Bab 7: TUGAS YOU, MASALAH YOU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



7 tahun yang lalu.

"Dexandra Abdi Pasha! Sini!"

Mendengar namanya dipanggil, Dexa pun segera menghampiri Nawang di meja guru. Ia melangkah penuh percaya diri dengan senyum terkembang, seperti yang biasa dilakukan oleh murid jenius lainnya. Saat guru memanggil murid pintar, bukankah kemungkinannya hanya dua? Ingin memuji atau menjadikannya tokoh teladan di kelas.

"Ini benar?" tanya Nawang saat Dexa sudah tiba di samping meja. Guru Bimbingan Konseling itu menunjukkan halaman depan sebuah makalah.

Dexa membaca tulisan yang ada. 'Laporan Cita-cita. Disusun untuk tugas Bimbingan Konseling oleh Farah Satya Negara (Catatan: Bab 3 masih kosong karena itu bagian teman sekelompok saya, Dexandra Abdi Pasha. Bab 4 saya kerjakan tanpa diskusi dengan teman sekelompok karena dia sibuk latihan basket)'.

Sontak Dexa menoleh ke arah barisan di sebelah kanan. Di sana ada sosok gadis yang sedang menatapnya dengan tajam, tanpa ragu. Selama beberapa detik keduanya saling bersitatap.

"Apa benar kamu tidak ikut menulis laporan?"

Pertanyaan Nawang menyadarkan Dexa yang langsung segera menoleh. "Eh, itu...." Dexa melirik ke arah Farah. Ia tidak menyangka gadis itu menuliskan secara jujur bahwa rekannya tidak ikut menyusun makalah.

Melihat Dexa terus menerus menoleh ke arah Farah, Nawang pun memutuskan untuk memanggil yang satunya. "Farah Satya Negara!"

Tanpa ragu, Farah menghampiri Nawang. Bahkan jika harus berhadapan dengan si musuh bebuyutan, dia tidak takut. Ini bukan kali pertama.

Begitu Farah tiba di samping, Dexa langsung berbisik, "Kenapa lo--"

"Tugas I, masalah i. Tugas you, ya, masalah you," potong Farah dengan suara lantang yang bisa dipastikan terdengar oleh seluruh murid di kelas.

Beberapa murid mulai berbisik-bisik dan membuat kegaduhan. Nawang pun terpaksa menangguhkan masalah Dexa dan Farah, untuk membuat kelas kembali tenang.

"Dexandra, apa catatan ini benar?" ulang Nawang.

Sambil menunduk dalam, Dexa mengaku, "Iya, Bu." Pada saat ini, mengajukan alasan-alasan tidak akan berguna. Farah akan menyanggahnya dan Nawang pasti akan tetap memintanya mengerjakan tugas.

"Ibu tahu kamu kapten tim basket. Ibu juga tahu kalo tim basket akan ada pertandingan penting. Tapi, kamu tetap harus memperhatikan tugas akademik kamu. Ibu rasa kamu cukup cerdas untuk membagi-bagi waktu sehingga akademik dan ekstrakurikuler kamu tetap bisa berjalan seimbang." Nawang memberi jeda. ""Ibu tunggu tugas kamu sampai minggu depan."

Sambil menunduk, Dexa mengangguk. Sesuai dugaan.

***

Masa kini.

"Kamu ngajar kelas XII-A?" tanya Dexa saat melihat Farah keluar dari ruang kelas tersebut.

Setahu pria itu, tahun ajaran ini Farah hanya mengajar di kelas X. Sementara dua guru matematika yang lain masing-masing mengajar kelas XI dan XII.

Merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Dexa, Farah memilih untuk diam sambil terus berjalan. Lagipula, pertanyaan itu harusnya sudah terjawab saat Dexa melihat Farah keluar dari kelas XII-A.

"Kenapa Bu Siska enggak ngajar? Tadi pagi dia ada," kejar Dexa sambil menjajari langkah Farah. "Apa dia cuma datang untuk absen aja?"

Lagi-lagi perempuan itu memilih diam. Seharian ini jadwalnya akan padat. Ia masih harus naik ke lantai 3 mengajar di kelas X-A, lalu turun ke lantai 1 untuk mengajar ke XII-C, dan terakhir kembali naik untuk mengajar kelas dan X-D. Daripada meladeni Dexa, dia lebih memilih untuk menyimpan tenaga.

Tak pantang menyerah, Dexa kembali bertanya, "Urusan sekolah atau luar?"

Dexa tahu, ini bukan kali pertama Farah menggantikan Siska untuk mengajar kelas XII. Guru yang juga menjabat sebagai staff wakil kepala sekolah itu memang punya banyak kegiatan. Mulai dari rapat bersama MGMP, narasumber seminar, hingga rapat penyusunan soal.

"Ikut pelatihan Matematika." Tak tahan dengan keingintahuan Dexa, akhirnya Farah menjawab dengan harapan pria itu tidak lagi banyak tanya. Namun, ia lupa. Dexa bukan jenis manusia seperti itu.

"Lagi?" tanya Dexa sambil terus menjajari Farah menaiki anak tangga.

"Semester ini Bu Siska belum mencapai target minimal 32 poin."

Dexa mendecak. Beberapa bulan lalu, ia memang baru tahu bahwa semua guru ASN harus mengikuti pelatihan atau seminar untuk mencapai target poin yang telah ditentukan pemerintah. Hal ini berlaku untuk tiap semester. Siapapun yang tidak memenuhi target akan berpengaruh pada tunjangan yang akan mereka terima.

"Enggak ada pelatihan di weekend?"

"Ada, tapi jarang. Dan kamu pikir Bu Siska enggak mau istirahat? Weekend is family time," dengkus Farah sambil mengingat foto-foto yang sering diupload oleh Siska di media sosial. Hampir setiap akhir pekan, wanita itu liburan bersama keluarganya. Tidak ada yang salah dengan itu. Bukankah setiap orang punya hak untuk menghabiskan waktu bersama keluarga?

"Itu resiko dia."

Farah tetap diam sambil terus menaiki anak tangga. Sebenarnya dia juga kesal karena berulang kali harus menggantikan kelas rekan sejawat. Namun, dia tidak punya pilihan lain.

"Farah yang saya ingat, tidak mau mengerjakan tugas yang bukan bagiannya," ucap Dexa. "Tugas I, masalah i. Tugas you, masalah you."

Sedikit terkejut karena Dexa masih mengingat kalimat itu, Farah menghentikan langkah. Perempuan itu lalu mendongak. Entah ingatannya yang sudah pudar atau memang selisih tingginya dengan Dexa semakin bertambah jauh. Namun rasanya, dia harus mendongak lebih tinggi untuk bisa menatap laki-laki itu.

"Ini perintah kepala sekolah. Kamu, kan, udah tahu, target poin ini juga ngaruh ke poin kepsek dan otomatis ngaruh ke tunjangan dia. Saya bisa apa?"

"Protes ke kepala sekolah."

"I can't do that! Saya enggak tahu bagaimana di Finlandia, tapi di Indonesia, nasib guru honorer ada di tangan kepala sekolah. Enggak mau ikut aturan, keluar."

"Kalo memang harus keluar, ya, keluar. Daripada kamu harus kerja rodi."

"Pak Dexandra, di luar sana banyak yang antri untuk menggantikan posisi saya. Sementara saya? Belum tentu ada sekolah yang antri buat nerima saya. I need this job. No matter what!" tegas Farah, lalu berjalan meninggalkan Dexa.

Dexa terdiam. Makin hari, ia makin mengerti bagaimana guru honorer di Indonesia menahan sakit. Harus ada yang direformasi. Namun ia tidak tahu dari titik mana.

***

Tujuh tahun lalu. Satu hari sebelum mengumpulkan tugas Bimbingan Konseling.

"Jam berapa you mau datang ke rumah i?" tanya Farah dari seberang telepon.

Dengan cemas, Farah melihat jam dinding yang sudah menujukkan pukul 4.15. Jika Dexa tidak bergegas, mereka terpaksa harus mengerjakan tugas sampai malam. Tentu saja itu tidak akan terjadi karena tepat saat pukul 7 malam, ayah Farah akan mengusir anak laki-laki manapun yang sedang berkunjung ke rumah.

"Gue masih latihan. Mungkin selesainya malam. Lo kerjain sendiri aja," jawab Dexa dari pinggir lapangan. Sambil duduk selonjoran, ia menonton teman-temannya bermain.

"I enggak mau. This is group task. Kita harus kerjain ini together."

"Tapi tugas ini buat nilai lo juga. Kalo enggak lo kerjain, nilai lo bakal jelek. Mau?" ledek Dexa. Ia yakin, Farah tidak akan mengambil resiko mendapat nilai jelek.

"Berarti you harus korbanin latihan you hari ini!"

Masih tak ingin menyerah, Dexa bertanya, "Kalo tim basket sekolah kita kalah, lo mau tanggung jawab?"

Farah menggemeretakkan gigi. Dia tidak menduga Dexa akan melakukan ini. Entah karena ingin mengerjai Farah atau karena memang lebih mempedulikan pertandingan basket.

"Terserah you aja!" Dengan kesal, Farah menutup telepon.

Melihat telepon ditutup, Kai, sahabat sekaligus anggota tim basket ElexV yang sejak tadi duduk bersama Dexa di pinggir lapangan akhirnya berkomentar, "Kerjain aja tugas kelompok lo. Kita bisa, kok, latihan tanpa lo. Lagian, cuma sekali ini doang."

Dexa menggeleng sambil menggulir-gulirkan bola basket di lantai lapangan.

"Bukannya lo pengen banget sekelompok sama dia. Kenapa sekarang malah ngelewatin kesempatan emas ini?"

"Gue belum siap ketemu bokap nyokapnya."

Kai mengernyit. "Lo, kan, cuma mau ngerjain tugas kelompok, Dex. Bukan mau ngelamar anak gadis orang!"

"Gue mau memberikan first impression yang benar-benar membuat bokap nyokapnya tidak bisa ngelupain gue. Dan sekarang, belum saatnya."

Kai menepuk jidat. Bahkan dengan gelar kapten tim basket dan peraih medali emas olimpiade, Dexa masih belum percaya diri. Lalu bagaimana dengan nasib anak laki-laki yang lain?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro