang sedang bermain basket di lapangan. Ada sepuluh murid yang bermain . Namun setiap beberapa menit sekali, mereka bergantian dengan teman-teman yang antri di pinggir lapangan.

Biasanya, Dexa menjadi salah satu pemain dalam pertandingan bebas itu. Bermain basket di sela-sela waktu mengajar seakan-akan menjadi cara pria itu untuk menyegarkan pikiran. Meski menurut Farah, Dexa hanya ingin pamer kebolehan.

"Dari tadi belum ada yang berhasil nyetak three points shoot," komentar Archi. "Kalo ada Pak De, permainan pasti lebih seru."

Tanpa sadar, Farah mengangguk. Dulu ataupun sekarang, permainan basket Dexa memang selalu menarik perhatian. Bukan hanya para murid, guru-guru pun ketagihan untuk menyaksikan. Hingga guru olahraga di SMA 514 pun sering berkelakar bahwa posisinya terancam karena kehadiran Dexa.

"Gimana persiapan kamu untuk Olimpiade?" Farah mengubah topik.

"Lancar," jawab Archi sambil manggut-manggut. "Pak De emang tutor yang hebat. Penjelasannya gampang dicerna dan tips n trick-nya kepake semua."

Meskipun menguasai materi yang ada di kurikulum, tidak ada guru Fisika di SMA 514 yang punya kompetensi untuk mengajar soal-soal Olimpiade. Maka meski sudah tidak menjadi gurunya di sekolah, Archi tetap datang ke rumah Dexa untuk belajar.

Farah menatap Archi. Ia ingin sekali bertanya pada murid laki-laki itu, bagaimana kabar Dexa? Apa kegiatannya? Apa rencananya? Setiap hari apa dia memberikan les? Begitu banyak yang ingin Farah tanyakan, tapi urung. Ia tetap ingin menjaga kewibawaan sebagai seorang guru.

"Syukurlah. Kalo tekun, kamu bisa dapat medali emas." Farah kembali mengalihkan pandang ke lapangan. "Sedikit lagi kamu bisa jadi legenda di SMA ini."

Archi tersenyum kecut. "Saya masih belum bisa mencetak three points shoot dari belakang," lirihnya. Seperti kata Dexa, untuk menjadi legenda dia harus mampu melakukan hal itu.

"Bu Miss pasti sering banget lihat Pak De main basket waktu SMA," ucap Archi. "Gimana? Permainan Pak De lebih bagus atau lebih jelek dari sekarang?"

"Waktu SMA saya jarang sekali nonton Pak Dexa main basket. Mungkin hanya satu atau dua kali." Farah berhenti untuk memikirkan alasan. "Terlalu banyak tugas yang harus saya kerjakan, jadi saya enggak ada waktu luang untuk menonton basket."

Sejenak, Farah menyesal karena melewati banyak pertandingan Dexa sejak mereka masih SMA. Hanya karena ego dan rasa benci, ia tidak pernah mau memenuhi ajakan teman-temannya untuk menyaksikan pertandingan Dexa, baik di sekolah mereka, di sekolah lawan, maupun di gedung olahraga milik pemerintah.

"Kenapa cuma satu atau dua kali?" tanya Archi penasaran. "Kata Pak De, Bu Miss pernah ikut cheerleaders. Tim basket dan cheerleaders di SMA ini kan satu paket. Namanya aja sama, ElexFour. Kalo tim basket main, anak cheerleaders pasti hadir buat ngasih semangat, kan?"

Farah melirik ke arah Archi. Bagaimana ia harus menjelaskan bahwa ia keluar dari tim cheerleaders karena tahu Dexa ikut ekskul basket? Saat itu Farah lebih memilih merelakan hobi menarinya daripada harus menjadi pemandu sorak dari orang yang sudah memberinya julukan Siluman Bule.

"Sepertinya Pak Dexa banyak cerita tentang saya, ya?" Alih-alih memberi penjelasan, Farah malah mengajukan tanya.

Sambil cengengesan, Archi mengangguk. "Pak De banyak cerita tentang Bu Miss. Termasuk hubungan Bu Miss dan Pak De yang seperti Tom and Jerry."

Farah mengulum senyum. "Kami memang musuh bebuyutan. Saya enggak habis pikir, kenapa dia enggak kehabisan ide buat bikin masalah sama saya," kenangnya.

"Memang Bu Miss enggak tahu? Cari masalah adalah bahasa lain dari I love you."

Farah geleng-geleng mendengar kalimat dari murid kelas XI itu, lalu berkata, "Jangan sok tahu kamu!"

"Benar, kok! Pak De sendiri yang bilang kalo dia suka sama Bu Miss sejak SMA. Memang Bu Miss enggak tahu?"

***

Sembilan tahun lalu

"Lo udah daftar ekskul belum?" tanya Dexa sambil menepuk punggung Kai dari arah belakang.

Kai yang sedang menyeruput mie ayam, sontak marah-marah. "Kalo gue kesedak terus mati, gimana?" omelnya sambil mengunyah mie ayam.

"Ya dikubur," jawab Dexa sambil cengengesan. Murid laki-laki itu lalu duduk di samping Kai. "By the way, lo udah daftar ekskul belum?"

"Belum. Gue masih bingung antara ekskul pecinta alam atau paskibra," jawab Kai lalu kembali menyeruput mie.

Sambil memegang perut, Dexa terbahak. "Pecinta alam jelas bukan ekskul rekomended buat orang yang sering banget ngeliat kuntilanak kaya lo. Bayangin ketakutan anak-anak pecinta alam yang lain pas kalian naik gunung dan lo tiba-tiba nyeletuk, 'Eh, ada kunti di duduk di atas pohon.' 'Loh, kunti yang ini malah lagi duduk di pinggir sungai.'

"Sedangkan paskibra? Come on! Tinggi lo enggak nyampe 160 centi. Mana bisa lolos seleksi? Meski impian lo tinggi, lo juga harus sadar diri."

Kai memanyunkan bibir. Meski menyakitkan, Dexa memang memberinya fakta-fakta. Kai bingung, harus berterima kasih atau marah. Maka dia memilih untuk kembali menyeruput mie ayam.

"Gimana kalo kita daftar ekskul cheerleaders?"

Kali ini Kai benar-benar tersedak mie ayam. Dengan sigap, Dexa pun memukul-mukul punggung Kai, lalu menyodorkan segelas air bening. Setelah sahabatnya itu tidak batuk-batuk lagi, Dexa pun melanjutkan pembicaraan.

"Gue pikir Siluman Bule bakal ikut English club atau ekskul multigender yang lain. Gue udah niat daftar ekskul apapun yang dia ikuti. Tapi cheerleaders?" Dexa menghela napas.

"Kenapa lo enggak ikut basket aja?" usul Kai tanpa menatap wajah Dexa.

"Emang hari latihan basket sama cheerleaders sama?"

"Kayanya, sih, enggak. Basket hari Selasa, cheerleaders hari Kamis."

"Terus, apa gunanya?" Dexa menekuk wajah.

"Lo pernah dengar ElexFour, nggak?" tanya Kai yang dijawab gelengan Dexa. "Itu nama tim basket dan tim cheerleaders SMA kita. Keduanya seperti sepaket. Kalo tim basket tanding, cheerleaders ElexFour pasti selalu datang. Demikian sebaliknya."

Mendengar penjelasan Kai, mata Dexa sontak berbinar. Siluman Bule menyemangatinya saat bermain basket? Bukankah itu kesempatan bagus untuk membuat Farah semakin dongkol? Semakin mengingatnya!

"Oke!" Dexa sontak berdiri tegap. "Demi tim cheerleaders, mari kita daftar ekskul basket!" pungkasnya sambil mengepalkan tinju.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro