Bab 4: CRAZY TEACHER

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Alva Habiebie." Dexa membaca nama yang tertulis di seragam murid kelas X-E itu. Hari ini, murid itu telat lagi. Mereka berpas-pasan saat Dexa akan menuju kelas murid tersebut. Kebetulan sekali.

"Alva Habiebie," ulang Dexa. "Alva dan Habiebie. Nama dua tokoh besar. Kamu tahu siapa?"

Sambil menunduk, Ibib mengangkat bahu. Bukannya tidak tahu. Dia hanya malas menjawab pertanyaan sang guru. Dia ingin cepat-cepat masuk kelas, lalu duduk tenang hingga jam pelajaran berakhir. Seperti hari-hari yang lain.

"Jelasin tentang dua tokoh itu, kamu akan bebas PR Fisika selama sebulan."

Ibib mendongak, terkejut mendengar hal gila itu. Sebenarnya dia tidak peduli akan PR. Toh selama ini dia tidak pernah mengerjakannya. Namun, ini kali pertama dia bertemu dengan guru yang rela menukar PR dengan sebuah penjelasan sederhana. Ibib ingin membuktikan apakah guru itu benar atau berdusta.

"Thomas Alva Edison. Orang Amerika. Penemu lampu bohlam."

Tak menyembunyikan keterkejutan, Dexa tersenyum lebar. "Habiebie?"

"Bacharuddin Jusuf Habiebie. Presiden ke-3 Indonesia. Penemu teori crack atau keretakan badan pesawat. Penggagas pesawat Dornier DO-31, Gatot Kaca, dan R80."

Dexa bertepuk tangan, tulus memuji pengetahuan murid di hadapannya. "Kamu bebas PR Fisika selama sebulan."

Meski masih tidak percaya, Ibib tak urung menyunggingkan senyum. "Saya sudah boleh ke kelas, Pak?"

Dexa mengangguk, tapi tiba-tiba mencegat Ibib dengan pertanyaan, "Kamu tahu, kan, kalo nama adalah doa?"

Ibib mengangguk sambil memainkan ujung-ujung sepatunya. Dia hanya ingin percakapan ini segera berakhir.

"Bapak yakin, kamu pasti bisa sukses seperti dua tokoh tadi."

"Yaelah. Kagak mungkin, Pak," elak Ibib sambil menatap Dexa. Dia tidak tahan mendengar omong kosong itu. "Nilai-nilai saya aja jelek. Mana mungkin saya jadi kayak Pak Habiebie atau Pak Edison."

"Kata siapa enggak mungkin?"

Lagi-lagi Ibib mengangkat bahu. Bukan karena tidak tahu. Orang-orang di sekitarnya sering mengatakan hal itu: murid dengan nilai jelek, tidak akan sukses di masa depan.

"Kamu suka pelajaran apa?" tanya Dexa lagi.

"Saya kagak demen pelajaran ape-ape, Pak."

"Pelajaran olahraga?"

Ibib menggeleng.

"Di jam saya, kamu suka lihat ke arah lapangan."

"Karena bosen aje, Pak."

Dexa mengangguk. "Kalo gitu, hari ini kita belajar Fisika di lapangan. Panggil teman-teman kamu. Suruh turun ke lapangan."

Ibib membelalakkan mata karena tidak percaya.

"Satu lagi. Ingat kata-kata saya di kelas? Saya tidak akan melepaskan tangan murid-murid saya, termasuk kamu, hingga mereka bisa mengokohkan pijakan."

Ibib menggaruk-garuk kepala. Masih pagi, tapi guru baru itu sudah berkali-kali mengungkapkan hal gila yang membuatnya tercengang. Namun, Ibib tak urung menuju ke kelas untuk menyampaikan pesan dari si guru Fisika.

***

"Mau main basket?" Dexa mengangkat bola ketika murid terakhir dari kelas X sudah meninggalkan lapangan.

Farah yang sejak lima menit lalu berdiri di pinggir lapangan langsung mendengkus. Dalam perjalanan menuju kelas selanjutnya, dia tidak sengaja melihat Dexa sedang berada di lapangan. Penasaran, perempuan itu pun berhenti untuk mengamati.

Farah menghampiri Dexa. "Kenapa kamu enggak ngelamar jadi guru olahraga aja?"

"Apa hanya guru olahraga yang boleh ngajar di lapangan?"

Farah memutar kedua bola mata. "Apa saya juga harus ngajar matematika di lapangan?"

"Kalo perlu, kenapa enggak?" Dexa mendrible bola lalu membidik ke keranjang. Masuk. Tembakan satu poin.

"Teaching physics on the basketball court?" Farah mencibir. "Saya yakin, kamu cuma pengen pamer kemampuan main basket kamu. Iya, kan?"

Sambil memantulkan bola basket ke kanan dan kiri, Dexa menghampiri Farah.

"Hukum Newton 1. Jika resultan gaya pada suatu benda sama dengan nol, maka benda yang semula diam akan terus diam. Sementara benda yang mula-mula bergerak akan tetap bergerak dengan kecepatan tetap."

"What?" Dahi Farah berkerut.

"Hukum Newton 2. Sebuah benda dengan massa m mengalami gaya resultan sebesar F akan mengalami percepatan a yang arahnya sama dengan arah gaya, dan besarnya berbanding lurus terhadap F serta berbanding terbalik terhadap massa m."

"Hah?" Dahi Farah semakin berkerut. Matanya pun ikut-ikutan memicing.

"Hukum Newton 3. Jika benda pertama memberi gaya pada benda kedua, maka benda kedua akan memberi gaya balasan sama besarnya, tetapi arahnya berlawanan."

"Kamu lagi ngomongin apa, sih?" Farah berusaha menahan diri untuk tidak memukul Dexa dengan buku-buku yang sedang dipegang.

"Apa bedanya Hukum Newton 1, 2, dan 3?"

"Saya mana tahulah! Udah lama sekali sejak saya terakhir belajar tentang Hukum Newton."

Dexa mengangguk-angguk. "Bagaimana kalo saya sederhanakan. Bola basket yang diam ini," pria itu menunjukkan bola yang ada di telapak tangannya, "Hukum Newton 1. Tetap diam karena tidak diberi gaya apapun."

Farah kembali mengernyitkan dahi.

"Saat saya drible," Dexa memantulkan-mantulkan bola ke lantai lapangan, "Hukum Newton 3. Semakin keras dorongan, semakin kuat pantulan. Aksi sama dengan reaksi."

Farah mulai mencerna penjelasan Dexa.

"Saat saya lempar ke keranjang," Dexa melempar bola basket. Tembakan tiga angka. Tanpa sadar, Farah mengepalkan tangan kiri karena ikut bersemangat. "Hukum Newton 2. Semakin kuat lemparan, semakin cepat bola meluncur. Tapi kalo bola ini diganti dengan bola sepak yang massanya lebih berat, maka lemparan saya harus lebih kuat agar bola bisa masuk ke keranjang."

Kali ini Farah mengangguk-angguk. Dibanding teori-teori yang disebutkan Dexa sebelumnya, ia lebih paham dengan penjelasan menggunakan bola basket.

Dexa mengulurkan tangan, mengisyaratkan agar buku-buku di tangan Farah ditukar dengan bola basket yang dia pegang. "Sekarang kamu tunjukan perbedaan Hukum Newton 1, 2, dan 3."

Sambil menimang-nimang bola basket, Farah mengingat-ingat penjelasan Dexa.

"Hukum Newton 1," Farah menunjukkan bola basket yang tidak bergerak di telapak tangannya, "Hukum Newton 3," Farah mulai mendrible, "Hukum Newton 2," Farah melempar bola basket ke keranjang. Sayangnya, meleset.

"Lumayan. Tinggal latihan shoot-nya aja," ledek Dexa.

"Penjelasan kamu juga lumayan. Cukup mudah untuk saya mengerti," Farah mengulurkan telapak tangan, mengisyaratkan agar Dexa mengembalikan buku-buku miliknya. "Tapi tips and trick untuk setiap soal, itu yang lebih penting untuk diberikan. Terlalu banyak penjelasan enggak terlalu berguna buat nyelesain soal-soal dengan cepat dan tepat."

"Belajar bukan sekedar untuk tahu cara cepat ngerjain soal. Belajar harus lebih dari itu. Seperti, mengetahui bahwa setiap teori ternyata relate dengan kehidupan sehari-hari."

"Tapi tips and trick lebih berguna di tes masuk universitas."

"Tapi--"

"Stop it! Saya and kamu emang enggak pernah sepaham."

Dexa tertawa kecil.

Tak ingin berlama-lama, Farah segera balik badan dan menuju kelas yang akan diajar. Baru saja dua langkah, perempuan itu berbalik karena teringat sesuatu. "Kamu tahu Ibib?"

"Alva Habiebie?" ulang Dexa yang disambut anggukan Farah. "Kenapa?"

"Tadi dia ikut kelas Fisika kamu?"

Dexa mengangguk.

"Aneh. Saya pikir dia enggak akan ikut. Karena dia selalu tidur di kelas saya."

"Berarti kamu harus coba ngajar matematika di lapangan." Dexa tertawa. "Ibib anak yang pintar."

"What?" Farah mengernyit.

"Dia bisa masukin bola basket ke keranjang. One and two points shoot."

Membelalak, Farah berseru, "Hanya karena itu, terus kamu bilang kalo dia pintar?"

Dexa mengakat kedua bahu. "Dia menggunakan prinsip dan perhitungan Newton saat memasukkan bola."

"Oh My God! Saya bisa gila kalo ngobrol sama kamu lama-lama." Farah segera balik badan dan meninggalkan Dexa.

"Ibib adalah anak yang pintar." Setengah berteriak, Dexa meyakinkan Farah. "Trust me!"

Tak mempedulikan teriakan Dexa, Farah terus melangkah. Tiba-tiba dia teringat kalimat Jatu. 'Master dari kampus di luar negeri yang memilih jadi guru honorer di sekolah digit cuma punya dua kemungkinan. Yang pertama, dia psikopat. Yang kedua, dia gila.'

Detik itu Farah yakin kalo Dexa masuk di kategori yang kedua.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro