Bab 23: SUBSTITUSI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Brak!

Farah terkejut dengan apa yang dilakukan Diva. Rekan kerjanya itu membanting tiga buah buku di meja kerja Farah. Untung saja tidak mengenai laptop yang sedang digunakan Farah untuk membuat perangkat pembelajaran.

"Kalo mau protes, Miss Diva harusnya protes ke kepala sekolah atau ke dinas pendidikan!" tukas Farah.

Sudah seminggu ini Diva memang uring-uringan karena kepergian Dexa. Bukan hanya Farah, para murid pun jadi pelampiasan. Menurut mereka, Diva lebih mudah marah, susah diajak becanda, bahkan kesal kalo ada murid yang terus menerus bertanya. Maka ketika ada materi yang tidak dimengerti, murid-murid itu memilih untuk menyimpan pertanyaan dan mengajukannya pada Farah di saat jam istirahat, pulang sekolah, atau saat pertemuan Math Club.

Diva mengambil duduk di kursi guru yang ada samping Farah. Pagi itu, ruangan guru memang lenggang karena hanya diisi oleh beberapa guru yang sedang tidak memiliki jam mengajar. Termasuk Farah. Sementara Diva, meski mempunyai jam mengajar, guru itu memilih bertemu Farah. Ia tidak mau masuk kelas dengan perasaan dongkol yang ditahan sejak apel pagi tadi karena mendengar bisik-bisik dari Siska.

"Kak Farah benar-benar enggak tahu kenapa Kak Dexa berhenti? Atau pura-pura enggak tahu?" tanya Diva tajam.

Farah sedikit tidak nyaman dengan intonasi dan raut wajah Diva. Meskipun status Diva lebih tinggi darinya, bukankah Farah masih terhitung lebih tua dibanding Diva? Bukankah harusnya sopan santun itu tidak memandang status?

"Pak Dexa diajak teman-temannya, sesame awardee, untuk membuat satu proyek," jawab Farah penuh penekanan. "Itu kalimat yang saya dengar sendiri dari Pak Dexa."

"Kak Farah benar-benar enggak tahu alasan sebenarnya?" Diva mengulangi dengan penuh penekanan.

Farah mengepalkan tangan, ia mulai kesal dengan pertanyaan yang lebih mirip interogasi itu. "Memang kamu mau dengar alasan apa lagi? Pak Dexa sudah bosan mengajar murid-murid? Pak Dexa lelah dengan sistem pendidikan yang ada? Pak Dexa enggak sanggup lagi bertahan dengan gaji 1/3 UMR?" cecarnya. "Mana yang mau Miss Diva dengar dari saya? Silakan pilih!"

"Jadi Miss Farah tidak tahu alasan sebenarnya kenapa Pak Dexa berhenti?" Diva tetap bertanya dengan penuh penekanan. Diva sudah di puncak kekesalan hingga tidak lagi memanggil Farah dengan kata 'kak'.

Farah menatap Diva. Tiba-tiba ia ragu, mungkinkah ada alasan lain? Namun apa? Apakah Dexa mau mengambil program doktoral di luar negeri? Ataukah ia diterima kerja di luar negeri? Ataukah Dexa tiba-tiba mau menikah? Farah langsung menggeleng saat alasan terakhir terlintas.

"Miss Farah enggak tahu kalo Kak Dexa menggantikan Miss Farah?" tanya Diva dengan perlahan dan tajam. Dia ingin memastikan bahwa Farah mendengar dengan jelas kata demi kata.

"Menggantikan apa?"

"Menggantikan untuk dikeluarkan dari sekolah ini."

Farah mengernyit. "Bukannya memang harus Dexa? Bu Paramita adalah guru Fisika. Dan dari semua guru fisika yang ada di sekolah kita, hanya Pak Dexa yang statusnya bukan ASN, belum jadi KKP juga. Bukankah menurut sistem memang Pak Dexa yang akan tersingkir?"

Diva melengos. "Harusnya Kak Farah yang dikeluarkan. Tapi Kak Dexa yang mengajukan diri agar dia saja yang dikeluarkan. Bukan Kak Farah."

Farah lagi-lagi tidak mengerti dengan jalan pikiran Diva. Apakah karena putus asa, rekan kerjanya itu mengarang-ngarang hal yang mungkin? Namun, Farah memilih untuk tidak terpancing. Ia harus menunjukkan bahwa dirinya lebih dewasa dan matang dalam berpikir.

"Kalo saya yang dikeluarkan, lalu siapa yang mengajar Matematika di kelas-kelas saya? Pak Dexa?" tanya Farah dengan tenang.

"Tentu saja! Kak Dexa yang akan mengambil alih kelas-kelas Miss Farah."

Kali ini Farah yakin kalo Diva benar-benar frustasi karena kepergian Dexa. Entah apa yang telah diperbuat pria itu hingga Diva jadi tergila-gila dan bahkan berpikir tidak rasional. Namun sebelum Farah mendebat, Diva mengungkapkan sesuatu yang membuat Farah terkejut.

"Memang Kak Farah enggak tahu kalo waktu S1 Kak Dexa ambil jurusan matematika?"

Farah tercengang. "Miss Diva boleh kesal, boleh marah, tapi tolong jangan mengada-ada."

Masih kesal, Diva segera merogoh kantong baju dan mengeluarkan ponsel berwarna merah muda. "Lihat sendiri kalo tidak percaya!" ucapnya sambil meletakkan ponsel di meja.

Mengambil ponsel, Farah lalu mencermati gambar yang disodorkan oleh Diva. Dexandra Abdi Pasha. Bachelor of Sains in Mathematic. Selama beberapa detik, Farah pun terdiam melihat foto lembar ijazah tersebut.

"Karena saat itu pelamar untuk posisi guru Matematika ada dua, sedangkan guru Fisika tidak ada, maka Kak Dexa mengalah dan mengajukan diri untuk mengajar Fisika. Tentu saja Bu Sukma tidak keberatan. Track record Kak Dexa di Olimpiade Fisika sudah membuktikan kemampuannya."

Farah terdiam. Ternyata banyak hal yang belum ia ketahui tentang Dexa. Bahkan sekedar jurusannya saat mengambil gelar sarjana. Farah tersenyum kecut. Ternyata sebegitu tidak pedulinya ia pada orang yang sangat memedulikannya.

"Pak Dirga dan Bu Siska yang sudah berstatus sebagai ASN, Kak Dexa yang punya gelar magister, saya yang sudah jadi KKP, dan Miss Farah yang walaupun punya pengalaman tapi kalah di status dan pendidikan terakhir. Menurut Kak Farah, siapa di antara kelima guru Matematika ini yang sangat mungkin tereleminasi?"

Dihantam fakta bertubi-tubi membuat Farah tak berkutik.

"Sekarang Miss Farah tahu kenapa Kak Dexa berhenti? Atau perlu saya perjelas, bahwa pada awalnya kepala sekolah dan seluruh wakil sudah memutuskan untuk mempertahankan Kak Dexa. Bahwa sebenarnya Miss Farah yang akan tereleminasi dan Kak Dexa yang akan mengambil alih kelas-kelas Miss Farah," tambah Diva. "Saya tidak tahu apa kehebatan Miss Farah hingga Kak Dexa rela menukar pekerjaannya demi Miss Farah."

Diva lalu bangkit dan meninggalkan Farah yang terdiam. Dia telah puas. Seluruh kekesalannya tertumpahkan sudah. Sekarang waktunya kembali ke kelas dan mengajar, seperti pesan Dexa, 'Apapun masalahmu, murid-murid menanti untuk mendapat ilmu.'

***

Sembilan tahun lalu

"This is, buku you." Farah meletakkan buku dengan sampul gambar tangan orang memegang tabung reaksi di atas meja Dexa.

Dexa mengangguk sekilas lalu kembali menatap Kai yang tadi sedang bercerita. Selain mereka berdua, ada tiga orang murid laki-laki lain yang berkumpul di meja tersebut. Saat pergantian jam dan menunggu guru masuk kelas, kelimanya memang sering berkumpul. Sekedar membahas pertandingan bola semalam atau membuat rencana-rencana akhir pekan.

"Kata 'terima kasih'-nya kena macet di mana? Di tol?" Salah satu murid laki-laki mulai menggoda Farah.

Farah tersenyum canggung. Harusnya, ia memang mengucapkan terima kasih. Berkat buku tersebut, Farah tidak jadi dikeluarkan saat jam pelajaran Kimia tadi pagi. Sebagai gantinya, Dexa yang diam-diam meletakkan buku tersebut di meja Farah, terpaksa harus keluar kelas. Tidak membawa buku paket artinya tidak mau belajar, maka tempatnya di luar kelas. Demikian peraturan yang dibuat oleh Lena, guru Kimia mereka.

"Thank you." Akhirnya Farah mengucapkan terima kasih sambil tersenyum tipis. Sepertinya selama ini ia salah menilai Dexa. Entah karena posisinya sebagai ketua kelas atau karena sebenarnya Dexa adalah orang yang baik, yang pasti pria itu telah menolongnya.

"Suit, suit." Murid laki-laki yang lain menirukan bunyi siulan, memancing agar teman-teman di sekelilingnya ikut meledek Farah dan Dexa.

Dexa menarik satu sudut bibir, lalu menoleh ke arah Farah yang baru beranjak pergi untuk menghindari ledekan. "Siluman Bule!" panggilnya.

Refleks, Farah memutar badan menghadap ke arah Dexa. Bukan dirinya saja, keempat murid laki-laki yang duduk di sekitar Dexa juga menatap sang ketua kelas. Mereka penasaran apa yang ingin disampaikan oleh Dexa.

"Tadi pagi gue emang lagi pengen bolos Kimia biar bisa tidur di perpus. Gue ngantuk banget karena semalam begadang nonton bola," kata Dexa. "Jadi, jangan baper!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro