Bab 9: KESEMPATAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bagaimana kalo kita abaikan?"

"We can't do that! Nasib kita di tangan kepala sekolah. Beda cerita kalo kita sudah jadi ASN. Paling sial, kita diminta untuk mutasi ke sekolah lain.

"Tapi ini enggak jujur. Apa yang diharapkan dari pendidikan yang tidak menjunjung kejujuran?"

Farah mengangkat kedua bahu. "Kita berada dalam sistem. Kamu pikir dua ekor semut bisa menghentikan puting beliung?"

"Abaikan, tidak bisa. Laporkan, kita juga tersandera."

"Kalo enggak kuat, kamu mending resign aja," ketus Farah. Ia jengkel

"Resign? Apa saya selembek itu?" Dexa mendengkus. "Lagipula, saya tidak bisa melepaskan tangan murid-murid yang baru saya pegang. Tidak sampai mereka bisa mengokohkan pijakan.

Mengabaikan kata-kata Dexa, Farah malah mengeluh, "Pantas saja anak-anak lebih sering bermain saat saya mengajar. Buat apa repot-repot belajar dan ngerjain ujian, kalo nilai mereka sudah terjamin di angka 82? Sudah pasti naik kelas dan lulus sekolah."

Farah menghela napas panjang. "Paling tinggal mikirin caranya masuk universitas. Orang-orang beruntung seperti Archi, mungkin punya privilege untuk direkomendasikan lewat jalur prestasi. Yang tidak beruntung, mau enggak mau harus mikirin tes masuk universitas"

"Itu dia!" seru Dexa "Anak-anak akan tetap semangat belajar kalo tujuannya untuk masuk kampus lewat jalur prestasi."

"Tapi yang direkomendasikan pasti mereka yang punya privilege seperti Archi."

Dexa menggeleng. "Pihak sekolah tidak bisa menolak untuk merekomendasikan murid-murid yang meraih medali dalam olimpiade."

"Olimpiade? Astaga! Saya lupa kalo sertifikat olimpiade digunakan untuk masuk universitas."

"Ya! Universitas dalam dan luar negeri menerima itu. Dan kabar baiknya, ada banyak beasiswa yang menanti. Anak-anak pasti termotivasi."

***

"Sebelum kita akhiri pelajaran hari ini, saya punya satu info." Dexa menulis di papan tulis. "University of Edinburgh. Ada yang tahu ini di mana?"

"Di Skotland, ya, Pak De?" tanya Archi.

De adalah panggilan Archi untuk Dexa. Alasannya untuk memudahkan penyingkatan. Namun, Dexa tahu itu hanya akal-akalan.

Dexa mengangguk. "Ada yang berniat masuk ke sini?"

"Kalo jalan-jalan ke sana, sih, mau, Pak. Tapi kalo untuk kuliah, saya mundur. Pasti tes untuk masuknya susah. Kampus dalam negeri aja saya belum tentu lulus." Seorang murid berkomentar.

Dexa mengangguk-angguk, lalu kembali menulis di papan tulis. "Dalam fisika, ini simbol untuk apa?"

"Massa, Pak," sahut murid-murid serempak.

"Kalian tahu bagaimana cara mengetahui massa sebuah benda?"

"Pakai timbangan, Pak." Lagi-lagi, murid-murid menyahut kompak.

"Betul! Selain itu?" Dexa menyapu pandangan ke seluruh ruangan kelas.

Hening. Murid-murid tidak tahu ada alat ukur lain yang bisa digunakan untuk mengetahui massa suatu benda. Namun, tiba-tiba Ibib mengacungkan tangan. "Pakai rumus Newton, Pak?" tanyanya ragu-ragu. "Massa sama dengan gaya dibagi percepatan."

Dengan gaya khas menembaknya, Dexa membidik Ibib. "Luar biasa!" Pria itu Kembali melayangkan pandang ke seisi kelas. "Archi?"

"Pakai rumus massa jenis, Pak De! Massa sama dengan rho dikali volume."

"Cerdas!" Lagi-lagi Dexa membidik murid yang memberikan jawaban. "Ada lagi?"

"Massa sama dengan energi potensial dibagi gravitasi kali tinggi. Rumus energi potensial."

"Benar sekali!" Masih dengan gayanya, Dexa membidik. "Terakhir?"

Malahayati mengangkat tangan. "Rumus energi kinetik, Pak. Massa sama dengan 2 Ek dibagi v kuadrat."

"Betul! Semua jawaban kalian betul. Ternyata ada banyak cara untuk mengetahui massa suatu benda. Jika tidak ada alat ukur dan hanya diketahui kecepatan dan energi kinetiknya, kita pakai rumus energi kinetik. Berlaku juga saat kita hanya mengetahui gaya dan percepatannya."

Sambil memberi jeda, Dexa duduk di pinggiran meja. "Itu juga berlaku di dunia nyata. Kita sering mendengar istilah, 'Banyak jalan menuju Roma'. Sama seperti masuk ke University of Edinburgh, atau universitas lainnya. Ada banyak jalan yang bisa ditempuh selain ikut tes masuk."

"Maksudnya jalur prestasi, Pak?" tanya Malahayati.

Dexa mengangguk.

"Susah, Pak. Kita akan kalah sama murid-murid yang dapat nilai khusus tanpa harus capek-capek belajar," sinis murid berkacamata itu sambil melirik ke arah Archi.

Archi menunduk. Dia tahu pasti, siapa yang tengah dibicarakan Malahayati.

Bagi Malahayati, desas-desus tentang nilai khusus bukan sekedar kabar angin. Dia sudah membuktikannya di semester pertama. Nilai-nilai ujiannya selalu yang tertinggi di kelas. Namun saat penerimaan raport, nama Euclid Archimedes-lah yang dipanggil sebagai peringkat pertama.

"Kata siapa jalur prestasi hanya lewat nilai raport? Kalian punya peluang yang sama dalam kompetisi yang lebih netral. Misalnya, olimpiade."

Dexa mengambil jeda.

"Saya menjadikan sertifikat medali perak dalam International Physics Olympiad sebagai golden ticket untuk masuk Edinburgh. Bukan sekedar diterima di kampus itu, tapi juga mendapatkan beasiswa selama 4 tahun belajar di sana."

Murid-murid tercengang. Mereka tidak pernah tahu bahwa guru tersebut pernah mengantongi medali olimpiade internasional.

"Memiliki rekam jejak yang jelas juga mempermudah saya untuk lanjut S2. Lagi-lagi dengan beasiswa."

Tak bisa menutupi kekaguman yang berlipat-lipat, murid-murid pun bertepuk tangan. Sementara Dexa tersipu malu. Tadinya ia ragu untuk menceritakan kisah hidupnya. Namun demi memotivasi anak-anak, ia memutuskan untuk melakukannya.

"Tapi peserta olimpiade yang mewakili sekolah diambil dari murid dengan nilai tertinggi di mata pelajaran terkait, Pak." Malahayati memecah suasana kagum yang tengah berlangsung.

Sejak sebulan berada di SMA 514, Malahayati memang sudah mendapatkan informasi tersebut. Makanya dia berusaha keras untuk menjadi yang terbaik di kelas agar bisa mengikuti olimpiade dan meraih medali, seperti yang pernah dilakukannya saat di bangku sekolah menengah pertama. Namun, impiannya kandas oleh realita.

"Tahun ini, saya sudah pastikan hal tersebut tidak berlaku. Saya dan Bu Farah sudah mengajukan ke kepala sekolah untuk mengadakan seleksi yang boleh diikuti oleh semua siswa. Lima orang dengan nilai tertinggi, di tiap-tiap bidang, akan mewakili sekolah untuk seleksi Olimpiade di tingkat kota. Jadi, kalian semua punya kesempatan yang sama."

Tanpa sadar, mata Malahayati berbinar. Impiannya yang hampir pupus, kembali menyala. "Beneran, Pak?"

Dexa mengangguk. Setelah berdiskusi dengan Farah, Dexa memang langsung menemui kepala sekolah. Menjadi pembimbing Olimpiade Fisika, itulah janji yang ditukar oleh Dexa untuk meloloskan permintaan terkait seleksi peserta Olimpiade.

"Masih ada waktu enam bulan lagi sebelum seleksi tingkat sekolah dilaksanakan. Lima murid dengan nilai tertinggi, akan mewakili sekolah ke seleksi olimpiade tingkat kota. Ada banyak cabang yang akan dilombakan: Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Kebumian, Geografi, Ekonomi, hingga Astronomi."

"Pak!" Tanpa diduga, Ibib berseru. Membuat setiap murid di kelas menoleh "Saya boleh ikut?".

"Tentu! Saya berharap, semua murid bisa ikut berpartisipasi dalam seleksi sekolah."

"Tapi saya belum pernah belajar soal-soal olimpiade, Pak. Saya bisa dapat soal-soalnya dimana, Pak?"

"Pertanyaan bagus!" Dexa membidik Ibib. "Saya belum kasih satu info lagi. Agar kesempatan kalian sama, saya dan Bu Farah akan memberikan latihan menghadapi olimpiade, tiga puluh menit setiap jam pelajaran kami. Selebihnya, silakan kalian belajar mandiri."

Terdengar beberapa murid bersorak. Meski ada juga yang mengeluh karena soal-soal olimpiade akan lebih sulit dibanding materi yang sudah ditetapkan dalam kurikulum.

"Sekian dari saya. Selamat menunggu jam berikutnya." Dexa membereskan buku-buku, lalu berpaling pada salah satu murid. "Archi! Tolong bawakan buku-buku saya."

Menuruti perintah, sambil membawa buku-buku, Archi membuntuti Dexa. Hingga keduanya tiba di persimpangan tangga, Dexa menghentikan langkah, lalu memutar tubuh menghadap Archi.

"Kamu punya kesempatan untuk membuktikan bahwa kamu bisa berprestasi tanpa campur tangan siapapun."

Archi terdiam. Dia tahu arah pembicaraan Dexa.

"Bagaimana? Ambil kesempatan ini atau tidak?"

Murid laki-laki itu mengangguk "Saya akan belajar keras untuk meraih medali emas di Olimpiade Fisika, Pak De!" ucapnya mantap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro