Bab 5: PR BESAR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Next question," Farah menyapu pandangan ke seluruh murid-murid. "Lisa! Come here!"

Seorang murid dengan rambut dikucir satu berjalan menuju papan tulis. Langkah-langkahnya tenang, pandangannya fokus menatap ke arah papan tulis di depan.

"Angka mana yang bukan kelipatan 3? A. 860.934. B. 248.292. C. 7.298.160 D. 1.153.792," tanya Farah, lalu menyerahkan spidol.

Tanpa banyak kata, murid berkaca mata itu menandai beberapa angka pada masing-masing pilihan jawaban dengan titik demi titik.

Farah mengernyitkan dahi, sedikit terkejut. Tadinya ia sempat mengira Lisa akan menggunakan cara pembagian biasa yang diajarkan ketika sekolah dasar. Farah tidak menyangka jika murid tersebut punya tip dan trik khusus untuk menyelesaikan soal yang diberikan.

Setelah 2 menit berlalu, penuh percaya diri Lisa menjawab, "A, Miss!"

"A?" ulang Farah, lalu bergantian melihat wajah Lisa dan soal di papan tulis.

Penuh percaya diri, Lisa mengangguk. "Iya, Miss. Jawabannya A."

"Bisa kamu jelaskan kenapa jawaban kamu A?"

Lisa berdehem. "Saya mulai dari jawaban D dulu, ya, Miss. Yang jawaban D, kelipatan 3 ada di angka 3 dan 9. Yang C, ada di angka 9 dan 6. Yang B, cuma di angka 9 aja. Tapi yang A, kelipatan tiganya ada di angka 6, 9, dan 3. Paling banyak. Jadi, jawabannya A."

Farah terdiam, tidak sanggup berkata-kata. Ia sudah salah paham. Ternyata Lisa bukan memiliki tip dan trik khusus untuk mencari jawaban. Murid itu hanya menghitung angka-angka kelipatan tiga di setiap jawaban.

"Kamu tidak membagi angka-angka itu pakai cara biasa? Cara pembagian yang seperti rumah."

Lisa tersenyum kikuk. "Saya lupa cara pembagian itu, Miss."

Tidak ingin membuang waktu untuk menceramahi Lisa, Farah menghela napas lalu berkata, "Jawaban kamu masih salah." Perempuan itu pun mempersilakan Lisa untuk kembali duduk.

"Bima!" panggil Farah. "What is your answer?"

Bima mengacungkan telunjuknya, seolah-olah tengah menulis di udara. "B, Miss," jawabnya semenit kemudian.

"Kenapa kamu pilih B?"

"Kalo ada soal pilihan ganda, biasanya saya pilih jawaban B, Miss. Karena membawa keberuntungan. Soalnya inisial nama saya juga B." Bima menyeringai.

Beberapa murid sontak terkikik. Farah memperhatikan, kemudian memanggil salah satunya.

"Archi! Apa jawaban kamu?"

Yang dipanggil sontak berdiri. Dengan sikap tegak layaknya seorang pasukan militer, Archi menjawab, "Siap, Bu Miss! Jawabannya C."

"Why?"

Archi melemaskan tubuh. Sikap sempurnanya sudah hilang. "Tadinya saya pengan pilih A, Bu Miss. Sesuai inisial nama saya. Tapi Lisa udah jawab A dan jawaban Lisa salah. Berarti saya pilih C aja. Karena huruf D enggak ada di kata Ar-chi."

Murid-murid di kelas sontak terbahak.

Sementara itu, Farah hanya bisa geleng kepala. Tak mau buang waktu, perempuan itu segera mengetuk-ngetuk papan tulis dengan spidol untuk meredakan kegaduhan.

"Kalian tahu enggak?" Farah menyapu pandangan ke seisi kelas, "Ini pertanyaan yang sering ada di ujian masuk kampus. Sebenarnya kalian bisa pakai cara pembagian yang pernah diajarin di SD. Tapi saya mau kasih tips and trick-nya. Coret angka yang bisa dibagi 3, lalu tambahkan sisa angka yang lain."

Farah memutar tubuh ke arah papan tulis. "Pilihan A, 860.934. Coret 6, 9, and 3. Hitung 8+0+4. Hasilnya 12. Karena 12 bisa dibagi dengan 3, artinya jawaban A adalah hasil perkalian 3.

"Selanjutnya, jawaban B. Coret 9. Tambahkan 2,4,8,2, dan 2 lagi. Hasilnya 18. Angka ini bisa dibagi 3. Berarti jawaban B adalah hasil perkalian 3. Untuk jawaban C, coret 9 and 6. Lalu 7+2+8+1+0 = 18. Sama seperti jawaban B. Berarti angkanya juga hasil perkalian 3." Tanpa jeda, Farah menjelaskan.

"Terakhir, kita coret angka 9. Lalu hitung 1+1+5+7+2. Hasilnya 16. Kita tidak bisa membagi habis 16 dengan 3. Artinya, 1.153.792 bukan hasil perkalian 3. So, the answer is D."

Entah siapa yang mulai, tepukan mulai menggema di kelas X-E. Farah menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Murid-murid masih bertepuk tangan sambil menatap takjub padanya, kecuali satu. Farah pun menghampiri murid yang sedang merebahkan kepalanya itu.

"Alva Habiebie."

Dengan enggan, murid tersebut mengangkat kepala.

"Kamu ngerti penjelasan saya?"

Yang ditanya melihat sekilas ke papan tulis. "Saya kagak bakal ikut tes masuk kampus, Bu. Jadi enggak ngarti juga kagak papa."

"It's okay. Kamu enggak perlu terlalu mengerti tips and trick ini. Tapi kamu harus serius untuk materi saya yang lain."

Ibib melengos, lalu kembali menatap Farah yang masih berdiri di dekat mejanya. "Emang integral, turunan, fungsi, atau limit, bakal bermanfaat buat hidup saya nanti, Bu?" tanyanya, lalu menyeringai.

***

"Bu Nawaang." Dengan tubuh lesu Farah memasuki ruang Bimbingan Konseling lalu mengambil duduk di hadapan Nawang.

Farah menatap sekeliling. Ruang berukuran 6x4 meter itu masih seperti dalam ingatannya. Letak kursi dan meja, juga lemari yang berguna sebagai pembatas antara ruangan Nawang dan ruangan koleksi. Seingat Farah, lemari yang menghadap ke arah belakang itu menyimpan berbagai buku bertema psikologi dan bimbingan konseling. Uniknya, banyak di antara buku-buku itu yang cocok untuk dibaca oleh remaja.

"Ada apa?"

Farah merebahkan kepala di meja, lalu menatap nanar ke dinding di samping. "Saya capek."

"Capek ngajar?"

Masih dengan posisi pipi menempel di meja, Farah mengangguk. Perempuan itu perlahan menegakkan punggung. "Saya masih enggak percaya. Ada murid yang tidak bisa pembagian tapi diterima di SMA ini. Setahu saya, SMA ini dulu adalah salah satu SMA favorit. Makanya papi nyuruh saya ngelanjutin sekolah di sini."

"Dulu, murid-murid yang mau masuk ke SMA ini memang harus punya nilai bagus. Tapi sekarang, ada jalur masuk di mana murid-murid bisa diterima hanya karena lokasi rumahnya berdekatan dengan sekolah. Meskipun nilainya pas-pasan."

Farah mendengkus. "Privilege tetanggaan sama sekolah favorit bikin murid-murid enggak punya motivasi untuk belajar serius di sekolah sebelumnya. Saya benci peraturan ini!" gerutu perempuan itu sambil mengacak-acak rambutnya.

"PR kamu buat bikin anak-anak termotivasi untuk belajar."

Farah berpaling ke arah lemari pembatas. Dari sana, sosok Dexa muncul sambil memegang buku berjudul The Best School. Buru-buru, Farah merapikan rambut, lalu berseru, "Kamu enggak usah ikut-ikutan! Kamu enggak diajak!"

Dexa mengangkat bahu, lalu kembali masuk ke ruangan koleksi.

"Dexa benar. Menyalahkan peraturan tidak akan banyak berguna. Kita hanya pelaksana kebijakan, bukan pembuat." Nawang menarik napas panjang. "Memang merepotkan karena PR kita bertambah. Tapi kalo kamu memang pengan jadi guru sejati, kalo kamu memang mencintai profesi ini, mau enggak mau kamu harus jalani ini."

Masih seperti 7 tahun yang lalu, suara lembut Nawang mengalun di telinga Farah. Dan masih seperti dulu, wanita gempal itu tetap menjadi inspirasi Farah untuk terus menjalani profesi sebagai guru.

"Saya harus bagaimana, Bu Nawang?"

"Dua kali dalam seminggu. Luangkan waktu kamu masing-masing 1 jam saja, untuk ngasih belajar tambahan setelah pulang sekolah."

Farah terdiam. Ada setitik ragu di hatinya. Permintaan guru yang dihormati dan kebutuhan keluarga. Bagaimana ia harus memilih antar keduanya?

Lagi-lagi Nawang hanya mengulum senyum. "Ibu dititipi ini dari beberapa guru ASN di sekolah ini." Wanita itu mengulurkan amplop putih.

"Ini apa, Bu?"

"Kami bilangnya tanda cinta dari keluarga. Kami tahu, selisih gaji guru honorer dan gaji kami sangat jauh. Maka sebagai keluarga, kami ingin berbagi sedikit milik kami."

"Enggak usah, Bu! Saya enggak mau."

Nawang meraih tangan Farah. "Ibu sudah tahu kamu akan menolak. Jadi, anggap ini harga untuk permintaan ibu. Luangin waktu kamu untuk kasih tambahan belajar buat murid-murid yang sangat kesulitan dalam matematika. Bisa, kan?"

Farah diam, tenggelam dalam pemikiran.

"Gimana? Mau, ya?"

Sambil tersenyum, Farah mengangguk. Ia tidak punya alasan untuk menolak.

"Alva Habiebie. Saya titip satu murid, ya, Siluman Bule!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro