Bab 6: JENIUS YANG MENYEBALKAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



"Alva Habiebie!" Farah mencegat murid berambut cepak itu di dekat gerbang sekolah, tepat saat bel masuk mulai berbunyi.

Ibib terkejut. "Kenape, Bu?" tanyanya bingung.

Ibib menengok ke belakang, ke arah gerbang sekolah berwarna hijau yang berjarak dua meter dari tempatnya berdiri. Di baliknya, beberapa murid membungkuk dengan napas terengah-engah. Terlihat betul mereka habis berlari demi mengejar gerbang yang dijaga oleh satpam dan ditutup tepat saat bel berdentang. Sayangnya, mereka tidak sempat.

"Saya kan kagak telat, Bu." Ibib langsung membela diri. Harusnya, murid-murid tidak dinyatakan terlambat jika berhasil memasuki gerbang sebelum bel berbunyi.

"Siapa yang bilang kalo kamu telat? I just called your name," ucap Farah sambil mengulum senyum.

Sontak Ibib menunduk, lalu memainkan ujung sepatu. Dia tahu, lebih baik mendengarkan apa yang akan disampaikan guru tersebut. Tidak ada gunanya pagi-pagi mencari masalah dengan seorang guru.

"Trigonometri, ini digunakan untuk mengukur tinggi gedung-gedung pencakar langit."

Ibib mendongak, bingung dengan kalimat yang disampikan guru muda tersebut.

Tak menggubris raut bingung Ibib, Farah melanjutkan, "Baris dan deret, dipakai untuk menghitung bunga majemuk dan anuitas. Fungsi komposisi, adalah algoritma yang diterapkan pada banyak perintah komputer. Selanjutnya turunan, dipakai untuk menghitung navigasi percepatan dan jarak pesawat.

"Jika ingin menghitung volume benda yang bentuknya tidak beraturan, kita pakai integral. Limit fungsi, digunakan untuk menentukan tanggal kadaluarsa makanan atau produk. Vector, dipakai untuk menentukan posisi GPS. Dan untuk memprediksi jumlah penduduk puluhan atau ratusan tahun lagi, kita bisa pakai logaritma."

Antara tercengang dan bingung, Ibib menatap Farah.

"Kamu pernah tanya saya, apa manfaat mempelajari materi-materi tadi untuk kehidupan kita."

Ibib menggumamkan 'oh' pelan. Dia akhirnya mengerti, apa yang sedang dilakukan guru tersebut.

"Ibu repot-repot nyegat saya, buat kasih tahu itu?" Ibib mengulum senyum. "Tapi kayanya di masa depan, saya kagak bakal jadi petugas sensus atau iseng ngitungin volume benda tidak beraturan, dah," ucapnya sambil cengengesan.

Farah tersenyum tipis. "Kamu enggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan."

"Iya, sih, Bu." Ibib menggaruk-garuk kepala. "Tapi, orang bego kaya saya paling jadi badut di jalanan."

Farah menatap Ibib dengan mata berkilat karena marah. Teringat dirinya yang dulu diremehkan. "Who said that you are stupid?"

"Orang-orang," jawab Ibib sambil tersenyum tipis. "Saya juga bisa masuk SMA ini karena modal umur tua, Bu."

Farah lantas membuka amplop yang dari tadi dipegang, lalu menyodorkan dua lembar kertas pada Ibib. "Ini hasil psikotes kamu."

Dengan enggan, Ibib menerima lembaran tersebut. Sepulang sekolah tiga hari yang lalu, Dexa memang mengajaknya ke satu tempat. Ibib tidak mengira jika di sana dia disodori banyak pertanyaan. Meskipun tidak siap, Ibib mengerjakannya dengan sebaik mungkin karena Dexa menjanjikan akan mengajarinya bermain bola basket setelah tes itu berakhir.

Ibib melihat sekilas lembaran yang diberikan Farah, lalu mengembalikannya. "Emang apa katanya, Bu?" tanyanya tanpa ingin bersusah payah mencerna angka-angka dan kalimat yang tertera di sana.

"Taraf kecerdasan keseluruhan: 139, very superior. Taraf kecerdasan verbal: 145, very superior. Taraf kecerdasan performance: 120, superior."

"Terus kenape, Bu?"

Farah mengembuskan napas karena gemas. Ternyata murid jenius bisa menyebalkan. "Artinya nilai IQ kamu tinggi. Kamu jenius, pintar, smart!"

"Masa, sih, Bu? Terus, kenapa nilai saya jelek?"

"Albert Einstein, Charles Darwin, Aristotles Onnasis, Stephen Hawking, dan tokoh yang namanya ada di nama kamu: Thomas Alva Edison. Kamu tahu, enggak? Mereka pernah dianggap bodoh. Tapi ternyata mereka menjadi ilmuwan-ilmuwan dengan penemuan besar yang mempengaruhi sejarah dunia." Farah mengulang kalimat yang disampaikan Dexa saat menyerahkan amplop tersebut, siang kemarin.

"Kamu bisa seperti mereka, kalo kamu serius belajar," lanjut Farah.

Mendengar penjelasan Farah, Ibib terdiam. Ada sedikit asa yang muncul di hatinya. Apakah dia mampu menjadi seperti nama-nama besar yang disebutkan tadi?

Tak ingin berlama-lama karena harus segera masuk kelas, Farah melanjutkan, "Siang ini, setelah pulang sekolah, saya tunggu kamu di lab IPA?"

"Mau beresin Lab IPA, Bu? Pan saya kagak telat."

"Saya mau kasih les tambahan untuk kamu dan beberapa teman kamu."

"Kagak usah, Bu. Makasih. Ibu kagak perlu repot-repot ngelesin saya." Ibib mengangkat dua tangan di depan dada. "Soalnya saya kagak punya duit buat bayar les," sambungnya sambil menyengir.

"Jangan pikirin bayarannya."

"Kagak mungkin saya enggak pikirin, Bu. Kalo tiba-tiba akhir bulan saya ditagih bayaran les, nanti saya ketar-ketir," ucap Ibib sambil tersenyum lebar.

Farah menarik napas panjang. Jika bukan karena Dexa, sesungguhnya ia enggan membujuk Ibib. Saat Nawang menyerahkan amplop titipan guru-guru pada Farah dan Dexa, pria itu justru memberikan bagiannya untuk Farah. Bayaran untuk les Ibib, kata Dexa waktu itu.

Bagi Farah, Dexa sangat cerdik. Pria itu mengungkapkan permintaannya di depan Nawang. Membuat Farah, mau tak mau, harus mengiyakan. Menyebalkan, bukan?

"Kamu dan teman-teman kamu jangan mikirin bayaran. Selama saya memberikan lesnya di sekolah, saya tidak akan memungut bayaran dari kalian," tegas Farah. "Jadi, siang ini, saya tunggu kamu di Lab IPA. Jangan sampai tidak datang!"

Farah lalu balik badan untuk bersiap mengajar di jam pertama. Namun baru beberapa langkah, Perempuan itu berhenti dan kembali menghampiri Ibib.

"Meski kamu tidak akan jadi petugas sensus atau orang iseng yang ngitungin volume benda berbentuk tidak beraturan, tapi matematika bisa ngelatih kamu untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah. Dalam hidup, kamu sangat membutuhkan keterampilan ini."

***

"Jadi, sekarang kamu sudah lebih Indonesia?" sindir Farah saat menangkap kehadiran Dexa di ambang pintu Lab IPA.

Sore itu, sebagian besar guru sudah pergi tepat ketika jam kerja berakhir, tepat pada pukul 3. Sementara Farah masih berada di sekolah setelah selesai memberikan les tambahan. Sedangkan Dexa, dia tetap berada di sekolah untuk memastikan Ibib mengikuti jam belajar yang telah dijadwalkan.

"Lebih Indonesia apanya?"

"Pendapat kamu tentang les tambahan. Kamu sudah enggak menentangnya lagi, kan?"

Mengerti maksud Farah, Dexa pun tertawa. "Di Finland ada belajar tambahan, kok. Tapi khusus untuk anak-anak yang sangat membutuhkan."

Pria itu lalu berjalan ke arah Farah dan memilah-milah lembaran kertas jawaban. "Sudah saya bilang, dia anak pintar," ucapnya sambil melihat lembar jawaban milik Ibib.

Farah melihat sekilas ke arah Dexa. "Empat puluh, dari poin maksimal 100. Saya rasa pintar dalam kamus kamu dan saya sangat berbeda," ucapnya sambil terus mengoreksi lembar jawaban murid-murid yang tadi mengikuti les tambahan.

"Ada peningkatan, kan?"

Farah memilih diam. Ia tidak memungkiri hal yang disampaikan Dexa. Di hari-hari sebelumnya, Ibib selalu mendapatkan nilai 15, meski sudah menjawab beberapa soal. Maka meraih angka 40, bisa dibilang sebagai sebuah pencapaian besar. Mungkin karena pada dasarnya Ibib memiliki nilai IQ yang tinggi.

Dexa mengambil duduk di depan Farah, sambil menatap lekat perempuan tersebut. "Kasih dia motivasi dan waktu. Lalu kamu akan lihat dia mengejar ketertinggalan dan melesat," ucapnya penuh keyakinan.

Tidak menggubris kata-kata Dexa, Farah terus berkutat dengan lembar-lembar jawaban. Ia hanya ingin segera menyelesaikan tugas koreksi agar bisa segera pulang.

"Kamu sudah buktiin, kan?" kejar Dexa.

Farah mendongak dan menatap pria di hadapan. Ia menduga-duga apa yang ingin disampaikan Dexa.

"Kamu sudah buktiin, bisa jadi guru matematika meski nilai matematika kamu saat SMA sangat mengenaskan."

Dexa menyeringai, lalu segera berlari keluar Lab IPA sebelum sempat mendengar Farah mengumpat, "Orang jenius memang menyebalkan!"

***



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro