Bab 8: RAHASIA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Archi!"

Archi yang sedang mengisi waktu istirahat dengan bermain basket, segera menghampiri guru Fisika yang memanggilnya dari pinggir lapangan.

"Ini," Dexa menyodorkan lembar jawaban ujian tengah semester. "Padahal kamu tinggal masukin angkanya. Kenapa kamu berhenti?"

Saat memeriksa lembar jawaban ujian tengah semester milik Archi, Dexa memang sedikit heran. Murid itu bisa menulis dengan benar semua rumus untuk pertanyaan perhitungan. Namun, hanya sampai di sana. Dia tidak memasukkan angka-angka tersebut ke dalam rumus, apalagi menghitungnya.

"Kamu tidak tahu harus memasukkan angka yang mana atau kamu tidak bisa menyelesaikan perhitungannya?" selidik Dexa.

"Saya enggak mau, Pak. Bukan enggak tahu," ucap Archi sambil sesekali melirik ke kiri dan kanan. Sebisa mungkin, dia ingin menghindari tatapan Dexa.

"Kenapa? Kamu bisa menjawab semua soal teori dengan benar. Jika kamu juga menyelesaikan soal perhitungan, kamu pasti bisa dapat nilai tinggi."

Menurut Dexa, Archi seharusnya bisa mengantongi angka 84 untuk ujian tersebut. Namun karena tidak menyelesaikan banyak soal, murid itu hanya mendapatkan nilai 67.

"Enggak ada gunanya dapat nilai tinggi, Pak. Semua pasti bilang kalo itu bukan hasil kerja keras saya. Itu sudah jadi rahasia umum."

"Rahasia umum?" ulang Dexa. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi bel masuk sudah berdentang. Dexa pun terpaksa mengizinkan murid X-E itu untuk masuk ke kelas.

***

"Silakan masuk!" ucap Sukma.

Beriringan, Dexa dan Farah memasuki ruangan berukuran 4x5 meter tersebut. Mereka masih belum tahu kenapa kepala sekolah memanggil.

"Gimana proses KBM di kelas Bu Farah dan Pak Dexa selama tiga bulan ini?" tanya Sukma setelah mempersilakan kedua guru baru tersebut untuk duduk. "Lancar semua?"

Serempak, Dexa dan Farah mengangguk. Sebenarnya, proses KBM tidak bisa dikatakan lancar sepenuhnya. Ada saja murid yang bermain saat belajar, tidak mengerjakan tugas yang diberikan, bahkan mengerjakan ujian dengan asal-asalan. Namun tentu saja, masalah kecil itu bukan hal mendesak yang harus dilaporkan kepada kepala sekolah.

"Oh ya. Saya dengar Bu Farah mengajar matematika di lapangan olahraga, ya?"

Meski sedikit terkejut, Farah tak urung mengangguk. "Iya, Bu. Sekitar 3 atau 4 minggu yang lalu." Ingin membuktikan perkataan Dexa, ia memang pernah mengajar matematika di lapangan sekolah.

"Kami mengadakan pertandingan basket dan beberapa siswa diminta mencatat poin. One, two, atau three points shoot. Lalu data-datanya kami pakai untuk belajar materi statistika. Tentang mean, median, modus, hingga cara menghitung dan menyajikan data."

Awalnya, Farah hanya ingin membuat Ibib semangat untuk mengikuti pelajaran. Namun ternyata, hasilnya mencengangkan. Seluruh murid sangat bersemangat dengan pelajaran matematika hari itu. Proses pembelajaran berjalan lancar. Bahkan murid-murid bersemangat mengerjakan tugas yang diberikan.

"Saya yang pertama kali mengajar sambil main basket, Bu," sambar Dexa. "Lalu saya menyarankan Bu Farah untuk mencoba metode ini agar anak-anak semangat belajar."

Menduga masalah mengajar di lapangan menyebabkan Farah dipanggil oleh kepala sekolah, Dexa pun merasa bertanggung jawab untuk membela. Bukankah memang dia yang menginisiasi hal tersebut?

Sukma berpaling pada Dexa. "Lalu bagaimana respon murid-murid?"

"Cukup bagus, Bu. Karena bersemangat, mereka jadi lebih mudah memahami materi," jelas Dexa. "Boleh, kan, Bu, kami mengajar di lapangan?"

Sukma berpikir selama beberapa detik, lalu berkata, "Selama itu baik untuk murid-murid dan bisa membuat mereka semangat belajar, silakan saja."

Dexa dan Farah tersenyum. Jika persoalan mengajar di lapangan menjadi alasan pemanggilan keduanya, sepertinya hal itu sudah selesai.

"Oh ya! Saya juga mendengar hal lain tentang Bu Farah," ucap Sukma sambil menatap Farah. "Apa benar Bu Farah memberikan les tambahan di sekolah?"

"Benar, Bu." Farah mengiyakan. "Maaf karena saya tidak mengabarkan ibu," tambahnya menyadari kesalahan.

"Gratis?"

Farah melirik ke arah Dexa. "Ada donaturnya, Bu."

"Begini, Bu Farah," Sukma berdehem, "Sebenarnya, ada peraturan yang tidak membolehkan guru memberikan les tambahan. Apalagi berbayar."

"Tepatnya, jam belajar tambahan, Bu. Bukan les," sambar Dexa. "Mohon maaf karena saya menyela. Di Finland, saya melihat guru-guru memberikan jam belajar tambahan untuk murid-murid yang membutuhkan. Menurut saya, itu bagus. Lalu saya menyarankan Bu Farah untuk melakukannya."

Farah menoleh ke arah Dexa. Lagi-lagi, pria itu berusaha untuk membelanya. Farah sedikit kesal karena merasa dianggap lemah dan perlu pertolongan.

"Pak Dexa, les atau apapun itu, menurut peraturan pemerintah kita, hal itu tidak boleh dilakukan oleh guru sekolah." Sukma lalu berpaling pada Farah. "Meskipun menurut saya pribadi, guru boleh saja memberi les atau jam belajar tambahan. Asalkan pihak luar tidak tahu."

Sukma mengambil jeda sebentar, lalu melanjutkan, "Saya akan merahasiakan hal ini. Jadi, tolong bilang ke anak-anak untuk merahasiakannya juga. Karena jika ketahuan, bukan hanya sekolah ini, Bu Farah juga akan sanksinya." Wanita itu beralih ke Dexa, "Pak Dexa juga harus menjaga rahasia ini rapat-rapat, ya."

Dexa menautkan alis, penuh kebingungan. Dia merasa seolah-olah mereka sedang terlibat dalam persekongkolan dan diminta untuk tutup mulut. Padahal, apa yang mereka lakukan hanya untuk kebaikan murid-murid. Namun, Dexa tak urung mengangguk, mengiyakan permintaan Sukma.

"Baik, Bu. Nanti akan saya sampaikan ke murid-murid," potong Farah. Ia ingin agar percakapan tersebut segera berakhir.

"Lalu, mengenai nilai untuk raport tengah semester," lanjut Sukma. "Saya sudah melihat nilai yang di-input oleh Pak Dexa dan Bu Farah. Maaf karena saya lupa menginfokan ini di awal. Nilai minimal di raport akhir semester nanti, untuk mata pelajaran Fisika dan Matematika, harus 82. Berlaku untuk semua murid."

Farah mengernyit, teringat beberapa murid, termasuk Ibib. "Sepertinya ada beberapa murid yang tidak bisa mencapai nilai itu di akhir semester nanti."

"Kenapa? Karena soalnya terlalu sulit? Kalo begitu, turunkan tingkat kesulitannya."

"Kalo tingkat kesulitannya turun, saya khawatir standar kompetensinya tidak akan tercapai, Bu."

"Ah! Itu tergantung pintar-pintarnya Bu Farah saja dalam meramu soal. Buat saja angka-angkanya lebih mudah. Pertanyaannya juga lebih sederhana."

Farah terdiam, bingung harus berkata apa. Sebisa mungkin, ia sudah membuat soal dengan komposisi tingkat kesulitan yang seimbang. Ada yang mudah, ada yang menengah, dan ada yang sulit. Rasanya, permintaan Sukma tidak masuk akal. Apakah mungkin ia harus memberikan soal penjumlahan sederhana untuk menyesuaikan dengan kemauan atasannya?

"Maaf, Bu." Lagi-lagi Dexa memotong. "Tapi dalam persebaran data normal, sudah sewajarnya kurva berbentuk gunung landai. Ada yang nilainya rendah, ada yang rata-rata, dan ada yang tinggi. Walaupun nilai rata-rata banyak, tapi nilai rendah dan tinggi juga harus ada, Bu."

"Saya mengerti, Pak Dexa. Saya sangat mengerti tentang persebaran data. Kita akan tetap pakai kurva-kurva itu, kok. Terserah Pak Dexa dan Bu Farah mau menjadikan nilai rata-rata dan nilai tertingginya di titik mana. Yang perlu diingat, nilai terendah untuk mata pelajaran Matematika dan Fisika di sekolah ini adalah 82. Karena angka Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran Fisika dan Matematika adalah 82."

"Mohon maaf, Bu. Kenapa nilai KKTPnya harus di angka 82?" tanya Farah, mulai sedikit kesal. Baginya, nilai 82 untuk mata pelajaran Matematika harusnya hanya dikantongi oleh mereka yang benar-benar paham akan materi yang disampaikan. "Di sekolah saya dulu, nilai KKTPnya tidak setinggi ini."

"Bu Farah! Jangan membandingkan sekolah ini dengan sekolah lain!" Sukma menatap Farah dengan tajam. Namun beberapa saat kemudian, raut wajahnya kembali melunak. "Lagipula, Bu Farah pasti tahu kalo nilai murid akan mempengaruhi akreditasi sekolah. Artinya, berefek pada kepercayaan masyarakat dalam memilih sekolah ini."

Farah dan Dexa saling melirik. Mereka kurang setuju. Namun belum sempat salah satunya memberikan argumen, Sukma sudah pindah ke topik lain yang membuat Farah dan Dexa semakin geram.

"Pak Dexa dan Bu Farah kenal Euclid Archimedes, kan?"

Serempak, Farah dan Dexa mengiyakan.

"Di semester 1, nilai matematikanya 91. Dan Fisikanya 90. Semester ini, nilai dua mata pelajaran itu harus meningkat," perintah Sukma dengan senyum yang terus tersungging.

Farah segera membuka laptopnya dan mencari data kelas X-E. "Nilai tengah semester Archi, maksud saya Euclid, 71, Bu. Saya tidak terlalu yakin, Euclid bisa mencapai angka 92 di akhir semester nanti."

Bahkan jika mendapat nilai 100 untuk setiap penilaian harian dan ujian akhir semester, Archi mustahil mencapai angka 92. Selisihnya terlalu jauh.

"Kenapa tidak yakin? Yang menulis nilai di raport, kan, Bu Farah," ucap Sukma sambil tersenyum. "Orang tua Euclid ingin anaknya kuliah di jurusan Kedokteran. Dia butuh nilai bagus untuk bisa masuk jurusan itu tanpa tes."

"Saya akan bilang Euclid agar belajar lebih giat untuk mendapatkan nilai yang layak."

"Bu Farah, ayah dari Euclid Archimedes adalah anggota dewan dan sudah banyak menyumbang sarana dan prasarana untuk sekolah kita. Termasuk merenovasi lapangan dan menambah AC di Lab IPA, sehingga Bu Farah bisa memberi les tambahan dengan nyaman."

"Tapi, Bu--"

"Tolong Pak Dexa dan Bu Farah jangan mempersulit posisi saya. Seperti saya yang membantu melindungi Bu Farah meski melanggar peraturan karena memberikan les tambahan, tolong bantu saya juga untuk masalah ini," pinta Sukma, "Ssst! Ini rahasia kita." 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro