Bab 3: TANTANGAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"My name is Farah Satya Negara," ucap Farah setelah menuliskan nama di papan tulis. "You can call me Bu Farah or Miss Farah. And I am your new math teacher."

"Sebentar, sebentar. Bu Miss!"

Farah menoleh ke kursi di barisan ketiga, pada murid yang mengacungkan tangan.

"Sorry to say. Tapi hari ini kelas X-E enggak ada jam Bahasa Inggris."

Farah menyunggingkan senyum terpaksa. Ia memang sengaja memperkenalkan diri dengan bahasa inggris untuk membuat kesan pertama yang menarik. Namun tak disangka, hal itu malah menjadi bumerang. Ada murid yang tidak mengerti apa yang ia katakan.

"Di perkenalan tadi saya bilang, kalo saya adalah math teacher. Guru matematika. Saya enggak ngajar bahasa Inggris," jelas Farah.

Murid itu menahan tawa. "I understand, Bu Miss. Saya cuma kasih info kalo hari ini kelas X-E enggak ada jam bahasa Inggris. Bukan nyuruh Bu Miss ngajar bahasa Inggris."

Seketika suara sorakan dan tawa membahana di ruang kelas.

Farah memicing, memperhatikan murid yang melemparkan lelucon itu. Seorang anak laki-laki dengan rambut hampir menyentuh pelipis.

"Siapa nama kamu?"

"Nama saya Archi. 0854 triple 3 triple 2 triple 1, itu nomor HP saya. Gampang dihafalin, kan? Siapa tahu saya dan Bu Miss ditakdirkan bersama."

Suara sorakan kembali memenuhi ruang kelas. Farah menghela napas pendek. Satu. Ia menemukan satu murid yang akan jadi tantangan di kelas itu.

Tak ingin lebih lama menanggapi lelucon Archi, Farah lanjut berkata, "Seperti yang kalian tahu, Bu Henny tidak bisa mengajar lagi, karena sudah pensiun. Jadi satu semester ke depan, saya akan mengajar kelas ini."

"Yah... Bu Miss enggak bakal ngajar kita di kelas XI, dong?"

Farah mengangkat kedua bahu. "Let's see. Apakah kita bertakdir atau tidak."

Suara sorakan kembali bergema di ruang kelas.

Tak mempedulikannya, Farah lanjut berkata, "Sebelum kita belajar, saya mau kasih beberapa info. Pertama, saya akan memberikan nilai seadanya. Jadi, kalian harus belajar serius dan mengerjakan semua tugas yang saya kasih."

Farah mendengar bisik-bisik dari barisan belakang. Namun, perempuan itu tidak mengindahkannya.

"Kedua, kalo kalian kurang mengerti dengan penjelasan saya di kelas, kalian boleh bertanya di luar kelas. Tapi, saya berada di sekolah ini cuma sampai jam 3 sore. After that, I must go home. Jadi kalo kalian masih ngerasa kurang, kalian bisa les tambahan sama saya."

"Gratis, Bu Miss?" Lagi-lagi Archi menggoda Farah.

"Five minutes free trial. Special for you."

Sorakan murid-murid kembali menggema. Butuh sekitar 5 menit hingga kelas tenang lagi.

"Yang terakhir, sebelum belajar, saya mau tahu dulu tentang masa lalu kalian dan dia. Jadi-"

"Sebentar, sebentar. Bu Miss sebenarnya ngajar matematika atau BK, sih? Kenapa Bu Miss mau tahu masa lalu saya dan pacar saya?" ledek Archi.

"Sebentar, sebentar." Farah meniru kalimat Archi. "Siapa yang bilang kalo saya mau tahu masa lalu kamu dan pacar kamu?"

"Bukannya tadi Bu Miss bilang begitu?" Archi melayangkan pandang ke seisi kelas, meminta dukungan ke teman-temannya.

"Saya mau tahu masa lalu kalian dengan ma-te-ma-ti-ka. Siapa yang sudah berhubungan baik dan siapa yang masih musuhan," ucap Farah penuh penekanan. "Jadi, kalian harus mengerjakan pre-test yang sudah saya siapkan."

Tanpa banyak kata, Farah memberikan lembar yang sudah dipersiapkan kepada murid yang duduk paling depan. "60 minutes from now," ucapnya setelah yakin semua murid menerima kertas soal.

Saat murid-murid sedang serius mengerjakan, Farah menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Semua sedang mengerjakan soal, kecuali satu. Farah sempat menandai anak itu, karena sejak tadi terus melihat ke arah lapangan di bawah. Kemudian saat soal dibagikan, anak laki-laki itu malah merebahkan kepala di meja. Seakan-akan tidak peduli apa yang sedang berlangsung di kelas.

Selain Archi, Farah punya satu tantangan lain.

***

"Kamu nawarin les tambahan ke kelas X-E?"

Dengan ekor mata, Farah melirik ke arah suara berasal. Baju safari warna biru dongker, dipadu dengan sepatu kets. Siapa lagi kalo bukan Dexa. Maka tanpa repot-repot, Farah tidak menjawab pertanyaan itu.

Merasa diabaikan, Dexa segera mengambil duduk di samping Farah. "Anak-anak juga butuh waktu istirahat dan bermain."

"Owh. Jadi itu alasan kamu ninggalin kelas di tengah jam pelajaran?" sinis Farah. "Ternyata lulusan luar negeri enggak punya disiplin!"

Dexa melipat tangan sambil menyapu pandangan ke arah lapangan. Ada beberapa murid yang sedang bermain basket di sana. Meski tepat tengah hari, awan menggayut di langit. Sungguh cuaca yang cocok untuk berlarian di lapangan.

"Belajar 90 menit terus menerus bikin otak jenuh. Apalagi Fisika. Istirahat 10 menit setelah belajar 40 menit, akan membuat 40 menit berikutnya efektif," jelas Dexa.

"Who said that?" Tanpa menatap lawan bicara, Farah bertanya.

"Keseimbangan antara belajar dan istirahat. Itu yang dilakuin guru-guru di Finland. Setidaknya, di sekolah yang saya kunjungi," jawab Dexa. "Kamu enggak kasian sama otak murid-murid karena disuruh belajar terus-terusan?"

Farah memutar tubuh menghadap Dexa. "Mr. Genius, tidak semua orang beruntung punya otak kaya kamu. Sebagian harus belajar dengan sangat keras. Jika tidak, kami akan diremehkan karena nilai matematika kami sama seperti digit SMA ini."

Dexa sontak menahan tawa. "Percakapan itu, terjadi di sana." Dengan telunjuk dan ibu jari yang seakan-akan sedang menembak, Dexa membidik satu titik. "Saya cukup terkejut kamu masih ingat."

Farah membuang muka. Ia sangat malu karena ketahuan masih menyimpan masa lalu.

"Setidaknya, kasihani tubuh kamu. Jangan terlalu capek."

"Capek buat uang? It's okay."

Dexa memutar tubuh ke arah Farah. "Kamu emang niat cari uang dari les?"

"Saya bukan anak orang kaya seperti kamu," ucap Farah. Ia ingat pagi ini melihat Dexa tiba di sekolah dengan motor sport seharga lebih dari seratus juta. "Saya enggak bisa jadi tulang punggung keluarga cuma dengan gaji sepertiga UMR."

Bahwa guru honorer mendapatkan gaji di bawah upah minimum regional bukanlah berita yang baru bagi Farah. Namun, ia tidak menyangka angkanya jauh sekali di bawah UMR. Meski dengan segala penghematan, ia tidak mungkin bisa membiayai hidupnya dan sang ibu hanya dengan mengandalkan gaji itu. Apalagi mereka tinggal di kota besar, di mana mayoritas masyarakat tidak memiliki tanah lapang untuk menanam sayur dan padi, atau beternak ayam dan sapi.

"Kalo mau cari uang banyak, jangan jadi guru."

Farah menoleh, lalu menatap Dexa dengan tajam. "Emang guru enggak berhak hidup layak? Dengan semua tantangan dan tuntutan untuk mencerdaskan anak bangsa, memang guru enggak berhak dapat gaji layak?" tanyanya penuh penekanan. 

"Lihat gaji anggota dewan! Gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan perjalanan, sampai tunjangan komunikasi. Kalo kamu totalin, harusnya income satu orang bisa dibagi-bagi buat ngasih gaji layak untuk belasan atau puluhan orang guru. Saya yakin, kalo guru dapat gaji layak, mungkin mereka tidak sibuk cari tambahan di sana sini."

Dexa berdehem. "Jangan salah paham. Maksud saya bukan itu," ucapnya tidak enak hati.

"Since years ago, kita emang enggak pernah sepaham."

"Kita bisa mulai saling memahami," sambar Dexa.

"Sorry. Saya sudah punya calon suami."

Belum sempat Dexa memberi tanggapan, Farah sudah mengeluarkan ponsel dan melakukan panggilan video. "His name is Gilang," tambah Farah sesaat sebelum penggilan diangkat.

"Halo, Honey Bunny Sweety."

"Oh, hai. Ada apa?"

"Nothing. Aku cuma pengen nelpon calon suami aja." Menyeringai, Farah melirik Dexa dengan ekor mata. "Sabtu besok, kita jadi datang ke pesta pernikahan sepupu kamu, kan?"

"Em... itu.... Kayanya kamu enggak perlu datang."

"Why? Aku enggak sibuk, kok.""

Gilang diam sejenak. "Mama pengen kita break dulu."

"Break?"

"Aku yakin mama punya maksud lain, Sayang. Mungkin biar kamu fokus sama kerjaan dan tes ASN." Gilang buru-buru menjelaskan.

"So, sebelum aku jadi ASN, kita akan terus break?" Intonasi Farah mulai meningkat.

"Sayang, bukan seperti itu. Jangan salah paham dulu. Kamu tenang dulu, ya. Ini memang tantangan kita. Jadi, kasih aku waktu. Aku akan bujuk ibu untuk--"

"Enggak perlu!"

Farah mematikan telepon dan segera memblokir nomor Gilang. Air mata menggenang di mata perempuan itu. Semua perjuangan dan pengorbanannya sia-sia.

Sesaat, Farah menoleh ke samping dan mendapati Dexa tengah mengulum senyum. Sial! 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro